Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harwintha Yuhria Anjarningsih
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2021
616.855.3 HAR d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hornsby, Beve
London : Optima , 1995
618.928 5 HOR o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Koeswoyo Dwi I
"Sumber Daya Manusia Polri (SDM Polri) memiliki banyak fungsi dalam kegiatannya, salah satu diantaranya yakni konsultasi mengenai anak-anak anggota. Dalam penelitian ini didapatkan anak anggota yang memiliki kebutuhan khusus (ABK). Anak Berkebutuhan Khusus merupakan individu yang kurang mampu untuk mengatur dan melakukan kegiatan tertentu pada umumnya, tanpa selalu menunjukkan ketidak mampuan mental, emosi dan fisik tertentu. Macam-macam ABK yang ada diantaranya Disleksia, ADHD, Autisme, Down Sydrome dll. Disleksia merupakan kesulitan membaca, mengeja, menulis dan kesulitan dalam mengartikan atau mengenali struktur kata-kata yang memberikan efek terhadap proses belajar atau gangguan belajar. Penyebab dari disleksia adalah gangguan neurologis dan genetik. Pada penelitian ini subjek yang diteliti oleh peneliti diberikan asesmen berupa wawancara, observasi, WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children), SPM (Standard Progressive Matrices), VSMS (Vineland Social Maturity Scale), dan tes informal membaca dan didapatkan bahwa subjek memiliki gangguan disleksia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni kualitatif. Peneliti memberikan intervensi berupa cara mengajar dengan metode Fernald, metode ini merupakan pendekatan multisensori untuk pengajaran membaca, menulis dan mengeja pada anak. Hasil dari intervensi yang dilakukan sebanyak 10 sesi (pretest dan postes) dan didapatkan bahwa metode ini efektif digunakan untuk anak disleksia."
Lengkap +
Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2022
320 LIT 25:3 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rahma Paramita
"ABSTRAK
Kesulitan belajar adalah fenomena yang umum terjadi di sekolah. Bentuk kesulitan belajar yang paling banyak ditemukan adalah kesulitan membaca atau dyslexia, sekitar 80% anak yang mengalami kesulitan belajar di diagnosa
mengalami dyslexia (Aaron dalam Sattler, 2002). Dyslexia adalah ketidakmampuan untuk menguasai keterampilan dasar membaca sesuai dengan tahapan perkembangammya (McDervitt & Ormrod, 2002). Anak-anak dengan gangguan ini mengalami kegagalan untuk menguasai proses dasar seperti pengenalan huruf meskipun taraf inteligensi mereka baik (McDervitt & Onnrod, 2002).
Gangguan tersebut baru mulai terlihat pada saat mereka memasuki bangku Sekolah Dasar (SD) karena pada tingkat taman kanak-kanak, anak belum berhubungan dengan tugas akademik (Hallahan & Kaufirnan, 1998). Di SD mulai
dibutuhkan kemampuan membaca dan menulis (Santrock, 2002).
Anak yang mengalami dyslexia dapat memanifestasikan dirinya secara berbeda di sekolah (Lemer dalam McDevitt & Ormrod, 2002). Pada masa ini anak dengan disabilities menjadi lebih sensitif terhadap perbedaan mereka dan
bagaimana hal tersebut di persepsikan oleh orang lain (Santrock, 2002). Hal tersebut dapat mempengaruhi rasa kepercayaan diri anak (Mayes & Cohen, 2002). Akibatnya anak dyslexia dapat membentuk persepsi yang buruk mengenai dirinya.
Persepsi seseorang mengenai diri, karakteristik yang dimiliki serta kelebihan dan kekurangarmya disebut sebagai konsep diri (McDevitt & Omrrod, 2002). Secara umum, anak dengan keterbatasan tertcntu biasanya memiliki konsep diri yang lebih negatif dibandingkan dengan teman-temannya sebayanya.
Menurut Song & Hattie (dalam Marsh & Hattie, 1996) komponen dalam konsep diri adalah academic self-concept, yang didalamnya terdapat achievement self-concept; ability self-concept, dan classroom self-concept, serta non-academic self-concept yang didalamnya terdapat social self-concept dan self regard/presentation self-concept.
Kesulitan membaca membuat anak-anak yang mengalaminya menjadi terhambat dalam bidang pendidikan dan dapat mengganggu kepercayaan diri, status sosial serta hubungan interpersonal anak (Sattler, 2002). Identifikasi dini
dan intervensi yang tepat dapat membantu anak dengan kesulitan belajar sukses secara akademis dan sosial, di dalam ataupun di luar kelas (Sattler, 2002). Salah
satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui gambaran konsep diri adalah melalui tes proyeksi. Dari tes proyeksi dapat diketahui proses pemikiran seseorang, kebutuhan, kecemasan dan konflik-konflik yang dialami individu
(Anastasi & Urbina, 1997). Bender (dalam Rabin & Haworth, 1960) mengatakan bahwa anak-anak dengan kesulitan belajar seringkali menunjukkan kemampuan artistik yang sangat baik sebagai kompensasi dalam mengkomunikasikan masalah emosi dan sosial serta kebutuhan-kebutuhannya.
Tes gambar proyeksi yang biasa digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai konsep diri seseorang adalah tes Human Figure Drawings (HFD) dan House Thee Person. Tes ini mudah bagi anak karena kebanyakan anak-anak menyukai kegiatan menggambar. Melalui HTD dapat diketahui gambaran diri
anak, konsep diri yang dimilikinya, hal-hal yang penting bagi anak serta konflik dan keinginannya saat pengambilan tes (Koppitz, l968). Yang perlu diingat adalah tes gambar proyeksi hanya digunakan sebagai pelengkap dalam keperluan
klinis. Salah satu sumber data yang paling panting dalam evaluasi psikologis adalah wawancara (Groth & Mamat, 1999; Anastasi & Urbina, 1997). Tanpa data dari wawancara, tes psikologis tidak berarti Karena itu dalam penelitian ini,
selain menggunakan kedua tes diatas juga digunakan hasil wawancara dengan orang tua dan anak untuk mengetahui gambaran konsep diri anak yang mengalami dyslexia.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran konsep diri anak yang mengalami dyslexia melalui HFD, HTP serta hasil wawancara dengan orang tua anak dyslexia.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder, yaitu dengan melihat kasus anak yang di diagnosa mengalami dyslexia pada klinik Bimbingan Anak dan Remaja Fakultas Psikologi UI, Depok Dari kasus tersebut ditemukan 3
subyek yang memenuhi kriteria subyek, yaitu berusia antara 6 hingga 12 tahun dan didiagnosa dyslexia.
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah academic self concept, yang dimiliki subyek tidak sepenuhnya negatiti Ability self-concept subyek yang dapat diketahui negatif Sedangkan classroom self-concept hanya
satu subyek yang dapat diketahui, yaitu subyek E. Ia memiliki classroom self-concept yang negatif karena ia tidak tertarik pada pelajaran yang tidak dikuasainya. Untuk non-academic self-concept, dua subyek memiliki social self-concept positif dan satu subyek memiliki social self-concept negatif. Ketiga subyek merasa ditolak atau menemui hambatan untuk dekat dengan orang tua. Self-regard/presentastion of the self pada satu orang subyek negatif karena ia kurang percaya diri.
Temuan lain dalam penelitian ini adalah ternyata tidak semua academic self-concept anak dyslexia negatif terdapat beberapa tanda dari HPD ataupun HTP yang dapat digunakan untuk mengetahui konsep diri anak serta faktor yang mempengaruhi konsep diri anak.
Beberapa saran praktis yang didapat dalam penelitian ini adalah pemeriksa sebaiknya memperhatikan konsep diri anak yang mengalami dyslexia serta fungsi penerimaan orang tua pada konsep diri anak yang mengalami dyslexia.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38491
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Yanti Br
"ABSTRAK
Defisit fonologis merupakan penyebab utama atas ketidakmampuan anak disleksia dalam membaca Lyon, Stanovich, 1999 . Saat anak disleksia memiliki gangguan fonologis dan gangguan penamaan cepat, maka anak disleksia tersebut dianggap memiliki defisit ganda Wolf dan Bowers, 1999 . Berkaitan dengan hal tersebut, Pennington et al. 2001 menginvestigasi defisit pada anak disleksia Amerika dan menemukan bahwa gangguan membaca pada anak disleksia berasal dari defisit fonologis. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan karakteristik defisit yang dimiliki oleh anak disleksia penutur jati bahasa Indonesia, tesis ini membahas tentang karakteristik fonologis penyandang disleksia dengan membandingkan hipotesis defisit fonologis dan hipotesis defisit ganda. Penelitian melibatkan 5 anak disleksia yang berasal dari Sekolah Dasar Inklusif Pantara, Jakarta. Kemampuan anak disleksia dibandingkan dengan 25 anak grup kontrol yang berasal dari SD Kwitang 8 PSKD, Depok. Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif dan kualitatif dengan pendekatan studi kasus kontrol. Instrumen yang digunakan mengadaptasi instrumen penelitian Pennington et al. 2001 . Tes yang dilakukan adalah tes persepsi ujaran, kesadaran silabel, membaca dan akses leksikal. Kata-kata yang digunakan sebagai tes berasal dari 10,000 kata yang memiliki frekuensi tertinggi dalam korpus linguistik bahasa Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan anak disleksia memiliki kemampuan fonologis lebih rendah dari grup kontrol. Hal ini ditandai oleh kecenderungan anak disleksia dalam melakukan penyulihan fonem dan jenis silabel. Penyulihan fonem terjadi pada bunyi hambat dan cenderung terjadi dari bunyi bersuara menjadi tak bersuara. Pertukaran jenis silabel cenderung terjadi pada suku kata KVK dan KKV menjadi KV. Anak disleksia juga memperlihatkan kemampuan penamaan cepat 3 kali lebih lambat daripada grup kontrol. Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung hipotesis defisit fonologis Wagner and Torgersen, 1987 dan hipotesis defisit ganda oleh Wolf dan Bowers 1999 .

ABSTRACT
Phonological deficit is defined as the core deficit of dyslexic children to read Lyon, Stanovich, 1999 . As the dyslexics show phonological deficit and rapid naming deficit, they probably have double deficit Wolf and Bowers, 1999 . In line with that result, Pennington et al. 2001 investigated the American dyslexic children and found that phonological deficit was the core deficit of the dyslexics. Therefore, the current study discussed the phonological characteristics of Indonesian Dyslexics by comparing the phonological deficit hypothesis and double deficit hypothesis. Five dyslexic children DC age 7 9 3 males and 2 females and 25 chronological age matched controls CA were administered speech perception, syllable awareness, words reading and lexical access test. Most of the instruments were adapted from Pennington et al. 2001 . The instruments for all task were taken from the 10.000 highest frequent words of the linguistic corpus of bahasa Indonesia in 2013. The study results suggested that Indonesian dyslexic children performed significantly worse than their CA controls in all phonological tasks. The study showed that dyslexics tended to substitute phonem and syllable. They tended to substitute voice to voiceless phoneme. The substitution of syllable also happened from CVC or CCV to CV. As for the naming speed deficit, the result showed that three out of five dyslexics were significantly slower than that of their CA controls. Therefore, the result are broadly consistent with earlier conclusions that support the phonological deficit Wagner Torgersen, 1987 and for the double deficit hypothesis of Wolf and Bowers 1999 "
Lengkap +
2017
T49579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hidayati Rofiah
"ABSTRAK
Salah satu bentuk kesulitan belajar spesifik yang paling sering ditemukan adalah disleksia. Guru masih kesulitan untuk mengenali anak kesulitan belajar tipe disleksia. Langkah awal yang dilakukan dalam menemukan dan menentukan anak kesulitan belajar tipe disleksia melalui identifikasi. Identifikasi merupakan upaya untuk mengenali yang diduga memiliki kebutuhan khusus. Pengenalan atau identifikasi anak kesulitan belajar merupakan proses yang paling penting karena menentukan langkah selanjutnya dalam melakukan asassment. Proses asassment digunakan untuk menentukan program rencana pembelajaran yang tepat. Teknik yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi anak kesulitan belajar tipe disleksia dengan melakukan observasi secara seksama dan sistematis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan dapat menggunakan teknik wawancara dan tes baik berupa rangkaian tugas yang dibuat oleh guru atau tes psikologi yang sudah dibakukan. Jika keadaan disleksia dikenali lebih dini dan diberikan intervensi sedini mungkin, akan memberikan hasil yang luar biasa baiknya, atau sebaliknya jika terlambat dikenali maka akan berakibat pada gangguan sosial dan emosional. Pada usia sekolah dasar, gangguan emosi nampak sebagai individu yang kurang percaya diri, mudah tersinggung, merasa dirinya benar benar bodoh dan tidak berdaya, bahkan menjadi korban bullying dari teman temannya. Terlambat mengenali tanda tanda disleksia pada anak berakibat pada pelabelan yang melekat pada si anak. Bagi guru atau orang yang tidak mengetahui mengenai disleksia, mereka akan memberi label atau cap kepada anak tersebut sebagai anak yang bodoh. Padahal, penyandang disleksia inteligensinya dalam tingkat yang normal atau bahkan di atas normal. Mereka hanya mengalami kesulitan berbahasa, baik itu menulis, mengeja, membaca, maupun menghitung."
Lengkap +
Yogyakarta: Pusat Layanan Difabel (PLD), 2015
370 JDSI 2:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adriatik Ivanti
"Kesulitan belajar membaca, yang sering dikenal dengan nama disleksia, banyak dialami oleh para siswa sekolah dasar. Mereka tidak hanya mengaiami kesulitan membaca, tetapi juga kesulitan memahami bacaan (hal ini yang menjadi fokus penelitian). Para siswa tidak perlu khawatir terhadap hambatan yang dimilikinya ini karena sekarang sudah banyak berkembang teknik mengajar untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam mengajar siswa-siswa yang mengalami disleksia, adaptasi program yang terus-menerus merupakan suatu keharusan agar sesuai dengan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, guru harus berusaha melakukan evaluasi terhadap teknik mengajar yang sudah diterapkan. Dengan adanya evaluasi ini, maka dapat diketahui apakah teknik mengajar pemahaman bacaan yang sudah diterapkan oleh guru sudah tepat atau belum. Bukan guru saja yang berhak melakukan evaluasi, namun pihak-pihak yang terkait di dalamnya, seperti kepala sekolah atau psikolog, memiliki hak yang sarna. Di sini, penulis berfungsi sebagai evaluator. Adapun teknik evaluasi yang digunakan adalah curriculum-based evaluation, yang lazim dilakukan kepada guru yang mengajar anak-anak yang memiliki hambatan khusus atau yang membutuhkan pendidikan khusus. Asesmen dalam evaluasi ini dilakukan dengan menggunakan tes-tes yang berkaitan dengan materi yang dipakai dalam sekolah tersebut. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan memberikan sejumlah tes informal yang berkaitan dengan pemahaman bacaan siswa. Setelah dilakukan analisa terhadap teknik mengajar yang sudah diterapkan, akan direkomendasikan teknik mengajar yang dirasakan lebih efektif bagi siswa."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38380
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library