Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Nuriya Sholikhah
"ABSTRAK
Sistem penyelesaian sengketa merupakan pilar utama dari suatu organisasi
internasional. Tanpa adanya sarana untuk menyelesaikan suatu sengketa, ruledbased
system akan kurang efektif karena aturannya tidak dapat dipaksakan untuk
dilaksanakan. Hal ini yang mendasari pembentukan sistem penyelesaian sengketa
pada World Trade Organization dan ASEAN terkait sengketa di bidang ekonomi.
Selain itu, ASEAN dalam rangka membentuk suatu komunitas ekonomi dan
ASEAN Free Trade Area membutuhkan suatu sistem penyelesaian sengketa
ekonomi yang lebih komprehensif yang banyak mengadopsi dari sistem
penyelesaian sengketa WTO, meskipun didalamnya terdapat beberapa fleksibilitas
yang menunjukkan ASEAN sebagai suatu organisasi regional. Dengan
menggunakan teori perbandingan hukum didapatkan kesamaan dan perbedaan
antara sistem penyelesaian sengketa ekonomi ASEAN dengan WTO terkait
mekanisme serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam masing-masing sistem
tersebut serta dasar pemberlakuan masing-masing sistem tersebut. Dengan
perbandingan tersebut dapat disarankan ASEAN untuk menghapus ketentuan
yang membolehkan untuk memilih forum lain, sehingga sistem penyelesaian
sengketa ekonomi ASEAN dapat dijadikan sebagai pilihan utama bagi para
Negara anggota ASEAN.

ABSTRACT
Dispute settlement system is the main pillar of an international organization.
Without dispute settlement system, rule-based system would be less effective and
lack to force of implementation. This is the underlying formation of the dispute
resolution system of the World Trade Organization and the ASEAN economicrelated
disputes. In additional, in order to create an ASEAN Economic
Community and the ASEAN Free Trade Area requires an economic system of
dispute resolution that is much more comprehensive than adopting the WTO
dispute settlement system, although there is some flexibility in it that indicates
ASEAN as a regional organization. By using the theory of comparative law
obtained similarities and differences mechanism and principles between the
dispute settlement system of the WTO and ASEAN, which contained in each of
these systems as well as basic application of each of these systems. Such
comparisons can be advised ASEAN to remove provisions that allow to choose
another forum, so that ASEAN economic dispute settlement system can be used as
the primary choice for ASEAN member countries."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39196
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Keisha Kahlila
"Mekanisme penyelesaian sengketa WTO, yang sering dianggap sebagai "crown jewel" organisasi ini, memainkan peran penting dalam menegakkan hukum perdagangan internasional. Namun, kepatuhan sebagian besar tetap bergantung pada kesediaan pihak yang kalah. Oleh karena itu, para anggota WTO dapat memanfaatkan upaya hukum yang tersedia untuk mendorong kepatuhan dari pihak yang kalah terhadap kewajiban mereka. Skripsi ini mengevaluasi apakah retaliasi, sebagai salah satu dari upaya hukum tersebut, dapat efektif untuk melindungi kepentingan Indonesia. Selain itu, skripsi ini mengadopsi metode penelitian hukum doktrinal untuk menganalisis dan menginterpretasikan ketentuan DSU serta menggunakan pendekatan studi kasus untuk menilai penerapan upaya hukum dalam praktik guna menentukan efektivitasnya. Skripsi ini menyimpulkan bahwa upaya hukum dalam mekanisme penyelesaian sengketa WTO tidak selalu efektif dalam mendorong kepatuhan pihak yang kalah. Kompensasi tidak efektif karena sifatnya yang sukarela dan kebutuhan akan kesepakatan bersama. Sedangkan retaliasi, sebagai upaya terakhir untuk mendorong kepatuhan, juga menghadapi tantangan seperti ketidakpastian dalam DSU yang menyebabkan kesulitan bagi Arbiter dalam memberikan tingkat retaliasi yang dapat efektif, kurangnya kekuatan pendorong dalam kasus-kasus dengan dukungan domestik yang kuat untuk tindakan yang tidak konsisten, dan kesulitan implementasi ketika ada kesenjangan ekonomi antara pihak-pihak yang bersengketa. Dalam ketiadaan masalah-masalah ini, retaliasi dapat mendorong kepatuhan atau setidaknya mendorong pihak yang kalah untuk menangani isu yang diangkat dan menawarkan beberapa bentuk manfaat bagi pihak yang dirugikan. Indonesia telah memiliki kesempatan untuk menggunakan retaliasi dalam dua kasus, namun gagal mencapai kepatuhan dari pihak yang kalah. Meskipun menghadapi kesulitan di masa lalu, retaliasi masih dapat efektif melindungi kepentingan Indonesia. Retaliasi dapat dirancang untuk menjadi kuat sekaligus disesuaikan dengan kapasitas Indonesia, pemanfaatan mekanisme seperti retaliasi silang, dan Indonesia dapat mengacu pada preseden dari negara berkembang lainnya. Dengan mengatasi tantangan hukum terkait dan mempersiapkan diri secara domestik, termasuk memberlakukan regulasi nasional tentang retaliasi, Indonesia dapat meningkatkan strategi retaliasi dan lebih melindungi kepentingannya.

The WTO dispute settlement mechanism, often hailed as the "crown jewel" of the organization, plays a crucial role in enforcing international trade laws. However, compliance largely depends on the non-prevailing party’s willingness. Members may seek the utilization of legal remedies to induce compliance from non-prevailing parties with their WTO obligations. This thesis evaluates whether retaliation, as one of these legal remedies, can be effective to protect Indonesia’s interests. Furthermore, this thesis adopts a doctrinal legal research method to analyze and interpret DSU provisions and employs a case study approach to assess the application of legal remedies in practice to determine its effectiveness. This thesis concludes that legal remedies may not always be effective in inducing compliance of non-prevailing parties. Compensation is often ineffective due to its voluntary nature and the necessity for mutual acceptance. Retaliation, as the last resort to induce compliance, also faces challenges such as ambiguities in the DSU causing difficulties for Arbitrators in awarding levels of retaliation, lack of inducement power in cases with strong domestic support for the inconsistent measure and implementation difficulties when economic disparities exist between disputing parties. In the absence of such issues, retaliation has been able to induce compliance or at the very least, push non-prevailing parties to address the concerned issues and offer some form of benefit. Indonesia has had opportunities to use retaliation in two notable cases, yet failed to do so. Despite past struggles, retaliation can still be effective to protect Indonesia’s interests. It can be designed to be powerful while adjusting to Indonesia’s capacity, there are mechanisms like cross-retaliation, and  Indonesia may draw on precedents from other developing countries. By overcoming associated legal challenges and preparing itself domestically, including enacting its own national regulations on retaliation, Indonesia can enhance its strategy to retaliate and better protect its interests."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library