Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Downie, George
London: Churchill Livingstone, 2010
615.14 DOW c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nurizati
"ABSTRAK
Telah dilakukan pengukuran dosis yang diterima janin pasien radioterapi dengan menggunakan simulasi perhitungan Monte Carlo DOSXYZnrc. Diandaikan pasien kanker payudara dan diberi radioterapi pada daerah dada dengan sinar-x 2 MeV, lapangan tangensial 6 x 16 cm2 dan supraclave 14 x 5.8 cm2 (kategori kecil), tangensial 9 x 15 cm2 dan supraclave 17.7 x 8.6 cm2 (kategori sedang), dan tangensial 8.5 x 19 cm2 dan supraclave 20.4 x 11.4 cm2 (kategori besar), serta lapangan tangensial 6 x 16 cm 2 , 9 x 15 cm2, dan 8.5 x 19 cm2 untuk pasien yang hanya menerima perlakuan tangensial. Jarak antara tepi lapangan radiasi dengan posisi titik pengukuran dibuat bervariasi dengan asumsi letak janin yang berubah sesuai umur kehamilan dan diamati pada tiap trimester kehamilan. Pada setiap jarak tertentu, perhitungan dosis dilakukan pada 3 kedalaman berbeda yaitu 2, 5, dan 10 cm. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dosis janin akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman, berkurangnya luas lapangan, dan maksimum pada saat jarak antara tepi lapangan dengan posisi janin terdekat.

ABSTRACT
The fetal dose that received at radiotherapy patient was measured by using Monte Carlo DOSXYZnrc simulation calculations. Patient was regarded breast cancer patients and given radiotherapy to the chest area with 2 MeV x-ray beam, field tangential 6 x 16 cm2, and 5.8 x 14 cm2 supraclavicula (small categories), field tangential 9 x 15 cm2 and 17.7 x 8.6 cm2 supraclavicula (medium categories) and tangential 8.5 x 19 cm2 and 20.4 x 11.4 cm2 supraclavicula (large category), as well as field tangential 6 x 16 cm2, 9 x 15 cm2, and 8.5 x 19 cm2 for patients who received only tangential treatment. Distance between the radiation field edge to the position of measurement point varies with assumption that the changing according the location fetal gestation and observed at each trimester of pregnancy. At any given distance, the dose calculations performed at 3 different depths of 2, 5, and 10 cm. The calculations show that the fetal dose will decrease with increasing depth, decreasing of the area field, and at the time of maximum distance between the edge of the field with a fetal position nearby."
2010
T29106
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fadli
"ABSTRAK
Latar Belakang: Operasi seksio sesaria merupakan faktor risiko infeksi yang berkaitan dengan morbiditas maternal psaca persalinan. Hingga saat ini, belum ada protokol tetap mengenai dosis antibiotik profilaksis sebelum prosedur seksio sesaria. Penelitian ini bertujuan mengetahui adakah perbedaan kejadian infeksi pasca persalinan dengan penggunaan cefazoline profilaksis dosis tunggal dan multipel.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar tunggal dengan dua kelompok perlakuan: cefazoline dosis tunggal 2 gram pada 30 menit sebelum insisi dan cefazoline dosis multipel (cefazoline dosis tunggal 2 gram pada 30 menit sebelum insisi dan 1 gram pada delapan jam setelah dosis awal). Penelitian dilakukan pada wanita yang menjalani operasi seksio sesaria berencana di RS Fatmawati dan RS Anna, Jakarta pada Januari 2016 - Maret 2016. Luaran utama yang dinilai adalah infeksi selama 30 hari setelah prosedur meliputi infeksi luka operasi, infeksi saluran kemih dan endometritis berdasarkan temuan klinis.
Hasil: Didapatkan 46 subjek dengan 23 subjek pada kelompok cefazoline dosis tunggal dan 23 subjek pada cefazoline dosis multipel. Didapatkan 9 dari seluruh subjek mengalami infeksi (19,6%). Tidak ditemukan perbedaan kejadian infeksi pada kedua kelompok perlakuan (Uji Fisher-exact p=1,00; risiko relatif cefazoline dosis tunggal 0,8 dengan 95% IK 0,25- 2,61).
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam efikasi pemberian cefazoline dosis tunggal dan multiple. Pemberian dosis tunggal dapat dijadikan pilihan terkait efikasi dan efisiensinya

ABSTRACT
Background: Caesarean section is a risk factor for infection and it is related to maternal morbidity during puerpureal period. To date, there is consensus regarding antibiotic prophylactic protocol before caesarean section procedure. This study aimed to determine the comparative efficacy of a single dose of cefazoline prior incision versus multiple doses toward the incidence of maternal infection.
Method: This was a single-blind, randomized, clinical trial with two arms of interventions: 2 gram single dose cefazoline 30 minutes prior incision versus 2 gram single dose cefazoline 30 minutes prior incision plus 8 hours apart. This study recruited women endergone elective caesarean section at Fatmawati Hospital and Anna Hospital, Jakarta during January 2016 to December 2016. The primary outcomes were surgical site infection, urinary tract infection, and endometritis based on clinical findings during 30-day of follow-up period.
Result: A total of 46 subjects were recruited with 23 of them were in single dose cefazoline group whereas the other 23 subjects were in multiple dose of cefazoline group. Only 9 subjects had infection (19,6%). There was no difference in the incidence of infection between two groups (Fisher-exact test with p=1,00; relative risk of cefazoline single dose: 0.80, 95% CI :0.25-2.61)
Conclusion: There's no significant difference in efficacy between single dose and multiple dose of cefazoline. Single dose of cefazoline could be a treatment option based on its efficacy and efficiency.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hansen Yonathan Firdaus
"Nekrosis avaskular adalah suatu kondisi di mana sel-sel tulang mati karena kurangnya aliran darah. Kondisi ini sering dijumpai pada pasien yang mengonsumsi kortikosteroid dosis tinggi. Sedangkan kortikosteroid dosis tinggi yang sering diberikan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) menunjukkan adanya hubungan antara AVN dan SLE karena regimen pengobatan itu sendiri. Hal ini memungkinkan untuk menyelidiki faktor mana pada pasien SLE yang dapat mempengaruhi perkembangan AVN.
Metode: Sebanyak 22 rekam medis pasien dari RSUPN Cipto Mangunkusumo dicatat dan dianalisis. Sampel yang diambil terdiri dari pasien yang didiagnosis dengan SLE dan kemudian berkembang menjadi AVN. Setiap faktor risiko kemudian dianalisis untuk mengetahui besarnya signifikansi masing-masing faktor risiko terhadap AVN.
Hasil: Dari semua faktor risiko yang dianalisis, hanya kortikosteroid dosis kumulatif (p <0,05) yang bermakna dengan terjadinya AVN. Faktor risiko lain tidak signifikan. SLEDAI dan antibodi antifosfolipid tidak dapat dianalisis karena kurangnya data.
Kesimpulan: Kortikosteroid dosis tinggi akan mempengaruhi AVN sekunder pada pasien SLE sedangkan tidak ada hubungan yang pasti antara skor SLEDAI dan antibodi antifosfolipid.

Avascular necrosis is a condition in which bone cells die due to a lack of blood flow. This condition is often seen in patients taking high doses of corticosteroids. Meanwhile, high doses of corticosteroids that are often given to patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) indicate a relationship between AVN and SLE because of the treatment regimen itself. This made it possible to investigate which factors in SLE patients might influence AVN development.
Methods: A total of 22 patient medical records from RSUPN Cipto Mangunkusumo were recorded and analyzed. The sample taken consisted of patients who were diagnosed with SLE and later developed an AVN. Each risk factor was then analyzed to determine the significance of each risk factor for AVN.
Results: Of all the risk factors analyzed, only the cumulative dose of corticosteroid (p <0.05) was significant with the occurrence of AVN. Other risk factors are not significant. SLEDAI and antiphospholipid antibodies could not be analyzed due to lack of data.
Conclusion: High doses of corticosteroids will affect secondary AVN in SLE patients whereas there is no definite relationship between SLEDAI score and antiphospholipid antibodies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellen Wijaya
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Dengan berkembangnya teknologi formulasi obat dan juga kemajuan di bidang pengobatan, telah dibuat teofilin dalam bentuk sediaan lepas lambat (SLLB). Hal ini menguntungkan bagi pasien, karena selain kepatuhan dapat ditingkatkan kadar obat dalam darah dapat terkendali dengan baik.
Bioavailabilitas dan bioekivalensi obat SLLB perlu diketahui dengan baik. Untuk teofilin hal ini terutama karena, disamping indeks terapi sempit juga adanya perbedaan antar individu dalam parameter farmakokinetik. Oleh sebab itu telah dilakukan penelitian terhadap tablet Uniphyllin® Continus® yang merupakan teofilin bentuk SLLB baru dibandingkan dengan teofilin sediaan biasa.
Penelitian dilakukan terhadap 13 sukarelawan sehat, pria dewasa. Minggu I diberikan teofilin sediaan biasa selama 3 hari, 4x150 mg/hari (9 dosis). Pada minggu II diberikan sediaan lepas lambat selama 3 hari, 2 x 300-400 mg/hari (5 dosis). Pada hari ke-3 dalam keadaan puasa, sebelum dan sesudah makan obat, diambil darah dari vena kubiti. Pada sediaan biasa darah diambil pada jam 0; 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 6; 9; dan 11. Pada sediaan lepas lambat darah diambil pada jam 0; 2; 3; 4; 5; 7; 9; 12; 15 dan 24. Kadar teofilin plasma diukur dengan metoda enzyme immunoassay-turbidimetry (ACA IV). Dari kadar yang didapat dihitung berbagai parameter farmakokinetik.
Hasil dan Kesimpulan: Data farmakokinetik diperoleh dari 12 subyek (satu subyek dibatalkan berhubung efek samping yang berat), sebagai berikut : Cmax tablet sediaan lepas lambat (SLLB) 12,17 μg/mL dan pada sediaan biasa (SBS) 15,75 μg/mL, kedua nilai Cmax berbeda bermakna (p < 0,01). Cmin pada SLLB 8,10 μg/mL dan pada SBS 10,39 µg/mL, kedua nilai berbeda bermakna (p <0,01). Nilai tmax SLLB adalah pada jam ke-4 sedang pada SBS pada jam ke-1,13; keduanya berbeda sangat bermakna (p<0,001). Hasil indeks fluktuasi (IF) antara SLLB dan SBS tidak berbeda (p >0,05; IF SLLB = 0,42 dan IF SBS = 0,44).
Dari data farmakokinetik terlihat tablet Uniphyllin® Continus® merupakan suatu sediaan lepas lambat. Variabilitas parameter antar subyek disebabkan oleh variabilitas metabolisme obat, sehingga menimbulkan fluktuasi kadar obat. Oleh karena itu, pada kondlsi tertentu sebaiknya penggunaan teofilin diikuti dengan pemeriksaan kadar obat dalam darah.

ABSTRACT
Comparative Study Of Plasma Concentration Of Theophylline Using Sustained Released Tablet Uniphyllin® Continus® 300-400 Mg With Plain Capsules Of Theophylline150 MgScope and Method of Study: Advances in drug formulation and therapeutics make it possible to produce various controlled-release (CR) theophylline preparations. Such dosage form has been advocated to be more advantageous than the conventional form as it may in-crease patient?s compliance, and the plasma concentration of the drug to be more controllable.
The bioavailability and bioequivalence of sustained released drugs should be carefully observed. This is particularly important for theophylline, because not only it has a narrow margin of safety but also the capacity to metabolize the drug varies markedly between individuals. Uniphyllin® Continus®, a controlled release theophylline preparation, is to be marketed soon here. The aim of the present study is to confirm its controlled release characteristics compared with a conventional release (CVR) dosage form.
Thirteen healthy Indonesian volunteers participated in this study. They were given 150 mg of CVR theophylline 4 times daily for 9 dosages. Venous blood samples were taken at 0; 0.5; 1; 1.5; 2; 2.5; 3; 6; 9 and 11 hours after the last dosage. After a wash-out period of two weeks, the subjects took the CR tablets twice daily for 5 dosages. Subjects with body weights less than 70 kg were given 300 mg tablets, and heavier subjects were given 400 mg tablets. Blood samples were drawn at 0; 2; 3; 4; 5; 7; 9; 12; 15 and 24 hours. Plasma theophylline concentration was determined by enzyme immunoassay-turbidimetric method (ACA IV, Dupont).
Findings and Conclusions: Data was analyzed from 12 subjects (one subject dropped due to serious adverse reactions). The mean of peak concentrations (Cmax) of the CR and CVR dosage forms were 12.17 and 15.75, μg/mL, respectively (p <0.01). Trough concentrations (Cmin) of the CR and CVR forms were 8.10 and 10.39 µg/mL, respectively (p < 0.01). The time to attain Cmax (tmax) for the CR and CVR forms were 4 and 1.13 hours, respectively (p < 0.001). The fluctuation index (FI) of the CR and CVR forms were 0.42 and 0.44, respectively; which are not significantly different.
The pharmacokinetic data show that Uniphyllin® Continus® tablet is a slow sustain released tablet. Variability between subjects caused by variability in drug metabolism produce fluctuations in the plasma concentration of the drug.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilson, Billie Ann
New Jersey: Prentice-Hall, 2003
615.1 WIL n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiyyah Siti Zainab
"Pasien bayi dan anak-anak di bawah 8 tahun, dosis maksimum dihitung berdasarkan berat badan dengan perhitungan menggunakan formula Clark dari dosis dewasa yang telah ditetapkan. Aturan Clark adalah persamaan yang digunakan untuk menghitung dosis obat pediatrik berdasarkan berat badan pasien yang diketahui dan dosis obat dewasa yang diketahui untuk digunakan (Delgado, 2022). Perhitungan dosis harus diperhatikan agar tidak kurang dari dosis lazim (underdose) dan melebihi dosis maksimal (overdose) dalam pemakaian sekali dan sehari. Pemberian dosis yang tidak sesuai berupa underdose menyebabkan pengobatan tidak optimal dan pemberian obat melebihi dosis maksimal dapat menyebakan efek toksik yang termasuk kejadian Drug Related Problem (DRP).
Ketidaktepatan dosis dapat terjadi akibat kesalahan dalam menghitung dosis ketika penyiapan obat (human error) khususnya pada pasien anak. Sempitnya waktu perhitungan, penyiapan, dan penyerahan resep menjadi salah satu penyebab terjadinya human error pada pemberian obat. Maka untuk meminimalisir ketidaktepatan dosis obat, QR Code dibuat untuk menganalisis kesesuaian dosis secara otomatis berdasarkan formula Clark agar memudahkan peracik mengetahui dosis lazim dan maksimum dan memastikan obat yang diberikan tepat dosis.

the established adult dose. Clark's rule is an equation used to calculate the pediatric drug dose based on the patient's known weight and the known adult drug dose to be used (Delgado, 2022). Dose calculation must be considered so as not to be less than the usual dose (underdose) and exceed the maximum dose (overdose) in one-time and daily use. Giving an inappropriate dose in the form of underdose causes treatment to not be optimal and giving drugs exceeding the maximum dose can cause toxic effects which include Drug Related Problem (DRP) events.
Dosage inaccuracy can occur due to errors in calculating doses when preparing drugs (human error), especially in pediatric patients. The narrow time for calculation, preparation, and submission of prescriptions is one of the causes of human error in drug administration. So to minimize the inaccuracy of drug doses, a QR Code was created to automatically analyze the suitability of doses based on Clark's formula to make it easier for compounders to know the usual and maximum doses and ensure that the drugs given are dosed correctly.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aimee Detria Arianto
"Kegagalan terapi akibat ketidaksesuaian dosis antibiotik masih banyak ditemukan di fasilitas kesehatan di Jakarta. Ketidaksesuaian ini karena tidak adanya pertimbangan terhadap berat badan, tinggi badan, atau umur pasien. Permasalahan tersebut seharusnya dapat diatasi oleh apoteker dengan memastikan kembali dosis obat sebelum diserahkan ke pasien pada saat pengkajian resep. Namun, banyaknya jumlah pasien yang melebihi kapasitas tenaga kesehatan dapat meningkatkan kerentanan terhadap kesalahan dan memperlambat proses pelayanan. Analisis dosis obat dapat dipermudah dengan menggunakan spreadsheet yang sudah dilengkapi dengan rumus secara otomatis. Spreadsheet tersebut terdiri dua bagian, antara lain sheet basis data dan pendeteksi dosis obat. Basis data memuat informasi mengenai nama obat, indikasi, kategori kehamilan, kekuatan sediaan, dosis maksimum harian dewasa dan anak yang mengacu pada formularium Puskesmas Kecamatan Pulogadung serta referensi lain. Sementara sheet pendeteksi obat terdiri dari tabel pengisian resep dan pengecekan dosis. Pada sheet tersebut dosis pada resep dapat dibandingkan dengan dosis dari hasil perhitungan menggunakan rumus Clark. Perhitungan dosis berdasarkan rumus Clark secara otomatis terlihat setelah informasi pada resep dimasukkan ke dalam tabel. Dengan demikian, ketidaksesuaian dosis akan terdeteksi secara langsung. Antibiotik yang digunakan sebagai basis data untuk analisis, antara lain amoksisilin, sefadroksil, doksisiklin, dan kotrimoksazol karena merupakan antibiotik yang paling sering diresepkan. Selain itu, spreadsheet yang sudah dibuat dapat diakses melalui QR Code untuk mempermudah penggunaan.

Medication error due to over or underdose is still commonly found in health facilities in Jakarta. This discrepancy is due to the absence of consideration for the patient's weight, height, or age. The pharmacist should be able to overcome this problem by reconfirming the dosage of the drug before it is handed over to the patient during the prescription assessment. However, the dosage analysis is an error-prone process, especially with a large number of patients that exceeds the capacity of health workers. A spreadsheet complete with a specific formula will help the assessment process significantly. The spreadsheet consists of a database sheet and a drug dose detector. The database contains information regarding drug names, indications, pregnancy categories, dosage strengths, and maximum daily adult and child doses referring to the Pulogadung Subdistrict Health Center formulary and other references. On the second sheet, the drug dose detector consists of a fill-out prescription table and a dosage checker. The dosage calculation is based on Clark's formula and will be automatically displayed after the fill-out table has been filled based on the prescription. Thus, the dose discrepancies can be detected immediately. The antibiotics used in the database include amoxicillin, cefadroxil, doxycycline, and co-trimoxazole due to the highest frequency amongst other prescribed antibiotics. In addition, a QR Code that directs users to the spreadsheet was generated for easier access."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rusmanto
"Telah dilakukan penelitian untuk memperoleh distribusi dosis sumber brakiterapi Ir-192 HDR (High Dose Rate) Mikroselektron Klasik dalam medium air dengan Monte Carlo EGSnrc. Parameter dosis dikalkulasi sesuai dengan rekomendasi AAPM TG 43 seperti: kekuatan kerma udara, konstanta laju dosis, fungsi dosis radial, dan fungsi anisotropi. Hasil kalkulasi diperoleh nilai kekuatan kerma udara (Sk/A) sebesar 9,65 x 10-8 U.Bq-1 dengan nilai konstanta laju dosis (Λ) sebesar 1,121 cGy h-1 U-1. Dalam klinis, brakiterapi umumnya menggunakan distribusi dosis dari multi sumber. Distribusi dosis tersebut sangat ditentukan oleh interval antar sumber. Dengan mengambil referensi dosis di titik sumbu utama pada jarak 1,0 cm dari sumber maka distribusi dosis mulai tidak homogen bila interval antar sumber ≥ 1,5 cm terutama untuk r ≤ 1,0 cm.

This study presents the results of EGSnrc Monte Carlo calculations of the dose distribution of Ir-192 brachytherapy HDR (High-Dose Rate) Microselectron Classic sources in water medium. Parameters of dose were calculated according to AAPM TG 43 recommendations such as air kerma strength, dose rate constant, radial dose function and anisotropy function. The results of calculations obtained air kerma strength (Sk/A) of 9.65 x 10-8 U.Bq-1 with dose rate constant (Λ) of 1.121 cGy.h-1.U-1. In clinical, brachytherapy generally used dose distribution from multi-sources. The dose distribution is mostly determined by the interval between sources. By taking reference dose at the point of the main axis at a distance of 1.0 cm from the source dose distribution started not homogeneous when the interval between sources ≥ 1.5 cm especially for r ≤ 1.0 cm."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
T30017
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Indah Lestari
"ABSTRAK
Film gafchromic EBT3 merupakan salah satu dosimeter yang paling umum digunakan dalam proses verifikasi dosis pada radioterapi. Hal itu disebabkan oleh karakteristik yang dimiliki oleh gafchromic yaitu memiliki resolusi spasial yang tinggi, ekuivalen dengan jaringan tubuh manusia dan sensitif terhadap dosis. Artefak bergabung dengan kedua orientasi film sehingga menimbulkan fenomena hamburan. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis efek dari cahaya terpolarisasi pada respon flatbed scanner yang disebabkan oleh film Gafrchromic EBT3, mengetahui pengaruh dari penambahan polarizer terhadap dosimetri radiasi dan implementasinya pada kasus radioterapi. Penelitian ini menggunakan film gafchromic EBT3 dan scanner Epson V700 dan penggunaan polarizer untuk analisis efek parabola. Film diiradiasi dengan 6 MV foton dari akselerator Varian dengan slab phantom. Kemudian dilakukan scanning dengan penambahan polarizer untuk beberapa konfigurasi. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah image J dan matlab.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa polarizer memberikan pengaruh terhadap nilai dmax, dengan nilai tertinggi pada konfigurasi polarizer down dan error sebesar + 14%, sedangkan error terkecil pada konfigurasi Polarizer down sebesar + 1,2%. Selain itu penentuan posisi referensi untuk orientasi sudut menghasilkan nilai maksimum pada sudut 90o. Respon lateral yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa konfigurasi hanya EBT3 memiliki bentuk parabola negatif dan semakin bertambah dengan kenaikan dosis yang diberikan sampai dengan 8 Gy. Perhitungan gamma index 3% / 3 mm memberikan hasil konfigurasi P0U memiliki nilai yang paling besar dibandingkan dengan konfigurasi yang lainnya yaitu sebesar 86,52%.

ABSTRACT
EBT3 gafchromic film is one of the most common dosimeters used in the dose verification process in radiotherapy. This is due to the characteristics possessed by the gafchromic that has a high spatial resolution, equivalent to human body tissue and sensitive to the dose. When scanning films using scanners, light scattering achieves linear CCD cameras causing a non-uniform response. Artifacts join the second film orientation resulting in a scattering phenomenon. The study used EBT3 gafchromic film and Epson V700 scanner and polarizer use for parabolic effect analysis. The film is irradiated with 6 MV photons of the Varian accelerator with a phantom slab. Then scanning with the addition of polarizer for some configuration. The software used in this research is image J and matlab.
The results of this study indicate that the polarizer has an effect on the dmax value, with the highest value in the polarizer down and error configuration of + 14%, while the smallest error in the Polarizer down configuration is + 1.2%. In addition the positioning of the reference for angle orientation gives the maximum value at an angle of 90°. The lateral response obtained in this study indicates that the only configuration of EBT3 has a negative parabolic form and is increasing with increasing doses up to 8 Gy. Calculation of gamma index 3% / 3 mm gives result of configuration P0U has biggest value compared with other configuration that is equal to 86,52%.
"
2017
T49225
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>