Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Manurung, Benedict Borhos
"ABSTRAK
Isu kejahatan seksual menjadi isu yang hangat dan menarik di Indonesia tahun terakhir. Setelah terjadinya beberapa kasus kejahatan seksual yang mengejutkan masyarakat Indonesia pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang kemudian diundangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Undang-undang ini mengundang perdebatan karena mengatur sanksi pidana criminal
ekstrim bagi pelaku kejahatan seksual seperti hukuman mati dan kebiri
kimia. Banyak ahli menyatakan bahwa sanksi pidana saja tidak akan menyelesaikan masalah masalah kejahatan seksual, karena tidak menyentuh aspek seksualitas dan psikologi yang menyebabkan kejahatan itu. Dalam penelitian ini, penulis mengusulkan usulan sanksi bagi pelaku kejahatan seksual bernama terbeschikkingstelling (TBS), sanksi tindakan dalam sistem pidana Belanda yang berhasil menekan residivisme kejahatan seksual di Belanda. Sebagai bagian dari sistem
Hukuman Belanda berupa sistem jalur ganda, TBS memberikan aksi
kesehatan jiwa bagi pelaku kejahatan seksual yang dilakukan di panti asuhan; rehabilitasi setelah pelaku menjalani pidananya. Penelitian selesai dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan perundang-undangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bagaimana TBS bekerja dalam sistem sistem pidana Belanda dan kemungkinan penerapannya dalam sistem pidana Indonesia. Di akhir penelitian, penulis menyimpulkan bahwa TBS memiliki alasan kuat untuk dipertimbangkan sebagai alternatif sanksi bagi pelaku perpetrator kejahatan seksual di Indonesia.
ABSTRACT
The issue of sexual crimes has become a hot and interesting issue in Indonesia in recent years. After the occurrence of several cases of sexual crimes that shocked the Indonesian people in 2016, President Joko Widodo issued Perppu No. 1 of 2016 concerning the Second Amendment to Law No. 23 of 2002 concerning Child Protection, which was later promulgated by the House of Representatives of the Republic of Indonesia. became law with Law Number 17 of 2016. This law invites debate because it regulates criminal sanctions
extreme for perpetrators of sexual crimes such as the death penalty and castration
chemistry. Many experts state that criminal sanctions alone will not solve the problem of sexual crimes, because they do not touch the aspects of sexuality and psychology that cause the crime. In this study, the authors propose a proposed sanction for perpetrators of sexual crimes named terbeschikkingstelling (TBS), an action sanction in the Dutch criminal system that has succeeded in suppressing recidivism of sexual crimes in the Netherlands. As part of the system
Dutch punishment in the form of a double track system, TBS provides action
mental health for perpetrators of sexual crimes committed in orphanages; rehabilitation after the perpetrator has served his sentence. The research was completed with data collection techniques through literature and legislation studies. The results of this study show how TBS works in the Dutch criminal system and its possible application in the Indonesian criminal system. At the end of the study, the authors conclude that TBS has strong reasons to be considered as an alternative to sanctions for perpetrators of sexual crimes in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Sholehuddin
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003
345 SHO s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lifiana Alanisya Mutaharina
"Tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pengidap eksibisionisme, yang merupakan salah satu bentuk dari gangguan parafilia atau suatu kelainan seksual merupakan hal yang kerap terjadi berbagai negara, terutama di Indonesia. Hal tersebut menjadi suatu masalah hukum dikarenakan disatu pihak perilaku ini adalah suatu gangguan berupa kelainan seksual sementara di pihak lainnya perilaku ini menjadi suatu gangguan dalam tatanan sosial masyarakat. Sanksi pidana tidak dapat menjadi satu-satunya alat untuk mengendalikan angka tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pengidap eksibisionisme. Dalam praktik, penjatuhan sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme cenderung tidak sesuai karena hakim kerap tidak mempertimbangkan kondisi psikis dari pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme tersebut. Padahal, faktor tersebut perlu untuk selalu dipertimbangkan oleh hakim mengingat kondisi pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme yang kerap membutuhkan suatu terapi dan pengobatan medis karena munculnya dorongan yang tidak terkontrol akan hasrat seksual untuk memamerkan alat kelamin miliknya dan melakukan aktivitas seksual yang tidak normal di tempat umum. Mengingat saat ini telah ada pengaturan mekanisme penjatuhan sanksi tindakan dan pemidanaan secara bersamaan dengan konsep Double Track System, maka diharapkan konsep tersebut dapat menciptakan suatu fleksibilitas dalam sistem pemidanaan di Indonesia terhadap pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme. Adapun penelitian ini bertujuan untuk menentukan porsi pemidanaan yang tepat terhadap pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme dengan memanfaatkan konsep pemidanaan Double Track System. Lebih lanjut, metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan wawancara untuk melengkapi data temuan. Dengan mengangkat topik terkait pemidanaan dengan menggunakan konsep Double Track System terhadap pelaku eksibisionisme, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan diskursus dan mampu memberikan solusi terkait cara penjatuhan pemidanaan yang tepat agar dapat mencegah timbulnya residivisme maupun munculnya korban-korban lainnya dari pelaku kejahatan yang mengidap kelainan seksual berupa eksibisionisme.

Criminal acts committed by a person with exhibitionism, which is a form of paraphilia or a sexual disorder, are common in various countries, especially in Indonesia. This becomes a legal issue because, on the one hand, such behaviour is a form of sexual disorder. Meanwhile, on the other hand, this behaviour also brings a social disorder to society. Criminal sanction cannot be the only way to control the number of crimes that are committed by exhibitionists. In practice, the imposition of criminal sanctions imposed on perpetrators of crimes with exhibitionism tends to be inappropriate because judges often do not consider the psychological condition of the perpetrators of crimes with exhibitionism. In fact, it is necessary for the judges to always consider this factor since the condition of the perpetrators of exhibitionism often requires therapy and medical treatment due to the emergence of an uncontrolled urge for sexual desire to show their genitals and engage in abnormal sexual activity in public places. Subsequently, considering that currently there is a mechanism for imposing sanctions in the form of treatment and criminal sanction simultaneously within the concept of the Double Track System, one might hope that this concept can create flexibility in the Indonesian sentencing system for the perpetrators of exhibitionism. This study aims to determine the appropriate portion of punishment for perpetrators of exhibitionism by utilizing the Double Track System sentencing concept. Furthermore, the methodology of this research is juridical-normative with interviews to complete the research findings. By discussing the topic regarding the imposition of criminal sentencing by utilizing the Double Track System concept for the perpetrators of exhibitionism, it is expected that this research could become the foundation of discourse and be able to provide solutions regarding the appropriate way of imposing punishments towards the perpetrators of exhibitionism in order to prevent recidivism from occurring and the emergence of other victims who suffer from such sexual disorders."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gianina Hakita Hatirangga
"ABSTRAK

Skripsi ini membahas tentang perkembangan sistem pemidanaan anak di Indonesia yang ditandai dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Dalam UU SPPA terdapat suatu sistem yang bernama double track system. Konsep Double Track System adalah mengenai sanksi pidana dan sanksi tindakan yang dapat dikenakan sekaligus. Dalam praktik penjatuhan sanksi pidana dan sanksi tindakan sekaligus, sanksi tindakan yang dijatuhkan cenderung tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum. Pengenaan sanksi tersebut juga seringkali tanpa pertimbangan yang jelas dari hakim. Hal ini karena berbagai faktor seperti program pelatihan kerja yang baik bagi anak, kurangnya fasilitas pemidanaan anak, dan juga kecenderungan penegak hukum untuk hanya berpegang pada hukuman yang diancamkan di pasal tindak pidana terkait. Oleh karena itu, dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana perlu ditinjau lagi mengenai sanksi tindakan untuk anak supaya sesuai dengan fasilitas yang ada, dan para praktisi hukum diharapkan memberikan sanksi sesuai dengan tujuan pemidanaan anak.


ABSTRACT

 


This thesis discusses the development of the juvenile sentencing system in Indonesia. marked by the existence of Law No. 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System, including systems named double track system. The double track system is about enforcing criminal sanctions and treatment that can be imposed at once. In the act of making decision to punish with criminal sanctions and treatment at the same time, the treatment imposed is not in accordance with criminal acts carried out by children in conflict with the law. The tratment choice was also decided without clear consideration from the judge. This is because various factors such as work training programs that are good for children, lack of juvenile sentencing facilities, and also law enforcers tend to only stick to the penalties in the related criminal acts in the law. Therefore, in the Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana, it is necessary to review more about the punishment of actions for children in accordance with existing facilities, and law enfoncers are expected to give decision in accordance with the objectives of juvenile sentencing system.

 

"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farras Zidane Diego Ali Farhan
"Kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang semakin marak ditemukan terjadi dalam tatanan masyarakat Indonesia. Perkembangan pidana dan pemidanaan terhadap terdakwa dan terpidana tindak pidana kekerasan seksual merupakan respons terhadap peristiwa kejahatan tersebut. Pemberatan sanksi pidana serta penetapan sanksi tindakan dalam bentuk kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi merupakan langkah yang dinilai pemerintah Indonesia sebagai solusi untuk mengatasi fenomena tindak pidana kekerasan seksual. Makna keadilan bagi korban yang seringkali diartikan pembalasan semata sedangkan sistem pemidanaan Indonesia berorientasi pada rehabilitasi dan reintegrasi menimbulkan dilema dalam penentuan sanksi bagi terdakwa tindak pidana kekerasan seksual. Penelitian ini akan mengkaji perkembangan jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual, sanksi pidana dan tindakan, serta penerapan sistem pemidanaan dua jalur (double track system) dalam tindak pidana kekerasan seksual pada peraturan perundang-undangan di Indonesia. Metode penelitian doktrinal merupakan metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan data sekunder dari berbagai bahan hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, buku, jurnal dan sumber lainnya. Data sekunder dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menemukan bahwa sistem hukum Indonesia telah menganut double track system dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual. Sanksi pidana dan tindakan ditempatkan pada kedudukan yang setara dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan bagi para pelaku kekerasan seksual. Namun, berdasarkan studi pada empat putusan pengadilan tindak pidana kekerasan seksual yang dianalisis dalam skripsi ini menunjukan bahwa double track system belum diterapkan secara optimal oleh sistem peradilan pidana Indonesia. Pengaturan yang terbatas, miskonsepsi hakim, dan kepasifan aparat penegak hukum merupakan hambatan terhadap penerapan sistem pemidanaan dua jalur dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia.

Sexual violence is a criminal act that is increasingly common found in Indonesian society. The development of crime and punishment of defendants and convicts of sexual violence crime is a response to this crime event. Aggravating criminal sanctions and treatment sanctions establishment in the form of chemical castration, installing electronic detection devices, and rehabilitation are steps that the Indonesian government considers to be a solution to overcome the phenomenon of sexual violence crime. The meaning of justice for victims, which is often interpreted as mere retribution, whereas the Indonesian criminal system is oriented towards rehabilitation and reintegration, creates a dilemma in determining sanctions for defendants of sexual violence crime. This research will examine the development of types of sexual violence crime, criminal sanctions and treatments, as well as the implementation of double track system in sexual violence crime in Indonesian laws. The doctrinal research method is the method used in this research using secondary data from various legal materials including statutory regulations, court decisions, books, journals and other sources. The secondary data in this research was analyzed qualitatively. The results of this research found that the Indonesian legal system has adopted a double track system in cases of sexual violence crime. Criminal sanctions and treatments are placed on an equal position in order to achieve the goal of punishing perpetrators of sexual violence. However, based on a study of four sexual violence crime court decisions analyzed in this thesis, it shows that the double track system has not been implemented optimally by the Indonesian criminal justice system. Limited regulations, judges' misconceptions, and the passivity of law enforcement are obstacles to the implementation of double track system in cases of sexual violence crime in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library