Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Darussalam
Abstrak :
Krisis ekonomi yang diawali dengan adanya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, telah mengakibatkan perseroan-perseroan yang beroperasi di Indonesia mengalami kesulitan keuangan yang sedemikian berat. Sudah menjadi kesepakatan umum di antara pemerintah, ekonom dan pelaku bisnis, bahwa reorganisasi akuisitif yang berupa penggabungan, peleburan dan pengambilalihan serta reorganisasi divisif yang berupa spin-off, split-off dan split-up merupakan suatu solusi terbaik bagi perseroan-perseroan untuk memecahkan problem kesulitan keuangan tersebut. Adanya berbagai bentuk reorganisasi akuisitif dan divisif seperti tersebut di atas, hendaknya diantisipasi oleh para pembuat kebijakan perpajakan dengan merumuskan bagaimana seharusnya perlakuan Pajak Penghasilan atas reorganisasi akuisitif dan divisif. Kebijakan perlakuan Pajak Penghasilan atas reorganisasi tersebut hendaknya mengacu kepada substansi ekonominya, sehingga dapat menimbulkan keadilan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak serta tidak digunakan sebagai alat penghindaran pajak (tax avoidance). Metode penelitian dilakukan melalui wawancara dengan beberapa pejabat pajak, Wajib Pajak dan konsultan pajak. Penelitian atas dokumen dilakukan berdasarkan hasil karya ilmiah dan ketentuan-ketentuan perpajakan baik berdasarkan Undang-undang dan ketentuan pelaksanaannya. Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ketentuan PPh yang mengatur tentang reorganisasi perseroan belum mengatur secara lengkap dan menyeluruh bentuk-bentuk dari reorganisasi akuisitif dan divisif, demikian juga perlakuan-perlakuan Pajak Penghasilannya belum didasarkan atas substansi ekonomi dari reorganisasi tersebut. Oleh karena itu, disarankan untuk dilakukan kaji ulang guna menyusun ketentuan yang mengatur secara lengkap dan menyeluruh perlakuan Pajak Penghasilan atas reorganisasi akuisitif dan divisif yang didasarkan atas substansi ekonomi masing-masing bentuk reorganisasi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T1354
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toto Rusbianto
Abstrak :
Kopi merupakan komoditi yang cukup berperan sebagai penghasil devisa negara. Secara sosial ekonomi, kopi Indonesia menjadi tumpuan hidup bagi kurang lebih 7 juta jiwa petani perkebunan. Sebagian besar kopi Indonesia masih di ekspor dalam bentuk biji (green beans coffee), sedangkan produk hasil turunannya lebih banyak dipasarkan di dalam negeri. Dalam lima tahun waktu pengamatan data penelitian (1997-2001), ekspor kopi Indonesia mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan - 4,7% per tahun. Sementara itu pertumbuhan produksi kopi Indonesia naik dengan laju pertumbuhan 4,14% per tahun. Secara umum dalam waktu yang lama penawaran kopi dunia meningkat dengan angka pertumbuhan sebesar 3,12% per tahun sedangkan permintaannya hanya tumbuh dengan 1,56% per tahun. Kopi sebagai komoditi internasional, dalam pemasarannya diwadahi oleh International Coffee Organization (ICO). Fungsi badan ini adalah sebagai penanggung jawab dalam penentuan standard harga kopi internasional, yang antara lain melalui instrumen retensi. Namun, dalam kurun waktu pengamatan data penelitian (1997-2001) harga kopi tidak stabil, berfluktuatif mengikuti dinamika permintaan dan penawarannya. Harga menjadi tidak terkendali karena terjadi inkonsistensi terhadap kesepakatan kebijakan dari beberapa anggota ICO yang menyebabkan kopi dunia mengalami kelebihan penawaran. Harga kemudian turun tidak terkendali hingga mencapai USS 1.013 per kg pads tahun 2001. Indonesia sebagai salah satu pengekspor kopi terbesar dunia, ikut terimbas dengan permasalahan ini. Krisis ekonomi yang kemudian terjadi, ikut mempengaruhi daya saing kopi Indonesia secara internasional, dimana dalam lima tahun waktu pengamatan data penelitian (1997-2001) ekspor kopi mengalami pertumbuhan negatif. Dapat dipastikan bahwa menurunnya nilai ekspor kopi Indonesia akan mempengaruhi perolehan devisa dari sektor pertanian, serta turunnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi petani perkebunan kopi secara keseluruhan. Terdorong oleh adanya permasalahan ini, penulis tertarik untuk meneliti tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah pengembangan ekspor kopi Indonesia. Faktor-faktor apa saja yang menjadi leverage factors dalam usaha pengembangan ekspor kopi ke depan. Adapun metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda system dynamics. Metoda ini merupakan simulasi komputer untuk membentuk model yang mendekati kondisi nyata. Pemodelan dalam system dynamics ini terlebih dahulu dipahami melalui tahapan system thinking, yakni melalui pemahaman hubungan sebab akibat antara variabel di dalam unsur pengembangan ekspor kopi. Sesuai dengan hasil penelitian, tersusun suatu struktur model causal loop diagram untuk model supply-demand kopi dunia dan sub model ekspor kopi Indonesia. Berdasarkan causal loop diagram ini kemudian dibuat stock flow diagram untuk melihat interaksi antar variabel dalam suatu sistem organisasi supply-demand kopi dunia dan sub sistem ekspor kopi Indonesia yang dinamis. Melalui pengujian validasi model dan uji sensitivitas diperoleh leverage factors untuk pengembangan ekspor kopi Indonesia, yaitu variabel yang amat sangat sensitif adalah ekspor produk turunan, kemudian sangat sensitif adalah kebijakan non retensi dan fraksi produksi, sedangkan yang sensitif adalah fraksi konsumsi, sementara fraksi kebijakan retensi dan distrosi suplly adalah kurang sensitif. Altematif strategi yang diambil untuk pemasaran ekspor kopi Indonesia ke depan adalah dengan melakukan diversifikasi produk dan pembukaan serta perluasan pasar diluar pasar retensi. Hal ini dinyatakan melalui alternatif strategi kebijakan fungsional dan alternatif strategi kebijakan struktural. Setiap strategi memiliki kegiatan pelaksanaannya, sedangkan urutan prioritas disesuaikan dengan tingkat sensitivitas dari setiap variabel. Penyelesaian suatu masalah dengan menggunakan tools system dynamics memang bukan mutlak sebagai satu-satu nya cara. Tetapi pendekatan system dynamics setidak-tidaknya memilih kemampuan dalam memetakan permasalahan ekspor kopi Indonesia secara lebih komprehensif.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12327
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kafi Handiko
Abstrak :
Tesis berusaha menelusuri dinamika tarik menarik antara kepentingan pasar yang dalam hal ini direpresentasikan oleh IMF dengan Lol - nya dan kepentingan kapitalisme kroni pada masa pemerintah Orde Baru tahun 1997-1998. Tanggal 31 Oktober 1997, pemerintah Orde Baru mulai mengundang keterlibatan IMF dalam upaya mengatasi krisis ekonomi. Ada semacam nostalgia, ketika pada tahun 1966, keterlibatan IMF berhasil mengatasi carut marut ekonomi, berupa hyperinflasi, warisan Rezim Orde Lama. Dengan kata lain, kredibilitas IMF sebagai lembaga keuangan internasional diperlukan untuk memulihkan kembali kepercayaan. Namun dengan keterlibatan IMF, krisis ekonomi di Indonesia justru semakin mendalam. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan. Pertama, mengapa dengan dilibatkanrya IMF dalam upaya pemulihan krisis ekonomi di Indonesia justru krisis semaki menghebat? Kedua, apakah dengan demikian kebijakan pemulihan ekonomi IMF tidak efektif untuk mengatasi krisis ekonomi di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan pertama kiranya perlu untuk melakukan kilas balik ke masa awal mula krisis dan bahkan jauh sebelum krisis melanda. Kalau kita refleksikan kembali krisis ekonomi tahun 1997 muncul karena akumulasi dan saling kait antara faktor eksternal dan faktor intenal. Secara eksternal bisa dikatakan bahwa krisis ekonomi 1997 memiliki karakter regional. krisis bermula dari efek penularan (contagious effect) atas krisis serupa yang terjadi di Thailand dan melalui pola domino krisis kemudian menyebabkan keruntuhan perekonomian negara-negara Asia yang lain termasuk Indonesia. Sedangkan secara internal, krisis sudah ada benih-benihnya di dalam struktur ekonomi politik Indonesia sendiri. Sistem kapitalisme kroni yang berlaku selama masa pemerintahan Orde Baru menjadi lahan persemaian yang subur bagi praktek-praktek KILN (Kolusi, korupsi dan nepotisme) yang merongrong fondamen ekonomi Indonesia sejak jauh hari sebelum munculnya krisis ekonomi. Selama masa sebelum krisis hal itu masih ditutupi oleh fenomena pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, namun begitu krisis datang hal itu nampak nyata sebagai kelemahan-kelemahan struktural yang harus diperbaiki. Pertanyaan kedua dengan demikian tetah secara sekilas terjawab. Efektif atau tidaknya program pemulihan ekonomi IMF tergantung dari sikap pemerintah Orde Baru sendiri. Memang resep-resep pemulihan ekonomi IMF nampak sebagai sebuah pil pahit yang harus ditelan. Namun itulah kenyataan yang harus dihadapi. Dan ternyata lemahnya komitmen pemerintah Orde Baru untuk menjalankan resep-resep ekonomi IMF, yang ditunjukan dengan diingkarinya butir-butir kesepakatan datam Loi, menimbulkan reaksi negatif pasar yang semakin mengurung Indonesia ke dalam krisis yang semakin luas dan datam. Dari data-data yang berhasil penulis kumpulkan membuktikan bahwa pemerintah Orde Baru kurang memiliki komitmen serius menjalankan program-program pemulihan ekonomi IMF, dengan adanya kasus-kasus, seperti: mobnas Timor, kartel perdagangan kayu lapis, BPPC, dan terakhir mengenai rencana penerapan CBA (Currency Board Sistem). Ketidakseriusan pemerintah Orde Baru dalam menjalankan resep-resep pemulihan ekonomi IMF menimbulkan reaksi negatif pasar yang ditunjukan dengan semakin melorotnya nilai tukar rupiah. Setelah pemerintah menjalankan resep IMF sejak November, kurs rupiah justru terus metemah. Pada akhir Desember 1997, kurs berada pada kisaran Rp. 6.247/US$. Sedangkan Januari 1998, kurs rupiah mencapai Rp 15.700/US$. Kondisi ini semakin tidak kondusif bagi upaya recovery ekonomi. Di lain pihak, lemahnya komitmen tersebut harus dibayar mahal dengan dipaksanya pemerintah Indonesia di bawah rezim Orde Baru untuk menandatangani Lol 15 7anuari 1998 dan Lol 10 April 1998. Keengganan pemerintah Orde Baru untuk menjalankan resep pemulihan ekonomi IMF bisa dikaitkan dengan keinginannya untuk tetap metindungi kepentingan-kepentingan ( vested interest) di sekitar tingkaran kekuasaan. Program-program pemulihan ekonomi IMF secara otomatis memang sangat berseberangan secara diametral dengan berbagai kepentingan ( vested interest) di sekitar kekuasaan. Vested interest tersebut berujud kepentingan bisnis dari orang-orang (baca: para kapitalis kroni) yang dilanggengkan oleh adanya sistem Kapitalisme Kroni.
Depok: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Hengky Gongkon
Abstrak :
Jatuhnya mata uang Bath Thailand merupakan awal dari krisis Asia yang selanjutnya menimpa Korea Selatan dan Indonesia. Won dan Rupiah depresiasi nilainya yang mengakibatkan kedua negara mengalami krisis yang sangat parah dan mengguncang sistem perekonomian kedua negara secara menyeluruh. Kedua negara meminta bantuan IMF untuk mengatasi krisis di negaranya. IMF sebagai lembaga keuangan internasional memberikan bantuan likuiditas terhadap negara-negara anggota. Program bantuan IMF diiringi dengan prasyarat yang harus dipenuhi oleh negara penerima bantuan. Prasyarat tersebut tertuang dalam nota kesepakatan yang disebut Letter of Intent (Lol). Butir-butir kesepakatan itu terkait dengan program reformasi yang mengandung nilai-nilai liberal. Tesis ini menggunakan konsep neo-liberal untuk menjelaskan butir-butir prasyarat yang direkomendasikan IMF terhadap kedua negara. Butir-butir prasyarat ini diantaranya : Kebijakan moneter dan fiskal ketat, kebijakan orientasi ekspor, liberalisasi sistem keuangan, penegakan iklim transparansi, restraIrturisasi dan privatisasi, serta deregulasi kebijakan ekonomi yang berorientasi terhadap nilai-nilai pasar bebas. Kebijakan moneter dan fiskal ketat yang direkomendasikan IMF terhadap kedua negara menyebabkan kondisi ekonomi kedua negara semakin terpuruk. Nilai mata uang (kurs) semakin terdepresiasi, cadangan devisa semakin menipis, dan besarnya biaya sosial yang harus ditanggung oleh kedua negara seperti semakin tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan serta instabilitas politik. Teori developmental state digunakan dalam tesis ini untuk menjelaskan pengaruh peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik dan ekonomi terhadap proses pemulihan ekonomi di kedua negara. Teori ini menjelaskan peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik ditujukan untuk menciptakan stabilitas, dan peran aktif pemerintah dalam aspek ekonomi ditujukan untuk mempercepat perturnbuhan ekonomi. Kredibilitas dan kepekaan terhadap krisis, yang terkait dengan konsistensi, kejelasan motivasi, tranparansi, keseriusan dalam reformasi, pentingnya stabilitas jangka pendek, serta kebijakan yang cenderung memihak rakyat kecil merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terciptanya stabilitas. Restrukturisasi sektor keuangan dan korporasi secara bijak, seperti terdapatnya mekanisme aturan yang jelas, tindakan cepat dalam merestrukturisasi hutang swasta, dan rnemperbaiki kinerja manajemen merupakan faktor-faktor yang pempercepat bangkitnya kembali sektor dunia usaha. Asumsi dalam tesis ini, jika kondisi stabil dan sektor dunia usaha dapat bangkit kembali maka proses pemulihan ekonomi akan berjalan dengan cepat. Jenis penelitian dalam tesis ini adalah eksplanatit di mana menghubungkan dua variabel dengan menggunakan teori-teori sebagai alat untuk menganalisa hubungan kousal yang terjadi. Diteliti keterkaitan hubungan antara peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik dan ekonomi terhadap proses pemulihan ekonomi di kedua negara. Dalam interaksinya dengan IMF, peran aktif pemerintah Korea Selatan dalam aspek sosial-politik dan ekonomi menyebabkan kondisi stabil tetap terjaga dan peran aktif pemerintah dalam aspek ekonomi menyebabkan sektor dunia usaha cepat bangkit kembali. Tesis ini membuktikan, dalam berinteraksi dengan IMF, diperlukan peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik dan ekonorni agar kondisi stabil tetap terjaga dan sektor dunia usaha dapat bangkit kembali dengan cepat. Terbukti, dengan kondisi politik yang stabil dan bangkit kembalinya sektor dunia usaha menyebabkan Korea Selatan lebih cepat pulih dan krisis dibandingkan Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gobel, Ruddy Kaharudin
Abstrak :
Krisis ekonomi yang berlangsung sejak tahun 1997, ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Depresiasi tersebut adalah merupakan yang paling parah diantara negara-negara yang terkena krisis lainnya. Sekalipun persoalan krisis ekonomi sangat kompleks, pemerintah dan dengan dukungan IMF, menerapkan kebijakan tight money policy dengan tingkat bunga tinggi untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kebijakan tersebut di lakukan secara ekstrem dengan menaikkan level tingkat bunga sampai kisaran 70 persen dan dilakukan dalam periode yang sangat lama (3 tahun). Akan tetapi, hasil analisis dalam tesis ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak efektif dilakukan dan bahkan memberikan dampak sebaliknya. Sebab gagalnya kebijakan tersebut adalah inflasi yang tidak terkontrol dan tidak signifikan dipengaruhi oleh variabel-variabel moneter, melainkan hanya dipengaruhi oleh ekspaktasi yang berlebihan terhadap membuniknya krisis ekonomi. Sebab lain kegagalan kebijakan tersebut adalah kondisi perbankan yang tidak sehat serta adanya kecenderungan nilai tukar yang dipengaruhi oleh variabel non moneter seperti political announcement.
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T20645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setyo Wahyudi
Abstrak :
Pada masa sekarang ini, industri perbankan nasional mulai melakukan recovery setelah beberapa dekade sebelumnya mengalami krisis sejak pertengahan tahun 1997, diawali dengan terjadinya krisis moneter, akibat dari jatuhnya nilai rupiah terhadap valuta asing sehingga neraca pembayaran menjadi negatif, lalu diikuti krisis perbankan, krisis ekonomi, krisis sosial, krisis kepercayaan dan akhirnya krisis politik. Selanjutnya di bidang perbankan Pemerintah melakukan suatu kebijakan untuk mengatasi krisis perbankan tersebut, antara lain : melikuidasi 16 bank, membentuk BPPN untuk menyehatkan bank-bank, tindakan membekukan bank-bank bermasalah, take over bagi bank yang masih bisa diselamatkan, merger dsb. Diantara kebijakan pemerintah tersebut yang dianggap menarik bagi penulis adalah Pengumuman Pemerintah pada tanggal 21 Agustus 1998 mengenai mergernya empat bank pemerintah menjadi Bank Mandiri, Kredit bermasalah empat bank tersebut diserahkan ke AMU-BPPN, sementara Bank BRI khusus menangani KUK dan bisnis ritel banking untuk mendukung pengembangan usaha kecil dan koperasi. Seperti kita ketahui bersama bahwa pangsa pasar ritel banking saat ini merupakan pasar bagi semua perbankan, mengingat ketangguhannya pada saat krisis moneter, sehingga menjadi pasar yang menarik minat bagi seluruh perbankan nasional, bahkan bank yang berstatus "corporate banking" pun masuk juga ke pasar ritel. Berdasarkan kondisi tersebut diatas PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dituntut untuk bersaing, mengembangkan bisnisnya dan tetap eksis dalam percaturan bisnis ritel banking terutama dalam meningkatkan kredit ritelnya. Untuk melakukan strategi pemasaran kredit ritel tersebut, maka di sini Bank BRI perlu melakukan suatu analisis. Analisis SWOT akan memberi informasi mengenai : kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, setelah dilakukan tabulasi dengan menggunakan bobot dan skala, maka akan didapatkan posisi dalam matrik SWOT untuk menentukan grand strategy apa yang harus dilakukaa Dengan melakukan analisis kinerja industri perbankan nasional, seperti : CAR, NPL, ROA, ROE, NIM, BOPO, LDR dan rasio-rasio lainnya, maka akan didapatkan posisi Bank BRI dalam peta persaingan perbankan nasional. Selanjutnya dengan melakukan analisis STP (Segmentation, Targeting, Positioning), akan didapatkan suatu gambaran mengenai segmen, target serta posisi apa dan bagaimana produk kredit ritel Bank BRI di benak calon nasabah maupun nasabahnya, sehingga pemasaran kredit ritel tersebut - sebagai implementasi strategi fungsional, dapat mencapai tepat pada sasarannya
In this time, national banking industry starts to recover after hit by crisis since the middle of the year 1997 a few decades before, in which started by monetary crises caused by the fall of rupiah value to the foreign currency until the balance of payment become negative. The crises then followed by banking crisis, economy crisis, social crisis, believe crisis, and then politic crisis. Then in the banking field, the government make a regulation to overcome the banking crises, which are: liquidate 16 banks, create BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional - Indonesian Banking Restructuring Agency) to recover the banks, liquidate banks with problems, take over for the banks that can still be saved, merger, and so on. Between those regulations, one that interesting to the writer is that the government announcement on 21 August 1998 about the merger of four public banks to become Bank Mandiri. Credit problem of those four banks was given to AMU (Asset Management Unit) BPPN, while Bank BRI handle KUK (Kredir Usaha Kecil - small business credit) and banking retail business to carry the developing of small business and cooperation. As we know together that nowadays, the segment of retail banking market is a market for all banking, considering that its strength during monetary crisis, hence become an interesting market for all national banking, in fact banks with status as "corporate banking" also get in to this retail market. Based on above condition PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk is demanded to compete, developing its business and still exist in the field of banking retail business, especially in increasing its retail credit To implement the strategy of the retail credit marketing, Bank BRI need to make an analysis. SWOT analysis will give information about strength, weakness, opportunity, and threat. After doing tabulation using weight and scale, will be drawn a position in SWOT matrix to decide what grand strategy to be done. By doing national work industry banking analysis, such as: CAR, NPL, ROA, ROE, NIM, BOPO, LDR, and others ratio, so would be got Bank BRI position in national banking competitiveness map. Then, by doing STP (Segmentation, Targeting, Positioning) analysis, will be resulted a picture about segment, target, and what position, and how Bank BRI retail credit product seen by applicant customer or its customer, until the retail credit marketing, as functional strategy implementation, can reach its real target.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library