Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
David
Abstrak :
Latar Belakang. Sejak laporan pertama ensefalitis antireseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) pada 2007, prevalensi ensefalitis autoimun (EA) serupa dengan ensefalitis infeksi (EI). Sayangnya, heterogenitas klinis EA, serupanya klinis dengan EI, penyakit autoimun seperti neuropsikiatrik lupus eritematosus sistemik, atau penyakit psikiatrik menjadi tantangan deteksi awal dan tatalaksana EA. Keterlambatan berhubungan dengan perburukan luaran, sedangkan kekurang-tepatan menerapi EI sebagai EA dapat mengeksaserbasi infeksi. Studi ini bertujuan mengenali karakteristik EA, khususnya ensefalitis antireseptor NMDA definit sebagai EA tersering, di era keterbatasan ketersediaan penunjang definitif di Indonesia. Metode. Studi kohort retrospektif dengan rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dilakukan pada curiga EA yang menjalani pemeriksaan antireseptor NMDA cairan otak sejak Januari 2015-November 2022. Karakteristik klinis dan penunjang EA, EA seropositif NMDA, dan luarannya dinilai. Analisis univariat dan bivariat dilakukan sesuai kebutuhan. Hasil. Dari 102 subjek yang melalui kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat 14 EA seropositif dan 32 seronegatif NMDA. Temuan klinis EA terbanyak adalah gangguan psikiatri dan tidur (85,7%), gangguan kesadaran (78,3%), prodromal (76,1%), dan bangkitan (70,6%). Karakteristik penunjang EA adalah inflamasi sistemik (75,0%), inflamasi cairan otak (69,2%), abnormalitas MRI (57,9%) dominan inflamasi (42,2%), dan abnormalitas EEG (89,5%). Karakteristik klinis EA seropositif NMDA adalah psikosis (76,9% vs 24,1%, p=0,002), delirium (71,4% vs 40,6%, p=0,06), bangkitan (71,4% vs 46,7%, p=0,12), takikardia (55,6% vs 17,6%, p=0,08), dan gangguan otonom lainnya (55,6% vs 23,5%, p=0,19), sedangkan klinis EA seronegatif NMDA adalah somnolen (34,4% vs 7,1%, p=0,07) dan defisit neurologis fokal (31,3% vs 7,1%, p=0,13). Leukositosis dan pleositosis cairan otak dengan dominasi mononuklear secara signifikan lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Sebanyak 10,9% subjek meninggal. Kesimpulan. Karakteristik klinis EA adalah gangguan psikiatri dan tidur, gangguan kesadaran, prodromal, dan bangkitan. Psikosis, delirium, bangkitan, dan disfungsi otonom cenderung lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Inflamasi sistemik, cairan otak, MRI, dan abnormalitas EEG sering ditemukan pada EA, terutama seropositif NMDA.  ......Background. Since the first report of N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR) encephalitis in 2007, the prevalence of autoimmune encephalitis (AE) was similar to infectious encephalitis (IE). Unfortunately, heterogenities of EA as well as similarities in the manifestation to IE, other autoimmune diseases including neuropsychiatric systemic lupus erythematosus, or psychiatric diseases compromised the early detection and management of EA. This delay correlated with worse outcome whereas the inaccuracy in treting IE as AE may exacerbate infection. This study aimed to describe the characteristics of EA, particularly definitive NMDAR encephalitis as the most common, in the era of limited availability of definitive ancillary test in Indonesia. Methods. Retrospective study using medical records at Dr. Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital was conducted for suspected EA cases tested for cerebrospinal fluid NMDAR autoantibody test from January 2015 to November 2022. Clinical, ancillary characteristics, and concordance between clinical diagnosis and diagnostic criteria were assessed. Univariate, bivariate, and multivariate analysis were perfomed as needed. Result. Of 102 subjects following inclusion and exclusion criteria, there were 14 seropositive and 32 seronegative NMDA subject. Clinical characterstics of AE were psychiatric and sleep disorder (85,7%), altered consciousness (78.3%), prodromal (76.1%), and seizure (70.6%). Ancillary characteristics of AE were systemic inflammation (75.0%), cerebrospinal fluid inflammation (69.2%), MRI abnormalities (57.9%) with inflammatory predominance (42.2%), and EEG abnormalities (89.5%). Seropositive NMDA characteristics were psychosis (76.9% vs 24.1%, p=0.002), delirium (71.4% vs 40.6%, p=0.06), seizure (71.4% vs 46.7%, p=0.12), tachycardia 955.6% vs 17.6%, p=-0.08), and other autonomic disorder (55.6% vs 23.5% p=0.19) whereas seronegative NMDA characteristics were somnolence (34.4% vs 7.1%, p=0.07) and focal neurologic deficit (31.3% vs 7.1%, p=0.13). Leukocytosis and cerebrospinal fluid pleocytosis with mononuclear predominance were significantly found in seropositive NMDA AE. The mortality rate was 10.9%. Conclusion. Clinical characteristics of AE were psychiatric and sleep disorder, altered consciousness, prodromal, and seizure. Psychosis, delirium, seizure, and autonomic dysfunction tended to be found in seropositive NMDA AE. Inflammation in systemic, cerebrospinal fluid, and MRI findings as well as EEG abnormalities commonly occurred in AE, especially seropositive NMDA.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lucyana
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Ensefalitis pada anak lebih sering dijumpai daripada dewasa dan luaran buruk terjadi pada 60% subjek yang terkena. Hingga saat ini belum ada data mengenai profil dan luaran pasien ensefalitis anak di Indonesia. Tujuan: Mengetahui profil dan luaran pasien ensefalitis akut pada anak Metode: Penelitian retrospektif ini menggunakan data rekam medis tahun 2014- 2018 di 3 rumah sakit pendidikan (RSCM, RSU Tangerang, RSUP Fatmawati). Gejala klinis awal, pleositosis CSS, abnormalitas neuroimaging, abnormalitas elektrofisiologis (EEG) dicatat dan luaran dinilai saat pasien pulang/meninggal dan dinyatakan sebagai luaran baik atau buruk. Hasil: Terdapat 657 pasien yang memenuhi kriteria ICD X sesuai kriteria inklusi dari 3 rumah sakit, dan data dari 190 subjek dianalisis dalam penelitian ini. Subjek penelitian didominasi oleh anak usia > 1 tahun (83%). Kejang didapatkan pada 87% subjek yang diteliti dan 80%nya merupakan kejang umum. Defisit neurologis fokal terdapat pada 47% subjek (90 pasien). Pemeriksaan penunjang yang menunjukkan abnormalitas tertinggi adalah EEG (90%). Kriteria diagnostik probable terpenuhi pada 62% subjek. Mortalitas didapatkan pada 23% subjek, dengan proporsi terbanyak berasal dari RSU Tangerang. Kejang fokal dan usia > 1 tahun merupakan faktor risiko yang berperan meningkatkan luaran buruk saat pulang 3 kali lipat (p: 0,006 dan p: 0,03). Simpulan: Profil ensefalitis akut pada anak lebih banyak dijumpai pada usia > 1 tahun, dengan gejala yang sering dijumpai saat awal adalah demam, dan kejang. Pemeriksaan penunjang EEG adalah pemeriksaan tertinggi yang menunjukkan hasil positif pada pasien dugaan ensefalitis. Kejang fokal dan usia > 1 tahun merupakan faktor risiko luaran buruk.
ABSTRACT
Introduction: Encephalitis in pediatric population is more frequent than adult. The outcome has been reported to have poor prognosis in 60% of cases. No data of peidatric encephalitis in Indonesia has been reported yet. Objectives: Evaluate pediatric acute encephalitis profile and factors that influence its outcome. Methods: This retrospective research used medical records data from year 2014- 2018 in 3 teaching hospitals (RSCM, RSU Tangerang, RSUP Fatmawati). We documented clinical presentation at admission, pleocytosis CSF, neuroimaging abnormality, electrophysiologic abnormality (EEG), and outcome at discharge which classified as good vs. poor outcome. Results: Among 657 patients identified using ICD X in all 3 hospitals, there were a total of 190 subjects included in this study. Eighty three percent of subjects aged > 1 years. Seizure was present in 87% subjects, and 80% of those subjects experienced generalized seizure. Focal neurological deficits was shown in 47% subjects (90 patients). Among investigation, EEG shown positive results in 90% examined subjects, while CT scan were the most prevalent. We found probable diagnostic criteria in majority of subjects (62%). Mortality was 23%, and RSU Tangerang was the major contributor. Focal seizure and age > 1 year were the risk factors associated with 3 times increased risk of poor outcome (p: 0,006 and p: 0,03). Conclusions: Age > 1 year is more prevalent in pediatric acute encephalitis. Among most common clinical presentation are fever and seizure. Abnormal EEG finding in suspected encephalitis cases give the most positive result. Focal seizure and age > 1 year were the risk factors for poor outcome
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anja Hesnia Kholis
Abstrak :
[ABSTRAK
Meningitis dan ensefalitis merupakan infeksi sistem saraf pusat yang dapat mengancam jiwa. Apabila tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan defisit neurologis dan berdampak pada kehidupan sehari-hari. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi secara mendalam pengalaman hidup pasien postmeningitis dan ensefalitis terkait kualitas hidupnya. Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi pada delapan partisipan ini ditentukan dengan teknik snowball sampling. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam dan catatan lapangan. Analisis data menggunakan metode Collaizi. Tema yang ditemukan adalah perubahan fungsi tubuh pasien, masalah sosial yang dihadapi pasien postmeningitis dan ensefalitis, strategi koping pasien, kebutuhan akan support system pasien, dan pengalaman pasien selama menerima pelayanan kesehatan. Hasil penelitian diharapkan sebagai data dasar pengembangan format pengkajian asuhan keperawatan dan instrumen kualitas hidup neuroinfection.
ABSTRACT
Meningitis and encephalitis are life-threatening infection of the central nervous system. If it is not treated properly, will lead to neurological deficits and impact on daily life. The purpose of this study was to explore the life experiences of postmeningitis and encephalitis patients related to their quality of life. Qualitative research with phenomenological approach on eight participants involved were determined by snowball sampling technique. The data was collected by in-depth interviews and field notes. Collaizi?s method was used to data analysis. The results of this investigation were: the changes body function of patients; the social problems faced by post-meningitis and encephalitis patients; the coping strategies of patients; the need support system of patients, and the experience patients during receiving health care. The study findings are expected to be the basic for both the development of nursing care assessment form and instrument of neuroinfection related to quality of life., Meningitis and encephalitis are life-threatening infection of the central nervous system. If it is not treated properly, will lead to neurological deficits and impact on daily life. The purpose of this study was to explore the life experiences of postmeningitis and encephalitis patients related to their quality of life. Qualitative research with phenomenological approach on eight participants involved were determined by snowball sampling technique. The data was collected by in-depth interviews and field notes. Collaizi’s method was used to data analysis. The results of this investigation were: the changes body function of patients; the social problems faced by post-meningitis and encephalitis patients; the coping strategies of patients; the need support system of patients, and the experience patients during receiving health care. The study findings are expected to be the basic for both the development of nursing care assessment form and instrument of neuroinfection related to quality of life.]
2015
T44547
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hening Tirta Kusumawardani
Abstrak :
Latar Belakang : Ensefalitis adalah suatu infeksi cairan otak atau proses peradangan yang melibatkan parenkim otak yang berasosiasi dengan bukti klinis disfungsi otak (Gilroy, 2000). Ensefalitis masih merupakan masalah kesehatan yang serius, sehingga memerlukan diagnosis awal, terapi yang efektif, dan kontrol terhadap penanganannya. Di Indonesia infeksi susunan saraf pusat menduduki urutan ke-10 dari urutan prevalensi penyakit, dengan angka kematian anak ensefalitis berkisar antara 18-40% dengan angka kecacatan berkisar antara 30-50% (Saharso dan Hidayati, 2000). Keterlambatan dan penanganan yang tidak optimal dapat memperparah keadaan sehingga dapat menyebabkan kematian dan kecacatan pada pasien. Penelitian tentang skoring prognosis ensefalitis akut pada pasien anak belum pernah dilakukan. Sehingga penelitian ini akan membuat suatu model prognostik yang akan memprediksi luaran pasien anak dengan ensefalitis. Metode : Penelitian kohort retrospektif dengan data sekunder rekam medis. Data yang terdiri dari beberapa variabel yang dikumpulkan secara retrospektif dari catatan medis pasien. RS di Jawa Tengah, Indonesia. Pengambilan data dilakukan pada bulan Oktober- November 2014. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 299 pasien. Analisis yang dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat, dan analisis multivariate cox proportional hazard dengan model matematis yang selanjutnya akan dibuat model skoring. Analisis roctab digunakan untuk menentukan nilai cut-off setiap variabel numerik. Hasil : Variabel kejang, tingkat kesadaran, dan status gizi merupakan faktor protektif outcome, sedangkan variabel peningkatan tekanan intrakranial, kadar elektrolit natrium dan klorida, serta terapi diuretik merupakan faktor resiko untuk terjadinya outcome kematian pada pasien ensefalitis anak.Berdasarkan hasil analisis multivariat skoring didapatkan urutan faktor prognostik yang dominan menyebabkan kematian, yaitu peningkatan tekanan intrakranial (HR = 9.6, skoring 16), hiperklorida (HR = 1.5, skoring 6), terapi diuretik (HR=0.2, skoring 4), status gizi (HR=0.7, skoring 1), frekuensi kejang (HR=0.3, skoring -3), hipernatremia (HR=0.7, skoring -4), dan tingkat kesadaran yang dinilai dengan pediatric coma scale (HR=0.8, skoring -6). Dari hasil multivariat yang telah dilakukan sebelumnya, apabila skor <-108 tidak ada resiko untuk mengalami kematian, skor -54 s/d -39.9 resiko rendah untuk mengalami kematian, skor -40 s/d -24.0 resiko sedang untuk mengalami kematian, dan skor >-25 adalah resiko tinggi untuk mengalami kematian. Kesimpulan : Model skoring prognosis yang telah terbentuk ini mampu memprediksi 81% faktor yang berhubungan dengan prognosis ensefalitis. Apabila dari 100 anak ensefalitis dengan adanya semua variabel pembentuk model skoring maka 73 anak akan di prediksi meninggal dan apabila dari 100 anak ensefalitis tanpa adanya semua variabel tersebut maka 27 anak akan meninggal.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42895
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Afriani
Abstrak :
Analisis praktik residensi keperawatan medikal bedah merupakan karya ilmiah akhir ners spesialis. Analisis ini terdiri dari asuhan keperawatan pada gangguan sistem neurologi dengan kasus utama toksoplasmosis ensefalitis dan 30 kasus resume menggunakan pendekatan model adaptasi Roy, penerapan evidence based nursing tentang latihan motor imagery untuk meningkatkan keseimbangan pasien stroke, penerapan proyek inovasi tentang edukasi berbasis audio visual (video) perawatan pasien post kraniektomi. Teori model adaptasi Roy bertujuan untuk memodifikasi dan mengubah stimulus sehingga pasien dapat adaptif terhadap kondisi kesehatannya. Toksoplasmosis ensefalitis merupakan salah satu kasus emergensi neurologi pada HIV yang memerlukan penatalaksanaan yang serius. Latiham motor imagery dapat meningkatkan keseimbangan pada pasien stroke, dapat dilanjutkan di rumah secara teratur oleh pasien untuk membantu proses rehabilitasi. Edukasi berbasis audio visual (video) perawatan pasien post kraniektomi dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pasien dan keluarga dalam merawat pasien post kraniektomi untuk mencegah terjadinya komplikasi dan membantu proses penyembuhan.
Analysis of the practice of residency in medical surgical nursing is the final scientific work of specialist nurses. This analysis consisted of nursing care in neurological system disorders with the main cases of toxoplasmosis encephalitis and 30 cases of resumes using Roy's adaptation model approach, the application of evidence based nursing about motor imagery exercises to improve the balance of stroke patients, the application of innovation projects on audio-visual (video) based education treatment of post craniectomy patients. Roys adaptation model theory aims to modify and change stimulus so that patients can be adaptive to their health conditions. Toxoplasmosis encephalitis is one of the neurological emergency cases in HIV that requires serious management. Motor imagery exercises can improve balance in stroke patients, can be continued at home regularly by patients to assist the rehabilitation process. Audio visual (video) based care for post craniectomy patients can improve the knowledge and skills of patients and families in treating post craniectomy patients to prevent complications and help the healing process.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library