Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asep Supriadin
Abstrak :
Salah satu upaya untuk mencegah dan mengurangi pencemaran yang disebabkan ofeh aktivitas perkantoran adalah dengan menerapkan manajemen lingkungan dari ISO 14000 di lingkungan perkantoran melalui program eco-office atau green office. Eco-office adalah salah satu upaya yang efektif untuk rnewujudkan efisiensi penggunaan sumberdaya sekaligus menjadikan komunitas ramah lingkungan. Ecaoffce sebagaimana sifat dari suatu standar ini bersifat umum sehingga dapat diterapkan di berbagai jenis perkantoran seperti kantor pemerintahan pusat maupun daerah, swasta, publik atau privat, kantor besar dengan jumlah karyawan yang banyak maupun kantor kecil dengan karyawan beberapa orang saja. Tujuan dari penelitian ini, pertama adalah mendapatkan baseline data mengenai faktor-faktor penerapan Program eco-office seperti konsumsi energi, konsumsi air bersih, pengadaan barang, penggunaan kertas/stationery, upaya pengurangan timbulan sampah dan pengolahannya, dan penggunaan kendaraan. Data tersebut akan digunakan menjajaki kemungkinan penerapan eco-office di lingkungan kantor pemerintahan. Kedua adalah untuk mengkaji penerapan era-office di kantor yang menentukan kebijakan lingkungan dibandingkan kantor yang bukan penentu kebijakan lingkungan. Untuk studi kasus dipilih Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Hipotesis penelitian yang diajukan adalah 1) Jika konsep eco-office dapat diterapkan di setiap perkantoran di Indonesia, maka dapat menghemat penggunaan energi dan air, dan jumlah sampah yang dihasilkan dapat direduksi; 2) Kantor penentu kebijakan lingkungan akan lebih banyak menerapkan aspek eco-office dibandingkan dengan kantor yang bukan penentu kebijakan lingkungan. kWh/orang/bulan. Konsumsi listrik di KPDT rata-rata pada dari bulan Pebruari-Desember 2004 adalah 76036,4 kWh perbulannya dan rata-rata perorang tiap bulannya adalah 337,94 kWh/orang/bulan; 3) Pengadaan Barang: Pengadaan barang di KLH dan KPDT yang dipenuhi oleh Bagian Kerumahtanggaan hanya bersifat pengadaan rutin sedangkan untuk kebutuhan suatu proyek tertentu dipenuhi masing-masing; 4) Konsumsi Kertas: Konsumsi kertas perorang tidak dapat diketahui karena tidak ada informasi yang jelas jumlah pengadaannya, karena tersebar di tiap-tiap unit kerja berdasarkan kebutuhan nyata/proyek. Pegawai di kedua kantor rata-rata terlibat aktif dalam pengurangan jumlah sampah kertas. Manajemen penggunaan kertas lebih banyak menggunakan prinsip reuse, 5) Timbulan Sampah dan Pengelolaannya: Rata-rata timbulan sampah perhari 972,6 Titer/hari di KLH dan 165,4 liter/hari di KPDT. Jadi rata-rata tiap prang menghasilkan sampah 1,273 liter/prang/had di KLH dan 0,735 liter/orang/hari di KPDT. Sosialisasi pemilahan sampah pemah ada di KLH dan fasilitas tempat sampah berdasarkan jenisnya juga tersedia, akan tetapi belum berjalan semestinya. Sudah tersedia fasilitas pengomposan dan program pengomposan. Di KPDT belum ada sosialisasi tersebut dan fasilitas tempat sampahnya masih disatukan; 6) Penggunaan Kendaraan: KLH mempunyai kebijakan pengujian emisi kendaraan pegawainya, sedangkan di KPDT belum ada; 7) Persepsi Pegawai: Pegawai di masing-masing kantor memberikan respon dan persepsi yang baik pada konsep eco-office. Kesimpulan dari studi kasus ini yaltu: 1) Kebijakan lingkungan yang secara khusus dikeluarkan berkenaan dengan pelaksanaan eco-office belum ada, balk di KLH maupun di KPDT. Di KLH kebijakan iingkungan mengenai eco-office ini bare dirumuskan dan masih dalam tatanan konsep yang akan segera diformulasikan menjaadi suatu kebijakan 2) Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa KLH sebagai institusi penentu kebijakan lingkungan hidup mempunyai kelebihan dari KPDT dalam beberapa aspek eco-office yaitu kebijakan pengelolaan lingkungan kantor, jumlah pemakaian air bersih dan listrik, pengelolaan sampah, program uji emisi kendaraan. Saran-saran: 1) Pembuat kebijakan di tiap kantor dapat segera menerapkan program eco-office sebagai upaya kesadaran terhadap lingkungannya dengan prioritas pada konservasi energi dan air bersih serta reduksi timbulan sampah perkantoran. Konsep SML pada ISO 14001 dapat menjadi rujukan untuk pengembangan yang berkelanjutan; 2) Penyediaan fasilitas tempat sampah yang memadai dan terdistribusi secara merata berdasarkan jenisnya disertai dengan pelabelan yang jelas, sosialisasi yang baik serta pengawasannya yang kontinyu; 3) Penyediaan tempat sampah khusus untuk kertas (paper bin) di setiap sumber penghasilnya seperti dekat mesin fotokopi dan printer; 4) Berkenaan dengan penghematan energi maka perlu diupayakan pengaturan waktu penggunaan elevator/lift pada jam jam tertentu untuk menghemat penggunaan energi listrik, penyetelan mode stand by pada tiap komputer, mematikan listrik di ruangan pada saat istirahat atau tidak ada prang, reformulasi arsitektural dengan mempertimbangkan kelimpahan energi terbaharukan dan konsep green building, 5) Menurut pengamatan visual maka terjadi ketidakefisienan dari pemakaian AC yang disebabkan oleh sistem penyekatan ruangan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan sistem penyekatan ruangan dengan mempertimbangkan hal tersebut; 6) Untuk mengurangi jumlah sampah, maka penggunaan kertas perlu menjadi perhatian khusus tenatama dengan membudayakan penggunaan double sided dan paradigma 3R dengan mengutamakan tahapan reduce, reuse dan recycle. Dengan dihubungkan saran ke-3 maka pengefolaan sampah kertas terpisah dari sampah Iainnya. Untuk keperiuan makan-minum pada saat ada kegiatan seminar, sidang, rapat, daan lain-lain disediakan dengan sistem perasmanan; 7) Penerapan eco-office menyentuh masalah teknis dan pengelolaan melalui Sistem Manajemen Lingkungan maka berkenaan dengan INPRES No.5 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi sebaiknya pemerintah menerapkan secara komprehensif dengan mendukung terciptanya eco-oft ceaeco-project-eco-city.
The implementation of environment management from ISO 14000 through eco-office or green office will be one of pollution prevention and reduction effort in office activities. Eco-Office is an effective effort to establish resources efficiency and environmentally communities. Eco-Office can implement in various office activities including central and regional government office, private sector office as well as big and small office. The objective of research are as follow, first, to collect data baseline in regard to eco-office implementation factor e.g. energy and clean water consumption, material supplying use of paper/stationery, waste and its handling and, vehicle use. The data will be use for possibility of implementation of eco-office program in government offices. Second, to investigate eco-office implementation in office that issued environmental regulatory compared to another office. The State Ministry of Environment (KLH) and The State Ministry of Less Developed Region (KPDT) have been chosen for this case study. The purpose of research hypothesis are 1) if concept of eco-office is applied to office in Indonesia, energy and clean water consumption can be minimized and reduction of waste generation; 2) the office that issued environmental regulatory should be applied better eco-office aspects rather than another office. The results of research from each office show that 1) water consumption: average KLH's water consumption in 2004 is 1818,83 m3 per month or 2,3807 m3/person, whereas the average of clean water consumption in KPDT from June 2004 to March 2005 is 1962,3 m3 per month or 8,7213 m3/person; 2) energy consumption: average KLH's electrical consumption in 2004 is 167200 kWh per month or 218,85 liter/person in KPDT. Publication of waste separation has been applied in KLH and waste disposal facilities are also available for each type of waste, however this program didn't work properly. Composting facility and its program has been established. Whereas in KPDT both of them were not applied yet; 6) vehicle use: transportation emission test has been implemented for employing KLH, however it is not done in KPDT; 7) employees perception: employees in both of offices have given a positive response and good perception to eco-office concept. The conclusion of this case study are as follow 1) especially in KLH or KPDT there ware no regulation of eco-office which implemented. But in KLH, they will establish the concept of eco-office to regulation 2) based on study it known that KLH was better efforts than KPDT in eco-office aspect e.g. regulatory of office environment, clean water and electric consumption, waste management, test of vehicle emission. Recommendations: 1) the policy authorized in each could be immediately implemented eco-office program as environmental effort awareness which conservation of water and energy, and waste minimize. EMS in ISO 14001 can be referenced to sustain development; 2) the facilities of waste disposal should be in good manner, distributed properly for its types of waste, and a clearly label, a good publication and monitoring; 3) specific waste disposal for paper is provided near to the source e.g. photocopier machine and printer; 4) management of elevator/lift use at certain time, establish stand by mode in all computers, turn off the lighting of room in rest time or if no one, architecture reformulation to use renewable energy and green building concept for electrics energy efficiency; 5) Visually, there are inefficiency of AC system caused by room partitioning system, thus it is necessary to modify the system; 6) reduction of waste amount that produced from food accomplishment at the seminar activity, conference, meeting of group, and others are provided by "prasmanan" and separately handling for waste paper, double sided printing, and implement the 3R principle; 7) implementation of eco-office is improved technically and its management from EMS aspects. Therefore the INPRES No. 5 of 2005 regarding Energy Efficiency should be comprehensively implemented by fully support ecooffice-ecoproject eco-city.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amiluddin Rabbi
Abstrak :
Berdasarkan dokumentasi yang ada, Kota Jakarta dilanda banjir pada tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976,1996, 2002 dan terakhir di tahun 2007 ini. Banjir di DKI Jakarta yang terjadi pada tahun 1996, 2002 dan 2007 selain menggenangi hampir seluruh penjuru kota juga menjadi tragedi nasional dan perhatian dunia. Banjir besar ini dipercaya sebagai banjir lima tahunan yang akan berulang setiap lima tahun. Mencermati persoalan banjir di DKI Jakarta, paling tidak harus meliputi aspek teknis dan non teknis seperti, aspek kelembagaan, pendanaan penegakan hukum dan sosial (kesadaran masyarakat) yang harus dirumuskan bersama-sama stakeholders. Terjadinya banjir yang disertai dengan peningkatan dampak secara berulang kali mengisyaratkan pengelolaan lingkungan hidup di DKi Jakarta belum berjaian secara baik. Salah satu indikasinya ditunjukkan dengan kelembagaan yang terkait dengan pengendalian banjir belum mampu menyelesaikan permasalahan banjir yang sudah menjadi rutinitas di DKI Jakarta. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah menyusun konsep koordinasi antara institusi/lembaga yang terkait dengan pengendalian banjir melalui pemahaman tentang: (1) Peran lembaga yang terkait dengan pengendalian banjir di DKI Jakarta; (2) Pelaksanaan koordinasi antar lembaga yang terkait dengan pengendalian banjir di DKi Jakarta; (3) Unsur-unsur yang berpengaruh terhadap pelaksanaan koordinasi antar lembaga yang terkait dengan pengendalian banjir di DKl Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Ada tiga instrumen yang digunakan dalam penelltian ini, yaitu: (1) pengamatan melalui visualisasi; (2) pencocokan data dan wawancara; dan (3) telaah pustaka. Data yang diperoleh lalu dianalisis dengan menggunakan pendekatan arialisis interaktif dan strength, weaknesses, opportunities, dan threats (SWOT). Dari hasil penelitian ini ditarik suatu kesimpulan: 1. Peran lembaga yang terkait dengan pengendalian banjir di DKI Jakarta dapat dibedakan menjadi 2 (duo), yaitu: pertama, peran yang bersifat struktural (teknis), dengan menekankan pada pendekatan pembangunan secara fisik dan berkenaan langsung dengan sistem tata air seperti: mencegah meluapnya banjir sampai ketinggian tertentu dengan tanggul; merendahkan elevasi muka air banjir dengan normalisasi, sudetan, banjir kanal dan interkoneksi; memperkecil debit banjir dengan waduk, waduk retensi banjir, banjir kanal dan interkoneksi; mengurangi genangan dengan polder, pampa dan sistem drainase. Kedua, pengendalian banjir yang bersifat non struktural (non teknis), seperti peringatan banjir lebih dini; resettlement penduduk di dataran banjir dan sempadan sungai; restorasi (penataan ruang), reboisasi dan penghijauan kawasan penyangga; penyuluhan anti pentingnya potensi sumberdaya air (situ, sungai, dan mata air); pengentasan kemiskinan; manajemen pengendalian limbah (domestiklindustri); dan penegakkan hukum. Kedua bentuk peran tersebut saling terkait dan mendukung, namun kenyataanya peran yang bersifat struktural lebih dominan. Berbagai upaya pemerintah DKI Jakarta yang masih bersifat struktural (structural approach) ternyata belum sepenuhnya mampu menanggulangi masalah banjir yang terjadi. Dengan demikian, maka penanggulangan banjir yang biasa dilakukan dengan pembangunan fisik semata (structural approach) harus disinergikan dengan pembangunan non fisik (non-structural approach) yang menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya partisipasi masyarakat sehingga tercapai hasil yang lebih optimal. 2. Pelaksanaan koordinasi antar lembaga yang terkait dengan pengendalian banjir di DKI Jakarta belum efektif, karena berangkat dari tugas pokok dan fungsi yang berbeda-beda, selain itu juga disebabkan karena sifat koordinasinya interrelated, artinya koordinasi antar lembaga yang tingkatannya sama, tetapi secara fungsional berbeda namun satu dengan yang lain bergantungan atau mempunyai kaitan baik ekstem maupun ekstem. 3. Unsur-unsur yang berpengaruh secara internal, adalah (a) eksistensi organisasi perangkat daerah DKI Jakarta; (b) adanya kegiatan pengendalian banjir; (c) tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas; (d) dukungan sarana dan prasarana pengendalian banjir; (e) anggaran dan pendapatan belanja daerah (APBD) DKI Jakarta; (f) tidak adanya forum yang menjembatani koordinasi antar lembaga yang terkait; (g) koordinasi antar lembaga belum berjaian efektif; (h) peran kepemimpinan tidak berjalan dengan baik; (i) lemahnya penegakan hukum; (j) budaya kerja aparatur. Secara eksternal, yaitu (a) berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah; (b) keterlibatan sektor publiklswasta; (c) adanya program tahunan kali bersih (Prokasih); (d) terjadinya siklus tahunan banjir; (e) perubahan tata guna lahan dan tata ruang; (f) meningkatnya populasi penduduk DKI Jakarta; (g) minimnya kesadaran masyarakat; (i) permasalah banjir di DKI Jakarta bersifat lintas wilayah. Saran-saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) perlunya kesamaan persepsi antar stakeholder, terutama mengenai defenisi banjir; periode ulang banjir; dataran banjir; babas banjir; bantaran sungai; dan sempadan sungai; (2) lmplementasi kebijakan tata ruang secara konsisten dan pemberlakuan peraturan secara ketat; (3) perlunya pengendalian banjir secara terpadu dalam satu kesatuan daerah aliran sungai (restorasi ekologi); (4) pengendalian banjir yang meliputi aspek teknis, kelembagaan, pendanaan, penegakan hukum, dan aspek sosial perlu dirumuskan secara bersama-sama; (5) mengefektifkan situ-situ, sumur resapan dan drainase kota; (6) mengefektifkan program kali bersih (Prokasih); (7) resetllernent penduduk pengokupasi bantaran sungai; (8) koordinasi antar lembaga perlu diwadahi dalam suatu forum; dan (9) hasil penelitian ini perlu ditindak-lanjuti melalui penelitian secara komprehensif.
Based on the existing documents, Jakarta have had several floods in 1621, 1654 and 1918, and then in 1976, 1996, 2002 and the last of 2007. Floods in Jakarta occurred in 1996, 2002 and 2007 were not only stroke the city entirely; they were also national tragedy catching the eyes of the world. The big flood is believed to be relapsed once every five years. Studying the problems of flood in Jakarta, shall also includes technical and non-technical aspects, as well as institutional aspect, law enforcement funding, and social aspect (the community awareness) which shall collectively formulate by stakeholders. The flood occurrence which concurrent with the increase of impact indicates so many times that life environmental management in DKi Jakarta has not performed well yet. One of the indications is shown by flood management-related institutions that have not been able yet to settle the flood problem which has already been routine occurrence in Jakarta. Therefore, the aim of this research is to arrange the concept of coordination between flood management-related institutions by comprehending on: (1) The role of institutions associated with flood control in Jakarta; (2) The implementation of institutions coordination associated with flood control in Jakarta (3) The elements which is effecting the implementation of institutions coordination associated with flood control in Jakarta This research is using analytical descriptive method. There are three instruments used in this research; i.e.: (1) Observation through visualization; (2) The matching of data and interview; and (3) Library Research. The data obtained then was analyzed using interactive and strength, weaknesses, opportunities, and threats analysis. There is conclusion withdrawn from the research. first, the role of institutions associated with flood control in Jakarta can be differentiated into 2 (two), i.e.: first, structural (technical) role, by emphasizing on physical development approach and is directly concerned to water management system as well as: avoiding flood up to certain .height to the embankment, lowering the elevation of flood water surface by normalization, waterway diversions, flood channeling and interconnection; decreasing water dimension with dam, flood retention dam, channel flood and interconnection; decreasing inundation with polder, pump, and drainage system. Second, non-structural (non-technical) flood management, as well as flood early warning system; resettlement of the inhabitant dwelling on flood area and riverbank, restoration (spatial arrangement); reforestation of sustaining area; counseling on the importance of water resources (lake, river, and water spring); poverty annihilation; domestic/industrial waste management; and law enforcement. The both roles are inter-connected and inter-sustained, however the fact is that the structural role is dominating. various structural approaches of KI Jakarta Government are still not entirely able to overcome re-occurring flood problem. Therefore, the flood management which usually conducted solely by physical development (structural approach) shall be synergized by non-physical development (non-structural approach) which is providing wider space for community participation to reach more optimum results. Second, the implementation of coordination among institutions associated with flood control in Jakarta has not been effective yet, since it come from the main duty and different function, in addition, it is also caused by interrelated coordination, which means that coordination of inter-institutions in the same level, but functionally different with interdependent nature or having both intern and extern relation. Third, the elements which internally affected, i.e. (a) the existence of DKI Jakarta regional apparatus organization; (b) the presence of-flood-management activities; (c) availability of quality human resources; (d) support of flood management facilities and infrastructure; (e) DKI Jakarta regional budget and expense; (f) the absence of forum relating inter-related institution coordination; (g) ineffectiveness of inter-institutional coordination; (h) leadership role which is not funning well; (i) the weakness of law enforcement; (j) apparatus work behavior. Externally, i.e. (a) the effective of Act Number 32 of 2004 regarding Regional Government and Act Number 33 of 2004 regarding Financial Balance between Central and Regional Government; (b) involvement of private/public sector, (c) existence of annual clean river program (Prokasih); (d) occurrence of annual flood cycle; (e) alteration of land use and spatial arrangement; (f) increase of DKI Jakarta inhabitant; (g) low level of community awareness; (i) the flood problems in DKI Jakarta which still have cross-area in nature. The suggestions proposed in this research are: (1) the needs of similar perception between stakeholders, especially on flood definition, flood periodic occurrence, flood area; flood free area, riverbanks, and riverside; (2) implementation of spatial arrangement policy consistently and effecting tight regulation; (3) the needs of integrated flood management in a unity of river stream area (ecologic restoration); (4) flood management covering technical, institutional, funding, law enforcement aspects, and social aspect shall be collectively formulated; (5) make effective of lakes, absorbent wells and urban drainage; (6) make effective of clean river program (Prokasih); (7) resettlement of inhabitant occupying riverbanks; (8) inter-institutional coordination shall be accommodated in a forum; and (9) the result of this research shall be followed up through comprehensive research.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20477
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Subadi
Abstrak :
ABSTRAK Masalah lingkungan semakin menjadi sorotan terutama di negara maju. Demi pelestarian lingkungan, penerapan standar mutu lingkungan ISO 14000 mau tidak mau harus menjadi sesuatu hal yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan usaha suatu perusahaan. Untuk memperoleh sertifikasi ISO 14000 banyak organisasi -organisasi yang harus meluangkan lebih banyak waktu untuk melakukan program pengelolaan lingkungan. Hal yang menjadikan penting bagi konsumen, dimana mereka lebih dapat mengevaluasi apakah produk atau jasa yang mereka beli sudah dibuat secara sadar lingkungan. Penelitian ini ditujukan untuk melihat adanya hubungan secara kuantitatif melalui analisis regresi berganda pengaruh elemen-elemen ISO 14000 terhadap kinerja sistem manajemen lingkungan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang ditujukan kepada seluruh perusahaan-perusahaan yang telah mempunyai sertifikasi ISO. Dari total sampel tersebut dilakukan analisis statistik untuk akhirnya mendapatkan model regresi berganda tentang hubungan antara variabel-variabel elemen-lemen ISO 14000 terhadap kinerja sistem manajemen lingkungan. Dari hasil penelitian yang didapatkan bahwa peningkatan elemen-elemen ISO 14000 meningkatkan kinerja sistem manajemen lingkungan.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Zubaidah
Abstrak :
ABSTRAK Limbah padat rumah sakit termasuk dalam kelompok limbah bahan beracun dan berbahaya (limbah B3) berdasarkan PP No. 19/1995, karena adanya limbah yang dapat berpotensi menimbulkan penyakit infeksi (limbah infeksius). Pengelolaan limbah padat rumah sakit perlu mendapatkan perhatian terutama karena adanya limbah infeksius tersebut. Selain itu limbah rumah sakit juga dapat bersifat radioaktif, toksik/sitotoksik karena adanya bahan kimia yang berbahaya, ataupun bersifat seperti limbah domestik. Berdasarkan pengamatan penulis saat ini, limbah padat rumah sakit belum dikelola dengan baik. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pengelolaan limbah padat di RSCM, informasi tentang pengetahuan, sikap dan perilaku para pegawai dan petugas RSCM dalam pengelolaan limbah padat rumah sakit, serta informasi tenntang faktor-faktor yang berhubungan dengan pengelolaan limbah padat rumah sakit. Jenis penelitian adalah deskriptif analitis. Dipakai data primer dengan penyebaran kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan serta data sekunder untuk melengkapi data primer. Analisis data untuk pengetahuan, sikap dan perilaku pegawai dan petugas RSCM dilakukan dengan mengelompokkan dan memberi katagori terhadap data sebagai berikut : katagori baik, cukup, kurang dan kurang sekali dengan prosentase masing-masing 76%-100%, 56%-7S%, 40%-55% dan kurang dari 40%. Untuk pola penanganan limbah padat RSCM dilakukan dengan pengamatan langsung di tiap-tiap bagian pada setiap tahap pengelolaan (pewadahan, pengangkutan, pengolahan, pembuangan akhir). Alga dilakukan wawancara terhadap pihak terkait dengan pedoman wawancara berstruktur. Dilakukan pengamatan terhadap volume limbah yang dibuang ke TPA setiap harinya, kemudian dihitung volume rata-rata produksi limbah padat RSCM. Dari penelitian diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Pengetahuan responden terhadap limbah padat rumah sakit dan Cara pengelolaannya adalah baik, dengan nilai rata-rata berkisar antara 82%-93%. Sikap dan persepsi responden terhadap pengelolaan limbah padat RSCM adalah cukup baik, dengan nilai rata-rata berkisar antara 65% - 81% (untuk sikap) dan 70% - 81% untuk persepsi. 2. Terdapat hubungan positif antara pengetahuan dan sikap dari seluruh responden terhadap pengelolaan limbah padat. Data empiris menunjukkan hasil perhitungan nilai r hitung adalah 0,362 lebih besar dari r tabel pada taraf nyata 5 % maupun 1 % berdasar tabel harga kritik Product Moment Pearson. 3. Hasil pengamatan pola pengelolaan limbah padat RSCM adalah sebagai berikut : a. Belum dilakukan pemilahan untuk semua jenis limbah berdasarkan karakter limbah rumah sakit. b. Untuk limbah infeksius yang berasal dari ruang isolasi (pasien dengan penyakit infeksi) telah dilakukan pemilahan pada tahap?
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Arinanto
Abstrak :
Sejalan dengan penetapan pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama pembangunan pada masa Orde Baru, pada tahun 1994 Indonesia mulai melaksanakan era industrialisasi. Dalam implementasinya, kegandrungan terhadap pembangunan industri ternyata telah mengabaikan kebutuhan pembangunan sektor-sektor lainnya. Masalah sosial dan ekonomi yang serius pun timbul, seperti ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan serta pengangguran. Bagi sebagian masyarakat, kesempatan untuk berusaha semakin sempit dan mata pencaharian mereka menghilang karena kesalahan manajemen dari kegiatan industri yang mengabaikan pertimbangan sosial budaya dan lingkungan. Program diversifikasi industri pada Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II dan IV telah mendorong tumbuhnya industri-industri kimia seperti pulp, kertas, rayon, pupuk, semen, dan industri petrokimia. Masing-masing jenis pembangunan tersebut memiliki konsekuensi terhadap lingkungan (Heroepoetri, 1994: 76-80). Semua kegiatan tersebut tentunya memerlukan aturan-aturan hukum untuk menjamin keseimbangan sumberdaya alam yang ada dengan aktivitas-aktivitas manusia yang menggangunya. Sayangnya, gegap gempita pembangunan industri tersebut tidak diikuti dengan tersedianya perangkat pengawasan terhadap pencemaran yang menyeluruh. Di tengah masih terdapatnya berbagai kekosongan hukum lingkungan ini, kendala utamanya adalah bagaimana agar para pelaku industri tersebut mentaati (compliance) peraturan yang ada, dan bagaimana hukum yang ada dapat ditegakkan (enforcement). Salah satu pihak yang diharapkan dapat berperan serta dalam upaya penegakan hukum lingkungan di tengah kondisi masih terdapatnya berbagai kekosongan hukum lingkungan tersebut ialah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Hal ini sejalan dengan ketentuan Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberikan ruang bagi lembaga swadaya masyarakat untuk berperan sebagai penunjang dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dalam UU No. 23 Tahun 1997 tersebut, hak, kewajiban, dan peran masyarakat mendapatkan pengakuan. Hal tersebut tercantum dalam Bab III yang terdiri dari Pasal 5, 6, dan 7. Sedangkan dalam UU yang berlaku sebelumnya, yakni UU No. 4 Tahun 1982, peran serta masyarakat juga mendapatkan pengakuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 dan 19.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Sempurno
Abstrak :
ABSTRAK
Fungsi manajemen menengah tengah berubah sejalan dengan berubahnya tuntutan dunia usaha. Persaingan global, pelanggan yang semakin kritis, perubahan teknologi yang semakin cepat menyebabkan perusahaan-perusahaan menggeser prioritasnya. Maka manajer menengah semakin dituntut untuk berfokus pada "apa" itu strategi, mempertajam visi manajemen puncak, mengembangkan dan mengupayakan inisiatif dalam merespon keadaan yang berubah.

Pergeseran dan perubahan yang efektif perlu mempertimbangkan faktor-faktor penghambatnya. Dalam pembelajaran organisasi, pengembangan dan rencana perubahan, faktor budaya perlu dipertimbangkan. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi faktor budaya perusahaan yang mempengaruhi peran strategik manajemen menengah.

Peran strategik manajemen menengah diukur dengan empat faktor, yaitu championing, synthesizing, facilitating dan implementing. Keempat peran strategik ini dikonfirmasikan dengan pengukuran konsensus strategik, di mana strategi generik perusahaan diukur dalam dua dimensi pokok, yaitu cast orientation dan differentiation.

Selanjutnya, keempat faktor (peran strategik) ini diduga dipengaruhi oleh budaya perusahaan, yang diukur dengan enam dimensi budaya perusahaan, yaitu 1) process vs result oriented, 2) employee vs job oriented, 3) parochial vs professional, 4) open vs closed system, 5) loose vs tight control, dan 6) normative vs pragmatic.

Analisis statistik yang digunakan adalah partial correlation coefficients. Prediksi pengaruh budaya perusahaan terhadap peran strategik di atas merupakan serangkaian hipotesa, dengan enam dimensi budaya sebagai variabel bebas, dan empat faktor peran strategik sebagai variabel terikat.

Penelitian dilakukan di PT Tembaga Mulia Semanan, yaitu perusahaan swasta patungan Indonesia-Jepang yang sudah go public. Perusahaan ini yang memproduksi batang kawat tembaga sebagai bahan baku bagi pabrik kabel, baik pasar domestik maupun ekspor.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pimpinan puncak dan manajemen menengah mempunyai konsensus strategik yang relatif kuat. Dimensi budaya PT TMS menunjukkan 1) result oriented, 2) employee oriented, 3) professional, 4) closed system, 5) tight control, dan 6) normative.

Hasil pengamatan menunjukkan tidak semua dimensi budaya mempengaruhi peran strategik manajemen menengah. Dimensi budaya parochial professional dan loose-tight control berpengaruh nyata terhadap peran strategik championing dan implementing. Dimensi normative-pragmatic berpengaruh nyata terhadap peran strategik championing.

Hasil penelitian menyarankan bahwa peran strategik manajemen menengah dapat ditingkatkan dengan menyesuaikan cara-caranya dengan dimensi budaya yang ada. Disarankan agar perusahaan mengupayakan pendidikan bagi para karyawannya.
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanu Sudjojo
Abstrak :
Saat ini industri pertambangan di Indonesia telah berkembang dengan pesat, balk dari segi jumlah investasi dan produksinya. Perkembangan ini disatu sisi merefleksikan semakin besarnya manfaat ekonomi industri pertambangan bagi pemerintah pusat maupun daerah. Disisi lain, keadaan ini meningkatkan resiko kerusakan lingkungan hidup karena dampak lingkungan hidup melekat dalam setiap kegiatan industri pertambangan. Dampak industri pertambangan terhadap lingkungan hidup mencakup dampak terhadap lingkungan flsik/alamiah maupun lingkungan sosial. Dampak pada lingkungan sosial acapkali bersifat negatif bagi masyarakat lokal. Sekarang ink untuk mengatasi dampak-dampak sosial tersebut, perusahaan pertambangan menaruh perhatian Iebih besar pada upaya pengelolaan lingkungan sosial melalui pendekatan community development. Namun beberapa penelitian menunjukkan community development yang dilakukan perusahaan pertambangan masih kurang memadai, karena cenderung reaktif, bersifat jangka pendek dan ditekankan pada program-program fisik. Sedangkan program yang bersifat non fisik, kuhususnya pengembangan kapasitas masyarakat kurang mendapat perhatian. Padahal pengembangan kapasitas masyarakat adalah faktor yang sangat panting untuk mempersiapkan masyarakat menuju ke arah yang lebih mandiri dan berkelanjutan. Disisi lain, karakter utama dari industri pertambangan adalah sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable industry, sehingga industri tersebut hanya bersifat sementara. Jika ketergantungan masyarakat lokal pada perusahaan masih sangat besar, pada saat aktivitas industri pertambangan berakhir, maka pembangunan masyarakat lingkar tambang akan mengalami proses deindustrialisasi yang ditandai dengan berhentinya seluruh aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Mengacu dari penjelasan-penjelasan diatas, tesis ini akan mencoba membahas upaya pengelolaan lingkungan sosial dalam meningkatkan kapasitas masyarakat lingkar tambang melalui community development yang dilakukan oleh perusahaan tambang. Tujuan Penelitian ini adalah: pertama, mendeskripsikan pengelolaan lingkungan sosial yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Deskripsi mengenai hal tersebut ditekankan corporate social responsibility perusahaan dan community development yang dijalankan oleh perusahaan pertambangan. Kedua, mendeskripsikan dampak atau implikasi pengelolaan lingkungan sosial yang pada kapasitas masyarakat Iokal. Ketiga, Memberikan penilaian mengenai peningkatan kapasitas masyarakat lokal dikaitkan dengan kesiapan mereka untuk membangun secara mandiri dan berkelanjutan. Sedangkan hipotesis kerja penelitian ini adalah: pertama, Pengelolaan lingkungan sosial yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan dalam derajat tertentu ditentukan oleh corporate social responsibility perusahaan dan community development yang dilakukan perusahaan pertambangan. Kedua, pengelolaan lingkungan sosial yang selama ini dilakukan oleh perusahaan pertambangan, dalam derajat tertentu dapat meningkatan kapasitas masyarakat lokal. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian studi kasus dan dengan menggunakan metode pengumpulan data pengamatan, wawancara mendalam dan penggunaan dokumen. Studi kasus dilakukan d PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT), sebuah perusahaan pertambangan multinasional yang sedang mengusahakan penambangan bijih tembanga di Batu Hijau, kabupaten Subawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Dari hasil penelitian ini diperoleh temuan bahwa perhatian PTNNT pada upaya pengelolaan Iingkungan sosial masyarakat lingkar tambang cukup besar. Hal ini terlihat dari komitmen dan kebijakan Social Lisence To Operate (SLTO) dan Corporate Social Responsibility PTNNT yang memandang penting kedudukan masyarakat lingkar tambang dalam kegiatan perusahaan. Selain itu, dari penelitian ini diperoleh temuan bahwa mekanisme pengelolaan lingkungan sosial PTNNT telah berjalan secara sistematis, berdasarkan konsep dan strategi community development yang cukup jelas, melalui perencanaan jangka panjang dan secara relatif telah melibatan partisipasi masyarakat serta dukungan sumberdaya yang cukup besar dari perusahaan, balk dukungan dalam bentuk organisasi maupun dana atau anggaran. Dalam community developmen nya, PTNNT tidak saja melakukan pembangunan fisik namun juga pembangunan non fisisk, atau pembangunan kapasitas. Cakupan program pengelolaan lingkungan sosial PTNNT juga sangat luas, meliputi program pengembangan infrastruktur fisik, kesehatan masyarakat, pengembangan pendidikan, pengembangan pertanian dan pengembangan usaha (bisnis) lokal. Walaupun demikian, konsep pengembangan kapasitas dalam community development cenderung dipersepsikan secara terbatas, pelibatan partisipasi masyarakat lingkar tambang pada program tahunan community development cenderung masih rendah dan pengelolaan lingkungan sosial cenderung dilakukan secara sektoral oleh masing-masing divisi dan program yang terdapat dalam Seksi Community Development PTNNT. Bertolak dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengelolaan sosial yang dilakukan PTNNT telah mampu meningkatkan kapasitas di tingkat individu. berupa peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, sedangkan peningkatan kapasitas di tingkat organisasi dan komunitas rnasih kurang terlihat. Berdasarkan hasil tersebut maka, hingga saat penelitian ini dilakukan, peningkatan kapasitas yang terjadi pada masyarakat lingkar tambang dinilai masih belum cukup untuk mempersiapkan masyarakat lingkar tambang untuk membangun secara mandiri dan berkelanjutan. Akan tetapi, upaya pengelolaan lingkungan sosial yang dilakukan oleh Seksi Community Development PTNNT dalam jangka panjang cukup menjanjikan bag peningkatkan kapasitas masyarakat lingkar tambang, bila: a) PTNNT memperluas konsep pengembangan kapasitasnya, b) PTNNT mempertimbangkan program-program yang berkaitan dengan pembentukan, penguatan visi dan kemampuan untuk memerintah serta program-program yang berkaitan dengan peningkatan dan perluasan keterlibatan anggota dalam komunitas, dan c) PT. NNT meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar divisi dan program yang terdapat di dalam Seksi Community Development PT. NNT ataupun antar Community Organizer ketika merealisasikan program-program community development.
Indonesian mining industry today is growing at a fast pace, both in terms of investments and production. Such progress on the one hand reflects increasing economic benefits generated by the industry for central and local governments; on the other hand, it poses greater risks to the environment because the environmental impact is inherent in every mining activity. The mining industry affects both the physical/natural and social environments. It is local people that suffer the mostly negative impacts of mining activities on the social environment. In order to deal with these social impacts, mining companies give greater attention to social environment management efforts through a community development approach. A number of researches, however, show that community development programs run by mining companies are considered not satisfactory as they tend to be reactive, short-term and physical programs. Non-physical programs, e.g. one that develops the community's capacities, are not given proper attention despite the fact that community capacity development is an important factor in preparing people to lead a more independent and sustained life. Mining is a non renewable industry, and it is only temporary. If local people are highly dependent on mining companies, no more mining activities will result in de-industrialization, marked by stoppages of all social and economic activities of the local communities. Referring to the above statements, this thesis discusses social environment management applied by mining companies to build the capacities of local communities through their community development programs. This research used a case study method as well as data collection, observations, in-depth interviews and documents. The company studied in the research was PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT), a multi-national company mining copper ores in Batu Hijau in the regency of West Sumbawa, West Nusa Tenggara. Research results show that PTNNT is highly concerned about social environment management as seen from its commitment to and policy on social environment management that respects the community living around the mining areas. Social Lisence To Operate and Corporate Social Responsibility are the basis on which the company makes its commitment and policy. PT NNT has been managing the social environment systematically, with sufficiently clear community development concept and strategy, long-term planning, community engagement and adequate organizational support and funds. The concept of community development applied by the company does not only address physical development but the capacity building of the community as well. The company's social environment management has an extremely wide coverage: infrastructure development, community health care as well as educational, agricultural and local business developments. It can be concluded that the social environment management programs run by PTNNT are capable of building the capacities of the communities living around mines. However, in the case of, the company focused its social environment management on building the capacity of the community at individual level by promoting the knowledge and skills of community members, leaving their capacities at organizational and community levels not sufficiently attended to. By the time this research was on-going, the company had not been able to make appropriate capacity building efforts to prepare people living around mining areas to carry on with independent and sustainable development. However, social environment management efforts taken by the Community Development Division of PT NNT are highly promising in the long run for building the capacities of people living around mining areas provided that the company a) develops a better capacity-building concept; b) considers to implement programs related to the establishing and strengthening of a proper vision and instructing capabilities as well as programs concerned with improving the involvement of community members; and c) enhances coordination and communication between sections within the Community Development Section or between Community Organizer to get its community development programs on track.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T 17565
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subaiha Kipli
Abstrak :
Dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan di Indonesia yaitu pembangunan yang berwawan lingkungan dan berkelanjutan maka pembangunan tersebut harsulah memenuhi persyaratan lingkungan. Sesuai dengan dengan ketentuan dalam peraturan perundangan yang berlaku, kegiatan pembangunan jalan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib dilengkapi dengan dokumen /studi lingkungan berupa Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang terdiri dari Kerangka Acuan (KA), Analisa Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (KRL)/Rencana Pemantauan Lingkungan ( RPL) sedangkan untuk kegiatan yang tidak menimbulkan dampak besar.
In order to achieve Indonesia's development goals of sustainable and environmental sound development, the environmental circumstance must be met in every stage of the development process. In Accordance with current Indonesian rules and regulations, road development activities which cause significant environmental impacts.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T23789
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadine Aurelia Pasha
Abstrak :
Green retrofit merupakan salah satu langkah bagi Indonesia untuk mengurangi emisi GRK. Melalui retrofitting, bangunan eksisting dapat dimanfaatkan untuk tujuan keberlanjutan yang mengurangi pengeluaran berlebihan. Untuk mengimplementasi bangunan konvensional menjadi bangunan hijau, terdapat 2 (dua) penilaian yang dapat digunakan yaitu Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2021 dan Rating Tools GBCI. Dalam menyusun struktur WBS pekerjaan retrofitting gabungan dari Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2021 dan GBCI khususnya aspek BEM, terdapat 74 aktivitas untuk menilai pekerjaan green retrofitting pada bangunan gedung kantor bertingkat tinggi. Agar pekerjaan green retrofitting dapat berjalan maksimal serta dapat mencapai target dan dapat selesai tepat pada waktu seperti yang telah direncanakan, maka dapat lebih memperhatikan sumber daya dari proyek tersebut. Penelitian hanya terbatas pada bangunan gedung kantor bertingkat tinggi khususnya aspek BEM. Hasil kuesioner dianalisa menggunakan metode analisis delphi, metode RII, dan metode statistik seperti uji homogenitas, kecukupan data, validitas, reliabilitas, dan regresi linier. Hasil dari penelitian ini adalah mengetahui aktivitas yang penting dan berpengaruh terhadap akurasi perencanaan sumber daya. ......Green retrofit is one step for Indonesia to reduce GHG emissions. Through retrofitting, existing buildings can be utilized for sustainability purposes by reducing excessive expenditure. To implement conventional buildings into green buildings, there are 2 (two) assessments that can be used, namely Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2021 and the GBCI Rating Tools. In compiling the WBS structure for combined retrofitting work from PUPR Ministerial Regulation Number 21 of 2021 and GBCI especially the BEM aspect, there are 74 activities to assess green retrofitting work on high-rise office buildings. In order for the green retrofitting work to run optimally and be able to achieve the target and be completed on time as planned, it can pay more attention to the resources of the project. Research is only limited to high-rise office buildings, especially aspects of BEM. Questionnaire results were analyzed using the Delphi analysis method and statistics such as homogeneity test, data adequacy, validity, reliability, and linear regression. The result of this research is to know which activities are important and influence the accuracy of resource planning.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library