Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Sigit Koesma
"

Tumor larings telah dikenal sejak zaman kuno. Soerhave dan Morgagni pada abad ke 17, setelah melakukan otopsi, mengumumkan bahwa tumor larings merupakan penyebab kematian penderita itu. Tetapi karena kesukaran melakukan pemeriksaan larings pada penderita, para ahli pada waktu itu tidak berhasil menegakkan diagnosis tumor larings yang menyebabkan sumbatan larings sehingga mengakibatkan kematian.

Seteiah Chevalier Jackson menciptakan laringoskop, barulah pemeriksaan dan diagnostik kelainan di larings, terutama karsinoma larings, berkembang dengan pesat. Dengan laringoskopi langsung kelainan di daerah glotis dan supraglotis, tempat yang sering ditemukan karsinoma, dapat dilihat dengan jelas. Apalagi setelah Gustav Killian memperkenalkan laringoskop suspensi, dan pada zaman modern ini, dengan pemakaian mikroskop operasi, tiap bagian dari larings dapat diperiksa dengan lebih jelas dan intensif sekali. Dengan cara ini dapat diambil biopsi jaringan dengan tepat untuk pemeriksaan histologik.

Jackson membuat ketentuan, bahwa pada seorang penderita yang berumur sekitar 50 tahun, bila suaranya parau lebih lama dan pada parau yang disebabkan oleh influenza, maka penyebabnya dapat diperkirakan oleh suatu tumor larings, kecuali bila dapat dibuktikan_ bahwa tidak ditemukan adanya tumor di larings.

Ternyata ketentuan dari Jackson ini terbukti benar, sehingga dengan dcmikian pada tiap penderita dengan suara parau lebih lama dari 2 minggu, haruslah diperiksa dengan teliti, dengan laringoskopi tak langsung, maupun dengan laringoskopi langsung. Pemeriksaan laringoskopi langsung perlu sekali dilakukan, bila pada laringoskopi tak langsung, komisura anterior tidak dapat dilihat dengan jelas, oleh karena tempat ini merupakan tempat predileksi untuk kanker primer di pita suara, dan dengan cara ini pula diambil biopsi dari tumor untuk pemeriksaan histologik. untuk mendiagnosis jenis tumor.

Cara pemeriksaan radiologik. dengan melakukan tomografi. besar tumor dapat dilihat, sehingga dapat dilihat pula sampai kemana meluasnya tumor itu di larings.

Pada tahun terakhir ini para ahli mencoba mengetahui adanya karsinoma "in situ" di daerah yang dicurigai, dengan melakukan pewarnaan "in vivo" memakai biru toluidin. Tetapi pewarnaan ini masih belum dapat dipercaya, karena selain dari pada sel kanker, juga sel radang mengambil warna biru sehingga bukan saja pada karsinoma "in situ" yang menjadi biru, tetapi juga suatu erosi dilarings akan berwarna biru.

Pada karsinoma larings, jika pada pewarnaan dengan biru toluidin pada pemeriksaan laringoskopi langsung, selain dari pada tumor yang secara makroskopik kelihatan juga ada bagian lain yang berwarna biru oleh zat warna itu, maka sebaiknya selain dari pada biopsi dari jaringan tumor yang tampak itu, dilakukan juga biopsi di tempat yang berwarna biru itu. Apabila pada pemeriksaan histologik bagian itu ternyata suatu karsinoma, maka berarti tumor lebih luas dari pada jaringan tumor yang tampak makroskopik, atau ada sarang primer lain.

Pengobatan kanker larings masih tetap merupakan problems yang sukar diatasi, oleh karena yang harus dikeluarkan ialah pita suara dan sekitarnya, sedangkan organ ini diperlukan untuk berbicara, untuk berkomunikasi.

Disfoni sampai afoni pada stadium dini sudah sangat mengganggu penderita dalam pergaulan sehari-hari. Dan makin lanjut penyakitnya, makin gawat gejalanya, selain dari pada afani, juga pernapasan terganggu, dengan stridor, sesak napas dan asfiksia.

Sebelum tahun 1967, pengobatan karsinoma larings yang dapat diberikan di sini hanyalah radioterapi, kuratif maupun paliatif untuk semua stadium.

Jika setelah radioterapi ternyata terjadi residif, maka pada waktu itu kita tidak dapat berbuat apa-apa. Sehingga dengan terusnya meluas tumor itu saluran napas makin sempit, dan akhirnya tersumbat sama sekali Paling-paling hanya dapat dibuatkan trakeostoma untuk menjamin jalan napas, tetapi penjalaran serta membesarnya tumor itu tidak dapat dicegah.

Larings menjadi besar, keras dan terfiksasi. Seluruh kulit leher menjadi tebal dan kaku oleh karena infiltrasi kanker menjalar ke kulit. Ke posterior, tumor akan menyumbat esofagus, sehingga terjadi disfagia, dan dengan demikian perlu dibuatkan gastrostomi. Akhirnya penderita ,meninggal, selain oleh karena asfiksia, juga olah karena kurang makan dan perdarahan masif karena pecahnya pembuluh darah di mediastinum.

"
Depok: UI-Press, 1980
PGB 0069
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
I.G.A. Ngurah Anom
"ABSTRAK
Rumah Sakit Umum Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia oleh Pemerintah telah ditetapkan sebagai Rumah Sakit Rujukan Pelayanan Gawat darurat untuk wilayah Jakarta Timur. Dan selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan unit gawat darurat dengan Trauma Center sebagai unggulan sesuai dengan misi Rumah sakit. Untuk mencapai misi tersebut perlu diketahui faktor eksternal dan internal yang dapat berpengaruh pada pengembangan pelayanan gawat darurat. Faktor Ekternal dapat berupa mikro yang terdiri atas pelanggan dan pesaing dan makro yang terdiri atas Lingkungan Ekonomi, lingkungan Politik dan Hukum, lingkungan Sosial dan lingkungan Teknologi Sedangkan lingkungan internal yang sangat berperan dalam pengembangan suatu Rumah sakit adalah Faktor Budaya kerja Organisasi, Faktor Sumber Daya Manusia, Faktor Fasilitas pelayanan, Faktor Sistem dan Prosedur Pelayanan. Setelah melakukan analisis SWOT Unit gawat darurat saat ini maka akan diketahui adanya kesenjangan antara Unit gawat darurat saat ini dengan kondisi Unit gawat darurat yang diinginkan.
Hasil penelitian ini adalah adanya kesenjangan antara Unit gawat darurat saat ini dengan yang diinginkan berupa :
1. Sumber Daya Manusia yang ada saat ini belum memiliki kualifikasi Doktor.
2. Fasilitas kesehatan yang ada saat ini belum memiliki laboratorium pengembangan molekuler.
3. Upaya tripartite belum sepenuhnya dapat dilaksanakan terutama hubungan dengan komunitas.
Sebagai kesimpulan dalam penelitian ini adalah oleh karena belum adanya Rencana Induk Pengembangan Rumah sakit secara terinci maka berdasarkan dengan standar yang diperoleh dari teori dapat diketahui kesenjangan yang perlu diatasi sehingga Rumah sakit RSU FK UKI dapat mengembangkan pelayanan unit gawat darurat dengan Trauma center sebagai unggulannya.
Saran yang perlu disampaikan adalah :
1. SDM merupakan sumber daya yang penting sehingga perlu disiapkan tenaga Medis yang berkualifikasi Doktor.
2. Untuk mendukung pelayanan Medis yang berkualitas unggulan perlu disiapkan laboratorium yang dapat mengembangkan biomolekuler.
3. Agar dapat menunjang unggulan perlu meningkatkan hubungan dengan komunitas secara terstruktur dan berkesinambungan.
Akhirnya harapan peneliti semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk pertimbangan dalam perumusan strategi dalam proses pengembangan unit gawat darurat RSU FK UKI dengan Trauma Center sebagai unggulannya.

ABSTRACT
External and Internal Analysis in Developing Emergency Unit as a Center of Excellence of General Hospital Faculty of Medicine Christian University of Indonesia General Hospital Faculty of Medicine Christian University of Indonesia was establish by the Government of Indonesia as a referral Hospital for Emergency cases in east Jakarta area. They are also expected to promote the Emergency unit to be come a Trauma Center as a Center of excellence.
To achieve the mission we have to know the external and Internal factor which influence the process of development in Emergency unit to a Trauma center as a center of excellence RSU FK UKI. External factors consist of Customer, Competitor, Economic, Politic, Social and Technology. Internal factors consist of Organization culture, Human resources, Facility of service, Procedure and system of service.
Trough the analysis of Externals and Internals conditions of RSU FK UKI, Thus we know the present position of Emergency unit and the desired position. From the present position to the desired position we found the gap between them.
Result of this research is there is a gap between the present position and the desired position as mention below :
1. Human Resources was not complete yet as a Doctor qualification.
2. Facility of service was not yet prepared a bimolecular development.
3. Tripartite concept not yet be done completely mainly in community relationship.
From the result above we recommend as mention below :
1. Human resources is very important asset to be prepared especially in medical staff with Doctor qualification.
2. To support the Emergency service as a center of Excellence should be prepared a Laboratories with bimolecular development.
3. In order to promote the center of Excellence as a Trauma Center should be corporate with community in the area.
Last but not least we hope the result of this thesis will be useful in strategic planning of the process in developing Emergency unit as a Center of Excellence of RSU FK UKI.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iis Sinsin Nuryasini
"Osteoporosis merupakan salah satu isu penting dalam bidang kesehatan masyarakat. Jumlah penderita osteoporosis diprediksikan akan mengalami peningkatan secara tajam seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan angka harapan hidup. Dari berbagai literatur didapatkan angka prevalen osteoporosis berkisar dan 6,5-30,3%. Penderita osteoporosis sangat rentan terhadap fracture. Perempuan merupakan populasi paling berisiko (population at risk) terhadap osteoporosis. Di Indonesia, menurut data WHO tahun 1995, prosentase penduduk perempuan yang masih hidup hingga usia 60 tahun ke atas sebesar 75% sementara laki-laki hanya 16%. Program pencegahan perlu dilakukan untuk memperlambat munculnya osteoporosis.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan osteoporosis. Salah satu faktor yang diduga mempunyai efek protektif (pencegah) terhadap kejadian osteoporosis adalah penggunaan pil keluarga berencana (pil KB). Untuk perempuan Indonesia, faktor ini belum pernah diteliti. Padahal jika melihat jumlah pengguna pil KB di Indonesia, ditemukan bahwa prevalen pengguna pil KB pada semua golongan usia cukup tinggi yaitu 14,8-17,1%, dan usia yang mulai menggunakan pil KB adalah 15-19 tahun. Pil KB yang digunakan oleh perempuan Indonesia sebagian besar (77,1%) merupakan jenis pil kombinasi (combined oral contraception) dengan estrogen sebagai komponen utamanya. Dari literatur tentang hubungan estrogen dan osteoporosis ditemukan bahwa peran estrogen adalah menghambat proses resorpsi tulang baik secara langsung dan tidak langsung. Beberapa penelitian tentang hubungan riwayat penggunaan pil kontrasepsi dan osteoporosis pada wanita ras putih masih menunjukkan kontroversi. Berdasarkan hal itu, perlu diteliti hubungan antara penggunaan pil KB dengan osteoporosis primer pada perempuan Indonesia.
Disain penelitian menggunakan kasus kontrol tidak berpadanan dengan jumlah 674 responden dari seluruh data catatan medis pasien di Makmal Terpadu Imunoendokrinologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sejak Juli 1995 sampai engan Oktober 2000. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana. Kasus dan kontrol diambil dari tempat yang sama dengan jumlah 337 kasus dan 337 kontrol. Kasus didiagnosis dengan menggunakan nilai z yang dihasilkan oleh DEXA (Dual Energy X-ray Absorpliometry). Untuk mendapatkan kasus dan kontrol yang eligible untuk penelitian ini dilakukan proses eksklusi yang meliputi usia kurang dari 40 tahun, catatan medis yang tidak lengkap, penderita osteoporosis sekunder, dan penderita osteoarthritis. Selain faktor riwayat penggunaan pil KB, faktor lain yang diteliti adalah usia, indeks massa tubuh, paritas, status olah raga, status menopause, usia saat menopause, dan lama menopause. Analisis data menggunakan regresi logistik ganda dengan bantuan perangkat lunak Stata versi 6.0 for Windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara riwayat penggunaan pil KB dengan osteoporosis primer dan hubungan tersebut tersebut dipengaruhi oleh variabel usia dan usia saat menopause serta berbeda pada strata indeks massa tubuh. Kondisi gemuk pada seseorang yang menggunakan pil KB akan meningkatkan probabilitas terhadap osteoporosis primer secara bermakna daripada bukan pengguna pil KB; sementara kondisi berat badan lebih dan kurang pada pengguna pil KB menurunkan probabilitas terhadap osteoporosis primer. Semakin tinggi usia, usia saat menopause, dan indeks massa tubuh, probabilitas osteoporosis primer semakin rendah. Variabel paritas, status olah raga rutin dan lama menopause tidak berhubungan dengan osteoporosis primer. Diantara variabel di dalam model logistik ganda, variabel yang mempunyai probabilitas paling tinggi terhadap osteoporosis primer adalah usia saat menopause awal. Penelitian ini menggunakan data sekunder sehingga tidak dapat mengontrol sejumah variabel lain yang berpotensi sebagai variabel confounding.
Berdasarkan hasil penelitian maka perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk memastikan efek dan pil KB dan melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan usia menopause awal dan usia menopause terlambat. Perempuan yang pemah menggunakan pil KB dan mempunyai berat badan yang gemuk pada saat ini disarankan agar menurunkan berat badan; sementara pengguna pil KB yang mempunyai berat badan lebih atau kurang pada saat ini disarankan agar mempertahankan berat badannya dalam rentang berat badan lebih atau kurang. Bukan pengguna pit KB lebih baik mempunyai berat badan yang lebih namun agar menghindari obesitas karena merupakan risiko munculnya penyakit lain. SeIain itu, perempuan pada usia menopause awal sebaiknya memeriksakan densitas mineral tulang agar dapat dilakukan pencegahan dini.

Osteoporosis is a current issue on public health due to the increasing number of osteoporotic patients on the populous countries which has an increasing number of life expectancy. Data published by World Health Organization in 1995 showed that 75% of Indonesian women survived into eldelry age (more than 60 years old) while for Indonesian men the number was only 16%. Women tend to be more susceptible and high-risk for osteoporosis_ Osteoporosis leads to osteoporotic fracture. A public health preventive and health promotion program should be done to delay osteoporosis.
Many studies has been conducted and published for identifying factors associated with osteoporosis. History of oral contraceptive use is one factor, which has a contribution for preventing osteoporosis. To date no literature has shown the effects of history of oral contraceptive use on osteoporosis among Indonesian women. Demographic Health Survey 1997 showed that the prevalence of oral contraceptive use (pills) was 14,8%-17,1% and the age whose starting to use oral contraceptive was 15-19 years. About 77,1% of oral contraceptive used by Indonesian women was classified as type of combined oral contraceptive which contains oestrogen hormone. Oestrogen will directly and indirectly affects bone remodelling. The association between history of oral contraceptive use in white women remains a controversy.
The aim of this study was to determine the association between history of oral contraceptive use among Indonesian women. A case control study was conducted at The Collaborative Laboratory on Immunoendocrinology Faculty of Medicine University of Indonesia Jakarta (MITE FKUI Jakarta). Data was collected from subjects attending the clinic since July 1995 till October 2000. A simple random sampling was used to determine 337 cases and 337 controls among study population. The exclusion criteria for study sample were: age less than 40, incomplete medical records, secondary osteoporosis and osteoarthritis. Both cases and controls were diagnosed using z score of DEXA (Dual Energy X-ray Absorpiiametry) at MTIE FKUI Jakarta. Variables under study were history of oral contraceptive use, age, current body mass index, parity, current exercise, menopausal status, age at menopause, and years since of menopause. Analyzing data used Stata version 6.0 for Windows and the methods of analysis applied multiple logistic regression for unmatched data.
The results showed an association between history of oral contraceptive use and primary osteoporosis after controlling age and age of menopause. The association was significantly different at body mass index level (p<0,05). An oral contraceptive user whose obesity had higher probability to primary osteoporosis than non oral contraceptive users; meanwhile overweight and small body mass index had the smaller probability to primary osteoporosis. The study also found negative association between age, age at menopause and current body mass index with primary osteoporosis (p<0,05). Parity, current exepcise and years since menopause were not statistically significant. The study also found that early age of menopause as the highest probability to primary osteoporosis. The secondary data source caused several potential confounding variables which influenced the study results were not included.
Based on these results, it is very important to conduct further studies to confirm the effect of oral contraceptive use among Indonesian women and to find factors associated with early age of menopause and late age of menopause. Oral contraceptive users whose greater body mass index are recommended to decrease body mass index into a normal range; meanwhile oral contraceptive users whose small body mass index or overweight should maintain their weight. Non oral contraceptive users are better to be overweight. This study also recommends to do early detection of bone mineral density for the early age of menopausal women.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrew Pratama Kurniawan
"Latar Belakang: Stres dialami semua orang tidak terkecuali mahasiswa. Namun, mahasiswa fakultas kedokteran memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada mahasiswa di fakultas lainnya. Stres dikhawatirkan dapat berdampak negatif seperti gangguan kesehatan, penurunan kemampuan kognitif, kecemasan, dan burnout. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat stres mahasiswa tahap akademik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan kaitannya dengan performa akademik.
Metode: Penelitian cross-sectional ini menggunakan instrumen PSS-10 yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia untuk mengukur tingkat stres mahasiswa dan performa akademik berupa nilai modul terakhir mahasiswa. Nilai dikelompokkan menjadi 3 yaitu nilai sangat memuaskan (A- dan A), memuaskan (B-, B dan B+), dan kurang memuaskan (
Hasil: Skor stres mahasiswa tingkat 1 paling tinggi dengan skor median 21,00±(6,721), tingkat 2 dengan skor median 18,50±(6,013), dan tingkat 3 dengan skor median 19,00±(6,543). Pada semua tingkat ditemukan kelompok mahasiswa dengan nilai sangat memuaskan memiliki median dan mean tingkat stres paling rendah dibanding dengan tingkat lainnya. Analisis tingkat stres antar kelompok nilai hanya bermakna secara statistik pada mahasiswa tingkat 3 (p<0,05).
Simpulan: Tidak ditemukan pengaruh yang pasti antara stres dengan performa akademik dikarenakan hubungan bermakna hanya ditemukan pada mahasiswa tingkat 3 fakultas kedokteran (nilai p <0,05).

Introduction: Everyone definitely has experienced stress in their daily life regardless. However, medical students experience a higher level of stress than other college students in other faculty. Stress could induce some negative impacts such as declining health, lowering cognitive skills, anxiety, and burnout. Therefore, this study aims to measure the stress level of preclinical medical students in University of Indonesia and its correlation with academic performance.
Method: This cross-sectional study used PSS-10 questionnaire that has been translated to Indonesia language as an instrument to measure stress level. Their academic performance is measured by students’ final grade in the last module. Final grades are divided to three groups, highly satisfactory with grades of A- and A, satisfactory with grades from B- to B+, and less satisfactory with grade below B-. Kruskal-wallis or ANOVA test is used to find a statistical significance between stress levels in groups.
Results: The result is first year students have the highest stress level with the median score of 21,00±(6.754), second year students with median score of 19,00±(6.029), and the third year students have the median score of 19,00±(6.543). In every year, the very satisfactory group has the lowest mean score and median stress score compared to other groups in the same year, with a statistical difference only appear in third year students (p<0.05).
Conclusion: There are not enough evidence to conclude a significance correlation between stress level and academic performance, since the statistical difference is only found in the third year medical students (p<0.05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library