Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachmi Setyorini
"Obat tradisional telah diterima secara luas hampir diseluruh negara di dunia. Bertumbuh dengan cepat dalam sistem kesehatan dan penting diperhitungkan dari segi ekonomi. Obat tradisional di Indonesia pada awalnya dikenal sebagai jamu. Jamu digunakan sebagai obat alternatif pengganti obat konvensional. Kebijakan pengembangan jamu menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka telah termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 760 tahun 1992 tentang Fitofarmaka. Jamu yang telah teruji secara praklinik disebut obat herbal terstandar, sedangkan jamu yang telah teruji secara klinik disebut fitofarmaka. Masih sedikitnya jumlah obat herbal terstandar dan fitofarmaka mengindikasikan ada masalah dalam implementasi kebijakan ini. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan pengembangan jamu menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali informasi secara mendalam. Untuk mendapatkan hasil yang valid digunakan data primer dan data sekunder serta dilakukan triangulasi data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam pengembangan jamu menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka menyangkut komponen komunikasi yang belum jelas dan konsisten, industri kecil kesulitan dana untuk penelitian, instrumen kebijakan tidak aplikatif, bahan baku belum tersedia secara berkesinambungan dan belum adanya koordinasi antar instansi yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan.

Traditional medicines have been widely established almost all over the world. They have been growing so fast in health system and have been measured from economy point of view. In the beginning, traditional medicine in Indonesia was known as Jamu. Jamu was used to replace conventional medicines as an alternative. The policy in developing jamu into a standardized herbal medicine and phytoparmaca has been issued in Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 760 year 1992 about phytopharrmaca. Jamu that was tested pra clinically and approved is called standardized herbal medicines. Meanwhile, Jamu that has been clinically approved is called phytopharmaca. There is still a few number of standardized herbal medicines and phytopharmaca is an sign of problem in implementing this policy. Therefore, the goal of this research is to analyze implementation of jamu development policy into standardized herbal medicine and phytoparmaca. This research is utilizing qualitative approach to discover further information. In order to get a valid result, it uses primary and secondary data and employs data triangulation.
The result of this research shows that government is facing problems in developing jamu as standardized herbal medicine and phytoparmaca. They are untransparent and inconsistent communication, difficulty in funding the research for small industries, instruments policy that are not applicable, unavailability of raw materials, and lack of coordination between agencies involved in the implementation of policy."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T28487
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ayuningtyas Nirmala Putri
"Saat ini, pengembangan sediaan fitofarmaka perlu dilakukan suatu uji quality control (QC) untuk menjamin mutu dan keamanan dari sediaan tersebut. Oleh karena itu, standardisasi dan metode analisis yang valid baik pada bahan baku maupun produk jadi merupakan faktor penting dalam pengembangan sediaan fitofarmaka. Sediaan fitofarmaka yang digunakan untuk mengobati diare banyak mengandung ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava Linn) dan rimpang kunyit (Curcuma domestica Val). Biomarker dari ekstrak daun jambu biji yaitu kuersetin, sedangkan biomarker dari ekstrak rimpang kunyit yaitu kurkuminoid. Kadar dari kurkuminoid dan kuersetin dapat dipengaruhi oleh umur tanaman, jenis tanah dan tempat tumbuh.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan kondisi optimum analisis kurkuminoid dan kuersetin serta mengetahui kadarnya dalam tablet obat diare yang mengandung ekstrak daun jambu biji dan rimpang kunyit dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis Kinerja Tinggi (KLTKT) densitometri. Hasil penelitian menunjukkan fase gerak terbaik adalah toluenaseton-metanol-asam format (46:8:5:1) pada panjang gelombang 426 nm untuk kurkuminoid dan 303 nm untuk kuersetin. Kurva kalibrasi kurkuminoid antara 612-1632 ppm, dan kuersetin antara 81,12-405,6 ppm. Batas deteksi dan kuantitasi kurkuminoid berturut-turut sebesar 100,65 ppm dan 335,49 ppm, sedangkan batas deteksi dan kuantitasi kuersetin berturut-turut sebesar 17,92 ppm dan 59,72 ppm. Kadar rata-rata kurkuminoid sebelum dikoreksi sebesar 2541,59 μg/g dan kadar rata kuersetin sebelum dikoreksi sebesar 306,55 μg/g. Perolehan kembali kurkuminoid adalah 71,02 % dan kuersetin adalah 94,57 %. Kadar rata-rata kurkuminoid setelah dikoreksi sebesar 3578,70 μg/g dan kadar rata kuersetin setelah dikoreksi sebesar 324,16 μg/g.

Recently, developing of phytopharmaca needs quality control (QC) test to ensure the quality and safety. Thus, standardization and validation analysis methods of raw materials and product are an important factor in developing of phytopharmaca. The phytopharmaca for diarrhoea treatment contains extract of guava leaves and turmeric rhizome. Biomarker from extract of guava leave is quercetin, while biomarker from turmeric rhizome is curcuminoid. Curcuminoid and quercetin contents are influenced by the age of plants themselves, cultivate type and place of growth.
The purpose of this research was to get the analysis method for curcuminoid and quercetin contents in diarrhoea tablet contains extract of guava leaves and turmeric rhizome with using High Performance Thin Layer Chromatography (HPTLC) method densitometry. The result shows toluene-acetone-methanol-formic acid (46:8:5:1) is the best mobile phase at 426 nm for curcuminoid and 303 nm for quercetin. The calibration curve of curcuminoid between 612-1632 ppm, and quercetin between 81,12-405,6 ppm. Limit of Detection (LOD) and Limit of Quantitation (LOQ) of curcuminoid is 100,65 ppm and 335,49 ppm respectively, while Limit of Detection (LOD) and Limit of Quantitation (LOQ) of quercetin is 17,92 ppm and 59,72 ppm respectively. The average content of curcuminoid before corrected is about 2541,59 μg/g and quercetin is 306,55 μg/g. The recovery of curcuminoid is 71,02 % and quercetin 94,57 %."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S32916
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irsham Vilia
"Uji toksisitas subkronis ramuan ekstrak etanol daun tapak dara
{Catharanthus roseus (L).G.Don) dan biji petai cina {Leucaena
leuchochephala (Lmk) de Wit) mempakan salah satu tahapan tata lalcsana uji
klinik daiam rangka pengembangan obat tradisional termasuk fitofarmaka
untuk dapat digunakan pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Uji ini
bertujuan untuk inenentukan tingkat keamanan obat jika diberikan beruiang
kali dengan jangka waktu tertentu. Pembuatan ramuan ekstrak etanol daun
tapak dara dan biji petai cina dilakukan dengan cara maserasi menggunakan
pelarul etanol. Uji toksisitas subkronis dengan mencit menggunakan
Randomized Complete Block Design dengan faktorial 5x5. Dosis uji
diberikan kepada mencit selama 21 had, kemudian diamati respon dan
mencit-mencit tersebut. Respon mencit terhadap ramuan yang diberikan
tidak menunjukkan adanya gejala toksik. Hasil uji histologi jaringan hati dan
ginjal tidak menunjukkan kerusakan. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka
disimpulkan ramuan ekstrak etanol daun tapak dara dan biji petai cina aman
untuk digunakan sebagai anti-hipoglikemik pada hewan uji."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2003
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library