Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Della Manik Worowerdi Cintakaweni
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit autoimun terjadi karena tubuh tidak mampu untuk mengenali sel atau jaringan tubuh sendiri, sehingga tubuh memberikan respons seperti proses eliminasi antigen terhadap sel atau jaringan tubuh sendiri. Berbagai faktor risiko, antara lain genetik, lingkungan dan nutrisi berperan pada perkembangan penyakit autoimun. Saat penyakit autoimun telah menimbulkan gejala, pasien memiliki risiko mendapat nutrisi yang tidak adekuat. Selain itu, kondisi autoimun akan menimbulkan respons inflamasi terus-menerus di dalam tubuh. Bila kondisi ini terus berlanjut akan menyebabkan peningkatan status metabolisme, status nutrisi, status imun dan menimbulkan gangguan kapasitas fungsional pada pasien. Pasien dengan penyakit autoimun harus didukung dengan edukasi dan mendapat terapi nutrisi yang tepat dan adekuat, terutama saat menjalani proses terapi sehingga kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi sesuai dengan kondisi pasien. Metode: Laporan serial kasus ini menguraikan empat kasus penyakit autoimun. Dua kasus merupakan kasus neurologi, sementara dua kasus lain adalah kasus penyakit kulit. Dua pasien memiliki status nutrisi malnutrisi berat, satu pasien berat badan normal berisiko malnutrisi dan satu pasien obes I berisiko malnutrisi. Terapi nutrisi sesuai mengacu pada diet seimbang. Semua pasien mendapat terapi nutrisi sejak dikonsulkan ke Departemen Medik Ilmu Gizi hingga hari terakhir perawatan di RS. Asupan energi dan protein diberikan meningkat bertahap sesuai dengan kondisi klinis dan toleransi pasien. Suplementasi mikronutrien diberikan kepada pasien. Pemantauan pasien meliputi keluhan subjektif, hemodinamik, analisis dan toleransi asupan, pemeriksaan laboratorium, antropometri, imbang cairan, dan kapasitas fungsional. Hasil: Selama pemantauan di RS, asupan pasien dapat mencapai kebutuhan energi total dan mikronutrien diterima oleh pasien. Perbaikan klinis dan perbaikan kapasitas fungsional terjadi pada 3 pasien. Satu pasien mengalami perburukan dan meninggal akibat sepsis pada hari perawatan ke-33. Kesimpulan: Terapi nutrisi pada pasien autoimun dapat mendukung proses pengobatan berupa perbaikan kapasitas fungsional dan lama rawat 3 pasien.

ABSTRACT
Objective Autoimmune disease is a condition of body inability to recognize the cells or tissues itself. It will response as antigen elimination process against the cells or tissue itself. Autoimmune risk factors, such as genetic, enviromental and nutrients play a role in the development of autoimmune diseases. When the symptoms occur, the patient have a risk of inadequate nutrition. In addition, autoimmune condition will cause continuous inflammatory response. This situation will increase patients rsquo s metabolic, nutritional, and immune status. Thus, reduce the patient rsquo s functional capacity. Patient with autoimmune disease should be supported by appropriate and adequate nutrition education and therapy, especially during the therapeutic process so that the nutrition requirements can be fulfilled according to the patient 39 s condition. Methods These case report outlines four cases of autoimmune disease. Two cases are cases of neurology, while the other two cases are cases of skin disease. Two patients had severe malnutrition, one normoweight patient at risk for malnutrition and one obese patient at risk of malnutrition. Management of appropriate nutrition refers to a balanced diet. All patients received nutritional therapy from the Clinical Nutrition Department until the last day of hospitalization. The energy and protein intake increase gradually in accordance with improved clinical conditions and patient rsquo s tolerance. Supplementation of micronutrients is given to the patient. Patient monitoring includes subjective, hemodynamics, analysis and tolerance of intake, laboratory examination, anthropometry, fluid balance, and functional capacity Results During hospital monitoring, the patient 39 s nutrition intake can achieve the total energy and protein requirement as well as the micronutrients. Clinical condition and functional capacity improvements occurred in 3 patients. One patient had worsening condition and died due to sepsis in the 33rd day of treatment. Conclusion Nutritional therapy for patients with autoimmune disease can support the treatment process in improvement of functional capacity and length of stay."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nella Yesdelita
"ABSTRAK
Latar Berlakang: Cedera medula spinalis (CMS) merupakan suatu kondisi medis yang kompleks dan dapat menyebabkan disabilitas. Pada CMS terjadi gangguan baik sementara maupun menetap pada fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Gangguan tersebut mengakibatkan menurunnya kemampuan fungsional seorang penderita CMS. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesahihan dan keandalan SCIM III versi bahasa Indonesia untuk menilai kemampuan fungsional penderita CMS.
Metode: SCIM III versi bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia melalui metode penerjemahan forward-backward serta dilakukan cognitivedebriefing sehingga didapatkan SCIM III versi bahasa Indonesia. SCIM III versi bahasa Indonesia ini digunakan kepada 30 orang penderita CMS di dua rumah sakit dan satu wisma penderita CMS di Jakarta. Tiga orang rater menilai setiap subjek menggunakan rekaman video. Penilaian ulang dilakukan oleh peneliti satu minggu kemudian. Kesahihan konstruksi dan kriteria dinilai menggunakan koefisien korelasi. Untuk uji keandalan, digunakan intraclass correlation coefficient untuk menilai keandalan inter-rater, paired t-test untuk keandalan test-retest, dan Cronbach?s α untuk internal consistency.
Hasil: Didapatkan nilai korelasi lebih dari 0,4 (p<0,05) untuk kesahihan konstruksi dan kriteria. Intraclass correlation coefficient lebih dari 0,8 (p<0,05) untuk keandalan inter-rater, nilai korelasi lebih dari 0,6 (p<0,05) untuk keandalan test-retest dan Cronbach?s α 0,895 untuk keandalan internal consistency.
Kesimpulan: SCIM III versi bahasa Indonesia terbukti sahih dan andal untuk menilai kemampuan fungsional penderita CMS.

ABSTRACT
Objective: Spinal cord injury (SCI) is a medically complex condition and can cause disability. Patients with spinal cord injury usually have either temporary or permanent insult to motor, sensory, or autonomic function. The impairments reduce the functional capacity of the patients. The aim of the study was to assess the validity and reliability of Indonesian version of SCIM III to measure the functional capacity of patients with SCI.
Methods: English version of SCIM III was translated to Indonesian involving a forward-backward translation and cognitive debriefing to develop Indonesian version of SCIM III. The tool was administered to 30 patients with SCI in two centers and a residential home of SCI in Jakarta. Three raters evaluate each subject by using video record. Writer assessed each subject one week later. Construct and criterion validity was assessed by using correlation coefficient. For reliability, intraclass correlation coefficient was used for inter-rater reliability, paired t-test for test-retest reliability, and Cronbach?s α for internal consistency.
Results: There was correlation coefficient above 0,4 (p<0,05) for construct and criterion validity. Intraclass correlation coefficient above 0,8 (p<0,05) for inter-rater reliability, correlation coefficient above 0,6 (p<0,05) for test-retest reliability and Cronbach?s α 0,895 for internal consistency.
Conclusion: Indonesia version of SCIM III was proven to be valid and reliable to assess the functional capacity of patients with SCI."
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisak
"Latar Belakang: Stroke iskemik yang disertai dengan diabetes melitus merupakan kondisi yang sering terjadi. Serangan stroke iskemik akut seringkali terjadi bersamaan dengan kadar glukosa darah yang meningkat. Pemberian dukungan nutrisi diperlukan untuk membantu mengontrol glukosa darah dan membantu memperbaiki kapasitas fungsional pada pasien stroke iskemik dengan DM. Salah satu nutrisi yang dapat membantu mengontrol kadar glukosa darah adalah asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) yang berasal dari minyak zaitun.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien stroke iskemik yang disertai dengan diabetes melitus dengan rentang usia 52-66 tahun dan status gizi yang bervariasi. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan pedoman nutrisi untuk penderita stroke dan diabetes melitus, serta diberikan tambahan minyak zaitun untuk mencapai pemenuhan target MUFA dan suplementasi mikronutrien vitamin B kompleks, vitamin C, asam folat dan tablet seng.
Hasil: Kadar glukosa darah keempat pasien selama perawatan berada dalam rentang 140-180 mg per dL, sesuai dengan rekomendasi. Kapasitas fungsional dua pasien mengalami peningkatan sedangkan dua pasien lainnya tidak mengalami perubahan.
Kesimpulan: Dukungan nutrisi dengan penambahan bahan makanan sumber tinggi MUFA pada pasien stroke iskemik dengan diabetes melitus ikut membantu dalam proses penyembuhan pasien.

Background: Ischemic stroke accompanied by diabetes mellitus is a common condition. Acute ischemic stroke often occurs together with the increase of blood glucose levels. Nutritional support is needed to control blood glucose and improve functional capacity. One of nutrient that can control blood glucose levels is monounsaturated fatty acids (MUFA), which derived from olive oil.
Methods: This case series reported four ischemic stroke patients accompanied by DM which age range of 52-66 years and varied nutritional status. Nutritional medical therapy was given in accordance with nutritional guidelines for stroke and DM. All of patients were given an additional olive oil to achieve the fulfillment of MUFA targets and supplementation of micronutrient such as vitamin B complex, vitamin C, folic acid and zinc tablets.
Results: The blood glucose levels of all patients during the treatment were in the range of 140-180 mg per dL, according to the recommendations. The functional capacity of the two patients has increased while the other two patients have not.
Conclusion: Nutritional support with the addition of high-source of MUFA food in ischemic stroke patients with diabetes mellitus may support the improvement of healing process.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Sakti Muliawan
"Latar Belakang : Disfungsi ventrikel kanan merupakan prediktor mortalitas dan morbiditas terburuk  pada pasien dengan hipertensi pulmonal (HP) prekapiler yang independen terhadap resistensi vaskular paru (RVP). Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian penghambat oksidasi asam lemak seperti trimetazidine dapat memperbaiki fungsi ventrikel kanan pada hewan coba HP prekapiler. Oleh karena itu, kami berhipotesa bahwa terapi trimetazidine dapat memperbaiki fungsi ventrikel kanan pada pasien HP prekapiler.
Tujuan Penelitian : Mengetahui efek trimetazidine terhadap fungsi ventrikel kanan pasien HP prekapiler.
Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda. Sampel diambil secara acak dari populasi terjangkau pasien HP prekapiler yang berobat di poliklinik Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK). Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan mendapatkan tablet trimetazidine atau plasebo selama 3 bulan diatas terapi standar HP. Pasca terapi, kedua grup akan dilakukan evaluasi terhadap luaran berupa perubahan fungsi ventrikel kanan yang diukur melalui MRI kardiak pada bulan ke-3.
Hasil : Terdapat 26 subjek penelitian HP prekapiler diikutsertakan dalam penelitian ini dan dirandomisasi ke dalam grup plasebo atau trimetazidine. Sebanyak 10 pasien grup trimetazidine dan 10 pasien grup plasebo berhasil menjalani proses penelitian sampai selesai. Didapatkan perbaikan fungsi fraksi ejeksi ventrikel kanan (FEVKA) secara bermakna pada grup trimetazidine 3.87+1.5% dibandingkan dengan grup plasebo -2.76+1.6% (p0.008, IK 1.96-10.96). Terdapat pula perbaikan kapasitas fungsional secara bermakna pada grup trimetazidine 0.24+0.09 dibandingkan dengan plasebo -0.44+0.16 (p 0.002, IK 0.28 s/d 1.08).
Kesimpulan : Terdapat perbaikan fungsi FEVKA dan kapasitas fungsional secara bermakna pasca terapi trimetazidine selama 3 bulan dibandingkan dengan plasebo diatas terapi standar HP yang sudah rutin dikonsumsi.

RATIONALE: Right ventricular dysfunction is the worst mortality predictor in pulmonary arterial hypertension (PAH). Recent animal PAH studies have demonstrated the benefit of partial fatty acid inhibitor such as trimetazidine in improving right ventricular function. Therefore, we hypothesize that trimetazidine can improve right ventricular ejection fraction (RVEF) in PAH patients.
OBJECTIVE : Investigating the effect of  trimetazidine on right ventricle function in PAH patients.
METHODS: We conducted 3 months randomized double blind placebo controlled trial on PAH patients at outpatient clinic in National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital Indonesia. Those who fulfilled the inclusion criteria will be randomized into trimetazidine or placebo group for 3 months on top of their standard PAH regime. The primary outcome of this study is the differences of RVEF.
MEASUREMENT AND MAIN RESULTS: We randomly enrolled 26 PAH patients equally to receive placebo or trimetazidine for 3 months on top of their standard PAH regime. Total of 10 patients in each group was able to finish the study. There was significant improvement of RVEF in trimetazidine group 3.78+1.5% compared to placebo 2.76+1.6% (p 0.008, CI 1.96 to 10.96). Furthermore, we also observed improvement of functional capacity in trimetazidine group 0.24+0.09 compared to placebo -0.44+0.16 (p 0.002, CI 0.28 s/d 1.08).
CONCLUSIONS: Trimetazidine therapy for 3 months on top of standard PAH regime significantly improve RVEF and functional capacity in PAH patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Hapsari Suprobo
"Latar Belakang. Kondisi hipoksia kronik pada pasien dengan penyakit jantung bawaan sianotik akan menurunkan oksigenasi jaringan sehingga terjadilah mekanisme adaptasi yaitu eritrositosis sekunder. Besi merupakan substrat yang penting dalam produksi hemoglobin dan cadangan besi untuk menjaga kadar hemoglobin yang adekuat. Namun 50% pasien dengan kelainan penyakit jantung bawaan sianotik mengalami defisiensi besi dan kondisi ini dikaitkan dengan gangguan kapasitas fungsional akibat berkurangnya pengiriman oksigen dan efeknya terhadap metabolisme pada otot rangka. Kadar feritin serum merupakan pemeriksaan yang paling awal dan akurat untuk menilai defisiensi besi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar feritin serum dengan kapasitas fungsional pada pasien Tetralogi Fallot (TF).
Metode. Studi potong lintang dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta pada pasien TF usia 4-8 tahun yang belum menjalani operasi paliatif dan atau operasi definitif. Dilakukan pengumpulan karakteristik dasar, kadar feritin serum, ekokardiografi, serta uji jalan 6 menit. Dilakukan uji korelasi dan analisis multivariat menggunakan uji regresi.
Hasil. Diteliti sebanyak 20 pasien TF dengan rentang usia 51 hingga 98 bulan. Nilai tengah kadar feritin serum adalah 39.75 g/L (kadar terendah 5g/L, kadar tertinggi 246g/L). Nilai tengah kadar hemoglobin adalah 16.4 g/dL, kadar terendah 12 g/dL dan kadar tertinggi 20 g/dL. Limapuluh persen pasien memiliki kadar feritin serum di bawah normal (< 40 g/L). Pada uji korelasi antara kadar feritin serum dengan jarak uji jalan 6 menit didapatkan nilai r = 0.23 dengan nilai p = 0.34. Pada uji regresi linear pada 2 kelompok, ditemukan perbedaan rerata jarak uji jalan 6 menit pada kelompok dengan kadar feritin lebih tinggi (> 40 g/L, n = 10) sebesar 46,83 m dibandingkan dengan kelompok feritin rendah (< 40 g/L, n = 10) dengan koefisien β = 46,83; IK 95 -47,81- 141,47 p = 0,307.
Kesimpulan. Secara klinis terdapat kecenderungan pasien TF dengan kadar feritin serum yang lebih tinggi mampu menempuh jarak uji jalan 6 menit yang lebih jauh walaupun secara satistik tidak bermakna.

Background. Chronic hypoxia in cyanotic congenital heart disease (CCHD) result in reduced of tissue oxygenation, therefore stimulates adaptive mechanism of secondary erythrocytosis. Iron is a vital substrate for hemoglobin production and sufficient iron stores are necessary to achieve and maintain adequate levels of hemoglobin. Unfortunately, 50% of patients with cyanotic CHD are iron-deficient and this condition is associated with exercise intolerance through reduced oxygen delivery and its effect on skeletal muscle cell metabolism Ferritin serum level is the most accurate test to determine iron deficiency. Aim of this study is to evaluate the association between ferritin serum level and functional capacity in patient with Tetralogy of Fallot (TOF).
Methods. A cross-sectional study was done in Department Cardiology and Vascular Medicine, Faculty Medicine Universitas Indonesia / National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in patients with TOF aged 4-8 years old before the palliatif and or definite operation. The data collected from patients including basic characteristic, ferritin serum level and erythocyte index and six minute walk test result. Statistical analysis was done using correlation test and multivariat analysis using regression test.
Result. Twenty subjects of TF aged 51 to 98 months was collected. Median level of ferritin serum level was 39.75 g/L (the lowest level 5g/L, the highest level 246g/L). Median level of hemoglobin level was (the lowest level 12 g/dL, the highest level 20 g/dL). Fifty percent of patients had abnormal feritin serum level (< 40 g/dL). There was a correlation coefficient (r) of 0,23 with p value of 0,34 found on the correlation between ferritin serum level and six minute walk test distance. However, on linear regression test between 2 groups of ferritin serum, 46,83 m mean difference of six minute walk test distance found between higher level of ferritin serum group (> 40 g/d, n = 10), and lower level of ferritin serum group (< 40 g/d, n = 10) with β = 46,83; IK 95 -47,81- 141,47 p = 0,307.
Conclusion. Clinically in patients with higher level of feritin serum there is a tendency able to walk farther on six minute walk test, although statitically not significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patrick William Gading
"ABSTRAK
Kesesuaian Jarak Tempuh Uji Jalan Enam Menit Lintasan dengan Uji Jalan Enam Menit Jentera pada Dewasa Sehat IndonesiaAbstrakLatar Belakang. Penilaian kapasitas fungsi seseorang sangatlah penting untuk keperluan penentuan program latihan, evaluasi program latihan dan prognosis seseorang. Sebuah uji yang mudah, cepat, dan tidak membutuhkan perlengkapan yang rumit untuk menentukan kapasitas fungsi kebugaran kardiorespirasi terus dikembangkan, tetapi uji jalan enam menit yang menjadi standar saat ini pun terkadang sulit dilakukan karena keterbatasan fasilitas lintasan. Sehingga dibutuhkan adanya uji alternatif lainnya yang menggunakan fasilitas ruang yang lebih memadai dan mampu laksana dalam kondisi apa pun. Tujuan penelitian ini untuk menilai kesesuaian jarak Uji jalan 6 menit dengan jentera dibandingkan dengan jarak Uji jalan enam menit lintasan sebagai uji penilaian kebugaran kardiorespirasi.Metode. Disain observasional potong lintang. Penelitian ini dilakukan terhadap 46 usia dewasa muda sehat yang didapat secara konsekutif. Jarak tempuh dalam studi ini dilihat tingkat kesesuaiannya dengan menggunakan uji spearman dan uji Bland altmand.Hasil. Jarak tempuh uji jalan enam menit pada jentera memiliki mean 508.8 61, sedangkan lintasan 514.4 47. Berdasarkan Uji t berpasangan didapatkan rerata selisih antara kedua pemeriksaan adalah -5,6 IK 95 -23,6-12,31 dengan hasil nilai p 0,533. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan signifikan antara pengukuran jarak tempuh menggunakan jentera dan lintasan. Hasil uji Spearman mendapatkan nilai p 0.002 dan kekuatan korelasi r=0,463.Simpulan. Didapatkan kesesuaian antara jarak tempuh Uji jalan enam menit jentera dengan Uji jalan enam menit lintasan dengan korelasi sedang.ABSTRACT Agreement between Hallway Six Minutes Walk Distance and Treadmill Six Minutes Walk Distance in Healthy Indonesian AdultsAbstractBackground. Assessment of the functional capacity is important to determine the exercise program, evaluation and prognosis of a person. A test that is easy, fast, and does not require complex equipment to determine the capacity of cardiorespiratory fitness function continues to be developed, but the standard six minute test is at times difficult to perform due to the limitation of space or track. So a need for an alternative test with less adequate space is required. The purpose of this study to assess the agreement of the treadmill six minute walk test compared to the hallway six minutes walk test as a cardiorespiratory fitness assessment test.Methods. A cross sectional observational design. This study was conducted on 46 healthy young adults. The agreement between the distances treadmill and hallway is measured using the Spearman and Bland Altmand test.Results. Treadmill six minutes walk distance has a mean of 508.8 61, while the hallway is 514.4 47. Paired t test found a mean difference between both tests 5.6 95 CI 23,6 12,31 with the result p value 0.533. Thus there is no significant difference between the measurement of the distance between treadmill and hallway. From the Spearman 39 s test we found p 0.002 with correlation strength r 0.463.Conclusions. There rsquo s agreement between treadmill six minute walk distance to hallway six minute walk distance with moderate correlation."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cipuk Muhaswitri
"Malnutrisi pada kanker nasofaring (KNF) disebabkan oleh peradangan, sel tumor dan efek kemoradioterapi. Malnutrisi dikaitkan dengan penurunan kualitas hidup, fungsi fisik, dan kelangsungan hidup. Pemberian nutrisi pasien KNF yang menjalani radioterapi (RT) memperbaiki status gizi, kapasitas fungsional, dan prognosis keseluruhan. Pasien KNF dengan kaheksia, usia 29 - 67 tahun, tiga pria dan satu wanita yang menjalani kemoradioterapi. Diberikan nutrisi sesuai kebutuhan energi, makronutrien, mikronutrien, dan nutrien spesifik. Pemantauan pasien di awal, hingga RT selesai, pada keluhan terkait terapi, analisis asupan, antropometri, komposisi tubuh, kapasitas fungsional, dan pemeriksaan CRP. Didapatkan penurunan asupan pada empat pasien saat RT, tetapi meningkat lagi pada tiga pasien setelah pemasangan NGT. Satu pasien dengan peningkatan berat badan (BB), sedangkan 3 pasien lainnya BB menurun 2,2-13% pasca RT. Tiga pasien dengan CRP meningkat pada awal RT, tetapi hanya 1 pasien dengan CRP kembali normal. Massa otot meningkat pada 3 pasien setelah RT. Tiga pasien mengalami perbaikan skor ECOG pasca RT, dan satu pasien dengan skor ECOG tetap stabil. Pemasangan NGT dapat mempertahankan asupan pasien. Terapi nutrisi memperbaiki penurunan BB, tetapi tidak terlihat kaitan dengan CRP, massa otot dan kapasitas fungsional karena faktor lain.

Malnutrition in nasopharyngeal carcinoma (NPC) is induced by inflammation, tumor cells and the effects of chemoradiotherapy. Malnutrition is associated with decrease in quality of life, physical function and survival. Nutritional therapy to NPC who underwent radiotherapy (RT) improves nutritional status, functional capacity, and prognosis. NPC cachexic patients, ages 29 - 67 years, three male and one female, all underwent chemoradiotherapy. Nutrition therapy start with planning of energy, macronutrient, micronutrient and specific nutrients needs. Patients monitoring start from the the beginning, until completed RT, related to therapy, intake analysis, anthropometry, body composition, functional capacity, and C-Reactive Protein (CRP) examination. Decrease intake in four patients during RT, but it increased in three patients after NGT insertion. One patient increase body weight (BW), while other 3 patients dropped BW 2.2-13% post-RT. Three patients increase in CRP at the start of RT, but only 1 CRP patient returned to normal. Muscle mass increased in 3 patients after RT. Three patients had improved ECOG scores after RT, and one patient with ECOG scores remained stable. Insertion of NGT can maintain patient intake. Nutritional therapy maintains BW, but does not appear to be related to CRP, muscle mass and functional capacity due to other factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57667
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Diah Erlinawati
"Stroke iskemik pada pasien geriatri meningkatkan risiko malnutrisi yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu disfagia, tipe stroke, masalah gastrointestinal, disabilitas fisik,
penyakit komorbid dan psikologis. Tujuan utama intervensi nutrisi adalah membantu
pemulihan fungsi neurokognitif dan mencegah defisit energi dan protein. Pasien pada
serial kasus ini adalah pasien geriatri berusia di atas 65 tahun dengan diagnosis stroke
iskemik yang dirawat di RSCM pada bulan Agustus-September 2019. Terapi medik gizi
diberikan pada keempat pasien sesuai dengan kondisi klinis masing-masing pasien
melalui jalur enteral. Satu pasien dapat makan melalui jalur oral di akhir perawatan.
Suplementasi mikronutrien yang diberikan adalah vitamin B6, vitamin B12, vitamin C,
asam folat dan seng. Hasil yang didapatkan selama perawatan sebanyak tiga pasien
mencapai kebutuhan energi total (KET)dan satu pasien mencapai kebutuhan 83% KET.
Asupan protein mencapai target 1,2 g/kg BB atau lebih pada tiga orang pasien.
Suplementasi mikronutrien mencapai nilai AKG bagi usia di atas 65 tahun. Mikronutrien
belum mencapai AKG yaitu vitamin E, vitamin D, kalium, magnesium. Nutrien spesifik
omega-3 dan kolin yang diperoleh dari asupan makan pada sebagian pasien belum
memenuhi AKG. Lama perawatan pasien di rumah sakit 10 hingga 33 hari. Nilai severitas
stroke dengan NIHSS dan kapasitas fungsional dengan FIM di akhir perawatan
menunjukkan perbaikan. Keempat pasien pulang ke rumah dengan keadaan klinis
perbaikan. Kesimpulan yang didapatkan yaitu terapi medik gizi yang adekuat berperan
memperbaiki derajat keparahan dan kapasitas fungsional pasien geriatri dengan stroke
iskemik.

The geriatric patient with ischemic stroke increased risk of malnutrition, which because
various causes including dysphagia, type of stroke, gastrointestinal problems, physical
disability, comorbid disease and psychological problem. The main purpose of nutrition
intervention is to help restore neurocognitive function and prevent energy/protein deficits.
Patients in this case series were geriatric patients aged over 65 years with a diagnosis of
ischemic stroke who were treated at the Cipto Mangunkusumo General Hospital in
August-September 2019. Medical nutrition therapy was given to all four patients,
according to the clinical condition of each patient through the enteral route. One patient
could eat by oral route at the end of treatment. Patients have given oral micronutrient
supplementation consisting of vitamin B6, Vitamin B12, vitamin C, folic acid and zinc.
The results obtained as many as three patients achieved total energy requirements and one
patient reached 83% energy requirements. Protein intake reached the target of 1,2 g/kg
body weight just in three patients. Supplementation micronutrients oral reached RDA
values for people over 65 years. Micronutrients that have not yet reached the RDA were
vitamin E, vitamin D, potassium, magnesium. Omega-3 and choline obtained from food
intake in some patients do not meet the RDA. The length of stay in the hospital was around
10-33 days. The value of stroke severity with NIHSS and functional capacity with FIM
at the end of treatment showed improvement. All four patients returned home with
improvement. The conclusion obtained is that adequate nutritional medical therapy plays
a role in improving the severity and functional capacity of geriatric patients with ischemic
stroke."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira Kurnia
"Latar Belakang: Kondisi MS akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan atrium kiri secara progresif dan menyebabkan remodelling serta dilatasi atrium kiri. Proses ini akan berakhir dengan penurunan komplians dari atrium kiri dan menyebabkan perubahan secara morfologis dan fungsional. Beberapa studi menunjukkan pengukuran Strain atrium kiri pada pasca tindakan balloon mitral valvuloplasty (BMV) menunjukkan perbaikan yang bermakna. Namun belum ada yang menilai hubungan antara perubahan Strain atrium kiri dengan perbaikan kapasitas fungsional pada pasien MS pasca tindakan BMV.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hubungan antara perubahan Strain atrium kiri dengan perubahan kapasitas fungsional pada pasien MS pasca tindakan BMV.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah studi dengan one group pre-post design. Penelitian ini menggunakan data pemeriksaan ekokardiografi dan data kapasitas fungsional pasien mitral stenosis yang dilakukan tindakan BMV pada Maret 2019 hingga April 2020. Dilakukan pengukuran strain atrium kiri dengan metode speckle tracking echocardiography. Data sebelum dan sesudah BMV dianalisis untuk mencari hubungan variabel terhadap perubahan kapasitas fungsional.
Hasil: Pasca tindakan BMV, terjadi perbaikan signifikan kapasitas fungsional yang ditandai dengan perbaikan median lama latihan (241 (18 – 1080) ke 606 (80 – 1900) detik, p <0.0001) dan perbaikan median nilai VO2max estimasi (18,8 (10,2 – 51,4) ke 33(12,6-83,2) mlO2/kg/menit, p <0.0001). Strain atrium kiri mengalami perubahan signifikan pasca tindakan BMV dari median 8(2-23)% ke 11(4-27)%. Dari uji korelasi didapatkan bahwa pre-MVG (r 0,23, adjusted R2 = 4,9%) berkorelasi terhadap perubahan kapasitas fungsional. Pada analisis bivariat dan multivariat didapatkan bahwa perubahan strain atrium kiri tidak berhubungan dengan perubahan kapasitas fungsional. Nilai pra MVA >1 cm2 (OR 7,37, IK 95% 1,0-54,35; p = 0,05) pra MVG > 10 mmHg (OR 6,6, IK 95% 1,71-25,5; p = 0,006) dan pra mPAP < 25 mmHg (OR 5,96, IK 95% 1,37-25,9; p = 0,017) berkorelasi terhadap perbaikan lama latihan pasca tindakan BMV.
Kesimpulan: Perubahan strain atrium kiri tidak berhubungan dengan perubahan kapasitas fungsional pada pasien MS pasca tindakan BMV.

Background: MS conditions will cause a progressive increase in left atrial pressure, remodelling and left atrial dilatation. This process will end with a decrease of left atrial compliance, causing morphological and functional changes. Several studies have shown that left atrial strain measurements after the BMV procedure showed significant improvement. However, no study has assessed the relationship between changes in left atrial strain and improvements in functional capacity in MS patients after the BMV procedure.
Objectives: This study aimed to evaluate the association between left atrial strain changes and functional capacity changes in MS patients after BMV procedures
Method: This is a one group pre-post design using retrospective data. This study used echocardiographic and functional capacity data of mitral stenosis patients who underwent BMV procedures from March 2019 to April 2020. Left atrial strain was measured using the speckle tracking echocardiography method. Data before and after BMV were analyzed to find the association of variables to changes in functional capacity.
Results: After the BMV procedure, there was a significant improvement in functional capacity as indicated by an improvement in the median length of exercise (241 (18 – 1080) to 606 (80 – 1900) seconds, p <0.0001) and an improvement in the median estimated VO2max value (18.8 (10.2). – 51.4) to 33(12.6-83.2) mlO2/kg/min, p < 0.0001). The left atrial strain underwent a significant change after the BMV procedure from a median of 8(2-23)% to 11(4-27)%. From the correlation test it was found that pre-MVG (r 0.23, adjusted R2 = 4.9%) correlated with changes in functional capacity. In bivariate and multivariate analysis, it was found that changes in left atrial strain were not associated with changes in functional capacity. Pre MVA value >1 cm2 (OR 7.37, CI 95% 1.0-54.35; p = 0.05) pre MVG > 10 mmHg (OR 6.6, CI 95% 1.71-25.5 ; p = 0.006) and pre mPAP < 25 mmHg (OR 5.96, CI 95% 1.37-25.9; p = 0.017) correlated with the improvement in duration of exercise after the BMV action.
Conclusion: Changes in left atrial strain are not associated with changes in functional capacity in MS patients after the BMV procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>