Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yunita Dian Ika Ratnasari
"ABSTRAK
Latar belakang: Sindrom dispepsia fungsional merupakan gejala gastrointestinal
yang bersifat kronis atau rekuren dan tidak dapat dijelaskan, karena abnormalitas
biokimia atau struktural pada evaluasi menggunakan pemeriksaan diagnostik
standar tidak menunjukkan adanya abnormalitas. Pada penelitian ini ingin
diketahui apakah pekerja rumah sakit yang bekerja dengan sistem kerja gilir
berhubungan dengan sindrom dispepsia fungsional dibandingkan dengan pekerja
yang tidak bekerja secara gilir.
Metode: Desain studi yang digunakan adalah komparatif potong lintang yang
membandingkan antara pekerja dengan sistem kerja gilir dengan pekerja bukan
dengan sistem gilir. Data yang digunakan adalah data primer (kuesioner dan
wawancara), dan data sekunder (rekam medis serta data kepegawaian). Subjek
terdiri dari 218 pekerja (109 pekerja gilir dan 109 pekerja bukan gilir).
Hasil penelitian: Prevalensi dispepsia fungsional pada pekerja rumah sakit
Jakarta adalah 42,2%. Pada analisis multivariat didapatkan bahwa kerja gilir
(OR=2,22 (1,212-4,086) p=0,010), usia (OR=0,39 (0,209-0,752) p=0,005), pola
makan (OR=1,90 (1,045-4,455) p=0,035), dan status perkawinan (OR=2,49
(1,097-5,651) p=0,029) mempunyai hubungan bermakna dengan dispepsia
fungsional.
Pembahasan: Kerja gilir, usia, pola makan, dan status perkawinan merupakan
faktor risiko sindrom dispepsia fungsional. Usia dan jenis kelamin menjadi faktor
protektif. Usia menjadi faktor protektif karena adanya mekanisme adaptasi
dispepsia. Jenis kelamin sebagai faktor protektif mungkin disebabkan pada
perempuan tingkat kesadaran terhadap kesehatan lebih tinggi yang menyebabkan
angka mortalitas lebih kecil daripada laki-laki

ABSTRACT
Background: Functional dyspepsia syndrome is a gastrointestinal symptoms that
are chronic or recurrent and can not be explained, because the biochemical or
structural abnormalities in the evaluation using standard diagnostic examination
showed no abnormalities. In this study, we want to know whether the hospital
workers who worked shift work system associated with the syndrome of
functional dyspepsia compared with workers who do not work in shifts.
Method: The study design used was a comparative cross-sectional comparing
between workers with shift work system to workers who work not with the shift
system. The data used are primary data using questionnaires and interviews, and
secondary data through medical records and employment data. Subjects consisted
of 218 employees (109 workers with shift work and 109 workers without shift
work).
Results: The prevalence of functional dyspepsia at Jakarta hospital workers was
42.2%. On multivariate analysis, it was found that shift work (Adj. OR=2.22
(1.212-4.086) p=0.010), age (Adj. OR=0.39 (0.209-0.752) p=0.005), diet (Adj.
OR=1.90 (1,045-4.455) p=0.035) and marital status (Adj. OR=2.49 (1.097-5.651)
p=0.029) had a significant relationship with functional dyspepsia.
Discussion: Shift work, age, diet, and marital status are risk factors syndrome
functional dyspepsia. Age and sex becomes a protective factor. Age becomes a
protective factor for their adaptation mechanism of dyspepsia. Gender as a
protective factor may be due to the level of awareness of women's health is
higher that causes of mortality rate is smaller than the male"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Fajariyadi Hantoro
"In up to 80% of dyspepsia patients who consult a physician in the hospital, dyspepsia is considered to be functional dyspepsia. Although not associated with increased mortality, functional dyspepsia is a burden at both the community and national levels because it can cause physical, mental, and social ditress that can affect a patients quality of life. Health-related quality of life (HRQOL) is a multidimensional construct comprising at least three broad domains-physical, psychological, and social functioning-which can all be affected by a disease and its treatment. It is important to assess HRQOL in patients with functional dyspepsia to identify the effects of the disease and its treatment on patients. Both disease-specific and generic instruments can be used to assess HRQOL in patients with functional dyspepsia. Each instrument has it own advantages and limitations. The selection of instrument to assess HRQOL is determined by the study population, research questions, disease entities, and researcher preferences. The purpose of this article is to explain the concept of HRQOL and the use of HRQOL assessment in patients with functional dyspepsia.

Hampir 80% pasien dispepsia yang berobat ke rumah sakit merupakan dispepsia fungsional. Dispepsia fungsional walaupun tidak meningkatkan mortalitas, namun dapat menjadi beban bagi komunitas dan negara, karena menimbulkan gangguan terhadap fisik, mental dan kualitas hidup pasien. Kualitas hidup terkait kesehatan merupakan konstruksi multidimensi yang terdiri dari setidaknya tiga domain yaitu fungsi fisik, psikologis dan sosial yang ketiganya dipengaruhi oleh penyakit dan pengobatan yang diberikan. Penilaian kualitas hidup terkait kesehatan merupakan hal yang penting pada pasien dispepsia fungsional untuk dapat mengidentifikasi dampak dari penyakit dan pengobatan yang diberikan kepada pasien. Instrumen generik dan spesifik penyakit dapat digunakan untuk menilai kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien dispepsia fungsional. Masing-masing instrumen memiliki kelebihan dan keterbatasan. Pemilihan instrumen untk menilai kualitas hidup terkait kesehatan ditentukan berdasarkan populasi penelitian, pertanyaan penelitian, entitas penyakit, dan preferensi dari peneliti. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan mengenai konsep kualitas hidup terkait kesehatan dan penilaian kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien dispepsia fungsional."
Jakarta: Interna Publishing, 2018
610 UI-IJIM 50:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Halim
"Latar belakang
Dispepsia fungsional merupakan kumpulan gejala GIT dengan berbagai faktor penyebab. Depresi merupakan salah satu faktor yang berperan panting pada penderita dispepsia fungsional. Depresi sering dijumpai pada penderita dispepsia fungsional dalam menghadapi kehidupannya dan sering terabaikan dalam penatalaksanaannya.
Anggota TNI AD merupakan populasi pilihan dan diharapkan mempunyai ketahanan mental dan frsik yang lebih baik. Dalam menghadapi tugas dan kehidupannya, bagaimana peranan depresi pada anggota TNI AD yang menderita dispepsia fungsional
Metodologi
Sampel didapatkan secara konsekutif sebanyak 95 anggota TNI AD yang menderita dispepsia fungsional di RSPAD Gatot Soebroto, periode Oktober 2005 sampai Juli 2006 dan dilakukan wawancara terstruktur dengan instrumen SLID I untuk diagnosis gangguan depresi berdasarkan DSM IV.
Hasil
Prevalensi depresi pada anggota TNI AD yang menderita dispepsia fungsional adalah sebesar 54,7 %. Faktor-faktor seperti umur (diatas 40 tahun), pangkat (Perwira), tempat tugas (di Staf, di daerah operasi militer, waktu tugas di daerah operasi militer), tempat tinggal (rumah sendiri) dan pemikahan menunjukkan kecenderungan mengalami depresi.
Simpulan
Kejadian depresi pada anggota TNI AD yang menderita dispepsia fungsional tidak jauh berbeda dengan populasi umum.

Background
Functional dyspepsia is a syndrome of GIT symptoms with multifactor etiologies. Depression is one of the important factors that influence on functional dyspepsia patient Depression is often found on functional Dyspepsia patient in facing their life event and is often ignored in the treatment.
The Indonesian army forces were selected population and are expected to have better mental and physical endurance. In facing the military duty and life event, how is the relation of depression in the army patient with functional dyspepsia.
Method
95 Samples were obtained consecutively from the army patient with functional dyspepsia in RSPAD Gatot Soebroto between October 2005 and July 2006 by using structured interview with SCID-1 instrument for the diagnosis of depression disorders according to DSM IV
Result
The prevalence of depression of Indonesian army with functional dyspepsia was 54.7%. Factor such as age (above 40 years), official rank, staff assignment, military operation and point of military operation time, living in own residence and the marriage are shown to have depression tendency.
Conclusion
The prevalence of depression of Indonesian army with functional dyspepsia was found to be almost equally comparable with general population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18183
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eryati Darwin
"Background: pathophysiology of functional dyspepsia remains poorly understood. Many factors such as gastric motility disorder, visceral hypersensitivity, Helicobacter pylori (Hp) infection, psychological stress and excessive gastric acid secretion play roles in this symptom. Psychological stress may promote peptic ulcer and has an effect on ulcers-associated Hp. This study aimed to determine Helicobacter pylori activity and expression of mucosal IL 6 and their association with psychological stress.
Methods: a cross-sectional study was done among 40 outpatients with dyspeptic syndromes in M. Djamil General Hospital and two community health centers in Padang. The subjects were divided into two groups, with and without psychological stress, which were identified using DASS 42. Gastric biopsy specimens and peripheral blood samples were taken while performing esophagogastroduodenoscopy. Immunohistochemistry methods was used to determine the expression of IL 6 and Hp in gastric mucosa. The correlation of each variable in the group experiencing psychological stress and non stress was analyzed using Chi square test.
Results: there were 40 patients with functional dyspepsia with average age of 37.58(SD 11.82) years old. The cortisol levels were significantly different between both groups (non stress vs. stress groups); moreover, morning cortisol level in psychological stress group was higher beyond normal limit. Interleukin 6 expression, as the evidence of inflammatory activity, seemed higher in non stress group than the group with psychological stress (8.25% vs. 7.25%). Helicobacter pylori activity was seemed to be increased in the stress group as characterized by higher numbers of invasion to the sub mucosa epithelium compared to the non stress group (11 vs. 7 subjects).
Conclusion: psychological stress seems to have no correlation with IL-6 in gastric mucous of patients with functional dyspepsia; however, there is an evidence of increasing activity of Helicobacter pylori.

Latar belakang: patofisiologi dispepsia fungsional masih belum bisa dipahami sepenuhnya. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya gangguan motilitas gaster, hipersensitifitas viseral, infeksi Helicobacter pylori (Hp), stres psikologis, dan sekresi asam lambung yang berlebihan. Penelitian ini bertujuan menentukan aktifitas Helicobacter pylori, ekspreksi mukosa IL-6, dan hubungannya dengan stres psikologis.
Metode: studi potong lintang dilakukan pada 40 pasien rawat jalan di Rumah Sakit Umum M. Djamil dan 2 Puskesmas di Padang. Mereka dibagi dalam dua kelompok, dengan atau tanpa stres psikologi, yang diidentifikasi dengan menggunakan DASS 42. Sampel biopsi gaster dan darah perifer diambil saat esofagoduodenoskopi. Metode imunohistokimia digunakan untuk menentukan ekspresi IL-6 dan Hp di mukosa gaster. Hubungan masing-masing variabel dalam kelompok yang mengalami tekanan psikologis dan non-stres dianalisis dengan uji Chi-kuadrat. Hasil: penelitian ini dilakukan pada 40 penderita dispepsia fungsional dengan rerata umur 37,58±11,82 tahun. Didapatkan nilai kortisol plasma berbeda bermakna di antara kedua kelompok (non-stress vs stress), bahkan kortisol pagi pada kelompok stress melebihi nilai normal. Ekspresi IL-6 sebagai bukti terdapat aktifitas inflamasi terlihat lebih banyak pada kelompok non stress dibandingkan dengan kelompok stress (8,25% vs 7,25%). Aktifitas Helicobacter pylori terlihat meningkat pada kelompok stress, ditandai dengan terlihatnya jumlah yang menginvasi ke submukosa lebih banyak dibandingkan kelompok non-stress (11 vs. 7).
Kesimpulan: stres psikologis terlihat tidak berhubungan dengan IL-6 pada dispepsia fungsional mukosa gaster namun terdapat bukti adanya peningkatan aktifitas Helicobacter pylori
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arina Widya Murni
"Background: There are many determinant factors that may paly roles in pathophysiology of functional dyspepsia. One of them is psychological stress that cab increase plasma cortisol levels, alter inflammation process and affect helicobacter pylori activity. No study has been conducted to find out the dominant factor among them. This study aimed to find the dominant factor among plasma cortisol levels, IL-6 and IL-8 expressions and H.pylori activity, as the determinant factors in the pathophysiology of functional dyspepsia.
Methos: a cross-sectional study was conducted in 80 patients with dyspepsia syndrome at M.Djamil General Hospital, Padang, West Sumatera, Indonesia. The patients were categorized into two groups, i.e. the stress and non-stress group, which were identified using DASS 42 questionairre criteris. The inflammatory expressions (IL-6 and IL-8 expressions) as well as H. pylori ativity were determined using immunohistochemistry of gastric biopsy specimens; while plasma cortisol levels was measured from peripheral blood samples. Data were analyzed using binary multivariate logistic regression.
Results: there were 80 patients with functional dyspepsia with mean age of 38.9 years old. The morning cortisol level was found significantly higher in the stress group. Higher IL-6 and IL-8 expressions were found in patients of non stress group compared to those in the other group (IL-6; 73.28 (SD 16.60) vs. 72.95 (SD 19.49 and IL-8 18.45 (SD 17.32) vs. 14.80 (SD 12.71)) although stastically not significant. There was greater helicobacter pylori activity in the group with psychological stress compared to those in the non-stress group since there was antigen-antibody reaction invading the submucosa. The dominant determinant factor was the afternoon plasma cortisol levels.
Conclusion: many factors can become the determinant factors for gastric mucosal damage; however, our study has demonstrated that the dominant factor is afternoon plasma cortisol levels.

Latar belakang: berbagai faktor penentu diduga berperan dalam patofisiologi dispepsia fungsional, salah satunya adalah stres psikologis yang dapat meningkatkan kortisol, mengubah proses inflamasi dan memengaruhi aktivitas H. pylori. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menentukan faktor penentu mana yang dominan diantaranya. Tujuan penelitian ini untuk menemukan faktor mana yang dominan di antara kadar kortisol plasma, ekspresi IL-6, IL-8 dan aktivitas H. pylori sebagai faktor yang mempengaruhi patofisiologi dispepsia fungsional.
Metode: penelitian potong lintang ini dilakukan pada penderita sindrom dispepsia di Rumah Sakit Umum M. Djamil, Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Pasien dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok stres dan kelompok non-stres berdasarkan kriteria pada kuesioner DASS 42. Penilaian ekspresi inflamasi (IL-6 dan IL-8) dan aktifitas H. pylori dilakukan dengan pemeriksaan imunohistokimia pada jaringan biopsi mukosa lambung dan kadar kortisol plasma diukur dari sampel darah perifer. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan regresi logistik multivariat biner.
Hasil: terdapat 80 orang penderita dispepsia fungsional, dengan rerata umur 38,9 tahun. Kadar kortisol plasma pagi hari meningkat bermakna pada kelompok yang mengalami stres. Ekspresi IL-6 dan IL-8 lebih tinggi pada kelompok non stress dibandingkan dengan kelompok stress, namun tidak bermakna secara statistic (IL-6: 73,28 (SB 16,60) vs. 72,95 (SB 19,49); dan IL-8: 18,45 (SB 17,32) vs. 14,80 (SB 12,71) (stres). Helicobacter pylori pada kelompok stres lebih aktif karena reaksi Ag-ab menginvasi submukosa. Faktor yang dominan berperan pada dispepsia fungsional adalah kadar kortisol plasma sore hari.
Kesimpulan: banyak faktor dapat menjadi faktor determinan dari kerusakan mukosa lambung. Kadar kortisol plasma sore hari merupakan faktor yang dominan.
"
Jakarta: Interna Publishing, 2018
610 UI-IJIM 50:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library