Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shinta Widianti
Abstrak :
Skripsi ini membahas pandangan antikekerasan dan antirevolusi Goethe yang digambarkan melalui metafora-metafora dalam Novella (1826). Beberapa perubahan dari konsep awalnya berjudul Die Jagd (1797) hingga proses penulisannya di tahun 1826 menggambarkan perkembangan pandangan Goethe mengenai kekerasan dan revolusi. Untuk menganalisis permasalahan itu, digunakan teori Hermeneutik Gadamer, yang mengedepankan peleburan cakrawala pembaca dan cakrawala teks, terutama unsur historisnya. Makna berbagai metafora ini menggambarkan pandangan antikekerasan dan antirevolusi Goethe, bahwa semua itu bisa diatasi dengan seni dan keyakinan.
The focus of this study is Goethe's of anti-violence and anti-revolution through metaphors in his work, Novella (1826). Some changes from the first concept titled Die Jagd (1797), to the process in 1826 show the expand of his view about violence and revolution. To analyze this, I used Gadamer?s hermeneutic theory, which point the fusion of the reader's and the text?s horizon, especially from the historical side. The meaning of these metaphors explains Goethe?s view that art and faith can conquer violence and revolution.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S14819
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Darmaji
Abstrak :
Secara umum hermeneutik dimengerti sebagai teori penafsiran makna. Berdasarkan persoalan yang menjadi perhatian dalam hermeneutik, Josef Bleicher membagi hermeneutik menjadi tiga yaitu Teori Hermeneutik, Filsafat Hermeneutik, dan Hermeneutik Kritis. Hermeneutik Gadamer dimasukkan dalam kelompok Filsafat Hermeneutik. Filsafat Hermeneutik bertujuan untuk menerangkan dan membuat deskripsi fenomenologis atas Dasein dalam kaitan dengan temporalitas dan historisitasnya. Dengan demikian, pemikiran hermeneutik Gadamer dapat diringkaskan dengan istilah hermeneutik linguistik-ontologis daripada hermeneutik linguistik-epistemologis.

Dalam Truth and Method, Gadamer tidak bertujuan memberikan perangkat praktis untuk memahami dan menafsirkan teks, tetapi ingin menganalisis secara filosofis hakekat proses pemahaman dan penafsiran. Bagi Gadamer, hermeneutik lebih bersifat ontologis ketimbang epistemologis. Ia mengawali dengan analisis hermeneutis pengalaman estetis. Analisis tersebut mendasari analisis hakekat pemahaman hermeneutik. Baginya, pemahaman selalu terikat dengan aspek historisitasnya dan tidak melakukan usaha pemahaman dari kesadaran kosong. Aspek kesejarahan dan unsur-unsur subjektik penafsir menjadi prasyarat usaha pemahaman. Alih-alih mengejar objektivisme absolut-universal ditekankan sifat perspektif-kontekstual dalam usaha pemahaman seraya mengakui adanya otonomi pada subjek dan objek dalam proses tersebut, yang diistilahkan dengan cakrawala pemahaman. Pemahaman terjadi dalam peleburan cakrawala melalui percakapan dengan struktur pertanyaan-jawaban dan bahasa sebagai medium yang bersifat spekulatif dan terbuka. Meskipun bahasa menjadi kunci pemahaman pemikiran hermeneutiknya, namun Gadamer mengingatkan keterbatasan bahasa yang tidak mampu menghadirkan ada dari realitas yang ingin ditunjukkan.

Bahasa yang mempunyai ciri spekulatif dan keterbukaan tersebut menggarisbawahi bahwa Bahasa selalu ada dalam proses mejadi (becoming). Bahasa mempunyai dinamika otonom untuk menyingkapkan realitas dari ada (the being of reality). Bahasa bukan hasil aktivitas metodis subjek, melainkan pekerjaan dari realitas itu sendiri. Pekerjaan dari realitas itu sendiri merupakan gerakan spekulatif yang sesungguhnya, yang menggerakkan pembicara. Pergeseran arah yang ditegaskan Gadamer, yaitu dari realitas itu sendiri, dari proses membahasanya makna, menunjukkan suatu struktur ontologis-universal. Atas dasar hal ini pemahaman dapat mengarahkan diri.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Tulisan ini mmembahas tentang pengertian objektif dari sebuah karya baik menyangkut teks atau karya seni seseorang. Beberapa karya intelektual atau seniman terutama gagasan pemikiran adan karya seni dapat memberikan makna yang berbeda, tergantung pengalaman, pengetahuan dan dari sudut mana orang melihatnya. Karena itu bagaimana makna sesuatu itu bisa dinilai objektif? Dan bagaimana caranya mendapatkan makna objektif memerlukan langkah-langkah yang sesuai dengan bangunan dan struktur dari sebuah karya.Untuk memotret masalah ini,penulis memaparkan strategi penafsiran dari Hirsh dan gadamer
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
S.Panata Harianja
Abstrak :
Pluralitas dalam masyarakat adalah sebuah kenyataan yang tak terhindarkan. Selain menjadi kekayaan bagi sebuah masyarakat, keberadaan pluralitas ternyata juga memicu ketegangan dan bahkan konflik karena ketidaksetujuan (disagreement) atas nama suatu klaim kebenaran. Berbagai pemikiran mencoba merespon problem pluralitas tersebut, di antaranya adalah konsep toleransi klasik yang biasanya merujuk pada John Locke dengan bukunya yang berjudul A Letter Concerning Toleration. Penelitian ini menganalisis teks John Locke itu dengan metode hermeneutika Gadamer dan bantuan konsep komponen toleransi dari Rainer Forst. Konsep toleransi klasik Lockean digagas untuk mengabolisi intoleransi dalam konteks konflik keagamaan pada abad ke 17. Locke melihat manusia beragama punya kencerderungan bersikap ortodoks yang merupakan pintu menuju sikap intoleran. Susunan argumen Locke ini dirancang untuk menegaskan bahwa intoleransi adalah hal irasional. Penelitian ini ingin memperlihatkan bahwa konsep toleransi klasik Lockean masih memliki potensi relevansi bagi masyarakat plural karena sifat pragmatiknya dan karena pluralitas akan selalu menghadirkan disagreement. Dalam masyarakat plural yang dinamis diperlukan pluralitas pemikiran dan konsep toleransi klasik Lockean adalah salah satunya. ......Plurality is something inevitable in today's society. Besides being a great treasure to a society, the existence of society itself actually triggers tension and even conflicts because of disagreements made in the name of a claimed truth. A number of thoughts have tried to respond to this problem regarding plurality; one among them is the concept of classic tolerance that usually refers to John Locke with his book A Letter Concerning Toleration. This research analyzes John Locke’s text with Gadamer’s hermeneutic method and with the help of Rainer Forst’s concept of components of toleration. The Lockean concept of classic tolerance was created to abolish intolerance in the context of religious conflicts in the 17th century. Locke saw that religious people had a tendency to be orthodox in nature, often leading to an intolerant attitude. This argument of Locke’s was used to highlight how intolerance is something irrational. This research also aims to show that the Lockean concept of classic tolerance still holds potential relevance for pluralistic societies because of its pragmatic nature, and because disagreements will always find its way in plurality. A dynamic plural society requires a plurality of thoughts, and the Lockean concept of classic tolerance is one of them.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toto Sugiarto
Abstrak :
Disertasi ini menelaah sistem ideologi khas bangsa Indonesia, yaitu Sosio-Demokrasi Pancasila. Sistem ideologi sosio-demokrasi Pancasila dicita-citakan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan sosial. Realitas di tengah masyarakat sekarang, ada ketimpangan sosial dan jurang yang tajam antara yang miskin dan yang kaya. Penyebabnya adalah bangsa ini belum mempraktekan secara sempurna sistem sosio-demokrasi Pancasila sebagai yang digagas oleh para Bapak Pendiri Bangsa. Karena itu diperlukan upaya untuk menggali kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sistem sosio-demokrasi Pancasila. Penggalian ini, setidaknya, untuk mencapai dua tujuan. Pertama, mengkaji asumsi-asumsi terkait demokrasi khas Indonesia yang menurut Sukarno mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Artinya, menurut Sukarno sosio-demokrasi ini bisa menghasilkan kesejahteraan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sosio-demokrasi itu sendiri, seperti juga demokrasi liberal, adalah sistem yang dapat terjadi pembaruan di dalamnya, adaptasi dengan kehendak zaman. Kedua, melakukan penafsiran terhadap sosio-demokrasi dan asumsi-asumsi di dalam konsep sosio-demokrasi tersebut. Teks ditafsirkan dengan mengikutsertakan horison penulis. Konsep-konsep sosio-demokrasi yang lahir di era awal kemerdekaan Republik Indonesia ditafsirkan ulang di era sekarang ini. Dengan menggunakan metode hermeneutika Gadamer, peneliti menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip dalam sosio-demokrasi Pancasila dapat menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ......This dissertation examines the typical ideological system of the Indonesian nation, namely the socio-democracy of the Pancasila. The ideological system of Socio-democracy of Pancasila aspires to create a prosperous and socially just Indonesian society. The reality in today's society is that there is social inequality and a sharp gap between the poor and the rich. The reason is that this nation has not perfectly practiced the Pancasila socio-democratic system as initiated by the Founding Fathers. Because of this, efforts are needed to exhume the noble values embodied in the Pancasila socio-democratic system. This excavation, at least, to achieve two goals. First, it examines assumptions related to typical Indonesian democracy which, according to Sukarno, seeks political and economic order, state order and livelihood order. This means, according to Sukarno, this socio-democracy can produce socially just welfare for all Indonesian people. Socio-democracy itself, like liberal democracy, is a system that can be reformed within, adapting to the will of the times. Second, interpreting socio-democracy and the assumptions in the socio-democratic concept. The text is interpreted by including the author's horizon. The concepts of socio-democracy that were born in the early era of the independence of the Republic of Indonesia are reinterpreted in the current era. Using Gadamer's hermeneutic method, the researcher concludes that the principles of Pancasila socio-democracy can create social welfare and justice for all Indonesian people.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulius Thedy
Abstrak :
Kanji 口 kuchi merupakan kanji yang memiliki makna mulut. Makna mulut ini adalah makna yang dibawa dari setsumon kaiji yang telah dibuat sejak abad ke-2. Namun, pada abad ke-20, seorang profesor bernama Shizuka Shirakawa menafsirkan kanji 口kuchi sebagai wadah persembahan kepada dewa. Masalah penelitian yang diangkat adalah penafsiran kanji 口kuchi Shirakawa yang berbeda dari setsumon kaiji. Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan bagaimana langkah penafsiran yang dilakukan oleh Shirakawa sehingga menghasilkan kanji 口kuchi sebagai wadah persembahan kepada dewa. Penelitian ini menggunakan teori hermeneutika Gadamer dengan konsep peleburan horizon untuk melihat penafsiran kanji 口kuchi yang dilakukan oleh Shirakawa. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebuah horizon baru penafsiran kanji 口kuchi yang merupakan sebuah wadah persembahan kepada dewa. Horizon ini membuktikan bahwa penafsiran merupakan suatu hal yang dinamis dan terbuka. Hal ini terlihat dari horizon historis berupa penafsiran kanji 口kuchi sebagai mulut di dalam setsumon kaiji bertemu dengan horizon kekinian Shirakawa berupa konsep mitos dan ritual sihir menghasilkan sebuah horizon baru berupa kanji 口 kuchi sebagai wadah persembahan kepada dewa. ...... 口Kuchi is a kanji which means mouth. Mouth is a meaning which is brought by setsumon kaiji which was created in the 2nd century. However, in the 20th century, a professor named Shizuka Shirakawa interpreted 口kuchi as a vessel of offering to God. The problem that will be discussed in this research is Shirakawa s different interpretation of 口kuchi from setsumon kaiji. The purpose of this research is to explain how Shirakawa interprets 口kuchi as a vessel of offering to God. This research applies Gadamer s hermeneutics as a theory and fusion of horizons as a concept to explain Shirakawa s interpretation of口kuchi. The result of this research is a new horizon in 口kuchi s interpretation which is a vessel of offering to God. This horizon proves that an interpretation is something open and dynamic. This can be seen when a historical horizon which is an interpretation of 口kuchi as a mouth in setsumon kaiji meets Shirakawa s present horizon which is a concept of mythology and magic ritual produce a new horizon which is 口kuchi as a vessel of offering to God.
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library