Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
New York: Routledge, 2009
909.82 Cen
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Introduction /​ Deborah Mayersen and Annie Pohlman
Part 1. The Legacies of Atrocities in Asia
An Ongoing Legacy of Atrocity : Torture and the Indonesian State /​ Annie Pohlman
International Civil Society as Agent of Protection : Responses to the Famine in East Timor /​ Clinton Fernandes
Maximizing Transitional Justice Opportunities : The Case of East Timor's CAVR /​ Heather Castel
Transitional Justice Time : Uncle San, Aunty Yan, and Outreach at the Khmer Rouge Tribunal /​ Alex Hinton
Humanitarian Intervention and the Legacies of Security Council (In) action : East Pakistan (1971) and East Timor (1976-1979) /​ Phil Orchard
Part 2. Preventing Genocide and Mass Atrocities in Asia and Globally
Political Realism, Sovereignty and Intervention : Is Genocide Prevention Really Possible in a World of Sovereign States? /​ Paul Bartrop
Political Instability and Genocide : Comparing Causes in Asia and the Pacific and Globally /​ Benjamin Goldsmith, Dimitri Semenovich and Arcot Sowmya
Discourses on Violence : Constraints and Challenges for Mediators in Asia /​ Dale Bagshaw and Damien Coghlan
"Never Again" or Again and Again : The Genocide Convention, the Responsibility to Protect and Mass Atrocity Prevention /​ Deborah Mayersen
Conclusion /​ Deborah Mayersen and Annie Pohlman."
Milton Park, Abingdon, Oxon: Routledge, 2013
364.15 GEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Akhavan, Payam
"Summary:
Why is genocide the 'ultimate crime' and does this distinction make any difference in confronting evil?"
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2014
364.151 AKH r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Very Aziz
"Era pasca Perang Dingin (post-Cold War) yang diwarnai oleh banyaknya konflik internal telah memberi kesempatan kepada PBB untuk memainkan peran dan strategi yang baru dalam menghadapi gangguan dan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Pada konflik etnis internal di Rwanda, PBB inengambil tindakan intervensi yang didasari alasan-alasan kemanusiaan. Tindakan intervensi kemanusian PBB dalam upaya menangani konflik internal merupakan sesuatu yang relatif masih baru, dan sangat jarang dilakukan pada era Perang Dingin. Oleh karena itu, intervensi kemanusiaan menjadi perdebatan dan masih belum memiliki aturan hukum yang tetap. Demikian pula, dalam pelaksanaanya masih terdapat banyak permasalahan dan kendala.
Tesis ini menjelaskan kerangka manajemen konflik yang digunakan oleh PBB dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan internasional, khususnya melalui mekanisme intervensi kemanusian. Dalam tesis ini juga dijelaskan justifikasi intervensi kemanusiaan, dan alasan-alasan justifikasi intervensi kemanusiaan PBB dalam konflik di Rwanda. Dengan menggunakan konsep manajemen konflik dan intervensi kemanusiaan, penelitian ini mendeskripsikan pelaksanaan intervensi kemanusiaan PBB dalam konflik etnis di Rwanda, serta menjelaskan adanya hambatan-hambatan yang dihadapi dalam intervensi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptip analitis, dengan memaparkan data-data yang ada dan menganalisis data-data tersebut melalui pendekatan kualitatif. Berdasarkan analisis data yang ada, penelitian ini menyimpulkan inefektifitas intervensi kemanusiaan PBB dalam konflik Rwanda. Tidak efektifnya peran PBB dalam konflik tersebut diakibatkan oleh lemahnya mandat yang diberikan kepada misi PBB di Rwanda, dan lemahnya kekuatan pasukan PBB. Sumber utama kelemahan-kelemahan ini sebenamya terletak pada faktor politis, yaitu kurangnya political will dari negaranegara besar, dan proses pengambilan keputusan di Dewan Keamanan PBB."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12487
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grover, Sonja C.
"This book provides an original legal analysis of child soldiers recruited into armed groups or forces committing mass atrocities and/or genocide as the victims of the genocidal forcible transfer of children. Legal argument is made regarding the lack of criminal culpability of such child soldier 'recruits' for conflict-related international crimes and the inapplicability of currently recommended judicial and non-judicial accountability mechanisms in such cases. The book challenges various anthropological accounts of child soldiers' alleged 'tactical agency' to resist committing atrocity as members of armed groups or forces committing mass atrocity and/or genocide. Also provided are original interpretations of relevant international law including an interpretation of the Rome Statute age-based exclusion from prosecution of persons who were under 18 at the time of perpetrating the crime as substantive law setting an international standard for the humane treatment of child soldiers."
Berlin: Springer, 2012
e20396511
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Herlijanto
"Meskipun orang-orang Tionghoa seringkali digambarkan sebagai entitas tunggal yang bersifat statis, namun pengamatan-pengamatan yang dilakukan terhadap tingkah laku mereka justru menghasilkan kesimpulan yang sebaliknya. Serangkaian penelitian terhadap orang-orang Tionghoa yang menyebar di berbagai negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, memperlihatkan bahwa mereka temyata bukan hanya beragam namun juga memiliki potensi untuk beradaptasi, berubah dan mengusahakan suatu perubahan.
Berdasarkan pemahaman semacam itu pulalah, maka ketika akhir-akhir ini orang-orang Tionghoa di Indonesia (atau lebih tepatnya, orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa) membangun suatu gerakan sosial untuk melawan berbagai diskriminasi yang mereka alami, usaha untuk menguak kembali keberagaman identitas, pandangan, dan pola dalam gerakan ini akan memiliki daya tahan tersendiri. Usaha inilah yang dilakukan di dalam penelitian ini.
Pemaharnan terhadap suatu gerakan sosial seyogyanya dimulai dengan sebuah upaya penelusuran kembali hal-hal yang menjadi dasar dari berbagai keresahan dan ketidakpuasan yang memunculkannya. Dan mengingat gerakan orang Tionghoa ini mengusung tema diskriminasi, maka patutlah 'dicurigai' bahwa dicriminate inflate yang menjadi basis dari merebaknya ketidakpuasan mereka. Kecurigaan ini semakin menguat ketika penelusuran sejarah melalui berbagai literatur yang ada memperliharkan bahwa orang-orang Tionghoa pun menjadi korban dari sistem yang diskriminatif yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda dan yang dikembangkan secara lebih sistematis semasa tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru (Orba).
Dalam kurun waktu itulah, hak hak sosial, politik, dan budaya orang Tionghoa dicukur habis dan dikurung di balik tembok-tembok rumah mereka, berbagai peraturan yang oleh seorang tokoh Tionghoa digolongkan sebagai sebuah cultural genocide. Diskriminasi dalam bidang sosial, politik dan budaya inilah yang agakmya mendasari munculnya gerakan sosial ini, sebuah gerakan yang bukan berbasis kepentingan kelas ataupun ekonomi.
Namun keresahan dan ketidakpuasan ini barulah berkembang menjadi perlawanan setelah situasi yang kondusif tercipta. Situasi ini adalah berakhirnya Perang Dingin menyusul bubarnya negara Uni Sovyet, perkembangan situasi pasca Peristiwa Mei, Berita berakhirnya pemerintahan Orba. Selain itu, adanya jaringan yang telah Iama berkembang, yaitu jaringan gerakan pro-demokrasi dan jaringan tradisional Tionghoa yang berlandaskan pun turut mendukung penyebaran gerakan ini.
Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa gerakan yang dihasilkan oleh ketidakpuasan di atas ternyata tidak seragam. Ada orang-orang Tionghoa yang memahami masalah diskriminasi ini sebagai masalah bagi etnik Tionghoa dan mengharapkan penyelesaian melalui penghidupan kembali identitas dan budaya Tionghoa. Kelompok ini tampaknya dapat dikategorikan sebagai kelompok yang berorientasi lebih banyak ke dalam dan sangat rentan terhadap pengaruh etnosentrisme.
Namun ada pula sekelompok orang Tionghoa yang menganggap masalah diskriminasi ini semata-mata sebagai salah satu kasus dari intervensi negara yang berlebihan, dan oleh sebab itu upaya penyelesaiannya harus dilakukan dalam kerangka yang lebih luas : hengkangnya negara dari wilayah-wilayah sipil dan pembentukan civil society yang kuat, yang merupakan akar dari suatu masyarakat yang demokratis. Kelompok ini tampaknya lebih tepat dikategorikan sebagai kelompok yang berorientasi keluar. Perbedaan pandangan di antara kelompok-kelompok ini pada gilirannya menghasilkan berbagai variasi pula pada pola-pola gerakan yang mereka kembangkan yang menyebabkan gerakan ini dipenuhi dengan keberagaman. Dengan demikian, fenomena gerakan sosial ini sekali lagi memperkuat pemahaman yang ditampilan pada awal tulisan ini, yaitu bahwa masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang beragam."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T2317
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabungan, Setiawan Y.
"Dalam situasi seperti apa hukum internasional harus menyalahkan negara atas tindakan individu non-negara? Walaupun negara pada umumnya tidak bertanggungjawab atas tindakan aktor non-negara, telah ditentukan bahwa tindakan agennya dapat diatribusikan ke negara tersebut. Yaitu tindakan yang hanya berpura-pura sebagai aktor privat dan cukup terhubungnya tindakan tersebut dengan pelaksanaan kekuasaan publik dimana “tindakan privat” tersebut dapat dianggap tindakan negara. Oleh karena itu, skripsi ini menjelaskan mengenai tanggung jawab negara dalam perspektif hukum internasional. Selain itu skripsi ini juga membahas mengenai tanggung jawab negara sehubungan dengan tindakan individu non-negara.
Terakhir, skripsi ini menjelaskan pendekatan mengenai peraturan atribusi atas suatu tindakan kepada negara yang dilihat oleh Mahkamah Internasional dalam kasus Bosnia v. Serbia. Dalam hal ini, mendiskusikan atribusi berdasarkan status organ dan atribusi berdasarkan arahan dan kontrol. Secara singkat pembahasannya adalah bahwa tindakan individu atau entitas non-negara dapat diatribusikan ke negara selama memenuhi syarat sebagaimana dituangkan dalam ILC Draft. Akan tetapi dalam kasus Bosnia v. Serbia menurut Mahkamah, tindakan Republika Srpska tidak dapat diatribusikan ke Serbia.

Under what circumstances should international law impute to states the acts of non-state persons? Although states as a general rule are not liable for the conduct of non-state actors, it is now well-settled that the acts of its agent are attributable to the state. That is, the conduct of ostensibly private actors may be sufficiently connected with the exercise of public power that otherwise "private acts" may be deemed state action. Thus, the thesis explains about state responsibility in international law perspective. The thesis also provides more general remarks on the law of state responsibility as it pertains to acts of non-state persons.
Finally it analyses the approach concerning the rules of attribution of conduct to a state followed by the ICJ in the Bosnia v. Serbia case, In that regard, it discusses attribution based on organ status and attribution based on direction and control. In short, the act form persons or entity can be attributed to a State, as long it has satisfied any requirement needed from ILC draft. But prior to, Bosnia v. Serbia case, the act from the Bosnia Serbs, according to Court’s decision, can not be attributed to Serbia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26240
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Guilliano Tristan Anthony Stevenson
"Pendudukan Indonesia di Timor Leste merupakan periode yang penuh dengan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap perempuan. Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi dimensi gender dalam political genocide di Timor Leste selama masa pendudukan Indonesia. Tulisan ini menggunakan teori feminis radikal untuk mengungkap bagaimana Indonesia menggunakan kekerasan berbasis gender sebagai instrumen untuk menghancurkan struktur sosial dan komunitas, menanamkan rasa takut, dan memperkuat dominasi patriarkal. Analisis ini menekankan pentingnya perspektif feminis radikal dalam memahami dampak penuh dari kekerasan politik dan perlunya upaya rekonsiliasi serta keadilan bagi penyintas di Timor Leste.

The Indonesian occupation of East Timor was a period marked by violence and human rights violations, particularly against women. This paper aims to explore the gender dimension in the political genocide in East Timor during Indonesia's occupation. The study employs radical feminist theory to reveal how Indonesia used gender-based violence as an instrument to destroy social structures and communities, instill fear, and reinforce patriarchal dominance. This analysis highlights the importance of the radical feminist perspective in fully understanding the impact of political violence and the need for reconciliation and justice for survivors in East Timor."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library