Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Krisno Legowo
Abstrak :
Keluarnya Peraturan-peraturan Pemerintah, terutama terbitnya Keputusan Presidium Kabinet No. 1271UIKep11211966 dan diikuti Peraturan Peiaksanaannya tentang ganti nama yang ditujukan bagi Warga Negara Indonesia yang memakai nama Gina adalah upaya pemerintah dalam nation dan character building Indonesia. Ganti nama dari orang-orang WNI keturunan Gina mengganti nama-namanya menjadi nama-nama yang lazim di Indonesia telah mempercepat proses asimilasi, yang secara perorangan membaur kedalam masyarakat setempat Indonesia, bersamaan terjadi proses melunturnya identitas kelompok etnis yang disandangnya. identitas etnik memiliki sisi internal dan eksternal. Sisi internal adalah kesadaran seseorang dalam pengetahuannya mengenal dan menelusuri asal usul leluhumya. Sedangkan tanda eksternal adalah tanda-tanda konkrit berupa atribut atau simbol antara lain yaitu nama. Perubahan atas nama-nama Cina secara perorangan memiliki problemaiknya sendiri di tingkat hubungan sosial dan budaya. Nama Cina sebagai suatu tanda yang berupa kata benda, tampak perubahannya terjadi bermacammacam. Perubahan dapat terjadi sebagian masih menggunakan unsur nama lamanya digabung dengan nama-nama yang lazim dipakai di Indonesia seperti bersumber dari unsur keagamaan setempat dan nama marga dari suatu etnik tertentu di Indonesia. Ada nama yang sama sekali berubah serta ada yang mendasarkan pada suara dari sebutan nama lamanya dipakai menjadi nama diri yang bernuansa Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Aziz Billah Djangaritu
Abstrak :
Di Negara Indonesia terdapat begitu banyak Peraturan Perundang-undangan, sehingga menjadi suatu masalah di mana terdapat disharmonisasi atau tumpang tindih pengaturan di dalamnya yang mengakibatkan permasalahan-permasalahan lainnya timbul dan menghambat aktivitas bernegara. Penyelesaian Disharmonisasi Peraturan Perundang-undangan saat ini di Indonesia tidak hanya berupa Judicial review, melainkan terdapat pula legislative review, dan executive review. Penelitian ini memfokuskan pembahasan terhadap kedudukan hukum kewenangan executive review yang memiliki pro dan kontra akan pelaksanaanya seperti halnya yang tertuang pada Peraturan Menteri dan Hak Asasi Manusia Nomor 2 tahun 2019 tentang Penyelesaian Disharmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Melalui Mediasi yang dinilai memiliki bentuk baru dalam sistem hukum di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan tipologi penelitian preskriptif, sedangkan untuk metode analisis data yaitu kualitatif. Penyelesaian Permasalahan disharmonisasi di luar pengadilan selama ini, dinilai tidak begitu berhasil. Dengan demikian untuk mendukung kebijakan reformasi regulasi oleh Presiden, maka kewenangan Mediasi Permasalahan Peraturan Perundang-undangan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hadir sebagai alternatif penyelesaian permasalahan disharmonisasi yang ada pada peraturan perundang-undangan. Pada pelaksanaanya, hasil mediasi dinilai tidak efektif dikarenakan adanya hasil kesepakatan dari para pihak yang tidak terealisasikan. Oleh karenanya, perlu dilakukan penguatan terhadap kewenangan penyelesaian permasalahan disharmonisasi peraturan perundang-undangan di luar pengadilan dengan cara diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dan diakomodir dalam suatu lembaga negara yang fungsinya dikhususkan untuk menangani permasalahan peraturan perundang-undangan pada pemerintah di Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi sengketa antar kelembagaan negara dalam mengharmonisasikan regulasi terhadap lingkup kewenangannya masing-masing. ......In the State of Indonesia there are so many Regulations that it becomes a problem where there is disharmony or overlapping arrangements that cause other problems to arise and hinder state activities. Settlement of Disharmonization Current regulations in Indonesia are not only in the form of Judicial reviews, but there are also legislative reviews and executive reviews. This study focuses on the discussion of the legal position of executive review authority that has pros and cons of implementing it. This can be seen in Ministerial Regulation and Human Rights Number 2 of 2019 concerning the Settlement of Disharmonization of Laws and Regulations through Mediation which is considered to have a new form in the legal system in Indonesia. The method used in this research is normative juridical with prescriptive research typology, while the data analysis method is qualitative. Settlement of disharmony matters outside the court all this time, is considered not very successful. Thus to support the policy of regulatory reform by the President, the authority of Mediation on Regulatory Issues at the Ministry of Law and Human Rights exists as an alternative solution to the problem of disharmony in the regulations in Indonesia. In the implementation, the mediation results are considered ineffective because of the agreement results from the parties that are not realized. Therefore, it is necessary to strengthen the authority to resolve the problem of disharmonization of regulations outside the court by being regulated by regulations that are higher in status and accommodated in a state institution whose function is devoted to handling regulatory issues in the government in Indonesia. This is intended to prevent disputes between state institutions in harmonizing regulations regarding the scope of their respective authorities.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anderson, Ronald A.
Cincinnati, Ohio: South-Western Publishing Company, 1950
343.73 AND g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Hariadi
Abstrak :
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang merupakan suatu studi kelayakan dari aspek lingkungan, dalam prakteknya disusun setelah suatu kegiatan berjalan, sehingga tidak sesuai dengan maksud dari penetapan kebijakan tentang AMDAL tersebut. George C. Edward III mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan prosedur operasi standar. Penelitian terhadap pelaksanaan kebijakan tentang AMDAL ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif, yang memberikan gambaran pelaksanaan kebijakan tentang AMDAL (PP No. 51 Tahun 1993) di Komisi AMDAL Daerah DKI Jakarta dan pembahasan atas pelaksanaan kebijakan tersebut secara kualitatif dengan mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan di atas. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa komunikasi tentang isi kebijakan telah dilaksanakan dengan baik melalui kegiatan periodik berupa penyegaran kepada para instansi terkait dan konsultasi regional pelaksanaan AMDAL se-Jawa yang dikoorfinir oleh Pemerintah Pusat. Dari faktor sumber daya diperoleh bahwa sumber daya manusia pelaksana kebijakan ini tidak mencukupi baik dari mutu maupun jumlahnya. Sebagian besar anggota Komisi yang aktif secara formal belum memiliki dasar-dasar tentang AMDAL, dan minimnya jumlah tenaga pelaksana di lapangan dalam melakukan pengawasan. Sedangkan dari sumber daya kewenangan diketahui bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Komisi maupun oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah tidak memadai untuk dapat melaksanakan kebijakan ini dengan baik. Kewenangan tersebut berada pada instansi pembina dan pemberi izin. Dari faktor disposisi/sikap aparat diketahui bahwa sikap aparat yang bertugas pada instansi pembina dan pemberi izin kurang mendukung dengan tidak mewajibkan penyusunan AMDAL sebagai salah satu syarat perizinan. Dari faktor prosedur operasi standar, telah dikeluarkan lnstruksi Gubernur Nomor 84 Tahun 1997 yang mewajibkan penyusunan AMDAL sebagai persyaratan perizinan daerah. Instruksi ini juga kurang membantu pelaksanaan kebijakan tentang AMDAL selain karena dikeluarkan setelah kebijakan tentang AMDAL berjalan selama empat tahun, juga karena sikap kurang mendukung dari aparat pelaksana pada mstansi-instansi terkait.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurkholis
Abstrak :
ABSTRAK
Kebijakan desentralisasi di Indonesia secara tegas mulai dilaksanakan pada tahun 2001, dan telah membawa perubahan yang besar terhadap kondisi perekonomian daerah. Saiah satu usaha dalam meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat pembangunan perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat di samping sebagai sarana percepatan pertumbuhan kehidupan berdemokrasi dalam era desentralisasi adalah kebijakan pembentukan daerah. Pembentukan daerah yang secara massive terjadi adalah berupa pemekaran wilayah, khususnya wilayah Kabupaten/Kota. Terkait dengan kebijakan desentralisasi dan pembentukan daerah, ukuran yang optimal bagi pemerintahan daerah menemukan urgensinya karena memiliki keserasian dan kesinergian dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah. Studi ini berusaha mengidentifikasi faktor-faktor yang signifikan dipertimbangkan dalam proses pemekaran daerah selama ini dan mengukur ukuran optimal bagi pemerintahan Kabupaten/Kota yang mendukung terwujud dan tercapainya tujuan dari kebijakan desentralisasi. Dari hasil studi ini, nantinya akan dapat disimpulkan bagaimana pola reformasi terhadap pemerintahan Kabupaten/Kota di Indonesia yang sehanisnya dilakukan. Hasil analisis dengan menggunakan model probit menunjukkan bahwa suatu wilayah Kabupaten/Kota akan memiliki peluang besar/kecenderungan untuk dimekarkan selama ini adalah apabila daerah tersebut (berdasarkan urutan bobot pertimbangan, dari yang terbesar sampai terkecil): a) terletak di luar Jawa dan Bali; b) daerah berstatus Kabupaten; c) memiliki rasio PDS terhadap pengeluaran total yang besar; d) bukan daerah Baru basil pemekaran; e) memiliki PDRB yang berkontribusi besar terhadap PDRB total (atas dasar harga berlaku) seluruh Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi; f) mempunyai jumlah penduduk yang besar; g) mempunyai wilayah yang cukup luas; h) mendapatkan alokasi DAU yang besar; dan i) memiliki nilai PDRB yang relatif kecil. Dari faktor-faktor yang signifikan menjadi pertimbangan dilakukannya pemekaran wilayah selama ini tersebut, terlihat bahwa kinerja dari pembangunan daerah masih belum/tidak signifikan untuk dipertimbangkan. Hasil regresi fungsi translog dan fungsi kuadratik dengan menggunakan pendekatan minimisasi pengeluaran per kapita menunjukkan eksistensi economies of scale dari besarnya jumlah penduduk Kabupaten/Kota. Dengan menggunakan pendekatan maksimisasi, ditunjukkan pula bahwa pengeluaran Pemerintah KabupatenlKota selama ini belum efisien dan belum mendukung upaya pencapaian kinerja pembangunan seperti yang dicita-citakan. Dengan berbagai ketentuan, variabel yang signifikan digunakan dalam pengukuran ukuran optimal adalah jumlah penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan minimisasi dan maksimisasi, ukuran optimal bagi KabupatenlKota yang diperoleh tidak tunggal (berbeda-beda), baik antara Kabupaten dan Kota, antar setiap jenis pengeluaran per kapita, maupun antar waktu. Hasil perhitungan dengan pendekatan maksimisasi dan minimisasi menunjukkan adanya sating kesinergian. Secara umum, ukuran jumlah penduduk yang optimal bagi daerah KabupatenlKota agar pengeluaran per kapita dapat minimum dan jumlah penduduk minimal agar PDRB per kapita dapat meningkat adalah sekitar 2 (dua) juta jiwa. Realitas ukuran Pemerintah Kabupaten/Kota yang secara umum relatif kecil dibandingkan dengan ukuran optimal dan ukuran minimal, menunjukkan masih belum efisiennya pengeluaran Pemerintah Kabupaten/Kota, dan juga belum mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga, kebijakan pemekaran wilayah yang dilakukan selama ini justru membuat semakin tidak tercapainya tujuan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di daerah.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Sutrisno
Abstrak :
ABSTRACT More than two decades government applied the Assessment List of the Performance Implementation (abbreviated, DP3: Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) to assess the work achievement of the civil servant which is appointed through Government Regulation No.10 in 1979. As long as its implementation, the assessment instrument of the work achievement for the civil servant not yet changed or revised neither the substance aspect nor the mechanism of its procedure. In its development when the paradigm of public administrative experienced the change lately DP3 is gazed not relevant to used as the implement of achievement assessor on human resources of the government profession. The implementation of DP3 does not give the significant impact for the management of the civil servant that caused DP3 could not become the objective implement that could be relied on by each government profession to receive the benefit from being carried out of the achievement of the work assessment. DP3 until now is only the bundle yearly that its function only to satisfy the administrative requirement. Until now the utilization of DP3 only for the need of the mutation, the promotion and the salary increase periodically, in fact the assessment function of the work achievement of the civil servant management necessarily could be widened in order to increase the achievement of the government profession and the organization. Municipal Government of Yogyakarta really cared on the increase efforts in the work achievement and gaze that DP3 has been inappropriate with the requirement for the individual and the organization. Therefore Municipal Government of Yogyakarta compiled the assessment instrument of the work achievement that being enrich of the DP3 implement for considering the work achievement and management. This instrument is the Score Implement of the Work Achievement (abbreviated, APKP: Alat Penilaian Kinerja Pegawai) that its substance same with DP3 especially being linked with elements of the assessment. However from the aspect of the mechanism and the procedure, this assessment is very difference with DP3. This could become added value for APKP compared with DP3, which APKP could become alternative for the achievement assessment on the government profession which could more be relied on than DP3. Municipal Government of Yogyakarta at this time use DP3 and APKP to carried out the implement of work achievement. DP3 is still carried out because this normative implement juridical became the assessment implement of the work achievement in the civil servant management system. Whereas APKP is enrich of DP3, since the results of the APKP assessment converted through DP3. This research use the qualitative approach that meant to explore the differences and problems dealt with the implementation of the assessment instrument of DP3 and APKP from the perspective of the procedure and the assessment mechanism and also the follow-up of the assessment in order to increase the work achievement. The two assessment implements had several equalities and the difference in accordance with the characteristics and factors that formed the background of the compilation of this assessment implement. The equality between DP3 and APKP are the element of the assessment that used, the assessment ray that caused such as hallo effect, and the follow-up produced by these assessment implements that not yet clear for the government profession. Whereas the difference are the determination of the professional who will carried out this achievement, if DP3 is only considered by the superior then in APKP the assessment could be carried out by the management, the staff, the workmate and other to become the assessor. Moreover the assessment period of APKP twice in a year whereas DP3 is yearly, APKP used in the wider scope that consider the work achievement such as the passing in the course, the passing in the task and studying permission, and also the other aspect where this does not met in DP3. DP3 and APKP are two assessment implements of the work achievement that important to continue to be carried out together. DP3 fill the normative juridical aspect in the civil servant system whereas APKP is guided to receive the clearer work achievement at glance. Nevertheless in fact DP3 already to be replaced with the other assessment implement of the work achievement that matched the development and the latest requirement on the importance on the implement of the achievement assessment. Whereas APKP must be the implement of the assessment on work achievement that compiled by Municipal Government of Yogyakarta continue to be developed especially in explication elements of the assessment that necessarily could reflect the work achievement. The study and development of APKP must be carried out in a comprehensive and deep manner towards all the aspects that were related to the assessment of the civil servant achievement so this implement could give the real contribution for its management in Municipal Government of Yogyakarta
ABSTRAK Lebih dari dua dasawarsa pemerintah menerapkan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) untuk menilai prestasi kerja pegawai negeri sipil (PNS) yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979. Sepanjang pelaksanaannya, instrumen penilaian prestasi kerja pegawai negeri sipil tersebut belum sekalipun mengalami perubahan atau revisi baik dari aspek substansi maupun prosedur mekanisme penilaiannya. Dalam perkembangannya ketika paradigma administrasi publik mengalami perubahan seperti pada masa sekarang ini DP3 dipandang sudah tidak relevan lagi untuk digunakan sebagai alat untuk menilai prestasi dan kinerja sumber daya manusia aparatur pemerintah. Pelaksanaan DP3 tidak memberi dampak yang berarti bagi pengelolaan kepegawaian negeri sipil, hal ini disebabkan DP3 tidak mampu menjadi alat yang obyektif yang dapat diandalkan oleh setiap pegawai untuk memperoleh manfaat dari dilaksanakannya penilaian prestasi kerja mereka. DP3 selama ini hanya merupakan berkas isian tahunan yang fungsinya hanya untuk memenuhi kebutuhan administratif saja. Selama ini pemanfaatan DP3 hanya untuk keperluan mutasi, kenaikan pangkat dan kenaikan gaji berkala, padahal fungsi dan kegunaan penilaian prestasi kerja pegawai mestinya dapat diperluas dalam rangka meningkatkan kinerja pegawai dan organisasi. Pemerintah Kota Yogyakarta sangat peduli terhadap upaya peningkatan kinerja pegawai dan memandang DP3 sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan individu dan organisasi. Maka dari itu Pemerintah Kota Yogyakarta menyusun instrumen penilaian kinerja pegawai yang dimaksudkan untuk menjadi alat pendamping bagi DP3 dalam menilai prestasi dan kinerja pegawai. Instrumen tersebut adalah Alat Penilaian Kinerja Pegawai (APKP) yang dari sisi substansi sebenarnya tidak jauh beda dengan DP3 khususnya berkaitan dengan unsur-unsur penilaiannya. Namun dari aspek mekanisme dan prosedur penilaian kedua alat tersebut memiliki perbedaan. Hal inilah yang dapat menjadi nilai tambah bagi APKP dibandingkan dengan DP3, dimana APKP dapat menjadi alternatif bagi penilaian prestasi dan kinerja pegawai yang dapat lebih diandalkan dibandingkan DP3. Pemerintah Kota Yogyakarta saat ini menggunakan DP3 dan APKP untuk menilai prestasi dan kinerja pegawai. DP3 masih dilaksanakan sebab secara yuridis normatif alat inilah yang menjadi alat penilaian prestasi kerja yang sah dalam sistem manajemen pegawai negeri sipil. Sedangkan APKP dimaksudkan sebagai pendamping DP3, dimana hasil penilaian melalui APKP dikonversikan ke dalam DP3. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dimaksudkan untuk mengeksplorasi perbedaan-perbedaan dan masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan instrumen penilaian kinerja baik melalui DP3 maupun APKP dilihat dari perspektif prosedur dan mekanisme penilaian serta tindak lanjut hasil penilaian dalam rangka meningkatkan kinerja pegawai. Kedua alat penilaian tersebut memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan sesuai dengan karakteristik dan faktor-faktor yang melatarbelakangi penyusunan alat penilaian tersebut. Persamaan antara DP3 dan APKP antara lain meliputi : unsur penilaian yang digunakan, bias penilaian yang ditimbulkan seperti hallo effect, dan tindak lanjut hasil penilaian kedua alat tersebut yang belum jelas bagi pegawai. Sedangkan perbedaan dari kedua alat tersebut diantaranya adalah : penentuan pegawai yang akan menilai kinerja seseorang, apabila DP3 hanya dinilai oleh atasan maka dalam APKP penilaian dapat dilakukan oleh pimpinan, bawahan, rekan kerja dan lainnya untuk menjadi penilai. Selain itu periode penilaian APKP dua kali dalam setahun sedangkan DP3 sekali setahun, APKP digunakan dalam lingkup yang lebih luas untuk menilai prestasi dan kinerja pegawai seperti kelulusan dalam diklat, kelulusan dalam tugas dan ijin belajar serta aspek lain dimana hal ini tidak terdapat dalam DP3. DP3 dan APKP adalah dua alat penilaian prestasi dan kinerja pegawai yang sama-sama penting untuk tetap dilaksanakan. DP3 disini untuk memenuhi aspek yuridis normatif dalam sistem kepegawaian negeri sipil sedangkan APKP diarahkan untuk memperoleh gambaran dan potret yang jelas terhadap prestasi dan kinerja pegawai. Namun demikian sebenarnya DP3 sudah waktunya untuk diganti dengan alat penilaian prestasi dan kinerja yang baru disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan terkini tentang pentingnya suatu alat penilaian kinerja. Sedangkan APKP sebagai alat penilaian kinerja yang disusun oleh Pemerintah Kota Yogyakarta perlu terus dikembangkan khususnya dalam penjabaran unsur-unsur penilaian yang seharusnya dapat lebih mencerminkan prestasi dan kinerja pegawai. Kajian dan pengembangan APKP harus dilakukan secara lebih komprehensif dan mendalam terhadap segala aspek yang terkait dengan penilaian prestasi dan kinerja pegawai negeri sipil sehingga alat tersebut dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi pembinaan dan pengelolaan pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota Yogyakarta.
2007
T19214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Islamy
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai adanya perjanjian franchise antara Muhaerul dengan PT. Wadha Artha Abadi. yang akan ditinjau berdasarkan Peraturan Perundang-undangan khususnya Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba Terdapat berbagai persoalan terkait dengan unsur-unsur perjanjian franchise dalam Peraturan Pemerinth Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba yang tidak terpenuhi oleh perjanjian franchise oleh Muhaerul dengan PT. Wadha Artha abadi sehingga apakah perjanjian franchise ini dapat dikatakan sebagai perjanjijan franchise atau tidak, Peneliti mengajukan pokok permasalahan, yaitu: 1. Bagaimanakah perjanjian franchise antara Muhaerul dengan PT. Wadha Artha Abadi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dengan ketentuan peraturan lainnya yang mengatur mengenai franchise atau waralaba. 2. Bagimanakah akibat hukum dari perjanjian franchise antara Muhaerul dengan PT. Wadha Artha Abadi apabila tidak memenuhi aspek-aspek perjanjian franchise menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. 3. Bagaimanakah upaya hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak dari perjanjian franchise
ABSTRAK
This thesis discusses the existence of the franchise agreement between Muhaerul with PT. Wadha Artha Abadi. which will be reviewed based on the legislation in particular Government Regulation No. 42 of 2007 on Franchise There are many problems associated with the elements of his government's franchise agreement in Regulation No. 42 of 2007 on Franchise are not met by the franchise agreement by Muhaerul with PT. Wadha Artha framchise immortal so that if agreement can be said as perjanjijan franchise or not, researchers propose the subject matter, namely: 1. How does the franchise agreement between Muhaerul with PT. Wadha Artha Abadi according to Government Regulation No. 42 Year 2007 on Franchise with other relevant regulations governing the franchise or the franchise? 2. How does legal consequences of franchise agreements between Muhaerul with PT. Wadha Artha Abadi if it does not meet aspects of the franchise agreement under the provisions of Government Regulation No. 42 Year 2007 on Franchise? 3. How are laws and legal protection for the parties to the franchise agreement is Muhaerul with PT. Wadha Artha Abadi.
2016
S63642
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaily Oktosab Fitri Abidin
Abstrak :
Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat di era reformasi dan dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mulai dilaksanakan per 1 Januari 2001, muncul fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk suatu daerah otonom baru (baik Propinsi, maupun daerah Kabupaten dan daerah Kota) yang terlepas dari induknya. Keinginan masyarakat diberbagai daerah untuk menjadikan daerahnya sebagai daerah otonom itu antara lain juga disebabkan karena UU No. 22/1999 tidak lagi mengenal adanya Kota Administratif (Kotif), namun hanya daerah Propinsi, Kabupaten dan Daerah Kota. Kebijakan Pemerintah tersebut tentu saja di respon oleh sebagian besar masyarakat di wilayah Kota Administratif Pagar Alam. Apabila Kotif Pagar Alam tidak mengajukan peningkatan status untuk menjadi Daerah Kota Pagar Alam, maka harus kembali menjadi Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Lahat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan status wilayah administrasi di Kota Pagar Alam dan proses peningkatan status wilayah administrasi di Kota Pagar Alam. Permasalahan penelitian dirumuskan dengan 2 pertanyaan penelitian yaitu : " Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan Daerah Kota Pagar Alam ? ? dan Bagaimana Proses pembentukan Daerah Kota Pagar Alam dilakukan ? ". Untuk mencari jawaban atas pertanyaan diatas digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif. Proses pengumpulan data dilakukan dalam dua tahapan, Tahapan pertama adalah wawancara mendalam dan observasi dan tahapan kedua adalah kajian dokumentasi dan kepustakaan. Analisa data menggunakan teknik analisa kualitatif deskriptif sehingga terhadap data-data statistik yang bersifat kuantitatif dipergunakan sebagai pendukung analisa. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dan data primer sebagai dasar analisis. Teknik Analisis Data yang digunakan adalah Data Reduction (Reduksi data), Data Organization (Pengorganisasian data) dan Interpretation (Interpretasi atau Penafsiran) serta didukung oleh ketentuan dari PP No 129 Tahun 2000. Kelayakan untuk menjadi daerah Kota dilihat dari 7 kriteria yaitu kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lainnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000. Dari perhitungan diperoleh bahwa jumlah skor minimal kelulusan adalah 2280. Peningkatan Status Wilayah Administrasi diidentifikasi dengan beberapa indikator yaitu Kontribusi PDS terhadap Pengeluaran Rutin, PDRB Per Kapita, Laju Pertumbuhan Ekonomi, Kondisi SDA, Pengembangan Ekonomi Masyarakat, Pendidikan dan Kesehatan, Transportasi dan Komunikasi, Sarana Pariwisata, Ketenagakerjaan, sarana tempat peribadatan, Sarana kegiatan institusi, sarana olah raga, jumlah penduduk, luas wilayah, mata pencaharian, penataan wilayah Kota, keamanan dan ketertiban, sarana dan prasarana pemerintahan dan rentang kendali. Dari Hasil Analisa diperoleh kesimpulan bahwa Kotif Pagar Alam Layak untuk ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Kota, karena total skor dari beberapa indikator pada Calon Kota Pagar Alam adalah sebesar 2735, atau lebih besar dari jumlah skor minimal yang dipersyaratkan sebesar 2280. Sedangkan skor total Kabupaten Induk adalah sebesar 2640. Skor tersebut meskipun masih lebih rendah dari skor total Calon Kota Pagar Alam, namun bila dibandingkan dengan total skor minimal juga masih lebih besar. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa adanya daerah Kota Pagar Alam tidak terlalu mengganggu pertumbuhan Kabupaten induknya. Dari analisa ini dapat dijelaskan juga bahwa penulis menganalisa kelemahan dari Peraturan Pemerintah ini. Rekomendasi hasil analisa adalah bahwa Kotif Pagar Alam telah menjadi daerah Kota, perlu memperhatikan Kabupaten Induknya agar tidak terjadi ketimpangan yang semakin besar, mengingat hasil kajian menunjukan bahwa skor daerah Kota lebih besar dari Kabupaten Induk. Padahal jumlah penduduk dan Kecamatan lebih besar di daerah Kabupaten Induk.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11428
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nurhayati Qodriyatun
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perrnasalahan lingkungan hidup di daerah. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, dengan meiakukan penguatan kelembagaan lingkungan hidup di daerah. UU No. 2211999 Pasal 60 hingga Pasal 68 mengatur tentang organisasi perangkat daerah, yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 8/2003. Untuk melaksanakan PP tersebut, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengeluarkan SKB No. O1ISKBIM.PAN1412003 dan No. 1712003 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 8 Tahun 2003 dan PP No. 9 Tahun 2003. Lampiran SKB tersebut pada II angka 6.c. butir 6 menyebutkan bahwa fungsi-fungsi yang selama ini diwadahi dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah seperti fungsi lingkungan hidup, pewadahannya dilakukan dalam bentuk Dinas Daerah. Penyesuaian bentuk kelembagaan tersebut dilakukan selambatlambatnya dua tahun sejak ditetapkan PP No. 8/2003, yaitu 17 Pebruari 2005. Ketentuan tersebut dipertegas dengan Surat Mendagri No. 660.1/17281Bangda tanggai 20 Oktober 2003. Bentuk kelembagaan lingkungan hidup di daerah saat ini masih beranekaragam. Ada yang berbentuk Magian dalam Sekretariat Daerah, ada yang berbentuk Dinas Daerah (baik yang berdiri sendiri maupun yang bergabung dengan dinas lainnya), dan ada yang berbentuk Lembaga Teknis Daerah (Badan atau Kantor)). Tujuan dari penelitian ini adalah (a) mengidentifikasi dan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kelembagaan lingkungan hidup di daerah; (b) mengidentifikasi bentuk kelembagaan lingkungan hidup yang dipilih oieh daerah; dan (c) mencari bentuk kelembagaan lingkungan hidup yang ideal di daerah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi kasus yang bersifat multikasus dan eksploratoris. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2004 -- Januari 2005 di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, dan Kota Depok, dengan alasan (a) menghemat waktu, biaya, dan tenaga; (b) ketiga daerah tersebut memenuhi kriteria untuk penelitian multikasus pada kasus penerapan PP No. 8/2003; (e.) ketiga lembaga di ketiga daerah penelitian mcrupakan pelaksana kewenangan lingkungan hidup di daerah. Data dikumpulkan dengan metode studi dokumentasi, observasi langsung, dan wawancara mendalam kepada 30 orang pejabat yang menangani lingkungan hidup baik di tingkat pusat maupun di daerah, yang dipilih secara purposive. Data dianalisis dalam tiga tahap. Panama, analisis terhadap peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan kelembagaan lingkungan hidup di daerah dan bagaimana pelaksanaannya secara naratif. Kedua, dilakukan analisis terhadap bentuk kelembagaan lingkungan hidup yang dipilih daerah setelah diberlakukannya PP No. 8/2003 secara naratif. Ketiga, dilakukan analisis kelembagaan dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk mencari solusi yang tepat bentuk kelembagaan Iingkungan hidup di daerah. Berdasarkan basil penelitian, ada beberapa peraturan perundangan yang menjadi dasar pembentukan kelembagaan lingkungan hidup di daerah, yaitu Pasal 60 - Pasal 68 UU No. 22/1999, PP No. 812003, SKB Meneg PAN dan Mendagri No. 011SKBIM.PAN1412003 dan No. 1712003. Kemudian Mendagri mengeluarkan surat No. 660.11I7281Bangda Tanggal 20 Oktober 2003 yang menghimbau daerah untuk mewadahi kelembagaan lingkungan hidup di daerah dalam bentuk Dinas Daerah, dan penyesuaiannya paling Iambat 17 Februari 2005. Namun disisi lain, Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menlh) mengeluarkan surat No. B.24661MENLH10412003 tentang penataan kelembagaan lingkungan hidup daerah, yang menghimbau daerah agar (1) kelembagaan lingkungan hidup di daerah berbentuk Dinas ataupun Badan; (2) ada di setiap Provinsi dan KabupatenlKota; (3) berdiri sendiri; dan (4) penyesuaiannya tidak dilakukan secara terburu-buru. Berkaitan dengan pembentukan kelembagaan lingkungan hidup di daerah, hanya Kota Depok yang telah melaksanakan PP No. 8/2003, dengan mengabaikan scoring. Bagian Lingkungan Hidup di Setda Kota Depok berubah menjadi Dinas Daerah, dengan nomenklatur Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup. Sementara itu, kelembagaan lingkungan hidup di Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang tidak berubah. Kelembagaan Iingkungan hidup di DKI Jakarta tetap berbentuk LTD ( nomenklatur BPLHD), dan di Kota Tangerang tetap berbentuk Dinas Daerah (nomenklatur DLH). Setiap bentuk kelembagaan lingkungan hidup yang ada mempunyai kelebihan dan kekurangan. Namun dengan menggunakan AHP dan mengacu pada PP No. 812003, didapat bentuk kelembagaan lingkungan hidup di daerah yang ideal, yaitu Dinas Daerah. Kesimpulan: (1) Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pembentukan kelembagaan lingkungan hidup di daerah adalah PasaI 60 - PasaI 68 UU No. 2211999, PP No. 8/2003, dan SKB Meneg PAN dan Mendagri No. 0IISKBIM.PAN1412003 dan No. 1712003. Dad SKB Meneg PAN dan Mendagri keluar dua ketentuan yang berbeda tentang kelembagaan lingkungan hidup di daerah. Mendagri mengeluarkan surat No. 660.11I7281Bangda tanggal 20 Oktober 2003, dan Menlh mengeluarkan surat No. B.24661MENLI-110412003. Kedua surat tersebut berisi ketentuan tentang kelembagaan lingkungan hidup di daerah yang berbeda. (2) Kelembagaan lingkungan hidup DK1 Jakarta tetap berbentuk Badan, Kota Tangerang berbentuk Dinas, dan Kota Depok berbentuk Dinas. (3) Kelembagaan lingkungan hidup di daerah yang ideal adalah Dinas Daerah. Penulis menyarankan: (1) Perlu koordinasi antar instasi terkait dengan Iingkungan hidup dalam mengeluarkan kebijakan public, agar tidak terjadi permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut; (2) Kelembagaan Iingkungan hidup di daerah seyogyanya bcrbentuk dinas daerah, disertai dengan kesiapan personalia, prasarana dan sarana, scrta pendanaan (3P) yang memadai; (3) Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai efektifitas dan efisiensi masingmasing bentuk kelembagaan lingkungan hidup di daerah baik dari segi struktur organisasi, professionalisme Sumber Day Manusia (SDM) aparatur, dan pendanaan.
The environmental problem at the district was form the background of this research. One of the efforts to solve this problem is through institution policy. Article 60 to article 68 Act No. 2211999 regulated the organization of district equipment, which it has been spelled out by Government Regulation No. 812003. To bring out this government regulation, State Minister for Control of Machinery of State and Minister for Internal Affairs published letter of agreement No. 011SKBIM.PAN1412003 and No. 1712003 about instruction of implementation of Government Regulation No. 812003 and No 912003. Appendix II number 6.c. point 6 this letter declared that the provision of environmental function at the district is in form of Government Implementing Agency. The limit to adapt such environmental institution at the district is within two years after the determined of Government Regulation No. 812003, February 17th 2005. This stipulation is clarified by letter of Minister for Internal Affairs No. 660.1117281Bangda, October 20th 2003. There are many types of environmental institution at the district, as Support Division, Government Implementing Agency (either independent Environmental Government Implementing Agency or merge with other Government Implementing Agency), and Certain Implementing Task Agency (Agency or Office). The objectives aims of this research are : (I) to identify and record the regulation of environmental institution at the district; (2) to identify the type of environmental institution at the chosen by district, and (3) to seek ideal type of environmental institution at the district. As qualitative research, this research was a case study with multi cases and explorative. The research was done on December 2004 - January 2005 in nature Jakarta, the Capital City, Tangerang City, and Depok City. Reasoning of chosen the three location are (a) to be thrifty with time, cost, and energy; (b) the three locations represent three types of organization at the district based on Government Regulation No. 812003; (c) the three institutions in the three locations are implementer of environmental authority at the district. Data were collected by documentation study, observation, and in-depth interview methods. Thirty (30) officials who handled environmental problem at the center or district government were respondents' research. There were three stages analysis. First, regulation of environmental institution at the district and how it is being implemented which was analyzed descriptively. Second, to analysis the type environmental institution chosen by the district after the declaration of Governmental Regulation No. 812003. Third, to find ideal environmental institution at the district using Analytical Hierarchy Process (AHP). The result of research saws that regulation which based on environmental institution at the district was article 60 to 68 of Act No. 22/1999, Governmental Regulation No. 812003, and letter of agreement State Minister for Control of Machinery of State and Minister for Internal Affairs No. 0i/SKBIM.PAN1412003 and No. 17/2003. Then Minister for Internal Affairs published letter No. 660.1117281Bangda, at October 20th 2003, which suggest the environmental institution at the district to change into Governmental Implementing Agency, and the limit to adapt such environmental institution at the district is within February l7`~ 2005. On the other side, State Minister of Environmental Affairs took letter outside No. B.2466fMENLH104/2003 about structuring the environmental institution on the district level. This letter suggest (I) the environmental institution has the form of a Government Implementing Agency or Agency (Certain Implementing Task Agency); (2) it is in each province or district; (3) independent; and (4) unhurried to adapt.Implementation of Government Regulation No. 812003 on environmental institution only happened in Depok City, although it is within scoring. Environmental section on Support Division of Depok City became Sanitation and Environmental Government Implementing Agency. Therefore, the environmental institution in Jakarta and Tangerang were the same as before. In Jakarta, it was Environmental Management Agency of Province Jakarta. In Tangerang, it was Environmental Government Implementing Agency of Tangerang City.Each types of environmental institution had positive and negative sides, but Government Implementing Agency was the best institutions to handle environment problem at the district. Conclusion: (1) the regulation which based on environmental institution at the district was article 60 to 68 Act No. 2211999, Government Regulation No. 812003, and letter of agreement between State Minister for Internal Affairs No. 011SKNIM.PAN1412003 and No. 17/2003. Based on letter of agreement of two ministers, Minister for Internal Affairs publish letter No. 660.111728Bangda at October 20th 2003, and State Minister of Environmental Affairs published letter No. B.2466IMENLH/04/2003. Those two letters content with different policy about environmental institution at the district. (2) The Environmental Institution in Jakarta still Agency, in Tangerang City is Government Implementing Agency, and in Depok City is Government Implementing Agency too. (3) The best environmental institution at the district is Government Implementing Agency. Therefore, the writer suggest: (I) the need coordination between institutions of state during policy making, on order not to confuse the implementation; (2) it is best to change the environmental institution at the district become Government Implementing Agency, with human resources, infrastructure, and financing preparation to support it; (3) the need for more research about effectiveness and efficiency of each types of environmental institution at the district from structuring of organization, professionalism of apparatus, and financing sides.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sadino
Abstrak :
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), khususnya Perpu No. 1 Tahun 2004 menjadi perbincangan menarik dan hangat diantara para pengelola negara dalam melaksanakan pemerintahan yang di amanatkan kepada pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri. Perpu yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan mendapat persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat telah menjadi polemik bagi berbagai pihak. Jika dilihat dari lahirnya Perpu tersebut yang dilandasi oleh kepentingan ekonomi, dalam hal ini kepentingan investasi. Untuk itu, menjadi hal yag menarik untuk dikaji lebih jauh apa latar belakang sesungguh dari dikeluarkannya Perpu tersebut. Apakah investasi di bidang pertambangan di Indonesia ini, memang dibutuhkan pengaturan dengan menggunakan PERPU. Untuk mengetahui lebih mendalam terhadap hal di atas, maka diperlukan penelitian yang berkaitan dengan lahirnya Perpu 1 Tahun 2004 dan kajian terhadap penggunaan kawasan Kehutanan untuk keperluan investasi dalam bidang pertambangan ini. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan studi kepustakaan. Untuk memperkuat dan validasi data juga dilakukan wawancara dengan informan, terutama yang berkaitan dengan penentu kebijakan dan pihak yang terkena kebijakan. Dari hasil studi ditemukan beberapa permasalahan berupa kegiatan usaha yang diperbolehkan di kawasan hutan (Hutan Lindung), usaha pertambangan pada kawasan hutan, tumpang tindih perizinan, dan kepastian investasi dalam bidang pertambangan. Perijinan usaha pertambangan di hutan lindung secara hukum dilarang sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Kehutanan No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan maupun Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun pada kenyataannya, penambangan di kawasan hutan sudah berjalan dengan sistem pinjam pakai kawasan hutan yang diatur oleh Keputusan Menteri Kehutanan. Lahirnya Keputusan Menteri Kehutanan yang mengatur Pinjam Pakai Kawasan Hutan tersebut merupakan produk politik Pemerintah pada saat itu yang mempunyai pengaruh sangat kuat. Dampaknya, setelah posisi Pemerintah tidak kuat maka dalam semua Kontrak Pertambangan menjadi bermasalah dan investasi di bidang pertambangan tidak lagi menjadi investasi yang menarik bagi investor. Investor menjadi ragu akan kepastian hukum dan kepastian berusaha di bidang pertambangan. Departemen Kehutanan sebagai pengelola hutan juga dalam keadaan yang tidak menguntungkan, karena hutan Indonesia saat ini dalam keadaan rusak dan berbahaya bagi lingkungan. Hutan tropis Indonesia bukan lagi menjadi milik bangsa Indonesia tetapi sudah menjadi bagian global dari sistem kehutanan dunia. Kerusakan hutan semakin bertambah dengan adanya pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Luas hutan semakin bertambah setelah adanya otonomi daerah. Daerah masih menganggap hutan dari sisi ekonomi yang harus di ekploitasi untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tidaklah heran apabila semua investasi yang berkaitan dengan kawasan hutan akan mendapat sorotan yang tidak baik dari pemerhati lingkungan nasional maupun internasional. Akibatnya meskipun sudah ada Perpu ternyata belum menjamin kepastian hukum investasi usaha pertambangan di Indonesia. Sudah saatnya dilakukan amandemen terhadap aturan hukum pengelolaan sumber daya alam untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang harmonis dan menarik bagi investor.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T21120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>