Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sisilia Nurmala Dewi
"Hukum merupakan sebuah sistem. Hukum tidak berhenti pada tataran
substansi saja, melainkan juga melibatkan unsur lain, yakni struktur dan kultur hukum. Secara normatif, hak atas kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi. Meski demikian, pada prakteknya, angka pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama tersebut makin meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Salah satu kasus pelanggaran yang paling banyak terjadi adalah pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama bagi JemaahnAhmadiyah Indonesia (JAI).Sejak dinyatakan sesat melalui fatwa MUI tahun 2005 lalu, kekerasan atas nama agama terhadap Ahmadiyah makin marak terjadi. Produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah disinyalir diskriminatif terhadap mereka. Masyarakat pada umumnya juga memiliki nilai-nilai tertentu yang menentukan bagaimana mereka bersikap terhadap hak atas kebebasan beragama. .
Sementara itu, aparat penegak hukum juga memiliki andil dalam menentukan efektivitas hukum terkait jaminan hak atas kebebasan beragama. Dalam kerangka sistem hukum, penguraian tentang masyarakat menggambarkan kultur hukum, dan kinerja aparat penegak hukum memperlihatkan bagaimana struktur hukum bekerja."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1662
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Sayogie
"Tesis ini membahas konsep hak kebebasan beragama dalam Islam ditinjau dari perspektif perlindungan negara dan hak asasi manusia universal. Implementasi kebebasan beragama dalam Islam masih memiliki permasalahan yang belum tuntas. Berdasarkan perspektif Piagam Madinah, Islam dapat memberikan perlindungan kebebasan beragama dan memberikan hak-hak non-muslim. Namun, dalam praktiknya, di beberapa negara Islam dewasa ini, yang sering terjadi justru berbagai penyimpangan yang mengaburkan makna serta semangat yang dikandung dalam Piagam Madinah. Beberapa negara Islam saat ini masih memformalisasi dan merumuskan penerapan syariah dalam ruang publik. Negara menjadi tidak bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan dan selalu berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundang-undangan negara. Hal ini juga tercermin dalam Deklarasi Kairo yang memberikan legitimasi kepada negara-negara Islam untuk tetap mempertahankan dan menjalankan doktrin berbasis syariah yang lebih menekankan perlindungan agama daripada memberikan perlindungan hak fundamental dalam kebebasan beragama. Oleh karena itu, perlunya doktrin pemisahan agama dan negara yang bertujuan agar negara lebih independen dan diharapkan dapat memberikan perlindungan organ-organ dan institusi-institusi negara terhadap penyalahgunaan kekuasaan atas nama agama. Hak kebebasan beragama hanya bisa direalisasikan dalam kerangka kerja negara yang konstitusional dan demokratis didasarkan oleh semangat yang dianut hak asasi manusia universal.

The thesis discusses the concept of religious freedom in the perspective of state protection and universal human rights. The implementation of religious freedom in Islam still has unresolved issues. Based on the perspective of the Madinah Charter, Islam can provide protection of freedom of religion and give the rights of non-Muslims. Nowadays, however, in practice, in some Islamic countries, there is actually a variety of aberrations that obscures the meaning and spirit of the Madinah Charter. In some Muslim countries, the formalization and formulation of syariah are still implemented in the public sphere. State does not remain neutral toward all religious doctrines and always strives to apply the principles of syariah as a policy or state legislation. This is also reflected in the Cairo Declaration that gives legitimacy to Muslim countries to maintain and run a syariah-based doctrine that emphasizes the protection of religion rather than the protection of the fundamental rights of freedom of religion. Therefore, the need for the doctrine of separation of religion and state is intended to make state more independent and is expected to provide protection of the organs and institutions of the state against the abuse of power in the name of religion. Right to freedom of religion can only be realized within the framework of the constitutional and democratic state based on the spirit of universal human rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30001
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Arief Rahman
"Skripsi ini pertama menjelaskan perkembangan dan pengaturan kebebasan dalam menangkap ikan di laut bebas yang tercantum di dalam UNCLOS 1982, kemudian skripsi ini juga menjelaskan serta menganalisa mengenai kewajiban lain dalam kebebasan menangkap ikan di laut bebas yaitu kewajiban negara untuk mnegadopsi tindakan yang bertalian terhadap warga negaranya untuk konservasi wilayah laut bebas dan kewajiban negara untuk bekerjasama secara regional dalam pengelolaan serta konservasi wilayah laut bebas. Selanjutnya dalam skripsi ini akan membahas penerapan ketentuan hukum internasional dalam pengelolaan serta konservasi perikanan wilayah laut bebas di negara Indonesia serta membahas bagaimana praktik negara Indonesia dalam memanfaatkan serta tindakan konservasi perikanan laut bebas.

This research explains the development and regulations of the freedom of high seas fisheries as stipulated at UNCLOS 1982. Then this research analyzes the national measures for high seas fisheries and the duty of cooperate with regional fisheries management with another states to manage and conserve the high seas fisheries. Then this research analysed the implementation of the international regulations about fisheries on the high seas and its duty in Indonesia and also the practise and application of high seas fisheries in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S57729
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Raihanah
"Skripsi ini membahas hak kebebasan berekspresi pengguna sistem elektronik di internet setelah berlakunya PM Kominfo 5/2020. Landasan penelitian ini ialah pemutusan akses terhadap beberapa situs dan aplikasi PSE Lingkup Privat oleh Kemenkominfo, kondisi kebebasan menggunakan internet di Indonesia yang bebas setengah, dan pembatasan hak kebebasan berekspresi di internet yang marak dilakukan, baik oleh pemerintah ataupun individu. Perlindungan atas hak kebebasan berekspresi pengguna sistem elektronik di internet merupakan amanat UUD NRI 1945, kemudian dijelaskan lebih lanjut di dalam UU HAM dan UU Kemerdekaan Berpendapat. Tidak hanya di skala nasional, hak kebebasan berekspresi pengguna sistem elektronik di internet juga dilindungi oleh instrumen HAM internasional, baik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia seperti ICCPR maupun yang berbentuk rekomendasi dari para pakar hukum. Meski hak ini sudah diatur secara tegas, pasal – pasal di PM Kominfo 5/2020 terkait moderasi dan pemutusan akses terhadap informasi dan dokumen elektronik yang tidak memiliki standar jelas dan subjektif berpotensi melanggar hak kebebasan berekspesi pengguna sistem elektronik di internet. Dengan demikian, rumusan masalah yang diangkat di dalam penelitian ini ialah lingkup pengaturan dan konsep hak kebebasan berekspresi pengguna sistem elektronik di internet menurut instrumen hukum secara internasional serta nasional, dan implikasi hak kebebasan berekspresi pengguna sistem elektronik di internet setelah berlakunya PM Kominfo 5/2020. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa PM Kominfo 5/2020 melanggar hak kebebasan berekspresi pengguna sistem elektronik di internet.

This thesis discusses the right to freedom of expression of electronic system users on the internet after the enactment of PM Kominfo 5/2020. The research's basis is access termination to several Electronic System Providers in the Private Sector by the Ministry of Communication and Informatics, freedom to use the internet in Indonesia, and restrictions on the right to freedom of expression on the internet which are widely practiced, both by the government and individuals. Protection of the right to freedom of expression for users of electronic systems on the internet is a mandate of the 1945 Constitution, which is further explained in the Human Rights and the Freedom of Opinion Law. Not only on a national scale, the rights to freedom of expression of electronic systems users on the internet are also protected by international human rights instruments that Indonesia has ratified, such as the ICCPR and recommendations from legal experts. Albeit this right has been strictly regulated, articles in PM Kominfo 5/2020 regarding moderation and terminating access to electronic information and/or documents that do not have clear and subjective standards potentially violate the right to freedom of expression of electronic systems users on the internet. Thus, the problem raised in this study is the regulation and the concept of the right to freedom of expression of electronic systems users on the internet according to international as well as national legal instruments and the implications of it after the enactment of PM Kominfo 5/2020. This research is qualitative, using a descriptive method. This research found that PM Kominfo 5/2020 violated the right to freedom of expression of electronic system users on the internet."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ansar Ahmad
"Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah korban pelanggaran hak kebebasan beragama terbanyak dalam kurun waktu 2007-2020. Melihat kondisi ini, pemerintah justru membatasi hak kebebasan beragama Jemaat Ahmadiyah di berbagai wilayah di Indonesia, salah satunya Kota Depok melalui Peraturan Walikota Depok Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Kota Depok. Tujuannya untuk menjaga ketertiban dan ketenteraman masyarakat, mengawasi aktivitas Jemaat Ahmadiyah dari aktivitas yang menyimpang dari agama Islam, dan berbagai alasan lainnya. Peneliti mempertanyakan kesesuaian dari Peraturan Walikota Depok Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Kota Depok terhadap hak kebebasan beragama dan dampaknya terhadap hak kebebasan beragama Jemaat Ahmadiyah di Kota Depok. Peneliti mengumpulkan data dengan wawancara, observasi lapangan, serta analisis peraturan perundang-undangan dan literatur terkait, seperti buku, artikel ilmiah, kronologi penyegelan masjid, duplik, dan berita. Peraturan Walikota Depok Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Kota Depok melanggar hak kebebasan beragama karena dasarnya keliru, tujuannya tidak dibenarkan jaminan hak kebebasan beragama di International Covenant on Civil and Political Rights, adanya intervensi forum internum, pembatasan forum eksternum yang keliru, serta adanya pembinaan dan pengawasan terhadap Jemaat Ahmadiyah karena aliran “menyimpang” yang melanggar hak kebebasan beragama. Dampaknya, kegiatan dan masjid Jemaat Ahmadiyah di Depok disegel, papan nama organisasi dilarang, terjadi pemantauan, pembinaan, dan pengawasan yang mengganggu ibadah Jemaat Ahmadiyah, timbulnya stigma buruk dari masyarakat di Kota Depok, dan tidak adanya perlindungan dari tindakan melawan hukum terhadap Jemaat Ahmadiyah di Kota Depok dari pemerintah.

Jemaat Ahmadiyya Indonesia has been the most significant victim of religious freedom violations between 2007 and 2020. Despite this situation, the government has further restricted the religious freedom of the Jemaat Ahmadiyya in various regions in Indonesia, including in Depok through Depok Mayor Regulation No. 9 of 2011 concerning the Prohibition of Ahmadiyya Activities in Depok. This regulation aims to maintain public order and tranquility, then monitor Ahmadiyya activities to prevent deviations from Islam, and other reasons. The research questions are the suitability of Depok Mayor Regulation No. 9 of 2011 with the right to religious freedom and its impact on the religious freedom of the Ahmadiyya community in Depok. The researchers collected data through interviews, field observations, and analyses of relevant regulations and literature, such as books, academic articles, mosque sealing chronology, responses, and news. Depok Mayor Regulation No. 9 of 2011 concerning the Prohibition of Ahmadiyya Activities in Depok violates the right to religious freedom due to its erroneous foundation, unjustified objectives that contradict the guarantees of religious freedom under the International Covenant on Civil and Political Rights, forum internum intervention, erroneous forum externum restrictions, as well as monitoring and supervision of the Ahmadiyya community based on the "deviant" label, which infringes upon their right to religious freedom. As a consequence, Ahmadiyya activities and mosques in Depok have been sealed, organizational signage has been banned, and disruptive monitoring, mentoring, and supervision have been imposed on Ahmadiyya worship. The Jemaat Ahmadiyya community in Depok faces negative stigmatization from the local society, and the government fails to provide protection against illegal actions taken against the Ahmadiyya community in Depok."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Jojor Yuni Artha
" ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai hak kebebasan beragama dan berkepercayaan pada masyarakat penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Melalui UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama negara telah melakukan diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan, karena hanya enam agama saja yang diakui oleh negara. Pada saat melakukan observasi di Cigugur, Jawa Barat, ditemukan dampak negatif atas pengaturan tersebut yang dialami oleh para penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka kesulitan mengakses hak-hak sipilnya, seperti hak untuk memeluk agama dan melaksanakannya, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas pelayanan publik akta perkawinan, akta anak serta identitas hukum berupa KTP , dan hak atas bantuan hukum. Akibatnya timbul konflik vertikal antara penghayat kepercayaan dengan pemerintah serta konflik horizontal antara sesama masyarakat. Penelitian ini juga melihat langkah penyelesaian sengketa yang dipilih oleh penghayat keperacayaan untuk menyelesaian konflik/sengketa yang dialaminya. Maka saran dari penelitian ini adalah, negara tidak perlu membedakan antara pemeluk agama resmi dan penghayat kepercayaan. Hal ini sebagai bentuk kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak warga negaranya. Tanpa pembedaan maka penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan dapat mengakses hak-hak sipilnya.
ABSTRACT This research aims to discuss the right to freedom in religion and belief in Sunda Wiwitan community. According to UU No.1 of 1965 about Prevention of Misuse and or Blasphemy, the country has undertaken a discrimination towards the instiller of faith, due to the fact that only six religions are recognized by the country. In the process of observing in Cigugur, West Java, it was founded several negative impacts toward that regulation which is experienced by Sunda Wiwitan community. They face some difficulties in accessing their civil rights as the freedom of religion, education, employment, public service marriage certificate, birth certificate and legal identity in the form of KTP , and the right to legal aids. As a result, several vertical conflicts between the instiller of faith and government and horizontal conflicts between the instiller of faith and the other communities arise. The study also observed the solutions taken by the instiller of faith to solve the conflicts dispute. Accordingly, the suggestion of this study is the country should distinguish between the official religion and the instiller of faith. It is a form of country rsquo s obligation to respect, fulfill and protect the rights of its community. Without any discrimination, the instiller of faith in Sunda Wiwitan will be able to access their civil rights. "
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66705
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library