Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yusra
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian unruk menetapkan nilai rujukan masa trombin di Bagian Patologi Klinik FKUI-RSUPNCM, dengan menggunakan reagen Bovine thrombin. dengan kadar 10 NIB unit/ml. Penelitian ini berhasil mendapatkan nilai rujukan untuk laki-laki sebesar 8,49 - 15.61 detik dan wanita sebesar 9.13 - 12.89 detik. Pada penyimpangan larutan kerja trombin pada suhu -20°C ternyata reagen Bovine Thrombin stabil sampai minggu ke 4. Pada uji sensitivitas terhadap fibrinogen kadar rendah, reagen Bovine Thrombin 10 NIH unit/ml lebih sensitif daripada reagen Fibrindex 3 NIH unit/mi. Pada uji sensitivitas terhadap heparin, larutan kerja Bovine Thrombin 10 Ni-I unit/ml lebih sensitif sedikit dari pada larutan kerja Fibrindex 3 NIH unit/ml.
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Feline Husen
Abstrak :
Pendahuluan: Heparin dapat digunakan sebagai terapi bagi pasien COVID-19. Namun, indikasi dan efeknya masih berbeda di berbagai penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pemberian heparin dalam menurunkan keparahan gejala klinis. Metode :Studi retrospektif dilakukan dari rekam medis pasien COVID-19 kondisi sedang-berat yang dirawat di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Parameter yang diperiksa adalah kondisi klinis pasien (tingkat mortalitas dan total lama perawatan), kadar D-dimer, dan trombosit pada dua kelompok, kelompok yang diberikan heparin dan yang tidak. Hasil:Penelitian ini menyertakan 110 subjek penelitian. Terdapat tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada kelompok heparin dibandingkan kontrol (45,3% vs 5 10,9%; p<0,01). Hal ini dapat disebabkan perbedaan derajat sedang dan berat. Mayoritas kelompok heparin berkondisi berat (58,1% vs 28,2%) jika dibandingkan kontrol. Pada pengecekan laboratorium, heparin menurunkan kadar D-dimer (790 ke 500 vs 725 ke 4.475 µg/L) dan trombosit (366 ke 208x103 vs 217 ke 318x103/µL)secara signifikan (p<0,01). Kesimpulan: Kelompok heparin memiliki tingkat mortalitas yang tinggi akibat tingkat kondisi yang lebih berat, tetapi kadar D-dimer dan trombosit menurun dibandingkan kelompok kontrol. ......Introduction: Heparin can be used as therapy for COVID-19 patients. However, the indications and effects still differ in various studies. Therefore, this study aims to assess the effectiveness of heparin administration in reducing the severity of clinical symptoms. Methods: A retrospective study was conducted from medical records of moderate-severe COVID-19 patients treated at the University of Indonesia Hospital (RSUI). The parameters examined were the patient's clinical condition (mortality rate and total length of treatment), D-dimer levels, and platelets in two groups, those given heparin and those not. Results: This study included 110 research subjects. There was a higher mortality rate in the heparin group compared to controls (45.3% vs 5 10.9%; p<0.01). This is due to the difference in moderate and severe degrees. The majority of the heparin group had severe conditions (58.1% 28.2%) when compared to controls. In laboratory tests, heparin reduced the levels of D-dimer (790 to 500 vs 725 to 4,475 µg/L) and platelets (366 to 208x103 vs 217 to 318x103/µL) significantly (p<0.01). Conclusion: The heparin group had a high mortality rate due to more severe conditions, but D-dimer and platelet levels decreased compared to the control group
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Januar Rizky Adriani
Abstrak :
Pendahuluan: Deep Vein Thrombosis (DVT) memiliki kecenderungan terus meningkat dengan koinsidensi mortalitas jangka pendek dan morbiditas jangka panjang. COVID-19 dapat menyebabkan hypercoagulable state dan menjadi predisposisi terjadinya DVT. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kadar fibrinogen, D-Dimer, dan dosis heparin teraupetik berdasarkan kadar APTT dengan adanya COVID-19 pada pasien DVT. Metode: Desain penelitian komparatif dan kohort prospektif digunakan untuk membandingkan kadar fibrinogen, D-Dimer, dan dosis heparin terapeutik antara pasien COVID-19 dan non COVID-19 yang menderita DVT di RSPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Maret 2020 – Maret 2022. Penegakan diagnosis DVT dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi dan/atau computed tomography angiography (CTA) fase vena. Data variabel utama dan lainnya diperoleh dari rekam medis pasien. Uji T independen atau Mann-Whitney digunakan untuk menganalisis perbedaan nilai variabel antara kedua kelompok. Hasil: Dari total 253 sampel, tidak terdapat perbedaan karakterisitik awal antara kelompok DVT COVID-19 (n=44) dan DVT non COVID-19 (n=209), kecuali pada parameter Wells Score. Kelompok DVT COVID-19 memiliki kadar Fibrinogen, D-Dimer, dan aPTT yang lebih tinggi daripada kelompok DVT non COVID-19, baik sebelum terapi maupun sesudah terapi heparanisasi (semua nilai p =0,000). Pada akhir pengamatan, didapatkan dosis heparin terapeutik pada kelompok DVT COVID-19 lebih tinggi dibanding pada kelompok DVT non COVID-19 (30,00 (20,00-40,00)x103 U vs. 25,00 (20,00-35,00)x103 U, p=0,000). Kesimpulan: Kadar fibriongen, D-Dimer, dan dosis heparin terapeutik pada pasien DVT yang menderita COVID-19 lebih tinggi dibandingkan pada pasien DVT yang tidak menderita COVID-19. Inisiasi pemberian dosis heparin terapeutik dosis tinggi dapat dipertimbangkan pada pasien DVT dengan komorbid COVID-19 dan dipandu oleh hasil pemeriksaan biomarker koagulasi darah. ......Introduction: Deep Vein Thrombosis (DVT) has an increasing trend with a coincidence of short-term mortality and long-term morbidity. COVID-19 can cause a hypercoagulable state and predispose to DVT. This study aims to analyze the relationship between fibrinogen levels, D-Dimer, and therapeutic heparin doses based on APTT levels in the presence of COVID-19 in DVT patients. Methods: A comparative study design and a prospective cohort were used to compare levels of fibrinogen, D-Dimer, and therapeutic heparin doses between COVID-19 and non-COVID-19 patients suffering from DVT at Cipto Mangunkusumo Hospital in March 2020 – March 2022. Diagnosis of DVT was performed by ultrasound examination and/or computed tomography angiography (CTA) venous phase. The primary variable data and others were obtained from the patient's medical record. An Independent T-test or Mann-Whitney was used to analyze the differences in variable values between the two groups. Results: Of 253 samples, there was no difference in initial characteristics between the DVT COVID-19 (n=44) and non-COVID-19 DVT groups (n=209), except for the Wells Score parameter. The COVID-19 DVT group had higher levels of fibrinogen, D-Dimer, and aPTT than the non-COVID-19 DVT group, both before and after heparinization therapy (all p-values = 0.000). At the end of the follow-up period, the therapeutic dose of heparin in the COVID-19 DVT group was higher than in the non-COVID-19 DVT group (30.00 (20.00-40.00)x103 U vs. 25.00 (20.00-35.00)x103 U, p-value=0.000). Conclusion: The levels of fibrinogen, D-Dimer, and therapeutic doses of heparin in DVT patients who have COVID-19 are higher than in DVT patients who do not have COVID-19. Initiation of a higher therapeutic dose of heparin can be considered in DVT patients with comorbid COVID-19 and guided by the results of blood coagulation biomarkers.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Yanti Anggraini
Abstrak :
Sepsis dikenal secara luas sebagai sindrom klinis yang merupakan hasil dari respon sistemik yang hebat terhadap infeksi dan melibatkan gangguan pada berbagai organ penderitanya Sepsis merupakan penyebab kematian tersering pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif Proses inflamasi dengan respon maladaptif terhadap proses tersebut merupakan mekanisme terjadinya disfungsi organ multipel dan kematian pada sepsis. Heparin juga diketahui dapat memodulasi proses inflamasi, namun belum banyak penelitian yang menjelaskan dosis heparin sebagai antiinflamasi. Penelitian ini ingin mengkaji lebih jauh pengaruh dosis heparin terhadap aktivasi faktor transkripsi Nuclear Factor Kappa Beta (NFkB) melalui pengukuran terhadap kadar NFkB sub unit p65 dan produksi sitokin proinflamasi Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-?) untuk memberikan dasar ilmiah mengenai penggunaan dosis heparin sebagai antiinflamasi pada pasien dengan sepsis berat. Penelitian ini merupakan eksperimental laboratorik dengan menggunakan sampel dari 5 orang sukarelawan sehat dan 10 orang pasien sepsis berat. Sel mononuklear darah tepi (peripheral blood mononuclear cells/PBMC) dari darah vena diperoleh dengan teknik Ficoll-hypaque. Fraksi non-monosit dari PBMC menggunakan Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Isolasi monosit diresuspensi pada medium Roswell Park Memorial Institute (RPMI) yang disuplementasi dengan 10% fetal bovine serum (FBS). Sel kemudian dipaparkan dengan heparin 0.1 IU/ml (1?g/ml), 1 IU/ml (10 ?g/ml), dan 10 IU/ml (100 ?g/ml), sedangkan kontrol tidak diberi perlakuan. Setelah diinkubasi pada 37°C dan 5% CO2 selama 6 jam dan 24 jam, pelet sel diukur NFkB sedangkan supernatan diukur TNF-? dengan metode ELISA. Hasil penelitian menunjukkan kadar NFkB sub unit 65 dan produksi TNF-? pada kultur monosit pasien sepsis berat yang mendapat heparin ditemukan secara signifikan lebih rendah daripada kontrol. Heparin dosis rendah 0.1 IU/ml (1?g/ml), secara signifikan menurunkan aktivasi NF?B dan produksi TNF-? lebih besar. Penelitian ini menunjukkan bahwa heparin menghambat aktivasi NFkB sehingga menurunkan produksi sitokin TNF-?. Heparin dengan dosis rendah menunjukkan pengaruh sebagai antiinflamasi lebih besar. Hasil yang diperoleh diharapkan memberikan pemahaman baru mengenai pengaruh dosis heparin sebagai anti-inflamasi pada pasien sepsis berat. ......Sepsis is a severe systemic response to infection, based on the Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) plus infection proven or clinically suspected infection, with evidence of organ failure due to hypo-perfusion. Anti-inflammatory therapy is one of the important therapeutic modality and applied potential as sepsis therapy. Inflammatory process with a maladaptive response to this process is the mechanism for the occurrence of multiple organ dysfunction and mortality in sepsis. Bacterial lipopolysaccharide binds to CD14 receptors and toll-like receptor (TLR) on the surface of monocytes and activates intracellular signal transduction involving beta-Kinase Inhibitor Kappa/IKKB that activates Nuclear Factor Kappa-Beta (NFkB) enter the nucleus and initiate transcription of RNA that encodes the production of cytokines TNF-?. Heparin has long been known as an anticoagulant, but also known to modulate the inflammatory process. This study want to examine further role of heparin as an anti-inflammatory to provide a scientific basis for the use of heparin in sepsis. Peripheral blood mononuclear cells (peripheral blood mononuclear cells/PBMC) of patients with severe sepsis obtained by Ficoll-Hypaque technique. Non-monocyte fraction of PBMC were removed using a Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Isolation of monocytes resuspended in Roswell Park Memorial Institute medium (RPMI) supplemented with 10% fetal bovine serum (FBS). Cells then exposed to 0.1 IU heparin (1 ?g/ml), 1 IU (10 ug/ml), and 10 IU (100 ?g/ml), whereas controls did not. After incubation at 37°C and 5% CO2 for 6 hours and 24 hours, each sample is aspirated into micro centrifuge tube and rotated at a speed of 400 g for 5 min. Cell pellet was measured for NFkB and supernatant measured for TNF-?. Both were measured by ELISA. The results showed NFkB activation and TNF-? production in cultured monocytes severe sepsis patients who received heparin found to be significantly lower than controls. Low-dose heparin 0.1 IU (1?g/ml), significantly decreased the activation of NFkB and TNF-? production a lot more. This study demonstrates how heparin interfere an inflammatory response in severe sepsis patients monocytes through interrupt NFkB activation that decrease the production of cytokines TNF-?. The results are expected to provide new insights into the role of heparin as an anti-inflammatory in patients with severe sepsis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lista Roro Marsudi
Abstrak :
ABSTRAK
Metformin HCl merupakan golongan biguanid yang dapat menurunkan kadar gula darah dan digunakan untuk kondisi serius, sehingga termasuk obat yang memerlukan respon pasti dan wajib uji bioekivalensi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh metode tervalidasi serta mengevaluasi pengaruh perbedaan jenis antikoagulan pada analisis metformin HCl dalam plasma. Kondisi kromatografi optimum menggunakan detektor photodiode array yang dideteksi pada panjang gelombang 234 nm; kolom C18 SunfireTM 5 m, 250 x 4,6 mm ; suhu 40 C; fase gerak SDS 10 mM dan dapar fosfat 10 mM dalam air ndash; asetonitril 60:40 v/v ; pH 7,0; dan laju alir 1,0 mL/menit dengan kalsiu atorvastatin sebagai baku dalam. Ekstraksi dilakukan dengan metode pengendapan protein menggunakan plasma 300 l dan asetonitril 600 l 1:2 v/v . Metode yang diperoleh linear pada rentang konsentrasi 20,0 ndash; 5000,0 ng/mL dengan r > 0,9998. Data stabilitas dan perolehan kembali metformin HCl dalam plasma dengan antikoagulan berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan p > 0,05; ANOVA , namun untuk rasio respon luas puncak menunjukkan perbedaan yang signifikan p < 0,05 yaitu antikoagulan sitrat dengan EDTA dan antikoagulan heparin dengan EDTA. Secara keseluruhan, metode analisis yang diperoleh memenuhi persyaratan validasi baik untuk penggunaan antikoagulan sitrat, heparin, maupun EDTA berdasarkan EMEA Bioanalytical Guideline tahun 2011.
ABSTRACT
Metformin HCl is one of biguanid medicine which decreasing glucose level in plasma and used for critical used drug, it includes drugs that require a definite response and a mandatory of bioequivalence test. The aim of this study is to validate the analytical method and evaluate the effect of anticoagulant types for analyzing metformin HCl in human plasma. Optimal analytical condition was obtained using photodiode array detector which was detected at wavelength of 234 nm C18 SunfireTM column 5 m, 250 x 4.6 mm , temperature 40 C the mobile phase contains 10 mM SDS and 10 mM phosphate buffer in water ndash acetonitrile 60 40 v v pH 7.0 flow rate was 1.0 mL min and using atorvastatin calcium as internal standard. The plasma extraction was carried out by protein precipitation method using human plasma 300 l and acetonitrile 600 l 1 2 v v . The method was linear at concentration range of 20.0 ndash 5000.0 ng mL with r 0.9998. Based on stability and recovery of metformin HCl in plasma, there was no significant difference ANOVA p 0.05 , but it showed significant difference for peak area ratio response p 0.05 between citrate with EDTA and heparin with EDTA anticoagulants. Overall, this analytical mehod fulfill the accepteance criteria of validation based on EMEA Bioanalytical Guideline 2011.
2017
S69846
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Mardhiani
Abstrak :
ABSTRAK
Esomeprazole adalah obat Proton Pump Inhibitor PPI yang diformulasikan dalam tablet pelepasan tertunda, yang meliputi uji wajib bioekivalen. Validasi metode in vitro menggunakan plasma manusia dari Palang Merah Indonesia yang menggunakan sitrat sebagai antikoagulan. Dalam pelaksanaan studi in vivo, biasanya menggunakan plasma manusia yang menggunakan EDTA atau heparin sebagai antikoagulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan jenis antikoagulan yang dapat mempengaruhi analisis esomeprazol dalam plasma manusia. Kondisi kromatografi optimal menggunakan kolom C18 SunfireTM 5 m, buffer fosfat asetonitril fosfat fase gerak 250 mm x 4,6 mm 40 60 vv pH 7,6 suhu kolom 40 C Laju alir 1,0 mL min dengan lansoprazol sebagai standar internal dan dideteksi oleh PDA array fotodioda pada panjang gelombang 300 nm . Ekstraksi dilakukan dengan metode ekstraksi cairan cair menggunakan 500 l plasma dan 5 ml diklormetan sebagai pelarut ekstraksi. Hasil penelitian menunjukkan kisaran konsentrasi linieritas kurva kalibrasi pada 5 1500 ng mL. Pemulihan dan data respon puncak yang luas dari esomeprazol dalam plasma memiliki perbedaan yang signifikan antara antikoagulan EDTA heparin dan sitrat EDTA.
ABSTRACT
Esomeprazole is a Proton Pump Inhibitor PPIs drug that formulated in delayed release tablets, which include mandatory of bioequivalent test. In vitro method validation used human plasma from Palang Merah Indonesia that used citrate as anticoagulant. In the implementation of in vivo study, usually using human plasma that used EDTA or heparin as anticoagulant. This study aims to evaluate the effect of using of anticoagulant types that may affect the analysis of esomeprazole in human plasma. Optimum chromatographic conditions used column C18 SunfireTM 5 m, 250 mm x 4.6 mm mobile phase acetonitrile phosphate buffer 40 60 v v pH 7.6 column temperature 40 C 1.0 mL min flow rate with lansoprazol as an internal standard and detected by photodiode array PDA in wavelength 300 nm. The extraction was carried out by liquid liquid extraction method using 500 l plasma and 5 ml dichlormethane as extraction solvent. The result of this study shows thet in concentration range of calibration curve linearity in 5 1500 ng mL. Recovery and broad peak response data of esomeprazole in plasma have significant differences between heparin EDTA and citrate EDTA anticoagulants.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sharfina Ghaisani Imana
Abstrak :
Evaluasi pengaruh antikoagulan penting untuk dilakukan karena pemilihan antikoagulan telah terbukti mempengaruhi pengukuran molekul kecil, profil metabolisme, dan parameter klinik dalam analisis suatu obat. Analisis asetosal dan asam salisilat penting untuk dilakukan terkait sifat asetosal yang mudah terhidrolisis menjadi asam salisilat. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan validasi penuh metode in vitro menggunakan antikoagulan sitrat dalam bentuk CPD-A Citrate Phosphate Dextrose Adenine . Namun pada pelaksanaan studi in vivo, antikoagulan yang digunakan adalah EDTA dan heparin. Berdasarkan European Medicines Agency EMEA 2011, jika ada perubahan antikoagulan yang digunakan pada metode analisis yang sudah divalidasi maka dilakukan validasi parsial. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh perbedaan jenis antikoagulan pada analisis asetosal dan asam salisilat dalam plasma setelah didahului oleh validasi parsial. Analisis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi dengan kolom C18 Waters, ReliantTM 5 m; 250 x 4,6 mm ; fase gerak asetonitril-dapar fosfat 20 mM 35:65 dengan pH 2,5; laju alir 1,0 mL/menit; suhu kolom 35 ?C; waktu analisis 14 menit dengan furosemid sebagai baku dalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akurasi dan presisi pada analisis plasma sitrat, heparin, dan EDTA memenuhi persyaratan dan kurva kalibrasi linier pada rentang konsentrasi 0,05-1,50 g/mL untuk asetosal dan 0,20-5,00 g/mL untuk asam salisilat. Data stabilitas dan perolehan kembali asetosal dan asam salisilat dalam plasma dengan antikoagulan berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan p > 0,05; ANOVA, namun untuk rasio respon luas puncak menunjukkan perbedaan yang signifikan p < 0,05 untuk ketiga jenis antikoagulan. Secara keseluruhan, metode analisis yang diperoleh memenuhi syarat validasi baik untuk penggunaan antikoagulan sitrat, heparin, maupun EDTA berdasarkan EMEA Bioanalytical Guideline tahun 2011. ......Evaluation of the anticoagulant effect is important to do because the selection of anticoagulants has been shown to influence the measurement of small molecules, metabolic profiles, and clinical parameters in the analysis of a drug. Analysis of acetosal and salicylic acid is important related to acetosal that is easily hydrolyzed to salicylic acid. In previous research has been done full validation of in vitro methods using citrate anticoagulant in the form of CPD A Citrate Phosphate Dextrose Adenine. Whereas in the implementation of in vivo studies, anticoagulants used were EDTA and heparin. Based on EMEA Bioanalytical Guideline 2011, if any anticoagulant changes are used in validated analysis methods then partial validation is performed. This study aims to evaluate the effect of different types of anticoagulants on the analysis of acetosal and salicylic acid in plasma after being preceded by partial validation. Analysis using high pressure liquid chromatography column C18 Waters, ReliantTM 5 m 250 x 4.6 mm analysis conditions using mobile phase acetonitrile phosphate buffer 20 mM 35 65 with pH 2.5 1.0 mL min flow rate column temperature 35 C 14 minutes of time analysis with furosemide as internal standard. The results showed that accuracy and precision in plasma citrate, heparin, and EDTA analyzes fulfilled linear calibration requirements and curves in the 0.05 1.50 g mL concentration range for acetosal and 0.20 5.00 g mL for salicylic acid. Data on the stability and recovery of acetosal and salicylic acid in plasma with different anticoagulants showed no significant difference p 0.05 ANOVA, but for the peak area response ratio showed significant differences p 0.05 for the three types of anticoagulants. Overall, the analytical methods obtained eligible validation for use of citrate, heparin, or EDTA anticoagulants based on EMEA Bioanalytical Guideline 2011.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hajriya Brahmi
Abstrak :
Latar Belakang: Penggunaan heparin inhalasi pada beberapa penelitian COVID-19 memberikan hasil dalam perbaikan klinis pasien, baik dalam menurunkan lama rawat, perbaikan oksigenasi paru, dan mortalitas. Dosis harian total heparin inhalasi yang bervariasi terutama bila diberikan bersamaan dengan antikoagulan sistemik, memiliki resiko komplikasi perdarahan yang memerlukan kajian terhadap keefektifan dan keamanannya. Tujuan: Meneliti keefektifan dan keamanan inhalasi heparin dosis 150,000 IU/hari dengan dosis 100.000 IU/hari dinilai dari AaDO2, aPTT dan d-Dimer dalam 7 hari pengamatan pada pasien ICU COVID-19. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan studi kohort retrospektif menggunakan data sekunder rekam medis pasien ICU COVID-19 bulan September 2020 – September 2021. Terdapat 300 sampel menggunakan consecutive sampling. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok heparin dosis 150.000 IU/hari dan 100.000 IU/hari. Pencatatan dilakukan dalam 7 hari pengamatan. Uji Statistik menggunakan uji Mann Whitney untuk menilai tingkat keparahan, Uji Wilcoxon rank test untuk melihat perbedaan variabel dependen hari pertama dengan hari ketujuh pada masing-masing dosis. Hasil: Heparin inhalasi baik dosis 150.000 IU/hari dan 100.000 IU /hari bermakna menurunkan AaDO2 pada 7 hari pengamatan (p 0.001). Nilai aPTT tidak memanjang pada kedua kelompok, dan kedua dosis heparin sama- sama menurunkan nilai d-Dimer pada 7 hari pengamatan (p 0.001). Simpulan: Heparin Inhalasi dosis 150.000 IU/hari sama efektif dinilai dari AaDO2, dan sama amannya terhadap aPTT dan d-Dimer dibandingkan heparin inhalasi dosis 100.000 IU/hari. ......Rationale: The use of inhaled heparin in several COVID-19 studies has resulted in clinical improvements in patients, both in reducing length of treatment, improving pulmonary oxygenation, and reducing mortality. The varying total daily dose of inhaled heparin, especially when given together with systemic anticoagulants, poses a risk of bleeding complications that require review of its effectiveness and safety. Objective: To analyze effectiveness and safety of heparin inhalation dosage 150,000 IU/day compare to 100,000 IU/day assessed from AaDO2, aPTT and d-Dimer from 7 days observation in ICU COVID-19 patients with invasive and non-invasive ventilator patterns. Methods: An observational cohort retrospective study used secondary data from medical records ICU COVID-19 patients with invasive and noninvasive ventilator patterns from September 2020 – September 2021. There were 300 samples using consecutive sampling. Patients divided into 2 groups, one received dosage 150,000 IU / day heparin inhalation, the other received heparin inhalation dosage 100,000 IU / day. Recording of the research from medical records is carried out at 7 days of ICU treatment. Statistical tests were carried out using Mann Whitney to assess severity, Wilcoxon rank test to see the difference in dependent variables day 1 and day 7 to dose. Measurements and Main Results: Heparin inhalation at dose of 150,000 IU/day and 100,000 IU/day both significantly decreased AaDO2 at 7 days of observation (p 0.001). The aPTT on both groups at 7 days of observation are within normal limits. Both doses of heparin inhalation decreased d-dimer at 7 days of observation (p 0.001). Conclusion: Inhaled heparin doses of 150,000 IU/day as effective and as safe as inhaled heparin doses of 100,000 IU/day.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Agung Alamsyah
Abstrak :
Latar Belakang: Deep Vein Thrombosis (DVT) adalah salah satu penyakit penyebab mortalitas jangka pendek dan morbiditas jangka panjang. Kasus DVT akan meningkat seiring bertambahnya usia. Pada pasien dengan keganasan, risiko DVT meningkat hingga 4,1 kali lipat karena kondisi hiperkoagulasi. Penatalaksanaan DVT antara lain pemberian antikoagulan dan kompresi eksterna. Penelitian ini bertujuan membandingkan luaran antropometrik tungkai pasien DVT dengan keganasan dan non-keganasan yang diterapi heparin. Metode: Kohort retrospektif menggunakan rekam medis di RS Cipto Mangunkusumo. Variabel bebas adalah status keganasan pada pasien DVT sedangkan variabel terikatnya adalah pengukuran antropometrik lingkar tungkai sebelum terapi heparin, 4 hari, dan 7 hari. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 25, nilai p<0,05 menunjukkan kemaknaan secara statistik. Hasil: Sebanyak 63 subjek penelitian, didapatkan subjek DVT dengan keganasan sebanyak 33 subjek (52,4%) dan DVT non keganasan sebanyak 30 subjek (47,6%). Pada awal terapi, tidak terdapat perbedaan ukuran antropometrik antara DVT keganasan dan non keganasan. Pada hari ke-4 dan ke-7 terapi, terdapat perbedaan perbaikan ukuran antropometrik di mid femur, distal femur, dan mid cruris, dimana perbaikan klinis lebih tampak pada DVT non keganasan (p<0,05). Subjek DVT keganasan memiliki dosis heparin maintenance teraputik yang lebih tinggi (p=0,000), dan mencapai waktu kadar APTT terapeutik yang lebih lama (p=0,000). Kesimpulan: Subjek DVT keganasan menunjukkan perbaikan klinis yang lebih kecil dibandingkan DVT non keganasan. Selain itu, memerlukan dosis heparin maintenance terapeutik yang lebih tinggi, dan mencapai waktu kadar APTT terapeutik yang lebih lama. ......Background: Deep Vein Thrombosis (DVT) is a disease that causes short-term mortality and long-term morbidity. DVT cases will increase with age. In patients with malignancy, the risk of DVT increases up to 4.1-fold due to the hypercoagulable state. Treatment for DVT includes anticoagulants and external compression. This study aims to compare the anthropometric outcomes of the limbs of DVT patients with malignancy and non-malignancy treated with heparin. Method: Retrospective cohort study using medical records at Cipto Mangunkusumo Hospital. The independent variable is malignancy status in DVT patients while the dependent variable is anthropometric measurements of leg circumference at first day, 4 days and 7 days heparin therapy. Statistical analysis using SPSS version 25, p<0.05 showed statistical significance. Results: Of the 63 study subjects, 33 subjects (52.4%) had DVT with malignancy and 30 subjects (47.6%) had non-malignant DVT. At the start of therapy, there was no difference in anthropometric measures between malignant and non-malignant DVT. On the fourth and seventh days of therapy, there were differences in anthropometric size improvement in the mid femur, distal femur, and mid cruris, whereas clinical improvement was more evident in nonmalignant DVT (p<0.05). Malignant DVT subjects had higher therapeutic maintenance heparin doses (p=0.000), and achieved longer therapeutic APTT levels (p=0.000). Conclusion: Malignant DVT subjects showed less clinical improvement than non-malignant DVT. In addition, it requires higher therapeutic maintenance heparin doses, and achieves a longer therapeutic APTT level time.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tandry Meriyanti
Abstrak :
Sepsis merupakan respons inflamasi sistemik pejamu terhadap infeksi. Respons inflamasi dimediasi oleh sitokin yang akan dilepaskan ke sirkulasi. Pelepasan sitokin akan menyebabkan terjadinya aktivasi koagulasi melalui peningkatan ekspresi tissue factor (TF) dan penurunan inhibitor alamiah, serta penurunan fibrinolisis. Tissue factor (TF) merupakan inisiator penting pada proses koagulasi, yang diekspresikan di sirkulasi darah oleh monosit aktif. Aktivasi TF selain menyebabkan aktivasi koagulasi juga dapat memodulasi inflamasi pada pasien sepsis berat. Heparin selain sebagai antikoagulan, berperan sebagai antiinflamasi. Berdasarkan fungsi heparin sebagai antiinflamasi dan peranan TF dalam inflamasi, ingin diteliti apakah pemberian heparin dapat menurunkan aktivitas TF yang diekspresikan monosit pada keadaan inflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan aktivitas TF monosit pada orang sehat dan pasien sepsis berat dan perbedaan aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat dengan pemberian heparin in vitro dibandingkan dengan kelompok tanpa heparin. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan sampel 10 orang pasien sepsis berat dan 5 orang sehat. Darah sitrat dipisahkan sel mononuklear darah tepi (peripheral blood mononuclear cell/ PBMC) dengan teknik Ficoll-Paque, dan isolat monosit diperoleh dari PBMC menggunakan Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Isolat monosit dipisahkan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pertama langsung diperiksa aktivitas TF, kelompok kedua diinkubasi 6 jam dengan heparin 0.1 IU, dan kelompok ketiga diinkubasi 6 jam tanpa heparin. Isolat monosit kemudian dibuat lisat sel dan supernatan diukur aktivitas TF (Actichrome TF). Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat dibandingkan orang sehat (p=0.002). Aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat yang mendapat heparin 0.1 IU berbeda bermakna setelah jam ke-6 dibandingkan tanpa heparin (p=0.003). ......Sepsis is a host systemic inflammatory response to infection. Inflammatory response is mediated by cytokines released into circulation. Cytokine leads to coagulation activation by elevating tissue factor (TF) expression, reducing natural inhibitors, and impeding fibrinolysis. TF is an important initiator in coagulation process, expressed in blood circulation by active monocytes. TF activates coagulation and modulates inflammation in severe septic patients. Heparin acts as anticoagulant and antiinflammatory agent. Based on heparin as antiinflammatory agent and role of TF in inflammation, heparin can decrease TF activity expressed on monocyte in inflammation. This study aims to find the difference between monocyte TF activities in healthy people and severe septic patients, and also between monocyte TF activities in severe septic patients receiving heparin in vitro and without heparin group. This study is a laboratory experiment using 10 samples from severe septic patients and 5 healthy samples. Peripheral blood mononuclear cells (PBMCs) are separated from citrate blood using Ficoll-Paque technique. Monocyte isolation is performed using Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Monocyte isolate is divided into three groups, first group is measured for TF activity directly, second group is incubated 6 hours with heparin 0.1 IU, and third group is incubated without heparin. Cell lysate is processed from monocyte isolate and supernatant is measured for activity TF (Actichrome TF). The result shows a significant difference between monocyte TF activity in severe septic patients compared to healthy people (p = 0.002). Monocyte TF activity in severe septic patients with heparin 0.1 IU/mL in the 6th hour is also significantly different than without heparin group (p = 0.003).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>