Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Attika Dini Ardiana
Abstrak :
Obesitas dan berat badan berlebih memiliki dampak negatif pada fungsi kognitif. Hal ini disebabkan oleh adanya inflamasi sentral yang terjadi di otak. Latihan fisik yang sesuai dan efektif adalah salah satu solusi untuk mencegah dampak negatif dari obesitas. High Intensity Interval Training (HIIT) merupakan jenis olahraga efektif yang menggunakan intensitas tinggi dengan durasi yang singkat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh respon akut dan kronik dari HIIT terhadap fungsi kognitif yang ditinjau dari kadar BDNF, Irisin, dan uji fungsi kognitif (MoCA, Trail Making Test, N-Back). Penelitian ini menggunakan uji eksperimental pada 15 laki laki dewasa yang memiliki berat badan berlebih. Latihan HIIT akan dilakukan selama 12 minggu dengan frekuensi 3 kali setiap minggu, kemudian akan dilakukan pengambilan sampel darah dan uji fungsi kognitif pada minggu ke-1 dan minggu ke-12 latihan HIIT. Terdapat respon akut HIIT pada minggu ke-12 terhadap fungsi kognitif pada uji TMT-A, TMT-B, N-Back, serta terhadap peningkatan kadar irisin dan BDNF. Tidak terdapat respon kronik HIIT terhadap peningkatan pada uji fungsi kognitif, kadar irisin dan BDNF. ......Obesity and overweight have a negative impact on cognitive function. This is caused by a central inflammation that occurs in the brain. Appropriate and effective physical exercise is one of the solutions to prevent the negative effects of obesity. High Intensity Interval Training (HIIT) is an effective type of exercise that uses high intensity for a short duration. The purpose of this study is to assess the acute and chronic effects of HIIT on cognitive function as measured by BDNF, Irisin, and cognitive function tests (MoCA, Trail Making Test, N-Back). This study applied an experimental test on 15 overweight adult males. HIIT exercises will be carried out for 12 weeks with a frequency of 3 times per week, then blood samples and cognitive function tests will be carried out in the 1st and 12th weeks of HIIT training. There was an acute HIIT response at week 12 to cognitive function on the TMT-A, TMT-B, N-Back tests, as well as to increased levels of irisin and BDNF. There was no chronic HIIT response to improvements in cognitive function tests, irisin levels and BDNF.
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Fitria Wahyuni
Abstrak :
Diabetes Mellitus tipe-2 (DM tipe-2) merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan adanya resistensi insulin. Salah satu faktor risiko DM tipe-2 pada otot rangka yakni terjadi penurunan massa otot rangka yang disebabkan oleh degradasi protein otot yang berlebihan. Jalur degradasi otot rangka diregulasi 2 sistem yakni ubiquitin proteosom dan autofagi. Terdapat faktor transkripsi pada ubiquitin proteosom yakni KLF15. Sedangkan pada autofagi terdapat P62 sebagai protein multifungsi. Pada kondisi DM, peran 2 biomarker ini belum sepenuhnya diketahui dalam pengaturan degradasi otot. Dimasa ini, terdapat suatu intervensi yang populer dan terbukti efektif untuk homeostasis otot rangka yakni High Intensity Interval Training (HIIT). Tipe latihan ini menggabungkan latihan berintensitas tinggi dengan periode istirahat berinterval. Pengaruh HIIT terhadap DM pada jalur degradasi masih harus dikaji lebih lanjut. Pada penelitian ini diberikan perlakuan HIIT selama 6 minggu pada tikus yang dbuat DM tipe-2 dibandingkan dengan kelompok DM tanpa perlakuan dan kelompok kontrol dengan melihat perubahan massa otot gastroknemius yang ditinjau dengan menimbang massa otot gastrocnemius yang didekapitasi. Ekspresi KLF15 dianalisis menggunakan qRT-PCR dan p62 menggunakan western blot. Hasil data statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada peningkatan massa otot, tidak ada perbedaan signifikan pada peningkatan ekspresi relatif KLF15 dan tidak ada perbedaan signifikan pada penurunan p62 pada perlakuan HIIT terhadap DM tipe-2. ......Type-2 Diabetes Mellitus (Type-2 DM) is a disorder characterized by insulin resistance. One of the risk factors for type-2 DM in skeletal muscle is a decrease in skeletal muscle mass caused by excessive degradation of muscle protein. Skeletal muscle degradation pathway is regulated by 2 systems namely ubiquitin proteosome and autophagy. There is a transcription factor in the proteosome ubiquitin, namely KLF15. Whereas in autophagy there is P62 as a multifunctional protein. In DM conditions, the role of these 2 biomarkers is not fully understood in regulating muscle degradation. At this time, there is an intervention that is popular and proven effective for skeletal muscle homeostasis, namely High Intensity Interval Training (HIIT). This type of exercise combines high-intensity exercise with intermittent rest periods. The effect of HIIT on DM in the degradation pathway still needs to be studied further. In this study, rats treated with HIIT for 6 weeks were given type-2 DM compared to the DM group without treatment and the control group by looking at changes in gastrocnemius muscle mass which was reviewed by weighing the mass of the decapitated gastrocnemius muscles. KLF15 expression was analyzed using qRT-PCR and p62 using western blot. The results of the statistical data showed that there was no significant difference in increasing muscle mass, there was no significant difference in increasing the relative expression of KLF15 and there was no significant difference in decreasing p62 in the HIIT treatment of type-2 DM.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risky Dwi Rahayu
Abstrak :
Prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas di dunia meningkat dalam tiga dekade terakhir. Pada usia muda, lebih banyak laki-laki yang mengalami kelebihan berat badan daripada wanita. High-Intensity Interval Training adalah alternatif latihan fisik yang membutuhkan komitmen waktu lebih singkat. Pada penelitian ini dilakukan modifikasi protokol untuk mengetahui efektivitas latihan dalam memperbaiki komposisi tubuh dan kebugaran kardiorespirasi serta tingkat keamanan dan kesenangan yang ditimbulkan pada laki-laki dewasa muda dengan kelebihan berat badan. Penelitian ini memiliki desain eksperimental dengan uji pre-post. Subyek adalah laki-laki dengan berat badan berlebih sesuai klasifikasi WHO berusia 18-30 tahun yang sehat dan tidak terlatih. Durasi intervensi 12 minggu dengan jumlah latihan 3 kali per minggu. Dalam satu set, subyek melakukan 5 gerakan (lari lurus, zigzag, dan kotak serta jumping jackdan burpees) dalam waktu masing-masing 8 detik. Waktu istirahat aktif antar gerakan 25 detik dan antar set 2 menit. Jumlah set ditingkatkan per minggu dari 3 hingga 14 set. Hasil penelitian menunjukkan penurunan persentase lemak, lemak viseral, lingkar pinggang namun tidak bermakna. Indeks Massa Tubuh meningkat tidak bermakna dan massa otot meningkat bermakna {p-value 0,03; CI -1,7 (-3,21 – [- 0,19]}. VO2max meningkat namun tidak bermakna. Terdapat laporan 3 insiden yang digolongkan sebagai cedera musculoskeletal ringan dan intoleransi latihan. Rerata skor PACES adalah 83,79 ± 8,14 dengan tren skor yang menurun seiring peningkatan jumlah set. Kesimpulannya, High-Intensity Interval Training efektif dalam memperbaiki komposisi tubuh dan kebugaran kardiorespirasi pada laki-laki dewasa muda dan overweight, aman, dan menyenangkan. ......Worldwide prevalence of overweight and obesity is increasing in the last three decades. Prevalence overweight in young males is higher than females at the same age. High-intensity interval training is an alternative of exercise which need less time commitment. We modify the protocol to identify the its effect on body composition and cardiorespiratory fitness, its safety and enjoyment in overweight young males. This is an experimental study with pre-post assessment. Subjects are healthy untrained male aged 18 – 30 years old with overweight according to WHO classification. Duration of intervention is 12 weeks, 3 times per week. During one set, the subjects perform 5 movements (straight running, zig zag running, squared running, jumping jack, burpees) in 8 seconds interval, active recovery 25 seconds between movements and 2 minutes between sets. The number of sets is increased weekly from 3 to 14 sets. The fat percentage, visceral fat, and waist circumference are decreased after intervention. Body mass index is increased and muscle mass is increased significantly (p-value 0,03; CI -1,7 (-3,21 – (- 0,19)) after intervention. VO2max is increased but not significant. There are 3 reports of minor musculoskeletal injuries and exercise intolerance, all categorized as mild injuries. The average PACES score is 83,79 ± 8,14 and the score tends to decrease with weekly set increments. High-Intensity Interval Training is effective to improve body composition and cardiorespiratory fitness in overweight young males. It is also safe and provide enjoyment.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Delima Engga Maretha
Abstrak :
Latar belakang: Pola hidup sedenter pada usia produktif berpengaruh terhadap kualitas hidup pada lansia, antara lain dapat menimbulkan penurunan massa dan fungsi otot atau sarkopenia. Salah satu pendekatan untuk menjaga kualitas hidup lansia adalah dengan latihan fisik. Latihan fisik intensitas tinggi dengan interval (high intensity interval training, HIIT) dan latihan fisik intensitas sedang (moderate intensity training, MIT) diketahui dapat menjaga dan meningkatkan kualitas hidup. Meskipun HIIT dinilai bermanfaat, kelayakannya pada individu dewasa tua masih belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh HIIT untuk mencegah sarkopenia pada proses penuaan hewan coba. Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hewan Litbangkes Depkes dari September 2016-Maret 2017. Tikus Wistar jantan usia dewasa muda (6 bulan) dan dewasa tua (12 bulan), diberi perlakuan HIIT dan MIT selama 8 minggu. Masing-masing kelompok usia dibagi secara acak menjadi 4 kelompok yaitu: K1 (kontrol, didekapitasi pada hari-1 penelitian sebagai baseline; K2 (kontrol, sedenter); HIIT dan MIT. Pada akhir minggu ke-8 dilakukan pemeriksaan kadar Troponin-T, PGC-1α (ELISA); kadar asam laktat (spektrofotometri); morfologi otot rangka (HE); serta marker apoptosis (Caspase3, imunohistokimia). Hasil: Kadar Troponin T kelompok HIIT dan MIT lebih tinggi dibandingkan K2 baik pada usia dewasa muda dan usia dewasa tua. Kadar PGC-1α lebih tinggi pada kelompok HIIT dan MIT dibandingkan kelompok K2 pada usia dewasa tua. Tidak terdapat perbedaan kadar asam laktat darah pada kelompok HIIT dan MIT usia dewasa muda dan dewasa tua dibandingkan dengan K2. Akan tetapi, kadar asam laktat darah K1-T dan K2T berbeda signifikan, namun tidak melebihi 4,0 mmol/L. Tidak terdapat perbedaan pada jumlah serat otot rangka kelompok HIIT dan MIT tikus dewasa muda dan dewasa tua dibandingkan K2. Pada tikus dewasa muda, luas penampang serat otot rangka lebih rendah bermakna pada kelompok HIIT dan MIT dibandingkan K2-M. Ekspresi Caspase3 pada jaringan otot rangka hanya ditemukan pada kelompok usia dewasa tua, namun tidak terdapat perbedaan antara kelompok HIIT dan MIT dengan K2. Kesimpulan: HIIT dan MIT selama 8 minggu pada tikus dewasa tua dapat mempertahankan kadar Troponin T dan PGC-1α yang penting untuk kontraksi otot rangka. Penerapan kedua latihan ini pada usia dewasa tua tidak meningkatkan kadar laktat darah yang melebihi ambang normal serta tidak menyebabkan kerusakan dan apoptosis pada otot rangka. Penelitian ini menunjukkan bahwa HIIT dan MIT keduanya dapat diterapkan pada usia dewasa tua dan bermanfaat dalam mencegah sarkopenia.
Background: SSedentary lifestyle duringproductive age will influences the quality of life in the elderly, . among others, cIt can cause a decrease in function and muscle mass or which known as sarcopenia. One approach to maintaining the quality of life of thein elderly is physical exercise. High intensity interval training (HIIT) and moderate intensity training (MIT) are known to be able to maintain and improve quality of life. Although HIIT is considered beneficial, its feasibility in older adult individuals is still not widely known. This study aims to determine investigate the effect of HIIT to in preventing sarcopenia in the aging process of experimental animals. Methods: This study was conducted at Animal Laboratory of Ministry of Health RI from September 2016-March 2017. Male of young adults (6 months) and older adults (12 months) Wistar rats, treated with HIIT and MIT for 8 weeks. Each age group was divided randomly into 4 groups, namely: K1 (control, decapitated on study day-1 as baseline); K2 (control, sedenter); HIIT and MIT. At the end of the 8th weeks, we examined Troponin T levels were examined, PGC-1α (ELISA); lactic acid levels (spectrophotometry); skeletal muscle morphology (HE); as well asand Caspase-3 as markers of apoptosis (Caspase-3, immunohistochemistry). Results: Troponin-T levels of HIIT and MIT groups were higher than K2 in both in young adult and old adult rats. PGC-1α levels were higher in the HIIT and MIT groups than in thecompared to K2 group in old adult rats. There were no differences in blood lactic acid levels in the HIIT group and MIT groups in both young and older adults compared to K2. HoweverInterestingly, blood lactic acid levels were significantly difference between K1old adult and K2-old adult rats in older adult rats differ significantly, but do not exceed 4.0 mmol /L. There was no difference in the number of skeletal muscle fibers in the HIIT and MIT groups of young and old adult rats compared to K2all groups. In young adult rats, cross sectional area (CSA) skeletal muscle was significantly lower in HIIT training than K2. Caspase-3 expression in skeletal muscle tissue was only found in the old adult group rats, but there was no difference between HIIT and MIT groups with compared to K2 group. Conclusion: Our study revealed that HIIT and MIT for 8 weeks in old adult rats can maintain levels of Troponin T and PGC-1α which are important for skeletal muscle contraction of skeletal muscles. The application of these two exercises in older adult rats does not increase blood lactate lactic acid levels that exceed the normal threshold and does not cause damage and apoptosis in skeletal muscles. This research Therefore our study shows that both HIIT and MIT can both be applied in older adult rats and are useful beneficial in preventing sarcopenia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rezal
Abstrak :
Obyektif: Bunyi frekuensi rendah intensitas tinggi (FRIT) merupakan inovasi stimulasi auditorik yang menggunakan gelombang sinusoidal dengan frekuensi di bawah 100 Hz dan intensitas 110–140 dB SPL untuk memperoleh respons tubuh khususnya otak. Pajanan diberikan dalam kondisi tidur sedasi untuk memperoleh efek yang optimal. Respons dihasilkan akibat resonansi gelombang pajanan dengan irama otak. Kepastian keamanan pajanan ditentukan oleh emisi otoakustik (OAE). Desain studi: Penelitan ini adalah tahap pendahuluan dengan uji coba pada hewan. Metode: Penelitian dilakukan dengan dua tahap, yakni pembuatan instrumen dan eksperimen pada hewan coba. Instrumen stimulasi bunyi terdiri dari generator sinyal yang dibuat khusus, penguat sinyal analog, dan headphones. Eksperimen menggunakan dua monyet (M1 dan M2) jantan dewasa di Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor pada waktu yang tidak bersamaan. Masing-masing terdiri dari 3 kali pertemuan untuk adaptasi intrumentasi dan anestesi, kemudian 1 kali pertemuan untuk pajanan bunyi. M1 diberikan sedasi ketamin dan pajanan bunyi 80 atau 40 Hz dengan intensitas 110–140 dB, sedangkan M2 diberikan sedasi propofol dan pajanan bunyi 10 Hz dengan intensitas 110–120 dB. Pengukuran OAE dilakukan setelah peningkatan pajanan per 10 dB SPL. Analisis sinyal dikerjakan secara offline dengan segmen elektroensefalografi (EEG) selama 2 menit. Hasil: Sedasi ketamin menghasilkan daya pita beta rendah EEG yang dominan, sedangkan propofol menghasilkan daya pita delta yang tertinggi. Pajanan bunyi FRIT 80 dan 40 Hz memberikan respons yang bermakna pada nilai spektral EEG dibandingkan tanpa pajanan. Pajanan 10 Hz meskipun tidak bermakna secara statistik, namun memberikan gambaran asimetri alfa frontal pada intensitas 120 dB. Intensitas optimal dicapai pada frekuensi 80 Hz adalah 125 dB SPL, pada frekuensi 40 Hz adalah 130 dB SPL, dan pada frekuensi 10 Hz adalah 120 dB SPL. Perbedaan intensitas berpengaruh pada perubahan nilai spektral EEG. Pajanan bunyi HILF berpengaruh pada nilai OAE, namun tidak mengganggu fungsi pendengaran. Simpulan: Peningkatan daya pita beta EEG diharapkan memperbaiki performa sensorimotorik, sedangkan asimetri alfa frontal EEG meningkatkan motivasi. Pajanan bunyi frekuensi rendah meskipun diberikan dalam intensitas tinggi tidak merusak koklea, justru terjadi hal sebaliknya yang sangat menarik untuk dielaborasi lebih lanjut. ......Objective: High-intensity low-frequency sound (HILF) is a novel auditory stimulation that utilizes sinusoidal waves with frequencies below 100 Hz and intensities of 110–140 dB SPL to elicit a response from the body, particularly the brain. To achieve the best effect, exposure is given while sedated. Resonance between the exposure wave and the rhythm of the brain generates the response. Otoacoustic emission (OAE) is used to ensure exposure safety. Study Design: This is a preliminary study using animal testing. Methods: The study was divided into two stages: instrument development and animal testing. The sound stimulation device includes a custom-made signal generator, an analog signal amplifier, and headphones. Experiments with two adult male cynomolgus monkeys (M1 and M2) conducted at different times at the Center for Primate Animal Studies, Bogor Agricultural Institute. Each comprised of three meetings for instrumentation and anesthetic adaption, followed by one meeting for sound exposure. M1 was sedated with ketamine and exposed to 80 or 40 Hz sounds with an intensity of 110–140 dB, whereas M2 was sedated with propofol and exposed to 10 Hz sounds with an intensity of 110–120 dB. The intensity increase step is 5 dB. OAE measurements were taken following a 10 dB SPL increase in exposure. Two-minute segments of electroencephalography (EEG) signals were analyzed offline. Results: Ketamine sedation provided the most dominant low beta band EEG, whilst propofol produced the most delta band power. Exposure to 80 and 40 Hz FRIT sound resulted in a significant change in EEG spectral values in comparison to no exposure. Despite the fact that the 10 Hz exposure was not statistically significant, it produced a 120 dB appearance of alpha frontal asymmetry. At a frequency of 80 Hz, the optimal intensity is 125 dB SPL, at a frequency of 40 Hz it is 130 dB SPL, and at a frequency of 10 Hz it is 120 dB SPL. Changes in EEG spectral value are influenced by differences in intensity. Exposure to HILF sound has an effect on OAE values but does not impair hearing function. Conclusion: Increasing the power of the EEG beta band is expected to improve sensorimotor performance, whereas increasing the power of the EEG alpha band promotes motivation. Exposure to low-frequency sound, even at high intensity, does not harm the cochlea; on the contrary, the opposite occurs, which deserves further investigation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herni Yunita
Abstrak :
Mempengaruhi performa dan kesehatan. Studi menunjukkan masih rendahnya kebugaran kardiorespiratori pada anggota pasukan Marching Band Madah Bahana Universitas Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh High-intensity Interal Training HIIT terhadap peningkatan nilai estimasi VO2max menggunakan desain studi kuasi eksperimental pada 21 orang Anggota Pasukan UKM Marching Band Madah Bahana UI tahun 2018. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok HIIT n= 7 dan kelompok kontrol n=14. Subjek pada kelompok intervensi diberikan intervensi berupa HIIT Focus T25 Workout ndash; Cardio dan kelompok kontrol melakukan lari dan paket pemanasan dengan durasi 25 menit selama 2 minggu dengan frekuensi 3 kali dalam seminggu. Data diperoleh dari pengukuran berat badan, tinggi badan, IMT, dan nilai estimasi VO2max melalui 20-m shuttle run test. Data dianalisis menggunakan uji T dependen dan uji T independen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata nilai estimasi VO2max pada kelompok intervensi setelah dilakukan HIIT sebesar 0,61 mL/kg/menit, namun tidak signifikan secara statistik p-value = 0,129. Sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan sebesar 0,24 mL/kg/menit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa HIIT belum dapat memberikan peningkatan nilai estimasi VO2max yang signifikan. ......Cardiorespiratory fitness is one of the components of physical fitness that will affect performance and health. Previous study showed that members of Marching Band Madah Bahana Universitas Indonesia has low cardiorespiratory fitness. This study was conducted to determine the effect of High intensity Interval Training HIIT on improving the estimated value of VO2max. This study used quasi experimental design on 21 members of Marching Band Madah Bahana UI in 2018. Subjects were divided into 2 groups, HIIT group n 7 and control group n 14. The HIIT group were given HIIT Focus T25 Workout Cardio and the control group performed running and warm up packages for 2 weeks, 3x per week 25 minute session. Collected data were body weight, height, BMI, estimated value of VO2max through 20 m shuttle run test. The data were analyzed using dependen t test and independent t test. Result of this study showed that there was an increase of estimated value of VO2max in HIIT group 0,61 mL kg min after HIIT, but not statistically significant p value 1,29. And there was a decrease of estimated value of VO2max in control group 0,24 mL kg min, but not statistically significant p value 0,432. It can be concluded that HIIT has not been able to provide significant increase in estimated value of VO2max.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setia Wati Astri Arifin
Abstrak :
Latar Belakang: Osteoartritis (OA) lutut seringkali menyebabkan disabilitas akibat nyeri dan penurunan kemampuan fungsional berjalan. Low Level Laser Therapy (LLLT) dan High Intensity Laser Therapy (HILT) telah terbukti mampu menurunkan nyeri dan kemampuan fungsional pada OA lutut, namun hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang membandingkan kedua modalitas tersebut. Tujuan: Mengetahui perbedaan efek LLLT dan HILT terhadap derajat nyeri dan kemampuan fungsional pasien OA lutut. Metode: Studi ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda yang melibatkan 61 subjek yang diacak ke dalam kelompok LLLT (n=31) dan HILT (n=30). Subjek adalah pasien OA lutut di Poliklinik Muskuloskeletal Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan VAS ≥ 4 dan mampu berjalan 15 meter. Terapi laser diberikan 3 kali seminggu selama 2 minggu. Derajat nyeri dinilai dengan VAS dan kemampuan fungsional dinilai dengan uji jalan 15 meter. Hasil: Setelah 6 kali terapi, didapatkan penurunan VAS kelompok LLLT dan HILT sebesar 3 (2 – 4) dan 3 (2 – 5) serta peningkatan kecepatan berjalan sebesar 0,23 (0,02 – 1,24) meter/detik dan 0,22 (0,08 – 0,7) meter/detik) yang bermakna secara statistik (p<0,001) maupun secara klinis. Pada perbandingan antar kelompok didapatkan kelompok HILT mengalami penurunan VAS yang lebih cepat dan lebih besar dibanding kelompok LLLT (p<0.001), namun tidak didapatkan perbedaan perubahan kecepatan berjalan yang bermakna antara kedua kelompok (p=0,655). Simpulan: Pemberian HILT pada pasien OA lutut mampu menurunkan derajat nyeri dengan lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan pemberian LLLT. ......Background: Osteoarthritis (OA) of the knee causes disability due to pain and decreased functional ability to walk. The degree of pain will affect the functional ability to walk. Low Level Laser Therapy (LLLT) has been shown to reduce pain in knee OA, while High Intensity Laser Therapy (HILT) is able to reach deeper joint areas. Aim: To compare the differences of LLLT and HILT on pain and functional capacity knee OA. Methods: This is a double-blind randomized controlled trial with 61 subjects randomized into LLLT (n=31) and HILT (n=30) groups . Subject was knee OA patient with VAS ≥ 4 in Muskuloskeletal Polyclinic of Medical Rehabilitation RSUPN Cipto Mangunkusumo. Laser therapy was given 3 times per week for 2 weeks. Pain measured with VAS and functional capacity evaluated with 50-feet walk test. Result: After 6 therapy sessions, both LLLT and HILT group showed reduced VAS score [LLLT = 3 (2 – 4), HILT = 3 (2 – 5)] and increased walking speed (LLLT = 0.23 (0.02 – 1.24) m/s, HILT = 0.22 (0.08 – 0.7) m/s) which was statistically (p<0.001) and clinically significant. HILT group had faster and greater VAS reduction compared to LLLT group (p<0.001), but there was no significant difference in walking speed between the two groups (p=0.655). Conclusion: HILT and LLLT combined with exercise were effective in reducing pain and increasing functional capacity in knee OA patient after 6 sessions of treatment. Pain improvement was faster and greater in HILT group than LLLT group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Ahlina Damayanti
Abstrak :
Tesis ini disusun untuk mengetahui pengaruh latihan interval intensitas tinggi terhadap kadar laktat darah dan tingkat usaha pada dewasa sehat sedentary. Penelitian menggunakan desain uji pre-post. Subjek penelitian merupakan dewasa yang telah dinyatakan sehat dan tergolong sedentary secara aktifitas fisik. Semua subjek melakukan uji latih dengan basis laboratoium menggunakan alat Cardiopulmonary Exercise Testing dan mengikuti program berupa latihan interval intensitas tinggi dengan intensitas 80% berdasarkan heart rate yang diselingi dengan intensitas 40% selama 20 menit yang dilakukan tiga kali dalam seminggu selama empat minggu dengan menggunakan treadmill. Hasil keluaran penelitian ini berupa kadar laktat darah yang diukur dengan pengambilan darah kapiler serta tingkat usaha yang diukur menggunakan Rate of Percieved Exertion dari Skala Borg. Analisis statistik dilakukan untuk membandingkan kadar laktat darah dan tingkat usaha setelah melakukan latihan interval intensitas tinggi pasca latihan pertama dan pasca latihan ke dua belas. Hasil penelitian menyatakan bahwa dengan latihan interval intensitas tinggi, terdapat penurunan kadar laktat darah dan tingkat usaa pada dewasa sehat sedentary. Penurunan kada laktat darah serta tingkat usaha secara berurutan adalah sebesar 1,1 mmol/ L dan 2 pada Skala Borg dimana didapatkan berbeda signifikan dengan nilai p<0,0001. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menggunakan uji latih berbasis lapangan untuk penentuan peresepan latihan serta menentukan manfaat latihan interval intensitas tinggi pada populasi dengan faktor risiko penyakit kardiorespirasi sebelum dapat digunakan pada populasi sakit ...... This thesis was aimed to determine the effect of high intensity interval training (HIIT) on blood lactate levels and rate of percieved exertion (RPE) in sedentary healthy adults. The design used was pre-post study. Subjects was adults that was stated healthy and sedentary on physical activity. All subjects underwent laboratory based exercise testing using a Cardiopulmonary Exercise Testing equipment and given HIIT of 80% with a interval of 40% intensity based on heart rate with a total duration of 20 minutes, three times a week for four weeks using treadmill. Capillary blood was obtained to measure blood lactate level and Borg Scale was used to report Rate of Percieved Exertion. After the first and twelveth exercise, statistical analysis was performed to compare blood lactate level and RPE. The result of the study shows a decrease of blood lactate level and RPE after given HIIT in sedentary healthy adults. The reduction of blood lactate level and RPE consecutively was 1,1 mmol/ L and 2 on Borg Scale with a significant difference of p < 0,0001. Further research is needed using a field based exercise testing to determine exercise prescription and to obtain the benefit of HIIT in population with cardiovascular risk factor before utilizing in patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library