Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Frita Diah Paramita Wati
Abstrak :
Penelitian ini berfokus pada posisi kaum homuresu sebagai orang-orang yang tersisih dalam kebanyakan masyarakat Jepang secara umum. Selanjutnya , tesis ini juga menampilkan beberapa gambar rumah-rumah kardus yang dihuni kaum homuresu serta beberapa aktivitas yang dilakukan kaum homuresu dalam lingkungan mereka diantara kaum homuresu yang lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyumbangkan hasil satu kajian, tentang kehidupan, permasalahan dan eksistensi kaum homuresu dalam lingkungan kehidupan masyarakat di Jepang yang ternyata memiliki satu karakter yang berbeda dengan kaum homuresu yang dikenal sebagai homeless di negara selain Jepang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardian Wibowo
Abstrak :
Penelitian ini menelaah implementasi/penerapan kebijakan penanganan gelandangan di Kota Jakarta Timur. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan penanganan gelandangan yang diambil Pemerintah Kota Jakarta Timur dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa faktor/elemen tertentu. Menurut George C Edwards III, terdapat empat elemen yang memengaruhi penerapan kebijakan publik. Keempat elemen tersebut adalah communication, resources, dispositions, dan bureaucratic structure. Empat elemen yang dikemukakan Edwards III (1980) menjadi parameter yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk menilai pelaksanaan kebijakan oleh Pemkot Jakarta Timur. Fakta-fakta di lapangan dikumpulkan menggunakan metode kualitatif, khususnya mengadopsi metode etnografi ?pencatatan terhadap penilaian, pendapat, maupun ungkapan narasumber; bahkan terlibat langsung dalam berbagai kegiatan subyek (manusia) penelitian?. Penelitian menunjukkan bahwa empat elemen Edwards III, sadar atau tidak, telah dilaksanakan oleh Pemkot Jakarta Timur meskipun belum cukup sempurna. Namun, meskipun empat elemen tersebut dilaksanakan sepenuhnya, tetap tidak menjamin masalah kegelandangan akan tuntas. Masalah kegelandangan diyakini akan tuntas dengan memberdayakan gelandangan. Namun kebijakan pemberdayaan ini urung terlaksana karena isi kebijakan yang ada tidak mengarah pada pemberdayaan; sehingga, tentu saja, penerapan oleh aparat juga tidakmengarah ke sana. Kesimpulan penelitian ini mengarah pada dua besaran pokok, yaitu (i) dari sisi teori sebagai parameter, empat elemen Edwards III tidak cukup mampu menjamin pelaksanaan kebijakan publik karena Edwards III melupakan elemen eksternal (externalities) dan elemen isi kebijakan itu sendiri; (ii) dari sisi pelaksanaan kebijakan sebagai subyek penelitian, kebijakan dan pelaksanaan kebijakan gagal mencapai hasil karena didesain tanpa memerhatikan faktor eksternal. Tindakan yang disarankan untuk menyelesaikan masalah kegelandangan adalah membuat kebijakan dan melakukan tindakan (pelaksanaan) dengan memperhitungkan elemen eksternal, terutama urbanisasi. Tindakan terpenting terkait urbanisasi adalah melakukan pemerataan pembangunan di daerah daerah yang menjadi ?pemasok? gelandangan ke Jakarta Timur. Serta membuat program pelatihan gelandangan yang berorientasi productive value; dan bukan sekedar mengejar exchangeable force.
This study researches the implementation of homeless handling policy in the Jakarta Timur City. As a public policy, the handling of homeless policy taken by the Jakarta Timur City Government was carried out under consideration of certain factors/elements. According to George C. Edwards III, there are four elements affecting the implementation of public policy. Those four elements are communication, resources, dispositions, and bureaucratic structure. The four elements introduced by Edwards III (1980) became a parameter used in this study to value the implementation of the policy ran by the Jakarta Timur City Government. Facts were gathered using qualitative method, adopting the ethnographic method in particular ?noting down of evaluations, statements and expressions of the source; and even taking part on the research subject?s (person/human) activities-. The research indicated that the four elements of Edward III, whether intended or unintended, had been implemented by the Jakarta Timur City Government, although it was still imperfect. Nevertheless, the fully implemented of the four elements would not guarantee to put the homelessness issue at its end. Homelessness issue is believed to be solved by empowering those without roof themselves. However this policy to empower has yet take place since the present policy was not targeted to empowering; therefore the implementation of the institution/apparatus/officer is certainly was not aiming there as well. This research's conclusion is pointed towards two principals, i.e. (i) in theory as parameter, the four elements of Edward III could not ensure the implementation of public policy since Edward III disregarded external element (externalities) and element of the substance of policy itself; (ii) in implementation of the policy as subject of this research, policy and its implementation fail to accomplish since it was designed without consideration to external factors. Actions suggested to end the homelessness issue is to formulate policy and perform actions (implementations) by taking external element into consideration, especially urbanization. The utmost significant action related to urbanization is by equally developing the regions which had become ?suppliers? of homeless to Jakarta Timur, as well as creating courses for homeless people oriented more in productive value; instead only pursuing on exchangeable force.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25262
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Prabowo Damanik
Abstrak :
Jika berbicara tentang gelandangan maka yang akan terlintas dalam pikiran adalah orang orang dengan kesejahteraan di bawah standar sosial dan kelompok masyarakat yang hidup di jalan. Selain itu gelandangan juga digambarkan sebagai orang orang pemalas serta perusak tatanan kota sehingga keberadaannya selalu dikaitkan dengan hal hal negatif. Pandangan negatife ini dapat terlihat dari penggusuran atau pengusiran terhadap gelandangan berupa kebijakan dan peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah atau pengusiran yang dilakukan secara pribadi oleh individu terhadap gelandangan. Namun demikian gelandangan kerap kembali ke lokasi mereka meskipun sudah mendapatkan pengusiran baik dari pemerintah atau individu. Dengan melihat gelandangan dari sudut pandang yang mereka miliki maka kembalinya mereka ke lokasi kita akan melihat perbedaan dari dalam melihat gelandangan dari sudut pandang kita selama ini. Kembalinya gelandangan ke lokasi yang mereka tempati dapat berupa upaya mereka mempertahankan lokasi pencarian rongsokan yang dilakukan oleh mereka serta kemudahan kemudahan yang mereka dapatkan selama di lokasi tersebut yang tidak dapat kita pahami jika tidak menggunakan sudut pandang yang mereka miliki. Dengan keberadaan gelandangan di suatu lokasi akan melahirkan ruang ruang sosial bagi gelandangan di lokasi tersebut. Dalam penelitian ini, saya berusaha melihat bagaimana gelandangan selalu bertahan pada suatu tempat walaupun sudah digusur berkali kali, apa yang menjadi alasan mereka dan bagaimana mereka bertahan dalam kehidupan yang berada di bawah standar sosial tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kualitatif dengan melakukan wawancara terhadap lima orang informan yang berada di Tanah Abang. Penelitian ini menemukan bahwa keberadaan gelandangan di suatu lokasi kemudian melahir ruang sosial mereka dimana dalam ruang ini gelandangan kemudian menemukan kenyaman dan keamanan sehingga mereka berupaya mempertahankan lokasi ruang mereka kendati mendapatkan perlakuan penggusuran. ......When talking about homeless people, what comes to mind is people with substandard social welfare and community groups living on the streets. In addition, homeless people are also described as lazy people and destroyers of urban order, so their presence is always associated with negative things. This negative view can be seen in the eviction or expulsion of homeless people in the form of policies and regulations imposed by the government or evictions carried out personally by an individual against homeless people. However, homeless people often return to their locations despite being evicted from either the government or individuals. By looking at the homeless from their point of view, when they return to their location, we will see a difference in seeing the homeless from our perspective. The return of homeless people to the location where they live can be in the form of their efforts to defend the location of the search for junk that they carried out and the facilities they get while at that location which we cannot understand if we do not use their point of view. The existence of homeless people in a location will create social spaces for homeless people in that location. This study tries to see how homeless people always stay in a place even though they have been evicted many times, their reasons, and how they survive below social standards. This research was conducted using qualitative research by conducting interviews with five informants in Tanah Abang. This study found that the presence of homeless people in a location produces their own social space. In this space, the homeless found comfort and security, so they tried to maintain their spatial location despite eviction treatment.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riordan, Rick
Abstrak :
Thor's hammer is missing again and this time it isn't just lost, it has fallen into enemy hands. If Magnus Chase and his friends can't retrieve the hammer quickly, the mortal worlds will be defenseless against an onslaught of giants.
Jakarta: Mizan Publika, 2016
813.6 RIO m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Waluyo
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Bina Karya "Pangudi Luhur" Bekasi, yang beralamat di Jalan H. Moeljadi Djojomartono No.19 Bekasi Jawa Barat, dengan tujuan untuk mengkaji proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis pada lembaga tersebut. Selanjutnya penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberi masukan untuk perbaikan pelaksanaan program selanjutnya. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Obyek penelitian adalah semua pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial di PSBK Bekasi, antara lain kepala panti, petugas fungsional/petugas lapangan, gelandangan dan pengemis yang sedang dibina serta pihak lain yang terkait. Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan fenomena sosial di kota-kota besar, karena sulitnya kehidupan di pedesaan sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk dan tanah garapan yang makin berkurang, mereka terpaksa harus mencari pekerjaan di tempat lain, alternatifnya yaitu mengadu nasib ke daerah perkotaan. Namun oleh karena keterbatasan ketrampilan dan pendidikan, mengakibatkan mereka tidak mampu bersaing memperebutkan pekerjaan yang layak. Akhirnya mereka mau bekerja apapun dengan upah berapapun untuk mempertahankan kehidupannya. Akibatnya mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup secara layak, tidak mempunyal pekerjaan layak, tidak memiliki tempat tinggal yang layak dan sebagainya. Keberadaan mereka yang terbatas ketrampilan, terbatas pendidikan, dan terbatas fasilitas, maka keberadaan mereka diperkotaan dianggap sebagai masalah sosial. Untuk penanganan masalah sosial gelandangan dan pengemis diperlukan pelayanan yang komprehensip, karena masalahnya sangat komplek tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi tetapi juga aspek mental dan budaya. Program rehabilitasi sosial di PSBK terdiri dari beberapa tahapan proses sebagai berikut : Pertama adalah tahap rehabilitasi sosial yang terdiri dari : a) pendekatan awal, b)penerimaan dan c)bimbingan mental, sosial dan ketrampilan. Kedua adalah tahap resosialisasi yang terdiri dari ; a) bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat, b) bimbingan sosial masyarakat, c) bimbingan bantuan stimulus usaha produktif dan c) bimbingan usaha. Ketiga adalah tahap bimbingan lanjut yang terdiri dari : a) bantuan pengembangan usaha dan b) bimbingan pemantapan usaha/kerja. Hasil penelitian yang diperoleh menggambarkan bahwa secara umum PSBK Bekasi telah dapat memberikan pelayanan program kepada kliennya sesuai prosedur yang ditetapkan, namun praktek pelayanan yang diberikan belum sesuai dengan yang diharapkan. Masih ada kesenjangan antara teori atau konsep dengan praktek yang bisa dilakukan. Sehingga lembaga ini kurang berhasil mengemban misinya, yaitu mengentaskan gepeng dari masalahnya. Hasil penelitian tahap awal, pada kegiatan orientasi dan motivasi untuk menjaring klien, PSBK lebih mengandalkan tehnik "getok tular", yaitu mengharapkan eks klien yang telah selesai mengikuti pembinaan di PSBK mengajak teman-temannya yang lain untuk masuk panti. Tehnik ini kurang efektif sehingga target sasaran yang setiap angkatan hanya 300 orang tidak terpenuhi, padahal gepeng di Jakarta jumlahnya sangat besar. Bimbingan mental sebagai fokus utama program rehabilitasi di PSBK, metodanya juga masih perlu dikaji ulang. Tehnik bimbingan mental yang diterapkan lebih mengacu pada aspek transfer pengetahuan, bukan aspek penyadaran mental. Dimana semua klien dari berbagai tingkat pendidikan masuk dalam satu kelas dan diajarkan materi yang sama, sehingga situasinya lebih menyerupai sekolah formal. Bimbingan mental untuk membangun konsep diri yang positif, percaya diri, dan penghargaan diri diperlukan pendekatan individu, tehnik konseling yang efektif dan sebagainya. PSBK sampai saat ini belum mempunyai program khusus yang secara langsung diarahkan untuk penyadaran mental klien. Program rehabilitasi gepeng harus dilaksanakan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu, sebagaimana pada konsep dan juklak. Namun PSBK sampai saat ini baru memiliki petugas lapangan dari profesi pekerjaan sosial, sedangkan profesi lain yang diperlukan untuk mendukung kelancaran program belum ada. Dari hasil penelitian ditemukan, bahwa sebagian klien PSBK menggelandang lagi, banyak aspek sebagai penyebabnya, diantaranya PSBK tidak memiliki dana untuk mendukung usaha kerja gepeng, kesempatan bekerja disektor formal sangat sulit, ketrampilan kerja yang diajarkan sangat minim, umumnya dibawah standar pasaran kerja, dan metoda bimbingan mental dan sosial juga kurang tepat. Selanjutnya penelitian ini merumuskan saran sebagai berikut, pertama PSBK perlu merumuskan program khusus untuk kegiatan bimbingan mental, kedua mengingat sulitnya mencari lapangan pekerjaan di sektor formal, maka program ketrampilan di PSBK sebaiknya lebih diarahkan untuk jenis ketrampilan wira usaha.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T 9704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, M. Rondang
Abstrak :
Fenomena sosial di perkotaan yang kini menarik perhatian dari berbagai pihak yaitu anak jalanan yang merupakan bagian dari komunitas kota. Anak jalanan menyatu dengan kehidupan jalanan dimana jalanan menjadi lapangan hidup, tempat memperoleh pengalaman hidup dan sarana untuk mencari penyelesaian masalah ekonomi maupun sosial. Kampanye sosial penanggulangan Anak JaIanan Studi yang dilakukan oleh Direktorat Kesejahteraan Anak, Departemen Sosial RI di satu sisi bertujuan untuk membangkitkan perhatian masyarakat luas agar mereka mengetahui, dan memanfaatkan program penanganan anak jalanan khususnya kelompok sasaran yaitu keluarga miskin dan anak jalanan; sedangkan di segi lain bertujuan untuk membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap masalah-masalah sosial khususnya penanganan anak jalanan. Analisa kebijakan program jaring perlindungan sosial Melalui rumah singgah bagi kehidupan anak jalanan menggunakan tahapan analisis kebijakan penanganan anak jalanan yang diawali dari tahap verifikasi, definisi dan rincian masalah kebijakan program penanganan anak jalanan, kedua, penentuan kriteria dan evaluasi program penanganan anak jalanan, ketiga, melakukan identifikasi alternatif kebijakan program penanganan anak jalanan, keempat, melakukan evaluasi kebijakan program penanganan anak jalanan, kelima, display dan seleksi diantara alternatif program penanganan anak jalanan dan keenam, monitoring outcomes dan kebijakan program penanganan anak jalanan. Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengungkapkan informasi-informasi yang belum didapatkan dari jawaban yang ada dalam kuesioner. Pendekatan kualitatif menggunakan wawancara kualitatif (terbuka atau berstruktur) agar dapat memberikan gambaran lebih detail dengan cara wawancara intensif, observasi dan partisipasi. Pendekatan kualitatif digunakan untuk melihat bagaimana kampanye sosial penanggulangan anak jalanan yang dilakukan oleh Departemen Sosial RI terhadap tanggung jawab sosial masyarakat kepada anak jalanan di empat kota di Indonesia yaitu kota Jakarta, Bandung, Surabaya dan Makasar. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa peran pemerintah pusat dalam merumuskan kebijakan penanganan anak jalanan tampak dominan. Peran tersebut didelegasikan kepada departemen-departemen pemerintah yang terkait. Sejak tahun 1995, Departemen Sosial RI merupakan departemen yang paling bertanggung jawab dalam merumuskan kebijakan penanganan anak jalanan. Namun demikian, Departemen Sosial RI sebenarnya bukanlah sebagai aktor tunggal. Sebagian besar kebijakan yang dirumuskan adalah hasil tawar menawar dengan Sappenas dan DPR. Institusi lainnya seperti pemerintah daerah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat belum berperan banyak dalam merumuskan kebijakan mengenai anak jalanan secara nasional. Namun akhir-akhir ini mulai ada upaya Departemen Sosial RI untuk membangun kemitraan dengan para wakil rakyat untuk turut serta merumuskan kebijakan anak jalanan. Model pemusatan kebijakan itu dikenal dengan model imperalif atau kebijakan terpusat (Dye, I976). Namun sekarang ini telah bergeser paradigma dari kebijakan imperatif ke kebijakan Endikalif atau partisipatif, dimana pemerintah pusat hanya menentukan besaran kebijakan dan pelaksanaannya diserahkan kepada LSM dan masyarakat lokal. Kondisi ini merupakan hal yang seharusnya dilaksanakan di masa depan sejalan dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Produk legislasi tersebut menjadi tantangan bagi Pemda, masyarakat maupun LSM untuk berpartisipasi melahirkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi di daerah, Namun apakah kebijakan terpusat sudah sepenuhnya ditinggalkan, atau integrasi kedua model kebijakan itukah yang menjadi alternatif terbaik bagi pemecahana permasalahan anak jalanan. Dalam hal ini sangat diperlukan restrukturisasi kebijakan pada tingkat makro (nasional), mezzo (propinsi) sampai mikro (kabupatenikota); yang dapat memadukan perencanaan dari atas dan dari bawah secara proporsional. OIeh karena itu, tujuan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan anak tetap harus memadukan komitmen nasional yang hams didukung dengan kebijakan operasional yang sesuai dengan kondisi daerah yang beragam. Untuk mengantisipasi berkembangnya permasalahan yang dialami anak-anak jalanan, perlu ditindaklanjuti pengembangan program penanganan anak jalanan, beberapa alternatif yang dapat ditawarkan melalui pertama, Pengembangan Sistem Pelayanan Rumah Singgah, Kedua, Child Protection Program (CPP) terdiri dari Residential Care Program (Home Life), Program Pendidikan, Program Pemeliharaan Kesehatan dan Gizi, Program Manajemen Kasus, Program Pengembangan Jaringan Kerja, Konsultasi dan Advokasi, Pusat Pelayanan Kesejahteraan Anak (Child Centre) dengan Sistem Terbuka, Ketiga, Family Support Programs (FSP), Keempat, Community Building Program.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12394
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Ghofur
Abstrak :
Tesis ini merupakan studi yang memfokuskan pada kehidupan sehari-hari manusia gerobak, yakni pemulung yang menggelandang di Jatinegara. Melalui studi ini saya menunjukkan bahwa manusia gerobak sebagai golongan miskin merupakan subjek aktif, memiliki kapasitas dan potensi dalam mengembangkan taktik-taktik kreatif maupun manipulatif untuk bertahan hidup. Ciri-ciri subjek aktif tersebut ditunjukkan melalui pemaknaan-pemaknaan, seperangkat pengetahuan sebagai basis praktik keseharian, memanfaatkan jaringan sosial dan penampilan (gaya) hidup menggelandang. Berdasarkan temuan-temuan ini, asumsi teoritis pendekatan kebudayaan kemiskinan dan kemiskinan struktural yang menyatakan bahwa golongan miskin mempunyai budaya distingtif yang temyata sulit dibuktikan, karena terjadinya pembauran-pembauran yang dilakukan manusia gerobak dengan aktor-aktor lain yang lebih luas. This thesis forms a study that focuses on daily life of cart-men, specifically the scavengers in Jatinegara. Through this study, I point out that cart-men as a poor group show an active subject, have capacities and potencies in developing both creative and manipulative tactics to survive. The features of the active subjects are shown by meanings, a set of knowledge as a basis of daily practice, exploit the social web and the appearance of vagrant lifestyle. Based on these findings, theoretical assumption the culture of poverty and structural poverty approach say that the poor has a cultural distinctive which is difficult to be proved, because of the social intercourse which is done by the cart-men and other actors at large.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24290
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bellanti Nur Elizandri
Abstrak :
ABSTRAK
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah manusia gerobak di Kota Bekasi, yang dikategorikan sebagai tuna wisma, melakukan kegiatan bertempat tinggal. Bertempat tinggal bersifat dinamis dan ditandai dengan diperolehnya sense of home. Sense of home bukan hasil dari house. Sebaliknya, house dibentuk karena kehadiran sense of home sehingga homeless tidak selalu disebabkan oleh houseless. Sebagai tuna wisma, manusia gerobak di Kota Bekasi bertempat tinggal dan memiliki house serta home, yang diwujudkan melalui pemanfaatan bangunan dan fasilitas umum serta kegiatan perpindah, terkait kondisi fisik dan non-fisik Kota Bekasi.
ABSTRACT
The purpose of this study was to assess whether manusia gerobak in Bekasi City are conducted dwelling practice, as roofless. Dwelling is dynamic and appointed by obtaining the sense of home. Sense of home is not the result of house. Instead, the house is formed by the presence of a sense of home so homeless are not always caused by houseless. As roofless, manusia gerobak in Bekasi city are dwelling and having a house and home that implemented by utilization of public building and public facilities and moving, related physical and non physical condition in Bekasi city.
2017
S66134
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Handy
Abstrak :
Anak jalanan adalah sebuah fenomena yang biasa dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta. Jumlah anak jalanan sulit untuk dipastikan, tapi diperkirakan di seluruh dunia terdapat tidak kurang dan 10.000.000 anak. Pada tahun 1999, Irwanto dkk mencatat sebanyak 10.000 anak di Jakarta masuk dalam kategori anak jalanan. Jumlah anak jalanan tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi, urbanisasi dan kesulitan ekonomi masyarakat. Anak jalanan secara umum menghadapi lingkungan dan risiko yang dapat menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan dan tumbuh kembang mereka. Secara umum mereka menghadapi risiko kecelakaan atau penyakit akibat bekerja dan berada di jalanan. Mereka juga berisiko kehilangan hak pendidikan, hak untuk bermain, mengalami perlakuan salah serta mengalami paparan terhadap berbagai perilaku sosial yang tidak baik. Perilaku ini di antaranya adalah kebiasaan merokok, penggunaan zat psikoaktif, melakukan hubungan seks dan sikap antisosial. Semua hal tersebut merupakan ancaman terhadap pencapaian tumbuh kembang optimal termasuk perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi anak dengan lingkungannya. Salah satu risiko anak jalanan yang paling banyak dibahas adalah tingginya kemungkinan mendapatkan perlakuan salah baik secara fisik, emosi maupun seksual. Friedrich dkk mengemukakan bahwa aktivitas seksual lebih banyak dilaporkan pada anak yang memiliki riwayat perlakuan salah secara seksual. Faktor biologis dan lingkungan adalah dua faktor yang berperan pada perkembangan dan perilaku seksual seorang anak yang dapat membawa dampak sampai usia dewasa. Lingkungan hidup di jalan bersifat kondusif bagi anak-anak untuk melakukan hubungan seksual di usia yang amat muda karena tidak ada hambatan normatif yang berarti dalam komunitas mereka untuk melakukan hubungan seksual. Kebiasaan lain seperti penggunaan zat psikoaktif dan merokok, yang juga banyak terdapat di kehidupan jalanan, dapat mempengaruhi fungsi kognitif, emosi dan perkembangan sosial anak yang akhimya dapat mendorong mereka pada perilaku seksual berisiko tinggi. Latar belakang keluarga yang bermasalah dan kehidupan jalanan yang keras juga merupakan faktor yang dapat menimbulkan gangguan emosi dan perilaku yang mengarahkan mereka pada perilaku seksual risiko tinggi atau bahkan membuat mereka memilih untuk menjadi pekerja seks anak. Perilaku seksual risiko tinggi (PSRT) adalah aktivitas seksual yang berisiko mengancam kesehatan seseorang akibat paparan terhadap berbagai penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Perilaku seksual risiko tinggi ini adalah hubungan seksual, baik genito-genital, oro-genital maupun ano-genital, yang dilakukan tanpa perlindungan (kondom) dan atau dilakukan dengan banyak pasangan (promiskuitas). Perilaku seksual risiko tinggi di antara anak dan remaja telah menjadi perhatian dunia dalam dekade terakhir karena makin maraknya penularan virus hepatitis B (VHB), virus hepatitis C (VHC), human immunodeficiency virus (HIV) dan berbagai penyakit menular seksual (PMS) Iainnya. Penyakit menular seksual dapat menyebabkan transmisi vertikal dan gangguan pada kehamilan di kemudian hari, infertilitas, penyakit keganasan serta dapat mempermudah terjadinya transmisi HIV." Kehamilan usia dini merupakan hal yang penting dan satu masalah tersendiri akibat adanya PSRT dengan dampak biopsikososial yang amat besar. lbu dengan usia yang terlalu muda berisiko tinggi terhadap rendahnya status kesehatan fisik dan jiwa, gagal dalam pencapaian pendidikan yang memadai dan ketergantungan hidup yang besar terhadap pihak lain; belum terhitung akibat yang terjadi jika ia melakukan aborsi yang tidak aman. Jika ia melahirkan, anak yang dilahirkan berisiko tinggi terhadap gagalnya pencapaian potensi tumbuh kembang yang optimal. Pada akhirnya hal ini akan memperburuk kemiskinan dan keterbelakangan yang telah ada dalam masyarakat.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18022
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Syarkowi Marzuki
Abstrak :
RSUD Budhi Asih sejak dahulu dikenal dengan rumah sakit gelandangan dan pengemis, sebagai rumah sakit yang merawat penderita terlantar dan tidak mampu secara cuma-cuma. Terhitung 1 April 1998 RSUD Budhi Asih ditetapkan sebagai rumah sakit swadana. Dengan besarnya beban sosial yang harus ditanggung sedangkan anggaran kesehatan yang diperoleh sangat terbatas, memaksa manajemen RSUD Budhi Asih harus melakukan efisiensi secara optimal. Salah satu indikator dalam melakukan efisiensi kegiatan rumah sakit adalah dengan melihat lama hari rawat. Karena pengaruh berbagai faktor, terjadi perpanjangan lama hari rawat pasien tidak mampu yang dirawat di Zal Khusus RSUD Budhi Asih. Tujuan : Untuk mengetahui faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan perpanjangan lama hari rawat pasien tidak mampu di Zal Khusus RSUD Budhi Asih. Desain penelitian yang digunakan adalah survey analisa dengan pendekatan cross sectional, terhadap 150 sampel dari 75 pasien Zal Khusus dan 75 pasien Zal Pembanding RSUD Budhi Asih periode April. 1997 - September 1997. Metodologi analisa data yang digunakan dengan analisis univariat, analisis bivariat dan multivariat. Dari ke 13 variabel yang diteliti ternyata setelah dilakukan analisis univariat dan bivariat keluar 7 variabel bebas bermakna sebagai kandidat untuk dianalisa secara muitivariat yaitu : kelas perawatan, jenis penyakit, komplikasi penyakit, hubungan keluarga, hari keluar rumah sakit, asal rujukan dan pengisian resume. Dari hasil analisa multivariat ternyata faktor kelas perawatan ( Zal Khusus ) terbukti berhubungan dengan perpanjangan lama hari rawat. Faktor utama yang berpengaruh terhadap perpanjangan lama hari rawat di Zal Khusus adalah faktor jenis penyakit khronis, disamping adanya komplikasi penyakit, tidak adanya hubungan keluarga dan tidak lengkapnya pengisian resume. Hipotesis yang dibuat berdasarkan kerangka konsep tidak semua mendukung hasil penelitian ini. Tidak semua faktor penelitian dapat dibuktikan bermakna secara statistik. Dari hasil penelitian ini, dapat dibuat langkah-Iangkah untuk mempersingkat lama hari rawat pasien di Zal Khusus RSUD Budhi Asih. Daftar Bacaan (1973 - 1998).
Factors that Influence the Length of Stay of Special Ward for Homeless Patient in Budhi Asih Hospital Jakarta, 1997Budhi Asih hospital has predicated as a Hospital for homeless patients and the beggars (Gepeng = Gelandangan dan Pengemis). Since April, 1 st 1998, Budhi Asih hospital has become a Swadana Hospital. Considering the social mission of Budhi Asih Hospital as an independent Hospital in the future, the management in running its services, has to be efficient. The Length of Stay is one of the indicators of hospital efficiency. This research objective was to analyze factors presumed havesome influence on the length of stay in the ward of the homeless ( special ward ). The research was a cross sectional which studied 150 cases in which 75 cases were from special ward and 75 cases from a regular yet similar level ( conducted April 1997 - September 1997 ). Data were acquired from the medical record of the hospital information unit. Univariat, bivariat and multivariat analyze were employed. Seven out of 13 independent variables which showed significant difference by univariat analyse and bivariat analyze, were candidate of the multivariat analysis. Those are : Patient class, acute or chronic disease, complication, family, day of check - out and medical record ( resume ) completely. The multivariat analysis result showed that difference ward was related to the length of stay. The main factors that influence of diseases length of stay in special ward was the chronic disease, complication of diseases, no family and incomplete medical record. The hypothesis which had been made based on these concept were not all supported in this study. Not all of risk factors could be proved statistically significant. Of this research result can be made steps to decrease the length of stay special ward patient Budhi Asih Hospital. This research has indicated several suggestions to reduce the length of stay in special ward, such as to develop an outreach program for the nursing home to reduce chronic cases to be refered to this hospital Bibliography: ( 1973 - 1978 )
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>