Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Renaldo Dionisius
"Hibah adalah sebuah perjanjian yaitu pemberian yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak yang lain pada saat pemberi hibah masih hidup. Perjanjian hibah tidak dapat dibatalkan kecuali memenuhi syarat syarat pembatalan hibah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa putusan pembatalan hibah di pengadilan Negeri Manado No: 06/Pdt.G/2018/Pn.Mnd telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan untuk mengetahui akibat hukum dari pembatalan akta hibah di dalam putusan No 06/Pdt.G/2018/Pn.Mnd. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat preskriptif, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa hibah dibatalkan oleh majelis hakim karena hibah terjadi saat pemberi hibah sudah meninggal dan akibat hukum yang terjadi adalah harta yang menjadi objek sengketa kembali kepada ahli waris pemberi hibah serta semua perjanjian dan kuasa yang dibuat dengan mengguanakan akta hibah dianggap batal dan tidak sah. Tujuan dari penulisan tesis ini adalah diharapkan dapat membantu dan memberi saran serta masukan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.

A grant is an agreement, which is a gift made by one party to another while the donor of the grant is still alive. A grant cannot be canceled unless it meets the conditions for the cancellation of the grant. This study aims to find out that the decision to cancel the grant at the Manado District Court No: 06/Pdt.G/2018/Pn.Mnd is in accordance with the applicable legal regulations and to find out the legal consequences of the cancellation of the grant in case No 06/Pdt.G/2018/Pn.Mnd. This research was conducted with a prescriptive normative juridical research method, the data collection technique used was document study. From this research, it was found that the grant was canceled by the panel of judges because the grant occurred when the grant donor had died and the legal consequence was that the property which became the object of the dispute returned to the beneficiary of the grant as well as all agreements and power of attorney made using the grant deed were considered null and invalid. The purpose of writing this law paper is hopefully to be able to help and provide advice and input of knowledge for parties related to the problem under study. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri
"Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat bagi para pihak, akan tetapi Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan upaya untuk mengajukan permohonan pembatalan melalui Pengadilan Negeri. Upaya hukum permohohan pembatalan mengakibatkan proses penyelesaian sengketa menjadi berlarut-larut, meskipun para pihak telah sepakat untuk mengenyampingkan upaya hukum permohonan pembatalan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bersifat yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan statute approach , pendekatan konseptual conceptual approach dan pendekatan kasus case approach . Tindakan salah satu pihak yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase meskipun telah dikesampingkan dalam perjanjian secara hukum telah dianggap melakukan cidera janji wanprestasi dan melanggar asas kekuatan mengikat pacta sunt servanda dari Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata dan melanggar asas kepastian hukum. Kesepakatan pengenyampingan upaya pembatalan putusan arbitrase telah meniadakan dan melepaskan hak para pihak untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrse melalui pengadilan, namun dalam praktek majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan adanya kesepakatan pengenyampingan tersebut, sebaliknya tetap memeriksa dan mengadili pokok perkara dan membatalkan putusan arbitrase yang telah bersifat final dan mengikat. Seharusnya, majelis hakim dalam mengeluarkan putusan tetap berpedoman pada isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagai konsekuensi dari asas pacta sund servanda sepanjang perjanjian arbitrse tersebut telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata.

Arbitration award is final and binding for the parties, however Article 70 of Law No. 30 of 1999 regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolutions provides a right to file a request for cancellation through the District Court. The legal remedy to request annulment caused the dispute settlement process extended, even though the parties have agreed to waive legal remedy on such cancelation. The research is descriptive research which is normative juridical and the approaches are statute approach, conceptual approach and case approach. The request for the cancellation of an arbitral award filed by the party even though it has been ruled out in the treaty is considered as a breach of contract and violates the principle of pacta sunt servanda of Article 1338 paragraph 1 of Indonesian Civil Code and has violated the legal certainty principle. A waiver agreement for the cancellation of the arbitral award has nullified and waived the parties 39 right to file the annulment of the arbitral award through the court, however in practice the judges did not consider the existence of the waiver agreement, on the contrary to examine and adjudicate the case and nullify the final and binding arbitral award. Supposedly, the judges in issuing the decision shall remain guided by the contents of the agreement made by the parties as a consequence of pacta sund servanda principle as long as the arbitration agreement has met the requirements of the validity of the agreement as regulated in Article 1320 to Article 1337 Indonesian Civil Code.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Aulia Muzhdalifah
"Dasar gugatan adanya pembatalan akta hibah yang dibatalkan oleh mertua kepada menantu adalah karena pemberi hibah menganggap bahwa akta hibah tersebut cacat hukum karena didasari oleh tidak terpenuhinya ketentuan-ketentuan mengenai tata cara atau prosedur yang harus dilalui sebelum diterbitkannya suatu akta atau karena suatu tindakan pemalsuan tanda tangan atau penggantian identitas. Pada dasarnya, hibah tidak dapat dicabut dan dibatalkan akan tetapi terdapat beberapa pengecualian hibah yang dapat ditarik kembali dan dapat dihapuskan oleh pemberi hibah yang diatur dalam Pasal 1688. Oleh karena itu Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 50/Pdt.G/2020/PA.Kupang menyatakan terhadap pemberi hibah yang ingin membatalkan akta hibah kepada anak menantu yang telah dibuat oleh PPAT tidak terbukti didalam persidangan serta bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan pemberi hibah untuk membatalkan akta hibah yang telah dibuat oleh PPAT tersebut. Melalui penelitian yuridis Normatif dan bersifat eksplanatoris ini, penelitian ini menggunakan data sekunder berusaha menganalisis putusan hakim serta upaya hukum yang dapat dilakukan untuk membatalkan akta hibah kepada menantu yang telah dibuat oleh PPAT. Hakim harus menjadikan akta autentik sebagai dasar fakta yang sempurna dan cukup untuk mengambil putusan atas penyelesaian perkara yang disengketakan karena akta autentik sifatnya sempurna dan mengikat serta upaya hukum yang dapat dilakukan untuk membatalkan akta hibah untuk membuktikan akta tersebut cacat yuridis adalah dengan melakukan pembuktian melalui upaya gugatan ke Pengadilan Negeri atau membuat akta pembatalan akta hibah kepada Notaris.

The basis for the lawsuit for the cancellation of the grant deed which was canceled by the in-laws to the son-in-law is because the grantor considers that the grant deed is legally invalid because it is based on the non-fulfillment of the provisions regarding the procedures or procedures that must be passed before the issuance of a deed or because of an act of forging signatures or change of identity. Basically, a grant cannot be revoked and canceled, but there are some exceptions to grants that can be withdrawn and can be canceled by the granter, which is regulated in Article 1688. Therefore, the main problem in this research is why the judge's consideration in the decision Number 50 / Pdt.G / 2020 / PA.Kupang stated that the plaintiff wanted to cancel the grant deed to the son-in-law that had been made by the PPAT because the procedures or procedures were not fulfilled. It must be done in the making of the grant deed, it is not proven in court as well as what legal remedies can be made by the grantee to cancel the grant deed that has been made by the PPAT. Through this Normative and explanatory juridical research, the writer uses secondary data to try to analyze the judge's decision and the efforts that can be made to cancel the grant deed to the sonin-law that has been made by the PPAT. The judge must make the authentic deed as a perfect and sufficient fact basis to make a decision on the settlement of a disputed case because the authentic deed is perfect and binding and the legal remedy that can be taken to cancel the grant deed to prove that the deed is legally flawed is to prove the proof is reversed. done through a lawsuit to the District Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Helida
"Perkawinan poligami harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Salah satu syaratnya adalah harus adanya izin dari isteri pertama dan izin dari Pengadilan Agama. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka isteri pertama mempunyai hak untuk membatalkan perkawinan tersebut. Dari uraian tersebut timbul permasalahan diantaranya apakah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah cukup mengatur perlindungan hukum terhadap isteri pertama sebagai akibat dari perkawinan poligami, bagaimana aturan perundang-undangan berkaitan dengan pembatalan perkawinan dikaitkan dengan perkawinan poligami dan bagaimana kedudukan (status) isteri dan anak-anak yang terlanjur dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan. Untuk dapat mencari jawaban permasalahan ini, penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan dan didukung dengan wawancara kepada narasumber. Dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor 822/Pdt.G/2004/PA.Dpk telah dilakukan pembatalan perkawinan. Pembatalan tersebut terjadi karena adanya pelaksanaan perkawinan poligami yang dilakukan tanpa seizin isteri pertama dan izin dari Pengadilan Agama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dikatakan bahwa Undang-undang Perkawinan sudah cukup melindungi isteri pertama sebagai akibat dari perkawinan poligami. Poligami yang dilakukan tanpa memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-undang, maka isteri sah dari perkawinan sebelumnya yang tidak setuju dengan adanya perkawinan poligami diberikan hak oleh Undang-undang untuk membatalkan perkawinan. Suami yang melakukan perkawinan poligami tanpa adanya izin dari pengadilan agama dapat menyebabkan perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Adanya keputusan pembatalan perkawinan dari pengadilan, segala hak dan kewajiban antara suami isteri menjadi tidak ada dan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut, kedudukan status) adalah tetap sebagai anak sah. Dalam hal ini harus dilakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat oleh universitas-universitas atau lembaga swadaya masyarakat yang berkecimpung dalam bidang perkawinan mengenai prosedur perkawinan termasuk mengenai penyebab terjadinya pembatalan perkawinan.

Polygamy marriages should be conducted in accordance with the legislation in force. One of the conditions have the permission of first wife and permission from the Religious Courts. If conditions are not met, then the first wife the right to cancel the marriage. From the description of which raised the question whether Law No. 1 Year 1974 on Marriage is enough to set the legal protection of the first wife as a result of polygamy marriages, how the rules of the legislation relating to the cancellation of marriage is associated with polygamy marriages and how the position wife and children already born from the marriage canceled. To be able to find answers to these problems, the author uses the method of juridical normative study using secondary data is data obtained from literature and supported by an interview to the informant. Religious Court in Decision No. 822/Pdt.G/2004/PA.Dpk has done annulment. Cancellation is due to implementation of polygamous marriages are performed without first wife's permission and consent of the Religious Courts. Based on research by saying that Marriage Act is sufficient to protect the first wife as a result of polygamy marriages. Polygamy is conducted without complying with the requirements stipulated by the Act without the permission of the first wife and the permission of religious courts, then lawful wife from a previous marriage who does not agree with the existence of polygamy marriages are granted the right by law to annul the marriage of her husband. Marriage can be canceled if there are terms are not being met in the hold of marriage. Husbands who do polygamous marriages without the permission of the court religion then it can lead to marriage be reversed. With the annulment of the court decision, all the rights and obligations between husband and wife become non-existent and the decision is retroactive annulment of the children born within marriage, the position as as his rights are fixed as a legitimate child. Should also be made to the community legal education by universities or non-governmental organizations engaged in the field of marriage about marriage procedures, including the cause of cancellation of marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28874
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Giovanni Leonardo
"Tesis ini membahas mengenai akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang merupakan pejabat umum yang memiliki kewenangan dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris UUJN . Seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya harus penuh dengan kehati-hatian dan kecermatan agar dapat membuat akta otentik yang tidak bertentangan dengan Undang-undang sehingga tidak mengandung unsur perbuatan melawan hukum. Dalam penelitian ini, Penulis mengangkat 3 permasalahan pokok, yang pertama bagaimana akta jual beli yang dibuat oleh Notaris yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum? Yang kedua bagaimana akibat hukum dari akta yang dibatalkan oleh Pengadilan? Dan yang ketiga, bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang dibuatnya dan dibatalkan oleh Pengadilan? Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan metode kepustakaan dan analisis kasus dengan mengumpulkan data sekunder. Analisis kasus dilakukan terhadap Putusan Mahkamah Agung Tanggal 25 April 2017 Nomor 598 K/PDT/2017, dimana dalam kasus tersebut akta otentik yang dibuat oleh Notaris dibatalkan oleh Pengadilan karena dibuat dengan tidak hati-hati dan tidak cermat sehingga tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akta yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum dapat dibatalkan dan akibat hukum atas pembatalan tersebut adalah tindakan hukum dalam akta dianggap tidak pernah ada. Sedangkan dari segi tanggung jawab, Notaris bertanggung jawab secara perdata dan juga secara administratif dari segi jabatannya.

This thesis discussed about authentic deed made by Notary which is a public officials who has authority and obligation as regulated in the Law Number 02 Year 2014 concerning Amendment to Law Number 30 Year 2004 about Notary UUJN . A Notary when doing his work, must be with prudence and precision in order to make an authentic deed that did not contradict with the law so that the deed can has a perfect power of proof and does not have an unlawful act element. In this study, the writer raised 3 problem, first, how a sale and purchase deed made by Notary contain an unlawful act element Second, what is the legal consequences of the notary deed which annulled by the court And the third, what is the notary responsibility due to the annulment of the deed which he she made This study uses normative legal research with the literature methode and case analysis with collecting secondary data. Case analysis was conducted on the supreme court dated 25 April 2017 Number 598 K PDT 2017, where in the case an authentic deed made by a notary was canceled by court because the deed made by a Notary who was not carefull and not precise. The result of this study indicates that a deed that contains unlawful act can be cancelled and the law concequences of the cancellation is the lawful act in the deed is considered never happen. In the perspective of responsibilities, Notary have a civil and administrative responsibilities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49316
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Difa Khairunnisa
"Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata Indonesia, suatu perjanjian pada dasarnya harus memenuhi persyaratan hukum dari suatu perjanjian, yang terbagi menjadi persyaratan subyektif dan obyektif. Kegagalan memenuhi persyaratan subyektif dari suatu perjanjian akan mengakibatkan salah satu pihak dapat meminta pembatalan perjanjian. Sementara itu, kegagalan memenuhi persyaratan obyektif perjanjian mengakibatkan perjanjian batal demi hukum, berdasarkan Pasal 1335 KUHPerdata Indonesia. Terdapat problematika mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian dimana, hal tersebut merupakan salah satu aspek formalitas dari suatu perjanjian tetapi juga dapat dianggap sebagai salah satu persyaratan material karena hal itu diatur dalam undang-undang. Berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata, dinyatakan bahwa Suatu penyebab dilarang, jika alasan itu dilarang oleh hukum atau jika itu bertentangan dengan moralitas atau dengan ketertiban umum. Skripsi ini terutama membahas konsekuensi hukum jika perjanjian hanya dilaksanakan dalam bahasa Inggris. Skripsi ini akan menggunakan pendekatan yuridis empiris untuk membuktikan apakah itu melanggar keduanya, 1) kewajiban formal untuk menulis perjanjian dalam Bahasa Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Simbol Nasional dan Lagu Nasional dan 2) persyaratan obyektif dari suatu perjanjian. Skripsi ini akan menganalisis secara mendalam putusan dari Putusan Mahkamah Agung dengan Nomor: 1572K/Pdt/2015 yang telah dibahas secara besar-besaran karena putusan ini telah menjadi tolak ukur dengan memilih untuk mencabut perjanjian pinjaman antara PT Bangun Karya Pratama Lestari (sebagai debitur Indonesia) dan Nine AM (sebagai kreditor asing) dengan dalil bahwa perjanjian tersebut hanya menggunakan bahasa Inggris oleh karena itu bertentangan dengan UU No. 24 Tahun 2009.

Based on Article 1320 of the Indonesian Civil Code, an agreement must essentially fulfill the legal requirements of an agreement, which is divided into subjective and objective requirements. Failure to fulfill the subjective requirements of an agreement would result in one of the parties could request for the cancellation of the agreement (voidable). Meanwhile, failure to fulfill the objective requirements of an agreement would result in the agreement become null and void, based on Article 1335 of Indonesian Civil Code. There is a problem regarding the use of Indonesian in an agreement where, it is one of the formality aspects of an agreement but also could be considered as one of the material requirement since it is stipulated under the law. Pursuant to Article 1337 of the Civil Code, it is stated that A cause is forbidden, if that reason is prohibited by law or if that is contrary to morality or with public order. This thesis mainly discusses the legal consequences if an agreement only executed in English. This thesis will be using juridical empircal approach to prove whether or not it does violate both, 1) the formal obligation to write the agreement in Bahasa Indonesia (formal obligation) as stipulated in Article 31 Law No. 24 of 2009 concerning Flag, Language, and National Symbols and National Songs and 2) the objective requirements of an agreement (objective requirements). This thesis will deeply analyze verdict from Supreme Court Decision with Number:1572K/Pdt/2015 that has been massively discussed since this verdict has became a benchmark by chose to revoke the loan agreement between PT Bangun Karya Pratama Lestari (as Indonesia's debtor) and Nine AM (as foreign creditor) with the argument that the agreement only used English therefore it against the Law No. 24 of 2009. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Dwiyani
"Sebuah akta notaris harus berisi apa yang diinginkan atau yang disepakati oleh para pihak yang ada dalam perjanjian (akta) tersebut. Sangat penting suatu persesuaian kemauan atau kehendak tersebut terciptanya dengan dinyatakan secara tegas supaya tidak terjadi perselisihan diantara para pihak. Maka kehadiran para pihak untuk menghadap kepada notaris didalam pembuatan akta merupakan keharusan. Para pihak harus hadir untuk saling memberikan kesepakatan. Sehingga didalam menjalankan jabatan notaris, seorang notaris harus memiliki kecermatan dan kehati-hatian. Notaris mempunyai peranan untuk menentukan suatu tindakan dapat dituangkan dalam bentuk akta atau tidak. Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang diperlihatkan kepada notaris, meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepadanya, mendengarkan keterangan/pernyataan para pihak. Dalam penelitian ini penulis mengangkat 2 (dua) permasalahan pokok, yang pertama keabsahan akta perjanjian pinjam meminjam dan akta kuasa menjual yang dibuat tanpa dihadiri oleh salah satu pihak dan tidak ada surat kuasa dan tanggung jawab notaris terhadap akta yang dibatalkan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan metode kepustakaan dan analisis kasus dengan mengumpulkan data sekunder. Analisis kasus dilakukan terhadap Putusan Mahkamah Agung Tanggal 11 Desember 2017 Nomor 2828 K/Pdt/2017, dimana dalam kasus tersebut akta otentik yang dibuat oleh Notaris dibatalkan oleh Pengadilan karena adanya beberapa cacat hukum dalam proses terbitnya akta tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa akta yang dibuat tanpa dihadiri oleh salah satu pihak dan tidak ada surat kuasa adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan dari segi tanggung jawab, notaris sepatutnya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata, secara administrasi dan secara moral/etika berdasarkan Kode Etik Notaris.

A notary deed must contain what the parties to the agreement (deed) desire or agree to. It is very important that an alignment of the will is created by stating that there is no dispute between the parties. Therefore the presence of the parties to the notary in the making of an act is a must. The parties must be present to reach an agreement. For that to run in the notary office, a notary should have the utmost care and caution. Notaries have a role to play in determining whether an action can be taken in the form of a deed. The notary must consider and view all documents presented to the notary, review all evidence presented to him, hear the statements or statements of the parties. In this study the author raised two (2) principal issues, the first being the validity of the loan lending agreement and the sale deed that was not attended to by either party and no deed and notary's authority over the deed. This study used normative juridical research methods with library methods and case analysis by collecting secondary data. The analysis of the case was made against the Decision of the Supreme Court dated December 11, 2017, No. 2828 K/Pd/2017, in which case the authentic notarial deed made by the Notary was revoked by the Court due to some defect in the process of issuing the act. The results of the study show that the notary's inability to make the deed makes it invalid and has no legal force. While in terms of responsibility, notaries are asked to be held accountable, administratively and morally/ethically in accordance with the Notary Code of Ethics."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Vinka Rinjani
"Tesis ini membahas tentang pembatalan sertipikat hak atas tanah yang di studi melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2148 K/PDT/2019. Dalam putusan tersebut, sertipikat hak atas tanah dibatalkan karena pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat bukan pemilik yang sah atas obyek tanah yang bersangkutan. Dengan adanya pembatalan maka sertipikat hak atas tanah sudah tidak berlaku lagi. Hal ini menimbulkan masalah lainnya karena obyek tanah yang bersangkutan sudah dijual kepada pihak lain. Pembeli menjadi dirugikan karena ia menjadi kehilangan haknya atas tanah tersebut. Untuk itu permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan dalam pembatalan sertipikat hak atas tanah serta tanggung jawab PPAT, PPAT Sementara, dan Kantor Pertanahan akibat adanya pembatalan sertipikat hak atas tanah tersebut. Penelitian yuridis normatif yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan studi dokumen yang diperkuat dengan wawancara. Hasil analisis yang didapatkan dari penelitian ini adalah pembeli sebagai pihak yang dirugikan dalam pembatalan sertipikat hak atas tanah dapat mengajukan gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum kepada penjual. Kemudian terhadap adanya pembatalan sertipikat hak atas tanah, PPAT dan PPAT Sementara tidak dapat dikenakan sanksi administratif, perdata, maupun pidana apabila ia telah mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur peraturan jabatan PPAT dan kode etik PPAT dalam membuat akta jual beli. Adapun, tanggung jawab Kantor Pertanahan adalah untuk melaksanakan putusan pengadilan mengenai pembatalan sertipikat hak atas tanah tersebut. Selain itu, Kantor Pertanahan juga dapat dituntut ganti rugi oleh pembeli karena telah menyebabkan kerugian.

This thesis is discuses about the annulled of the certificate of land rights based on the Verdict of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 2148 K/PDT/2019, in accordance to the verdict, the certificate of land rights has been annulled because the party whose name is listed on it is not legally the owner of the land object. Therefor the certificate is no longer valid. This creates another problem because the land object in question has been sold to another party. The buyer is harmed because he loses his right to the land. For this reason, the problems analyzed in this study are legal protection for the aggrieved party in the cancellation of the certificate of land rights and the responsibilities of the PPAT, Temporary PPAT, and the Land Office due to the cancellation of the certificate of land rights. The normative juridical research conducted in this study used a document study that was strengthened by interviews. The results of the analysis obtained from this study are the buyer as the party who is disadvantaged in the cancellation of the certificate of land rights can file a claim for compensation based on unlawful acts to the seller. Then for the cancellation of land rights certificates, PPAT and Temporary PPAT cannot be subject to administrative, civil, or criminal sanctions if they have complied with the provisions of the laws and regulations governing the PPAT position regulations and the PPAT code of ethics in making the deed of sale and purchase. Meanwhile, the responsibility of the Land Office is to implement the court's decision regarding the cancellation of the certificate of land rights. In addition, the Land Office can also be sued for compensation by the buyer for causing a loss."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jauzaa Giovani Kusumaputri
"Banyak timbulnya masalah-masalah terkait akta autentik yang dibuat oleh Camat yang diangkat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara dahulu, dikarenakan tidak adanya ilmu yang diberikan, serta pengawasan yang kurang ketat dari Pemerintah, sehingga banyak akta yang menimbulkan masalah di kemudian hari. Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah konsep dari adanya unsur perbuatan melawan hukum dalam Akta Jual Beli atas tanah yang dibuat di hadapan PPAT Sementara dan dalam hal apa pihak ketiga dapat mengajukan pembatalan suatu akta PPAT. Bentuk penelitian yang akan digunakan Penulis, yaitu yuridis normatif, dengan menganalisis pertimbangan hakim dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 423 PK/Pdt/2019. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa konsep perbuatan melawan hukum telah diatur secara jelas dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang mana apabila terdapat unsur perbuatan melawan hukum dalam pembuatan suatu Akta Jual Beli atas tanah, maka akta tersebut dapat dibatalkan melalui Pengadilan. Selanjutnya, pihak ketiga sebagai pihak di luar akta dapat membatalkan suatu Akta Jual Beli atas tanah dengan dapat dibuktikannya bahwa adanya akta tersebut merugikan pihak ketiga. Penelitian ini juga memberikan saran kepada pihak ketiga sebagai pihak yang membayar (pembeli) harus segera membuat Akta Jual Beli di hadapan PPAT, oleh sebab pihak penjual dapat memberikan kuasanya kepada pihak lain, atau PPAT sebagai pejabat umum dapat menuliskan keterangan pada akhir akta bahwa Penjual tidak dapat menandatangani Akta Jual Beli yang bersangkutan karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan.

There are many problems arise related to authentic deeds made by Subdistrict Head who was appointed as a Temporary PPAT in the past, due to the lack of knowledge provided, less strict supervision from the Government, so that many deeds caused problems later on. The problem discussed in this thesis are the concept of an element of the tort in the making of a Land Title Deed in front of The Temporary Land Deed Official and in what terms a third party can apply for a cancellation of a PPAT deed. The form of research that the author will use is normative juridical, by analyzing the Judicial Review Decision Number 423 PK / Pdt / 2019. The results of this study state that the concept of the tort has been clearly regulated in Article 1365 of the Civil Code, in which if there is an element of the tort in making a Land Title Deed, the deed can be canceled through the Court. Furthermore, a third party as a party outside the deed can cancel a Land Title Deed by proving that the deed is detrimental to the third party. This study also provides advice to third parties as the paying party (the buyer) must immediately make a Land Title Deed in front of PPAT, because the seller can give an authority to other parties, or PPAT as a public official may write a statement at the end of the deed that the Seller is unable to sign the Land Title Deed due to his health condition which is not possible."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library