Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hanitya Dwi Ratnasari
Abstrak :
Salah satu penyakit oportunis penyerta infeksi HIV/AIDS adalah hipertensi. Hipertensi umum ditemukan di populasi ODHA dengan prevalensi antara 15,6-46%.1-6 Namun, pada anak dengan infeksi perinatally-acquired HIV/AIDS, data prevalensi hipertensi masih sangat minim. Studi tahun 2016 pada 51 anak dengan infeksi HIV/AIDS menunjukkan proporsi hipertensi sebesar 37,3%.7 Penelitian ini bertujuan mengetahui proporsi dan hubungan infeksi perinatally-acquired HIV dengan hipertensi primer pada anak menggunakan desain studi analitik potong lintang dan data sekunder penelitian CHIC Study. Populasi penelitian ini adalah 89 anak partisipan CHIC Study berusia 0-18 tahun dengan status HIV positif (41 anak) dan non-HIV (48 anak). Hasil analisis multivariabel menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan anak dengan infeksi HIV memiliki odds risiko 1,24 kali (95% CI: 0,024-65,002; nilai p 0,917) untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan anak non-HIV. Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan antara infeksi HIV dengan hipertensi primer pada anak dengan infeksi HIV meskipun masih belum dapat dibuktikan validitas hubungan tersebut secara statistik dikarenakan jumlah sampel yang tidak mencukupi. Peneliti mengharapkan penelitian lanjutan dilakukan dengan desain studi yang lebih baik dan jumlah sampel yang mencukupi. ......One of the opportunistic diseases that accompany HIV/AIDS infection is hypertension. Hypertension is common in people living with HIV/AIDS populations with a prevalence of 15.6-46% .1-6 However, in children with perinatally-acquired HIV/AIDS infection, hypertension prevalence data is still minimal. The 2016 study of 51 children with HIV/AIDS infection showed a proportion of hypertension of 37.3% .7 This study aimed to determine the proportion and relationship of perinatally-acquired HIV infection with primary hypertension in children using cross-sectional analytic study design and secondary data of CHIC Study. The population of this study were 89 children of CHIC Study participants aged 0-18 years with HIV positive status (41 children) and non-HIV (48 children). The results of a multivariable analysis using logistic regression analysis showed that children with HIV infection had a risk odds of 1.24 (95% CI: 0.024-65,002; p-value 0.917) for hypertension compared with non-HIV children. This study concludes that there is a relationship between HIV infection with primary hypertension in children with HIV infection although it’s validity of the relationship can not be proven statistically due to insufficient sample size. Researcher expects further research done with better study design and sufficient number of samples.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arvianda Kevin Kurnia
Abstrak :
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan masalah global yang menyerang setidaknya 4.000 anak di Indonesia. Tingkat kematian telah menurun drastis sejak era highly active antiretroviral therapy (HAART), tetapi belum ada data kesintasan di Indonesia. Studi ini memaparkan tingkat kesintasan anak dengan HIV di rumah sakit rujukan tersier. Data anak dengan HIV yang telah mendapatkan ART dikumpulkan sejak 2003 dan diikuti secara kohort retrospektif. Uji log-rank dan regresi Cox digunakan untuk menganalisis faktor prediktor kesintasan. Dari 468 subjek, terdapat 54,7% pasien menyintas dalam median pemantauan 62,5 (0 – 194) bulan. Insidens rate kematian sebesar 7,6 per 100-person years. Faktor prediktor kematian adalah stadium IV HIV (hazard ratio (HR) 1,5; interval kepercayaan (IK) 95% 1,1 – 2,1, p = 0,014), infeksi tuberkulosis (HR 1,5; IK 95% 1,1 – 2,1, p = 0,012) dan kadar CD4 awal kurang dari 750 sel/mm3 (HR 1,5; IK 95% 1,0 – 2,2, p = 0,033). Tidak ada faktor prediktor bermakna dalam analisis multivariat. Hasil tersebut menunjukkan angka kematian di rumah sakit tersier Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara lain ......Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection causes global problem, with at least 4.000 children living with HIV in Indonesia. While the mortality has significantly decreased after highly active antiretroviral therapy (HAART), but no survival data available from Indonesia. This study reports the survival rates of HIV children in a third-level referral hospital. Data of HIV children were retrospectively collected from 2003 and were followed as a cohort. Log-rank and Cox regression analysis were calculated to identify survival predictors. Of 468 subjects, 54,7% survived over median 62,5 (0 – 194) months of observation. Death incidence rate was 7,6 per 100-person years. Death predictors were stadium IV HIV (hazard ratio (HR) 1,5; 95% confidence interval (CI) 1,1 – 2,1, p = 0,014), tuberculosis (HR 1,5; 95% CI 1,1 – 2,1, p = 0,012) and CD4 level below 750 cells/mm3 (HR 1,5; IK 95% 1,0 – 2,2, p = 0,033). Multivariate analysis found no significant predictors. This result shows that survival rates of this center is lower than other countries
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwinanda Aidina Fitrani
Abstrak :
Latar belakang: Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dapat menjadi infeksi oportunistik pada anak dengan HIV. Gejala infeksi EBV sulit dibedakan dengan infeksi HIV dan bersifat laten. Infeksi EBV laten dapat reaktivasi mulai dari gangguan limfoproliferatif hingga terjadinya keganasan. Di Indonesia belum ada data mengenai infeksi EBV pada anak dengan HIV. Tujuan: Mengetahui proporsi, karakteristik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada anak dengan HIV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Metode: Penelitian potong lintang untuk melihat karakteristik infeksi EBV pada anak dengan HIV dan faktor-faktor yang berhubungan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, periode bulan September 2020 hingga Februari 2021. Sampel darah diambil untuk dilakukan pemeriksaan PCR EBV kualitatif (whole blood), darah perifer lengkap, kadar CD4 dan viral load HIV. Hasil: Total subyek 83 anak dengan HIV. Proporsi subyek terinfeksi EBV sebesar 28,9%, dengan rerata usia 9,58 tahun. Limfadenopati merupakan gejala terbanyak, meskipun tidak dapat dibedakan dengan infeksi lain. Dua anak mengalami keganasan akibat EBV yaitu Limfoma Non Hodgkin dan leiomiosarkoma. Sebanyak 75% subyek terinfeksi EBV yang berusia di bawah 12 tahun mengalami anemia (rerata Hb 10,68 ± 2,86 g/dL), dapat disebabkan infeksi EBV atau penyebab lain. Hasil analisis bivariat menunjukkan kadar viral load HIV > 1000 kopi/mL berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada subyek (OR 2,69 (1,015-7,141); P = 0,043). Simpulan: Proporsi anak dengan HIV yang terinfeksi EBV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah 28,9%, dengan kadar viral load HIV > 1000 kopi/mL berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada anak dengan HIV. ......Background: Epstein-Barr virus (EBV) infection can be an opportunistic infection in HIV-infected children. EBV infection is difficult to be differentiated from HIV infection, and it can be latent. Latent EBV infection can reactivate into lymphoproliferative disorders and malignancy. There is no data on EBV infection in HIV-infected children in Indonesia. Objective: To identify the proportion, manifestations and factors associated with EBV infection in HIV-infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta. Methods: Cross-sectional study to examine the manifestations of EBV infection in HIV-infected children and it’s associated factors in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta, during September 2020 to February 2021. Blood samples were taken to examine qualitative EBV PCR (whole blood), complete blood count, CD4 levels and HIV viral load. Results: Total subjects were 83 HIV-infected children. The proportion of children infected with EBV was 28.9%, with mean age 9.58 years. Lymphadenopathy was the most common symptoms, although it was difficult to differentiate from other infections. Two children have malignancy due to EBV, namely Non-Hodgkin's lymphoma and leiomyosarcoma. Total 75% of EBV-infected subjects under 12 years of age were anemic (mean Hb 10.68 ± 2.86 g/dL), could be due to EBV infection or other causes. Bivariate analysis showed HIV viral load levels > 1000 copies/mL were associated with EBV infection in subjects (OR 2.69 (1.015-7.141); P = 0.043). Conclusion: The proportion of EBV infection in HIV-infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta is 28.9%, with HIV viral load levels > 1000 copies/mL were associated with the EBV infection in HIV-infected children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erlin Listiyaningsih
Abstrak :
Epidemi HIV di negara-negara Asia terjadi lebih Lambat bila dibandingkan dengan negara-negara belahan dunia yang lain. Sejak mulai ditemukan kasusnya yang pertama (tahun 1987), epidemi HIV di Indonesia relatif stabil. Namun, sejak kurang lebih empat (4) tahun yang lalu (tahun 1998) menurut laporan Ditjen P2MPLP DepKes RI telah terjadi lonjakan insiden kasus HIV positif per tahun secara mengkhawatirkan terutama pada kelompok resiko tertular secara kontak seksual. Beberapa hasil penelitian akhir-akhir ini mengatakan adanya kondisi `emerging epidemic' HIV pada kelompok resiko heteroseksual. Untuk lebih dapat meningkatkan upaya pencegahan penularan dan penatalaksanaan penderita, serta memperkirakan kelanjutan epidemi yang akan terjadi, perlu dilakukan karakterisasi epidemi HIV yang sedang berlangsung di Indonesia pada beberapa periode terakhir terutama dalam hubungannya dengan terjadinya kenaikan tajam kasus-kasus yang telah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan dengan metode Case-Series, berlangsung selama tujuh tahun mulai tahun 1993 hingga 2000, dengan populasi sampel adalah individu-individu yang telah terinfeksi HIV dari daerah epidemi Jakarta, Papua, Bali, dan beberapa kasus dari daerah epidemi lain. Kasus-kasus HIV positif tersebut sebagian besar (66 %) berasal dari suku Jawa, 13 % dari suku Papua asli, dan 11 % dari suku Bali, dan hampir semua berada pada usia reproduktif yang tertular HIV dengan cara kontak seksual (98 %), dengan proporsi kasus laki-laki (56 %) sedikit lebih tinggi dari pada proporsi kasus perempuan (44 %). Hasil pemeriksaan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan RT-PCR (Reverse Transcryption Polymerase Chain Reaction) diketahui bahwa di Indonesia, dalam masa penelitian terjadi pergeseran corak subtipe. Pada awal penelitian hanya ditemukan subtipe B, kemudian berkembang dengan ditemukannya subtipe E maupun subtipe BIB dengan proporsi yang terus meningkat. Analisa keserupaan genetik dengan menggunakan teknik Heteroduplex Mobility Assay (HMA) menunjukkan bahwa HIV-1 di Indonesia mempunyai keserupaan genetik dengan strain referensi HIV-1 dari Thailand, USA, Central African Republic, Brazil, dan India. Untuk melihat hubungan antara subtipe HIV-1 dengan variabel-variabel penelitian dilakukan analisa statistik bivariat dan multivariat. Subtipe HIV-1 pada populasi kasus HIV positif pada penelitian ini berhubungan statistik bermakna dengan lokasi penemuan kasus, tetapi tidak dengan suku, umur maupun jenis kelamin. Populasi kasus HIV positif dari lokasi Papua berpeluang 6,4 kali (95% CI = 1,52 - 26,98) untuk memiliki subtipe E HIV-1, tetapi 0,05 kali peluangnya untuk memiliki subtipe B HIV-I, bila dibandingkan dengan populasi kasus HIV positif dari lokasi Bali. Populasi kasus HIV positif bersuku Papua mempunyai kemungkinan 3,06 kali lebih tinggi (95 % CI = 0,823 --11,375) memiliki subtipe E HIV-1, dan 0,24 kali lebih rendah (95 % CI 0,02 - 1,24) memiliki subtipe B HIV-1 dari pada populasi HIV positif bersuku bukan Papua. Peluang untuk mencapai status AIDS pada kasus HN positif dengan subtipe E lebih rendah 0,21 kali (95% CI = 0,046 -- 0,959) bila dibandingkan dengan peluang kasus HIV positif dengan subtipe B. Progresifitas kearah AIDS pada kasus-kasus HIV pada penelitian ini memiliki hubungan statistik yang bermakna dengan subtipe HIV-I, tetapi tidak dengan lokasi penemuan, suku, umur, maupun jenis kelamin kasus. Daftar bacaan : 109 (1987-2002)
Subtype Variability of Human Immunodeficiency Virus Type-1 and Their Relationship to the Demographic Characterictic of Indonesian HIV Cases, from 1993 to 2000HIV epidemic in Asia arrived relatively late, and HIV infection is still confined largely to population known to be at high risk (MU, sex workers, and men who have sex with men). However there is dramatic increase of the HIV infection incidence rate among high-risk population in several Asian Countries since past few years, Indonesia is the one example. While HIV-1 subtype E is the most prevalent strain than other subtype circulating in Southeast Asia, little is known about genetic subtype of HIV-1 responsible for the fulminating epidemic in Indonesia. Here we gp4l env RT-PCR and gp120 env HMA subtyped the isolates of a case-series of 255 HIV cases identified in high prevalence regions of Indonesia between 1993 and 2000, and then investigated the correlation between genetic subtype to multiple demographic characteristics and disease progression using bivariate and multivariate analysis. Most (98%) of the cases resulted from sexual contact, and 2% from vertical transmission; 56% are male and 44% are female. The ethnicity of the cases is Javan (66%), Balinese (11%) and Papuan (13%). 67% of the female cases and 14% percent of the male cases were commercial sex workers. 14% of the male cases were military and 8 % of the female cases were housewives. In 1993/94 only subtype-B viruses were observed, but by 1996 subtype-E had become, and remains, the major circulating subtype. It is suggested that HIV-1 subtype circulates in Indonesia has shifted from HIV-1 subtype B to HIV-1 subtype-E, indicate that HIV-1 subtype-E is the most transmissible and prevalent HIV-I subtype through heterosexual contact in Indonesia. However, subtype-B virus remains the most prevalent in Bali. HMA analysis identified isolates having homology to subtype-B isolates BR20 (Brazil), TH14 (Thailand) and SF162 (USA) during 1993/94, then broadening to include subtype-E isolates TH22 (Thailand), TH06 (Thailand) and CAR7 (Central African Republic). In 2000, two isolates homologous to IN868 (India) were identified in Papuan samples. No correlation was observed between gp4l-established subtype and age, gender, or ethnicity, but location. The probability of having HIV-1 subtype-E among HIV infected people in Papua was measured to be 6.4 times greater (95% CI = 1,52 - 26,98) than in Bali, whereas the probability of having HIV subtype-B among HIV infected people in Bali is 20 times greater than in Papua and 4.7 times greater than Jakarta. Papuans were observed to have 3.06 times greater probability (95% CI = 0.823 - 11.375) of having a subtype-E infection than non-Papuan, and smaller probability (OR = 0.24 ; 95% CI = 0.054 - 1.769) of having a subtype-B infection than non-Papuans.. HIV cases with subtype-E HIV-1 were observed to have 0,21 times probability to progress to AIDS (95% CI = 0.046 - 0.959) than probability of HIV cases with subtype B HIV-1 in Indonesia. Disease progression was observed to correlate to HIV-1 subtype, but not age, gender, ethnicity, nor location Reference : 109 (1987-2002)
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T4037
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurelius Raditya Tirto
Abstrak :
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang bereplikasi di limfosit T-helper CD4+, mengakibatkan penurunan jumlahnya dan imunodefisiensi. Hal ini dapat menyebabkan kematian banyak anak HIV-positif akibat penyakit umum pada masa kanak-kanak. Salah satu cara untuk mencegahnya adalah dengan memberi terapi antiretroviral atau ART, yang meningkatkan jumlah Limfosit CD4+. Melalui percobaan ini, kami bertujuan untuk menentukan dinamika peningkatan ini. 360 pasien dipilih dari anak-anak dengan HIV di RSCM dari tahun 2005-2021. Data yang diambil meliputi persentase CD4, jumlah CD4, dan Usia. Datanya dibagi berdasarkan usia menjadi 4 kelompok dan kemudian dianalisis menggunakan analisis deskriptif, analisis chi-square, dan analisis survival. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas anak dengan infeksi HIV mengalami imunosupresi berat, dan berusia di bawah 5 tahun. Saat terapi ART dilanjutkan, jumlah anak tanpa imunosupresi meningkat dan analisis kelangsungan hidup menunjukkan bahwa pasien yang lebih tua memiliki kemungkinan bertahan hidup yang lebih baik daripada yang lebih muda. Kesimpulannya, seiring berlanjutnya terapi ART, jumlah CD4 pasien dan kemungkinan bertahan hidup akan meningkat, dengan yang terbesar terjadi tepat pada awal terapi.  ......The Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a retrovirus that replicates in CD4+ T-helper lymphocytes, resulting in a decrease in numbers and immunodeficiency. This can cause the death of many HIV-positive children from common childhood illnesses. One way to prevent this is by giving them antiretroviral therapy or ART, which increases the number of CD4+ Lymphocytes. Through this experiment, we aim to determine the dynamics of this increase. 360 patients were chosen from children with HIV at the RSCM from 2005-2021. Data taken include their CD4 percentage, CD4 count, and Age. The data was then divided based on their age into 4 groups and analysed using descriptive analysis, chi-square analysis, and survival analysis. Results showed that the majority of children with HIV infection are severely immunosuppressed, and are under 5 years old. As the ART therapy is continued the number of children without immunosuppression increases and survival analysis shows that older patients have better survival probability than younger ones. In conclusion, as ART therapy continues, patients’ CD4 count and survival probability will increase, with the largest occurring right at the start of the therapy. 

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Andriyani
Abstrak :
Acquired Immune Deficiency Syndrome AIDS merupakan penyakit tahap lanjut dari Human Immunodeficiency Virus HIV yang menyebabkan terjadinya penurunan pada sistem imun. AIDS dapat berdampak pada sistem saraf dengan salah satu manifestasi klinis yang muncul berupa nyeri. Nyeri yang tidak tertangani dapat menimbulkan dampak, diantaranya mengganggu aktivitas, gangguan tidur, dan meningkatkan kecemasan yang dapat menurunkan kualitas hidup penderita. Studi kasus ini bertujuan untuk menganalisis intervensi terapi musik klasik dan instrumental untuk mengurangi nyeri pada pasien dengan HIV/AIDS. Metodologi yang digunakan adalah metode studi kasus dan analisis intervensi keperawatan. Terapi musik diberikan selama 7 hari dengan frekuensi 2 kali sehari selama 30 menit. Hasil intervensi menunjukkan adanya penurunan skala nyeri dari skala nyeri 6 menjadi 4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi musik dapat menjadi salah satu penatalaksanaan nonfarmakologi yang dapat menurunkan nyeri. Rekomendasi dari penelitian ini adalah pentingnya perawat untuk memberikan manajemen nyeri nonfarmakologi seperti terapi musik sebagai salah satu upaya dalam menurunkan masalah nyeri pada pasien. ...... Human Immunodeficiency Virus HIV that damage the immune system. AIDS can affected the nervous system with pain as the symptom. Uncontrolled pain can cause various effects, such as impaired activity, sleep disorders, and increased anxiety, which reduce the quality of life. This case study aimed to analyze nursing interventions to reduce pain on patient with HIV AIDS. This study conducted by the case study method and evidence based practice intervention. Patient was administered the classical and instrumental music twice a day with 30 minutes long in each session for 7 days. The results showed a decrease in pain scale from 6 to 4 out of 10 by using numerical rating scale. The result of this study indicates that music therapy can be one of non pharmacological intervention to reducing pain. The recommendation of this study is the importance of nurses to provide non pharmacological pain management such as music therapy in order to reducing pain in patients with HIV AIDS.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Toha Muhaimin
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada ibu hamil di komunitas dan estimasi jumlah bayi yang mengidap HIV melalui penularan perinatal, dengan menggunakan data sekunder 11.693 ibu hamil dari program Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV (PMTCT) Yayasan Pelita Ilmu tahun 2003-2010 di delapan ibu kota provinsi di Indonesia. Diagnosis HIV ditegakkan berdasarkan test Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Prevalensi HIV dihitung dari mereka yang ikut konseling post-test dan uji Mantel Haenszel Chi square dilakukan untuk melihat kecenderungannya. Sebanyak 98% responden menyatakan keinginannya untuk tes HIV dan diberi konseling pre-test. Dari partisipan yang mendapat konseling pre-test, 95% bersedia melakukan tes HIV, dan 88% dari mereka mengikuti konseling post-test. Prevalensi HIV yang ditemukan adalah sebesar 0,41% dan angkanya cukup bervariasi serta cenderung meningkat dari 2003 ke 2009, dari 0,36% tahun 2003-2006, naik menjadi 0,52% tahun 2008, naik menjadi 0,54% tahun 2009, kemudian turun menjadi 0,25% tahun 2010. Diperkirakan 8.604 bayi dengan HIV lahir setiap tahun, namun apabila dilakukan program PMTCT akan dapat dicegah 8.112 bayi dengan HIV dan dihemat biaya sekitar Rp 42 miliar per-tahun. Dapat disimpulkan, prevalensi HIV pada ibu hamil dari data di komunitas antara tahun 2003-2010 masih rendah dan cukup bervariasi dalam lima waktu pengamatan. Disarankan untuk memperluas cakupan program PMTCT dan mengintegrasikannya dengan pelayanan maternal dan keluarga berencana.
This study has aims to determine the prevalence of Human Immunodeficiency Virus (HIV) among pregnant women in the community and to estimate the number of babies born with HIV, using secondary data of 11.693 pregnant women from Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV (PMTCT) program conducted the Pelita Ilmu Foundation during 2003-2010 in eight provincial capitals in Indonesia. The HIV diagnosis was based on Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). The HIV prevalence was calculated from those who participated in the post-test counseling. Mantel Haenszel Chi-square test was performed to see the trend. Of all pregnant women, 98% expressed their desire for HIV testing. The women, then, were given pre-test counseling. Of the pre-test counseled respondents, 95% were willing to do HIV test and of the HIV tested respondents 88% followed the post-test counseling to get the test result, and as much as 0.41% are HIV positive. HIV prevalence quite vary and there is an increasing trend from 2003 to 2009, from 0.36% in 2003-2006, rose to 0.52% in 2008, rose to 0.54% in 2009, then fell to 0.25% in 2010. An estimated 8.604 infants were born with HIV every year. However, if PMTCT program was implemented there will be 8.112 babies averted with HIV and will save around 42 billion rupiah per year. It is concluded that the prevalence of HIV among pregnant women in the community were still low and vary in five-time observations. It is recommended that the government should implement a PMTCT program and integrated it with maternal & child health and family planning program.
Depok: Universitas Indonesia, 2011
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Octaviani Putri
Abstrak :
Tuberkulosis (TB) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi beban utama penyakit menular terutama di negara-negara berpenghasilan rendah. Pada pasien penderita Tuberkulosis dengan adanya infeksi penyerta seperti koinfeksi HIV, diestimasikan akan meningkatkan risiko terjadinya drug-induced liver injury (DILI) akibat OAT sebanyak 4 kali lipat. Dilakukan pemantauan terapi obat ini untuk menganalisis masalah terkait obat (MTO)/ Drug’s Related Problem (DRP) yang terjadi pada pengobatan pasien dan memberikan rekomendasi tindak lanjut menggunakan metode SOAP. Diperoleh hasil bahwa pasien memiliki diagnosis ikterus obstruktif, anemia normositik normokrom, hiponatremia hipoosmolar euvolemik, Dili et causa OAT, HIV on ARV, TB on OAT dan terdapat interaksi obat kategori antara sukralfat dengan dolutegravir yang menyebabkan Sukralfat menurunkan efek dari dolutegravir dengan pengikatan kation dlm saluran GI. Hasil analisis DRP disajikan dalam SOAP sebagai komunikasi tertulis untuk menyampaikan rekomendasi kepada dokter penanggung jawab (DPJP). ...... Tuberculosis (TB) and Human Immunodeficiency Virus (HIV) are the main burden of infectious diseases, especially in low-income countries. In patients suffering from Tuberculosis with accompanying infections such as HIV co-infection, it is estimated that the risk of drug-induced liver injury (DILI) due to OAT will increase by 4 times. This drug therapy monitoring is carried out to analyze drug-related problems (MTO)/Drug-Related Problems (DRP) that occur during patient treatment and provide follow-up recommendations using the SOAP method. The results showed that the patient had a diagnosis of obstructive jaundice, normochromic normocytic anemia, euvolemic hypoosmolar hyponatremia, Dili et causa OAT, HIV on ARV, TB on OAT and there was a major category of drug interaction between sucralfate and dolutegravir which caused Sucralfate to reduce the effect of dolutegravir by binding cations in GI tract. The results of the DRP analysis are presented in SOAP as written communication to convey recommendations to the doctor in charge (DPJP).
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Boy Safriady
Abstrak :
Perilaku resiko tinggi terinfeksi HIV pada narapidana pria terdiri dari perilaku seksual dan perilaku penggunaan jarum tidak steril bergantian. Untuk memperoleh model yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku resiko sangat tinggi terinfeksi HIV, yaitu perilaku seksual, perilaku penggunaan NAZA-IV dan perilaku pembuatan tattoo maka dilakukan penelitian dengan rancangan Cross Sectional dengan metode kuantitatif dan kualitatif pada narapidana dan petugas selama bulan November dan Desember 2002 di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Cipinang. Dari 100 responden narapidana didapatkan 100 % berperilaku seksual resiko tinggi, 55 % berperilaku membuat tattoo dengan jarum tidak steril bergantian, 3 % menggunakan NAZA-IV bergantian. 55 % narapidana berada pada kelompok resiko sangat tinggi terinfeksi HIV, usia 30 tahun atau kurang 71 %, pendidikan SLP atau ke bawah 53 %, belum menikah 61 %, jenis pelanggaran hukum NAZA dan pemerkosaan 67 %, lama menghuni lapas di atas setahun 44 %, usia hubungan seks pertama di bawah atau 20 tahun 71 %, pernah mengalami PMS setahun terakhir 52 %, pengetahuan buruk 64 %. Hasil analisa bivariat, terdapat delapan variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan perilaku resiko sangat tinggi terinfeksi HIV yaitu usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, jenis pelanggaran hukum, lama di dalam lapas, usia hubungan seks pertama, pernah alami PMS setahun terakhir dan pengetahuan responden. Analisis multivariat diantara delapan variabel yang menjadi model, ternyata terdapat lima variabel yang berhubungan secara bermakna, yaitu umur, lama di dalam lapas, jenis pelanggaran hukum, usia hubungan seks pertama, pengetahuan narapidana, tanpa adanya interaksi. Penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku seks yang dilakukan narapidana di lapas adalah homoseks baik secara sukarela ataupun dipaksa, tanpa menggunakan kondom. Seluruh responden merasa tidak senang hidup terpisah dari wanita. Berdasarkan penelitian ternyata NAZA dapat melewati sistem Lapas Cipinang, dan narapidana dapat melanjutkan perilaku IDU di dalam lapas. Perilaku pembuatan tattoo banyak dilakukan oleh narapidana dengan menggunakan jarum dan tinta tidak steril bergantian. Jumlah penghuni overkapasitas. Studi ini memperlihatkan bahwa sistem pemasyarakatan menempatkan narapidana dalam kelompok resiko sangat tinggi terinfeksi HIV, hampir seluruh responden menyadari mereka dapat terinfeksi HIV selama tinggal di lapas. Pengkajian terhadap sumber daya (dana, tenaga, dan sarana) belum maksimal, masih menunggu atau tidak pro aktif. Pengetahuan kepala dan petugas lapas masih kurang tentang infeksi HIV. Sebagai saran untuk mengantisipasi dan mencegah penularan infeksi HIV , jangka pendek : meningkatkan penyuluhan tentang cara penularan dan pencegahan infeksi HIV, pelatihan kepada kepala dan petugas lapas, diusahakan penyediaan kondom di lapas, disediakan ruangan khusus di lapas untuk melakukan hubungan seks narapidana yang memiliki istri yang syah dan berkumpul dengan anaknya, disediakan disinfekstan untuk mensterilkan jarum, perlu dibuat lapas khusus NAZA, dipersiapkan program harm reduction, perlu dianggarkan dana operasional RS lapas, perlu dibuat RS khusus untuk narapidana HIV + di lapas besar seperti di Cipinang, serta UU Republik Indonesia No. 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan perlu direvisi. Jangka panjang ditingkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektoral dalam penanganan narapidana sebagai salah satu sumber daya manusia Indonesia.
The Very High Risk Behavior Infected of Human Immunodeficiency Virus (HIV) on The Male Prisoners at the Cipinang Prison Class 1 In 2002The high risk behavior of HIV infected for man prisoner are consist of sex behavior and user of unsterile hypodermic needle by turns. For getting model to explain factors of high risk behavior of HIV infected, that sex behavior, intravenous drug user behavior and tattoo making behavior, so we do the research by cross sectional structure with quantitative and qualitative method to prisoner and the official in charge for November and December 2002 in the class I prison in Cipinang. From 100 respondents of prisoners get 100 % high risk sex behavior, 55 % tattoo making by unsterile needle by turns, 3 % IDU by turns. Prisoner with very high risk infected HIV 55%, 30 years or less 71%, secondary school or under 53%, single 61%, drug offenses and rapes 67%, having punishment above one year 44%, sex relations under or 20 years 71%, having STD experience one last year 52%, bad experience 64%. Based on the analyze of bi-variances has been founded eight variables of meaningful relationship between very high risk behavior namely with ages, education level, marital status, the kind of offenses, the staying duration in prison, the first sex relations, experiencing STD, the knowledge. The analysis multi-variance among eight variances becoming a model was founded five variables meaningfully related, namely; age, duration of staying in the prison, kind of offense, age of first sexual relations, prisoner's knowledge without having interactions. The research showed that the sex behavior conducted by prisoners in the prison is homosexual either being voluntarily or forced without condom. All respondents did not feel comfortable separated from woman, Based on the research was appeared that drug could pass (across) the Cipinang Prison System, and prisoners could follow the IDU behavior in the prison. The prisoners often make tattoo by using the unsterile injection and ink in turn. Overcapacity inmate. This study shows that Sistem Pemasyarakatan to place the prisoners are in very high risk infected HIV, almost all respondents realize that they may be infected HIV during living in the Prison. The study about resources (funds, power, and facilities) is not maximal yet, it is still waiting not proactive. Headmaster's and official free lance's acknowledge are still minim about HIV infection. In order to anticipate and prevent the HIV infection could be suggested, in the short-term, to provide enough information about the infection and how to prevent HIV infection, it need training for headmaster and official freelances, to prepare condom in the prison, to prepare the special room in the prison for whom have a legal wife and children, to prepare the disinfectant to sterilize the needle, then it is necessary to prepare a special prison for drug, to prepare harm reduction program. Furthermore, it is necessary to plan a budget in operating prison hospital and preparing a special hospital for HIV prisoners + big prison like Cipinang Prison, it is necessary to revise UU Republik Indonesia No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. In the long-term, it is necessary to create a collaboration inter-program and inter-sectors in handling the prisoners as one of human resources. Bibliography: 54 (1978-2003)
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tia Febrianti
Abstrak :
Infeksi Chlamydia trachomatis (CT) genital merupakan penyebab infeksi menular seksual (IMS) terbanyak baik di negara industri, maupun di negara berkembang. Prevalensi infeksi ini bervariasi bergantung pada faktor risiko, kelompok populasi yang diteliti, dan metode pemeriksaan yang digunakan. Penelitian meta-analisis di tahun 2005 melaporkan bahwa prevalensi infeksi CT berkisar antara 3,3% hingga 21,5%.5 Prevalensi infeksi CT pada wanita risiko tinggi meningkat 8 kali lipat dibandingkan dengan wanita risiko rendah. Penelitian tahun 2001 di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mufya Jaya mendapatkan angka kejadian infeksi CT adalah 31,1% dengan metode probe DNA PACE 2® dan 27,8% dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) Chlamydiazime®. Data tahun 2004 hingga 2005 di PSKW Mulya Jaya berdasarkan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear (PMN) tanpa ditemukan penyebab spesifik dengan pewarnaan gram, menunjukkan bahwa insidens infeksi genital nonspesifik sebesar 11,1%. Morbiditas dan komplikasi infeksi CT mempengaruhi kesehatan reproduksi wanita akan menimbulkan masalah ekonomi dan psikososial yang serius. Penyakit ini pada wanita dapat menimbulkan gejala uretritis, servisitis, dan penyakit radang panggul (PRP). Selanjutnya dapat terjadi nyeri panggul kronis, kehamilan ektopik, serta infertilitas. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat Iebih dari 4 juta kasus Baru infeksi CT setiap tahun dan akibatnya 50.000 wanita mengalami infertilitas. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi CT dapat menderita konjungtivitis dan/atau pneumonia. Selain itu, infeksi CT juga meningkatkan risiko terkena infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan menderita kanker serviks. Umumnya infeksi CT bersifat asimtomatik pada 75-85% wanita dan pada 50-90% pria, sehingga penderita tidak mencari pengobatan. Individu terinfeksi CT yang asimtomatik merupakan sumber penuiaran di masyarakat, khususnya wanita penjaja seks (WPS) yang berganti-ganti pasangan seksual. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan uji diagnostik infeksi CT terhadap semua wanita seksual aktif usia <20 tahun; wanita baik usia 20-24 tahun, maupun usia >24 tahun dengan salah satu faktor risiko sebagai berikut: tidak selalu menggunakan kondom, atau mempunyai pasangan seks baru, atau memiliki pasangan seks >1 selama 3 bulan terakhir; serta wanita hamil. Skrining CT pada kelompok wanita risiko tinggi efektif menurunkan insidens infeksi CT dan risiko terjadinya sekuele jangka panjang. Dengan demikian, diperLukan uji diagnostik untuk deteksi infeksi CT yang cepat dan sederhana, sehingga dapat diberikan pengobatan yang tepat serta efektif pada kunjungan pertama guna mencegah transmisi dan komplikasi penyakit lebih lanjut.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58475
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>