Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hera Prasetya
Abstrak :
Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian furosemide per oral dosis tunggal pada penderita pembesaran prostat jinak yang akan dilakukan pemeriksaan uroflowmetri dapat mempengaruhi lama tunggu penderita di klinik dan basil pemeriksaan uroflowmetri. Bahan dan Cara: Penelitian merupakan penelitian prospektif, open label, cross over study terhadap 40 (rerata umur 62.42 ± 7.40 tahun) penderita pembesaran prostat jinak yang memenuhi kriteria penelitian. Penderita dibagi menjadi dua kelompok, 20 penderita menerima furosemide 20 mg pada kunjungan 1 dan tanpa furosemide pada kunjungan 2 (kelompok 1); 20 penderita lainnya tidak diberikan furosemide pada kunjungan 1 dan menerima furosemide 20 mg pada kunjungan 2 (kelompok 2). Lama menunggu penderita di klinik (sejak penderita berkemih sampai memenuhi syarat untuk pemeriksaan) dan basil uroflowmetri yang terdiri dari volume buli, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time, residu urin pasca berkemih dicatat dan dianalisa dengan Student Mast atau Mann-Whitney U-test. Hasil: Karakteristik subyek penelitian pada kedua kelompok yang terdiri dari umur, kadar hemoglobin, serum kreatinine dan nilai PSA tidak berbeda bermakna secara statistik (p>0.05). Terdapat perbedaan yang sangat bermakna (p<0.01) pada lama tunggu penderita di Klinik Urologi; pada kelompok 1 dari 72.55 bertambah menjadi 120.00 menit sedangkan pada kelompok 2 dari 178.05 berkurang menjadi 89.75 menit. Pada pemberian obat, secara keseluruhan terjadi pengurangan lama menunggu yang sangat bermakna (p<0.01), dari 149.02 menit tanpa furosemide menjadi 81.15 menit dengan pemberian furosemide peroral. Pada analisa basil uroflowmetri yang terdiri dari volume bull, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time, residu urin pasca berkemih pada kedua kelompok maupun secara keseluruhan dengan dan tanpa pemberian obat, tidak didapatkan perbedaan yang berrnakna secara statistik (p.0.05). Kesimpulan: Pemberian furosemide peroral dosis tunggal sangat mengurangi lama menunggu untuk pemeriksaan uroflowmetri penderita pembesaran prostat jinak di klinik tanpa mempengaruhi hasil pemeriksaan uroflowmetri yang terdiri dari volume bull, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time dan residu urin pasca berkemih.
Objective: To identify whether a single dose of oral furosemide given to benign prostate hyperplasia patients scheduled for uroflowmetry had an impact on clinic waiting time and flow rate parameters. Materials and Methods: This was a prospective, open label, cross over study conducted among 40 benign prostate hyperplasia patients (mean age 62.42 ± 7.40 years) who fulfilled the inclusion criteria.. They were separate on two groups, where the 1 s1 group receive 20 mg furosemide at the 15` visit but no furosemide at rd visit and the 2"d group without furosemide at the 1S1 visit and receive 20 mg furosemide at god visit. Clinic waiting time and flow rate parameters (bladder volume, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time and post void residual urine-measuring by ultrasound) were captured in a database. Student t-test or Mann-Whitney U-test analysis were carried out to evaluate the characteristic different between the two groups. Results: Patients characteristics (age, hemoglobin content, creatinine and PSA serum) between the two groups were not statistically different (p>0.05). There was significant different on clinic waiting time in both groups; 72.55 versus 120.00 minutes, p<0.01 at 15` group and 178.05 versus 89.75 minutes, p<0.0I at 2nd group. An oral 20 mg of furosemide was significant reduction on clinic waiting time in all patients (81.15 versus 149.02 minutes, p<0.01). From evaluation of flow rate parameters (bladder volume, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time and post void residual urine), there were not statistically different in each group and in all patiens whether with or without receive 20 mg furosemide (p>0.05). Conclusions: The impact of a single dose 20 mg of oral furosemide was significant reduced clinic waiting time without significant changes in flow rate parameters at benign prostate hyperplasia patients who scheduled for uroflowmetry.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam
Abstrak :
ABSTRACT
Latarbelakang. Terapi yang adekuat pada penderita HAK diharapkan dapat mengoptimalkan perkembangan pubertas dan pertumbuhan linear penderita HAK. Saat ini belum ada data mengenai profil pubertas dan pertumbuhan linear penderita HAK di Indonesia yang menjalani terapi.

Tujuan. Mengetahui profil pubertas dan pertumbuhan linear penderita HAK di Indonesia yang menjalani terapi.

Metode.Studideskriptifserial kasusterhadap14 kasus HAK yang memasukimasapubertas di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama bulan November 2012 hingga April 2013. Pada subjek dilakukan pencatatan data, berupa anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium dan radiologibone age.

Hasil penelitian. Hasil penelitian ini merupakanriset pendahuluan (preliminary research) terhadap 14 kasus HAK. Mayoritas penderita HAK di Jakarta yang menjalani terapi adalah perempuan, berusia di atas 8 tahun, HAK tipeSalt-Wasting (SW) dan terdiagnosis< 1 tahun. Tujuh dari 14 subjek mengalami obesitas. Penderita HAK yang menjalani terapi mengalami under treatment ditunjukkan dengan 11/14 subjek memiliki bone age accelerated dengan perhitungan tinggi badan dewasa yang pendek. Tiga belas subjek sudah pubertas dan 10/14 subjek mengalami pubertas prekoks. Dosis glukokortikoid yang diberikan pada subjek HAK masih dalam rentang dosis yang direkomendasikan (median 18,12 mg/m2/hari) dengan median durasiterapi 8,1 tahun. Kontrol metabolik penderita HAK dengan menggunakan parameter 17-OHP bervariasi dengan rentang 0,2-876 nmol/L (rerata 166,9 nmol/L).

Simpulan. Under treatment menyebabkan gangguan tumbuhkembang penderita HAK pada penelitian ini. Under treatment disebabkan karena ketidakteraturan terapi dan pemantauan terapi yang buruk. Edukasi berkala pada pasien HAK diperlukan untuk meningkatkan keteraturan terapi.
ABSTRACT
Background. Adequacy treatment can optimalize the puberty and linear growth in patient with congenital adrenal hyperplasia (CAH). Puberty and linear growth profile of CAH children in Indonesia is unknown.

Objective.To study the profile of puberty and linear growth in Indonesian children with CAH on therapy.

Methods. Descriptive study of 14 cases of CAH at Department of Child Health CiptoMangunkusumo Hospital during November 2012 to April 2013. Study included anamnesis, physical, laboratory, and bone age examination.

Results. This is preliminary research of 14 cases of CAH. Most of CAH subjects were girls, age more than 8 years old, salt wasting type, and diagnosed less than 1 years of age. Seven subjects were obesity. The CAH patients were undertreatment which 11/14 subjects have bone age accelerated and 10/14 subjects were precocious puberty. Dose of glucocorticoid based on recommendation (median dose of glucocorticoid was 18,12 mg/m2/day,duration of therapy was 8,1 years). Metabolic control of 17-OHP parameter showed variable level with range 0,2-876 nmol/L(mean 166,9 nmol/L).

Conclusions. Undertreatment can interfere linear growth and development (precocious puberty and short stature) of CAH patients in this study. Worst compliance and monitoring therapy will lead to undertreatment so that frequent education to CAH patients is needed for longterm treatment.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Juanda
Abstrak :
Disfungsi seksual umumnya lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut dengan Benign Prostatic Hyperplasia BPH . Disfungsi seksual merupakan gangguan yang ditandai dengan perubahan hasrat seksual dan perubahan psiko-fisiologis yang terkait dengan siklus respon fisiologis seksual. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik demografi dengan disfungsi seksual pada pasien BPH. Jenis penelitian deskriftif korelasi menggunakan desain cross-sectional, dengan sampel 83 responden diambil melalui teknik convinience sampling. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner data demografi dan International Index of Erectile Function IIEF. Analisis yang digunakan yaitu Spearman Correlation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara karakteristik demografi usia dan pekerjaan dengan disfungsi seksual pada pasien BPH p= < 0,05 . Tingginya kejadian disfungsi seksual yang terjadi pada pasien BPH dapat dipengaruhi oleh bertambah usia. ...... Sexual dysfunction commonly affects older men with benign prostatic hyperplasia BPH . Sexual dysfunction is characterized by alteration in sexual desire and psycho physiological aspect associated with cycle of physiological sexual response. This study aimed to identify relationship between demographic characteristics and sexual dysfunction in patient with BPH. The study design was descriptive correlational with cross sectional approach. Total of 83 respondents were selected by convinience sampling method. This study employed demographic questionnaire and International Index of Erectile Function IIEF . The data were analyzed by Spearman correlation. The result suggested that there was a significant correlation between demographic characteristics age and occupation and sexual dysfunction in patients with BPH.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S69822
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Safendra
Abstrak :
OBJECTIVE: To determine if Intravesical prostatic protrusion (IPP), total prostate volume, transition zone volume and transition zone index is correlated with the severity of clinical benign prostatic hyperplasia. PATIENTS AND METHODS: From January to May 2005, 56 patients with symptom of BPH were enrolled in this study. All patients were requested to undergo urofiowmetry, postvoid residual urine measurement and international Prostate Symptom Score (IPSS). TRUS was used to calculate the total prostate volume, transition zone (ZT) volume and the transition zone index (TZ index = TZ volume/total prostate volume). And IPP was measured by transabdominal ultrasonography. RESULT: There were a significant correlation between IPSS and post void residual with total prostate volume, transition zone, transition zone index and intravesical prostatic protrusion. Only transition zone and transition zone index were significant correlation with Q max. Strongest correlation in IPSS and postvoid residual was transition zone (ZT) volume (r = 0.480 and r = 0.621 ) in Q max was transition zone index (r = 0.508). CONCLUSION : From this study there were correlation between intravesical prostatic protrusion, prostate volume, transition zone volume and transition zone index however the correlation is weak.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matondang, Faisal Abdi
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan dan mengevaluasi manajemen gejala saluran kemih bawah LUTS laki-laki sugestif dari benign prostatic hyperplasia BPH oleh dokter umum di Jakarta. Penelitian cross-sectional observasional ini dilakukan pada periode Januari 2013 hingga Agustus 2013 di Jakarta. Peneliti mengembangkan kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan yang menjelaskan manajemen LUTS laki-laki sugestif BPH oleh dokter dalam praktek sehari-hari pada bulan sebelumnya. Peneliti mengumpulkan kuesioner dari 200 dokter yang berpartisipasi dalam 4 simposium urologi yang diadakan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebagian besar dokter berusia antara 25 dan 35 tahun 71,5 dan telah bekerja selama lebih dari 1 tahun 87,5 . Satu sampai lima kasus LUTS pada pria sugestif BPH diobati oleh 81 dokter setiap bulannya. Saat diagnosis, gejala yang paling umum ditemukan adalah retensi urin 55,5 , frekuensi 48 , dan nokturia 45 . Pemeriksaan diagnostik yang lazim termasuk pemeriksaan colok dubur 65 , sistem skoring 44 , pengukuran tingkat antigen spesifik prostat PSA 23,5 , dan penilaian fungsi ginjal 20 . Kebanyakan dokter merujuk pasien pria dengan LUTS sugestif dari BPH ke dokter spesialis urologi 59,5 dan 46,5 dokter umum meresepkan obat-obatan sebagai terapi awal. Antagonis antagonis alfa-adrenergik 71,5 adalah obat yang paling umum diresepkan. Terapi kombinasi dengan antagonis -adrenergik dan inhibitor 5a-reduktase tidak rutin diresepkan 13 . Tiga puluh delapan persen dari dokter umum merujuk pasien ketika retensi urin berulang dan 33 ketika terjadi komplikasi. Penelitian ini memberikan bukti bahwa manajemen LUTS pada laki-laki sugestif BPH oleh dokter umum di Jakarta menyarankan sisitem rujukan sebagian untuk pedoman yang tersedia dalam hal metode diagnostik dan terapi awal. Namun, beberapa aspek dari pedoman, seperti pengukuran tingkat PSA, penilaian fungsi ginjal, urinalisis, pemeriksaan ultrasound, dan peresepan terapi kombinasi, masih jarang dilakukan.
This study was performed to describe and evaluate the management of male lower urinary tract symptoms LUTS suggestive of benign prostatic hyperplasia BPH by general practitioners GPs in Jakarta. This observational cross sectional study was performed between January 2013 and August 2013 in Jakarta. We developed a questionnaire consisting of 10 questions describing the management of male LUTS suggestive of BPH by GPs in their daily practice in the previous month. We collected questionnaires from 200 GPs participating in 4 urology symposiums held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Most GPs were aged between 25 and 35 years 71.5 and had worked for more than 1 year 87.5 . One to 5 cases of male LUTS suggestive of BPH were treated by 81 of GPs each month. At diagnosis, the most common symptoms found were urinary retention 55.5 , frequency 48 , and nocturia 45 . The usual diagnostic workup included digital rectal examination 65 , scoring system 44 , measurement of prostate specific antigen PSA level 23.5 , and renal function assessment 20 . Most GPs referred their male patients with LUTS suggestive of BPH to a urologist 59.5 and 46.5 of GPs prescribed drugs as an initial therapy. Alpha adrenergic antagonist monotherapy 71.5 was the most common drug prescribed. Combination therapy with adrenergic antagonists and 5 reductase inhibitors was not routinely prescribed 13 . Thirty eight percent of GPs referred their patients when recurrent urinary retention was present and 33 when complications were present. Our study provides evidence that the management of male LUTS suggestive of BPH by GPs in Jakarta suggests referral in part to available guidelines in terms of diagnostic methods and initial therapy. However, several aspects of the guidelines, such as PSA level measurement, renal function assessment, urinalysis, ultrasound examination, and prescription of combination therapies, are still infrequently performed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyandra Parikesit
Abstrak :
Penelitian ini dibuat untuk mengevaluasi hubungan antara LUTS/BPH dan sindrom metabolik pada pria Indonesia. Dua ratus dua puluh tujuh pasien dengan BPH diinklusi dalam penelitian ini. Pengukuran indeks masa tubuh, lingkar perut, volume prostat, dan international prostate symptom score (IPSS) dilakukan pada semua pasien. Berbagai pemeriksaan laboratorium seperti prostate specific antigen, gula darah puasa, trigliserida, lipoprotein densitas tinggi telah diuji. Diagnosa sindrom metabolik disesuaikan dengan kriteria dari The National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III). IPSS disubkategorikan menjadi nilai keluhan obstruktif dan iritatif dan sindrom metabolik di kelompokkan sesuai dengan jumlah komponen kriteria (kurang dari 3, 3, 4, dan 5). Uji korelasi Spearman digunakan untuk menganalisa hubungan antara seluruh data kontinyu. Nilai rerata antara kelompok faktor resiko dianalisa menggunakan One-way ANOVA untuk data dengan nilai distribusi normal dan Kruskall Wallis untuk data dengan nilai distribusi tidak normal. Pada penelitian ini didapatkan sindrom metabolik pada 87 pasien (38.3 %). Pasien dengan sindrom metabolik memiliki nilai indeks masa tubuh, lingkar perut, tekanan darah sistolik, trigliserida, gula darah puasa, gejala iritatif, dan total IPSS lebih tinggi, dan lipoprotein densitas tinggi lebih rendah secara signifikan. Pasien dengan obesitas sentral memiliki resiko mengalami gejala LUTS/BPH sedang-berat lebih tinggi secara signifikan (RR 1.16, 95% CI: 1.01-1.4, p = <0.05) dan resiko memiliki nilai PSA yang tinggi (PSA ³ 20) (RR 0.41, CI 95%: 0. 23 -0.74, P = <0.001). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sindrom metabolik memiliki dampak yang terbatas terhadap gejala LUTS/BPH pada pria Indonesia. Hubungan dan peningkatan resiko gejala LUTS/BPH hanya terlihat pada pasien dengan obesitas sentral. ......This paper was made to evaluate the association between LUTS/BPH and MetS in Indonesian men. A total of 227 patients with histologic proven BPH were included in this study. Body mass index (BMI), waist circumference (WC), prostate volume, and international prostate symptom score (IPSS) were measured. Prostate specific antigen (PSA), fasting blood glucose (FBG), triglyceride (TG), high density lipoprotein (HDL) were tested. MetS were diagnosed using The National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III). IPSS was subcategorized as irritative and obstructive scores and patients were classified into 4 groups according to the number of exhibited MetS components (less than 3, 3, 4, and 5). Spearman s correlation were used to analyses the association between all continuous variable. Mean difference between risk factor groups were analysed using One-way ANOVA for normally distributed variables and Kruskall Wallis for abnormally distributed variables. In this paper, MetS was diagnosed in 87 patients (38,3%). Patients with MetS have significantly higher BMI, WC, systolic blood pressure, triglyceride, fasting blood glucose, IPSS irritative score, total IPSS score, and lower HDL cholesterol. Patients with central obesity have significantly higher risk of having moderate-severe LUTS (RR 1.16, 95% CI: 1.01 -1.4, p = <0.05) and decreased risk in developing higher PSA level (PSA ³ 20) (RR 0.41, CI 95%: 0. 23-0.74, P = <0.001). From this paper we could conclude that MetS has limited impact towards LUTS/BPH in Indonesian men. Association and increase risk of LUTS/BPH were only seen in patients with central obesity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
ST Cahyo Ariwicaksono
Abstrak :
Pendahuluan dan tujuan: Skor IPSS (International Prostate Symptom Score) direkomendasikan sebagai instrumen skoring yang ideal untuk digunakan sebagai pendeteksi terhadap derajat keparahan gejala pada pasien dengan LUTS, respon terapi, dan perbaikan gejala. Terapi medikamentosa umumnya diberikan pada pasien dengan gejala LUTS sedang dan berat, dengan menggunakan α-1 adrenoceptor antagonist (blocker). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan skor IPSS dan QoL pada pasien Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) yang menerima terapi Silodosin atau Tamsulosin dalam waktu 12 minggu. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis buta ganda. Subjek penelitian adalah pasien laki-laki berumur 50 tahun atau lebih yang didiagnosis BPH dengan Skor IPSS ≥8 di RSPAD Gatot Soebroto. Pasien mendapatkan terapi Silodosin atau Tamsulosin lalu di follow up perubahan nilai IPSS dan QOL (Quality of Life) dalam 12 minggu. Hasil: Penelitian ini melibatkan 50 subjek, dengan rata-rata IPSS 16.74 dan QoL 3.64 pada awal penelitian. Kami menemukan penurunan rata-rata IPSS menjadi 10,5 dan ratarata QOL menjadi 2,56 dalam 12 minggu setelah subjek menerima Silodosin atau Tamsulosin. Namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara subjek yang menerima Silodosin atau Tamsulosin (p>0,05). Kesimpulan: Terdapat penurunan signifikan skor IPSS dan QoL dalam waktu 12 minggu pengamatan. Hasil ini sesuai dengan tinjauan pustaka, yaitu alpha blocker baik untuk menurunkan skor IPSS pada pasien BPH. Namun tidak ditemukan perbedaan antara pasien yang menerima Silodosin atau Tamsulosin. ......Introduction and objectives: IPSS score (International Prostate Symptom Score) is recommended as an ideal scoring instrument to be used as a detector of symptom severity in patients with LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms), therapeutic response, and symptom improvement. Medical therapy is generally given in patients with moderate and severe LUTS symptoms, using α-1 adrenoceptor antagonists (blockers). We aimed to determine whether there is difference between IPSS & QoL in patience with BPH who received either Silodosin or Tamsulosin within 12 weeks. Methods: This study was a double blind clinical trial. Subjects were male patient age 50 or more diagnosed with BPH with IPSS Score ≥8 at Indonesian Army Hospital RSPAD Gatot Soebroto. Patient Received whether Silodosin or Tamsulosin and we followed up the change in IPSS and QOL (Quality of Life) to 12 weeks. Results: This study included 50 patients, with mean IPSS 16.74 and QOL 3.64 at the beginning of the study. We Found decreasing the IPSS mean 10.5 and QoL mean 2.56 in the 12 weeks after they received whether Silodosin or Tamsulosin. However, there are statistically not significant difference whether they received Silodosin or Tamsulosin (P>0.05) Conclusion: There are significant decrease IPSS score and QoL within 12 weeks observation. As literature review that alpha blocker are good for patience with BPH decrease IPSS. But there are no differences between patience received Silodosin and Tamsulosin.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avicenna Akbar
Abstrak :
Kanker kolorektal merupakan kanker dengan angka insidensi tertinggi ketiga di Indonesia. Kemoterapi, radioterapi, maupun operasi konvensional adalah terapi standar untuk kanker kolorektal. Sayangnya, banyak efek samping yang dilaporkan setelah diberikan terapu-terapi tersebut. Penelitian sebelum ini menemukan bahwa lunasin, suatu zat alami yang berasal dari kacang kedelai memiliki efek anti kanker. Namun, efek specifik lunasin dalam menghambat pertumbuhan jaringan kanker pada rektum masih tidak diketahui. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi lunasin dalam menghambat perkembangan histopatologi dari kanker kolorektal pada rektum tikus. 24 mencit diinjeksi dengan Azoxymethane AOM dan Dextran Sodium Sulphate DSS sebagai penginduksi kanker. Lunasin didapat dari ekstraksi kacang kedelai. Sampel mencit dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan, kelompok lunasin dosis rendah 20mg/kg , dosis sedang 30mg/kg , dan kelompok dosis tinggi 40mg/kg . Spesimen rektum diambil setelah menerima perlakuan lunasin. Tanda-tanda inflamasi, hiperplasia, dan angiogenesis diamati menggunakan mikroskop. Lunasin terbukti dapat secara signifikan mengurangi inflamasi dan hiperplasia meski hanya menggunakan dosis rendah p ......Colorectal cancer is a cancer with the third highest incidence rate in Indonesia. Chemotherapy, radiotherapy, and surgery are the standard treatment of colorectal cancer. Unfortunately, various side effect has been reported following those treatment. Lunasin is a natural substance in soy that have been reported to have anti cancer effect. However, the effect of lunasin to inhibit the progression of colorectal cancer in rectum is still unknown. The aim of this study is to determine the inhibitory potential of lunasin against the progression of colorectal cancer in rectum of mice. 24 mice were injected with Azoxymethane AOM and Dextran Sodium Sulphate DSS intraperitoneally as cancer inducer. Lunasin was obtained from the extraction of soybean. The samples were divided into control group, low dose lunasin 20mg kg, medium dose lunasin 30mg kg, and high dose lunasin 40mg kg. The rectum specimen was taken following the lunasin treatments. Inflammation, hyperplasia, and angiogenesis in rectum specimens that represented histopathological signs were observed microscopically. The number of inflammation and hyperplasia were significantly reduced after low dose of lunasin p
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Wijaya
Abstrak :
Latar Belakang: Apendisitis masih merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia dengan insidensi yang cukup tinggi. Salah satu parameter yang dapat dinilai dari apendisitis adalah reaktivitas dari folikel limfoid. Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara reaktivitas folikel limfoid dengan tipe radang apendiks pada pasien yang didiagnosis apendisitis secara histopatologis di RSUPNCM antara tahun 2005 hingga 2007. Metode: Penelitian dilakukan pada 50 sediaan apendisitis akut dan 50 sediaan apendisitis kronik yang dipilih secara acak. Penelitian dilakukan dengan metode analitik desain potong lintang yaitu dengan memperoleh data sekunder dari departemen Patologi Anatomi FKUI-RSUPNCM, mengamati sediaan dengan mikroskop, serta menganalisis data yang diperoleh dengan uji statistik. Hasil: Pada apendisitis akut, ditemukan hiperplasia folikel limfoid sebanyak 32%, sedangkan pada apendisitis kronik ditemukan hiperplasia folikel limfoid sebanyak 42%. Kesimpulan: Berdasarkan uji non-parametrik Chi square, didapatkan kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara hiperplasia folikel limfoid pada apendisitis akut maupun kronik pada pasien yang didiagnosis apendisitis secara histopatologis di RSUPNCM tahun 2005 hingga 2007. ......Background: Appendicitis is still causing health problem in Indonesia with high incidency. One of the parameter that can be studied in appendicitis is lymphoid follicle hyperplasia. Objective of this study is to know whether there is relationship between lymphoid follicle reactivity and type of inflammation in patients who are diagnosed histopathologically suffering appendicitis in Cipto Mangunkusumo National General Hospital in 2005-2007. Method: This study evaluated 50 speciments of acuteappendicitis and 50 speciments of chronic appendicitis selected by random sampling. This study is a cross sectional analitic study done by analizing secondary data and observing preparates of appendix. Result: In this study, 32% of acute appendicitis have lymphoid follicle hyperplasia, and 42% of chronic appendicitis have lymphoid follicle hyperplasia. Conclusion: Based on Chi square non-parametric test, it is concluded that there are no significant difference of lymphoid follicle hyperplasia between acute and chronic appendicitis in patients who are diagnosed histopathologically suffering appendicitis in Cipto Mangunkusumo National General Hospital in 2005-2007.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Sabbrian
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan dari praktik kerja profesi apoteker di Apotek Kimia Farma No. 389 Depok Jawa Barat Periode Bulan Juli Tahun 2017 adalah untuk memahami tugas, tanggung jawab dan pelayanan kefarmasian serta menambah wawasan, keterampilan dan pengalaman praktis sebagai apoteker di apotek. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk memberikan gambaran nyata tentang permasalahan kefarmasian di apotek. Tugas khusus yang dilakukan berjudul Analisis Resep Benign Prostatic Hyperplasia di Apotek Kimia Farma No. 389 Depok. Tugas ini bertujuan untuk mengkaji resep dan obat yang dilayani di apotek Kimia Farma nomor 389. Dari kegiatan praktik ini, penulis telah mengetahui tugas, tanggung jawab, wawasan dan pengalaman praktis serta solusi dari permasalahan praktik pelayanan kefarmasian di apotek
ABSTRACT
The purpose of Internship at Kimia Farma No. 389 Pharmacy Depok West Java Period July 2017 was to understand the duties responsibilities and pharmacy care and to add insight, skills and practical experience as a pharmacist in pharmacies. In addition, this activity also aimed to provide a real picture of pharmaceutical problems in pharmacies. The special assignment was entitled Analysis of Benign Prostatic Hyperplasia Prescription at Kimia Farma No. 389 Pharmacy Depok. This assignment aimed to examine prescriptions and medicines served at Kimia Farma No. 389 Pharmacy. From this practical activity, the author has known the tasks, responsibilities, insights and practical experience and solutions of the pharmacy care practice problems in the pharmacy
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>