Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bradley, Dinah
London: Kyle Cathie Limited, 1991
R 616.20 BRA h
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Yogaswara
"Latar belakang: Untuk menentukan sindrom epilepsi selain anamnesis juga diperlukan adanya bukti gelombang elektroensefalografi (EEG) yang spesifik. Salah satu cara dengan melakukan teknik hiperventilasi (HV) untuk membangkitkan abnormalitas gelombang EEG. Stimulasi hiperventilasi dapat menimbulkan bangkitan umum dan parsial. Dengan mengetahui hal tersebut dapat menentukan terapi dan prognosis pasien epilepsi.
Tujuan: Mengetahui waktu terjadinya gelombang epileptiform tertinggi selama durasi HV 5 menit pada pemeriksaan EEG untuk meningkatkan manfaat pemeriksaan penunjang yang mendukung kearah diagnosis epilepsi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif secara historis menggunakan teknik hiperventilasi selama 5 menit saat pemeriksaan EEG untuk mencari aktivitas epileptiform pada EEG pasien epilepsi dan atau dengan bangkitan epileptik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Hasil: Dari 70 subyek penelitian didapatkan paling banyak tipe bangkitan parsial dengan sindrom epilepsi lobus temporal sebagai jenis sindrom terbanyak. Pada menit ke-2 stimulasi hiperventilasi terjadi aktivitas epileptiform paling banyak sedangkan pada menit ke-1 dan ke-5 terdapat aktivitas epileptiform paling sedikit. Terdapat hubungan yang bermakna antara bangkitan terkontrol obat dengan aktivitas epileptiform dan atau dengan bangkitan epileptik (p=0.043). Pada subyek yang tidak terkontrol obat mempunyai resiko mengalami aktivitas epileptiform 0.22 kali lebih besar dibandingkan dengan yang terkontrol obat. Sedangkan faktor lainnya seperti jenis sindrom, tipe, onset dan frekuensi bangkitan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0.119; p=0.392; p=0.636; p=1.000).
Simpulan: Penelitian saat ini menunjukkan aktivitas epileptiform paling banyak terdapat pada menit ke-2 stimulasi hiperventilasi. Terdapat kecenderungan pasien epilepsi yang tidak terkontrol obat mempunyai resiko mengalami aktivitas epileptiform 0.22 kali lebih besar dibandingkan dengan yang terkontrol obat pada pemeriksaan hiperventilasi selama 5 menit.

Background: Diagnosis of epilepsy syndrome beside clinical judgement is also required specific wave evidence from electroencephalography (EEG). One of the method is to perform the hyperventilation techniques (HV) which can generate wave EEG abnormalities. Stimulation of hyperventilation can cause general and partial seizures. By knowing these things, we can determine further treatment and prognosis of the epilepsy patients.
Objective: To determine the highest timing of the wave emergence during 5 minutes hyperventilation in the EEG to improve the benefits of supporting the investigation towards the diagnosis of epilepsy.
Methods: The study was conducted using a historical prospective study design. All samples were collected in Cipto Mangunkusumo Hospital and undergo EEG with 5 minutes hyperventilation technique to look for epileptiform activity.
Results: From 70 subjects obtained, most of it are partial seizures with temporal lobe epilepsy syndrome as the most syndrome types. In the 2nd minute of hyperventilation stimulation occurs epileptiform activity most widely while at minute 1 and 5 are less epileptiform activity. There is a significant relationship between controlled drug patients with epileptiform activity and or with epileptic seizures (p = 0.043). In subjects who are at risk of uncontrolled drug had epileptiform activity 0.22 times larger than the controlled drug. While other factors such as the type of syndrome, type, onset and frequency of seizure showed no significant difference (p = 0.119, p = 0.392, p = 0636, p = 1.000).
Conclusions: The present study showed epileptiform activity are most common in the 2nd minute stimulation hyperventilation. There is a tendency of uncontrolled epilepsy patients who are at risk of experiencing epileptiform activity 0.22 times greater than the drug controlled patients during 5 minutes hyperventilation techniques.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anky Tri Rini Kusumaning Edhy
"BAB I PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan manifestasi klinis berat penyakit arbovirus. Penelitian tentang manifestasi klinis DBD telah banyak dan dibahas secara luas oleh Sumarmo (1983), tetapi tidak banyak diungkapkan keadaan sistem pernafasan pada DBD. Pengamatannya terhadap analisis gas darah telah sampai pada kesimpulan yang serupa dengan penelitian Pongpanich dan Kumponpant (1973), yaitu hasil analisis gas darah menunjukkan gambaran asidosis metabolik ringan dan alkalosis respiratorik kompensasi. Kompensasi ini berhubungan dengan asidosis metabolik akibat renjatan, seperti dilaporkan Varavithya dkk. (1973).
Dalam penelitian mereka pada pasien 'Dengue Shock Syndrome' didapatkan asidosis metabolik ringan dan alkalosis respiratorik, tetapi tidak dibedakan derajatnya. Selain itu Miller dkk.(1967) menduga pula bahwa alkalosis respiratorik ads kaitannya dengan peningkatan ventilasi karena kenaikan suhu tubuh seperti yang terjadi pada malaria, karena rangsangan demam terhadap pusat pernafasan. Faktor eksitasi serta rasa ketakutan juga diduga menjadi penyebab.
Bhamarapravati dkk. ( 1967 ) mengemukakan bahwa pada 100 autopsi pasien DBD ditemukan edema dan perdarahan paru di samping terdapatnya cairan di dalam rongga pleura, perikardium, dan peritoneum. Tamaela dan Karjomanggolo (1982) melaporkan bahwa secara radiologis edema paru dan efusi pleura bahkan telah terlihat sejak awal penyakit ini dan dapat digunakan sebagai pembantu diagnosis dalam keadaan yang meragukan.
Pada DBD terjadi gangguan pernafasan akibat kebocoran plasma melalui kapiler paru yang cedera dengan akibat lebih lanjut terjadi edema paru serta efusi pleura (Pongpanich dan Kumponpant, 1973; Rohde, 1978; WHO, 1986). Kasim (1982) mendapatkan kesan bahwa edema paru akan mengakibatkan gangguan pertukaran gas di aloveoli dan selanjutnya terjadi hipoksemia yang dikompensasi dengan hiperventilasi. Hipoksemia dapat diikuti dengan hipoksia jaringan disertai laktoasidosis yang akan menambah keadaan hiperventilasi, dan pada analisis gas darah tampak seperti gambaran alkalosis respiratorik yang dapat disertai peningkatan pH.
Hiperventilasi adalah bertambahnya ventilasi alveolar karena berbagai sebab yaitu : hipoksemia, asidosis metabolik dan faktor central yang mengakibatkan tekanan parsial CO2 ( PaCO2 ) kurang dari 30 mmHg (Shapiro dkk., 1978).
Edema paru pada DBD terjadi sebagai akibat ekstravasasi cairan dan plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler. Edema ini pada stadium permulaan berupa edema interstisial yang akan menghambat difusi gas di paru. Hambatan difusi oksigen terjadi lebih dahulu oleh karena koefisien difusi oksigen adalah 1/20 koefisien difusi CO2. Hal tersebut akan mengakibatkan penurunan PaO2 atau keadaan hipoksemia yang akan merangsang pusat pernafasan dan terjadi hiperventilasi. Hipoksemia mengakibatkan berbagai derajat hipoksia jaringan dan diikuti peningkatan metabolisme anaerob dan pembentukan asam laktat serta asidosis metabolik yang dapat menambah hiperventilasi"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T1611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Yogialamsa
"LATAR BELAKANG : Awak pesawat khususnya penerbang tempur yang bekerja pada kondisi hipobarik akan mudah terpajan hipoksia jika tidak menggunakan perlengkapan Positive Pressure Breathing diatas ketinggian 39.500 kaki dan bila mengalami kondisi emergensi berupa loss of cabin pressurization. Selama melakukan manuver Positive Pressure Breathing akan membutuhkan kekuatan otot-otot ekspirasi, karena kerja otot ekspirasi menjadi aktif. Tingkat kesamaptaan jasmani yang baik diyakini dapat meningkatkan kemampuan latihan Positive Pressure Breathing.
HIPOTESIS : Penelitian ini bertujuan membuktikan kebenaran hipotesis bahwa terdapat hubungan antara tingkat kesamaptaan jasmani A dan tingkat kesamaptaan jasmani B dengan durasi kemampuan latihan Positive Pressure Breathing.
METODE : Pada simulasi latihan Positive Pressure Breathing subyek dipajankan terhadap tekanan 25 mmHg dan diinstuksikan untuk bernafas melawan tekanan tersebut sampai timbul kelelahan, tidak dapat berkomunikasi dan hiperventilasi. Kemampuan subyek pada latihan Positive Pressure Breathing dinilai dengan lamanya durasi bertahan. Tingkat kesamaptaan jasmani subyek dinilai dengan prosedur tes kesamaptaan jasmani yang diberlakukan di TNI AU.
HASIL : Rata-rata tingkat kesamaptan jasmani 67,6 ± 5,6. Rata-rata durasi kemampuan latihan Positive Pressure Breathing 6,77 ± 1,49 detik. Pada analisis multivariate ditemukan adanya hubungan yang sedang antara tingkat kesamaptaan jasmani A (r = 0,285 ; p = 0,05) dan tingkat kesamaptan jasmani B (r = 0,292 ; p = 0,05) dengan durasi kemampuan latihan Positive Pressure Breathing. Repetisi gerakan sit up dalam tes kesamaptaan B memiliki hubungan yang kuat (r = 0,549 ; p = 0,000) dengan durasi kemampuan latihan Positive Pressure Breathing dan repetisi gerakan pull up dalam tes kesamaptaan B memiliki hubungan yang sedang (r = 0,347 ; p = 0,003) dengan durasi kemampuan latihan Positive Pressure Breathing.
KESIMPULAN : Tingkat kesamaptaan jasmani A dan B dapat digunakan untuk memprediksi durasi kemampuan latihan Positive Pressure Breathing pada awak pesawat dan penerbang tempur. Latihan untuk menguatkan otot perut kemungkinan akan dapat mengurangi kelelahan yang terjadi saat melakukan manuver Positive Pressure Breathing.

BACKGROUND : Air Crew especially fighter pilots who work in a hypobaric condition shall tend to exposed by hypoxia when flying above 39,000 ft and in an emergency condition such as loss of cabin pressurization if they don't use a Positive Pressure Breathing equipment. During Positive Pressure Breathing maneuver they shall require expiratory muscles strength that become active during this maneuver. Good fitness levels are believed to be able to increase endurance ability on Positive Pressure Breathing training.
HYPOTHESIS : This study aims to define correlation between fitness levels and durations of endurance ability on Positive Pressure Breathing Training.
METHODS : Subjects who underwent to Simulation of Positive Pressure Breathing Training were exposed to 25 mmHg and instructed to resist that they suffered until volitional fatigue, difficulty to communication and hyperventilation. They endurance ability on Positive Pressure Breathing Training was evaluated by measuring the exposure durations. Fitness levels were determined by using a standardized test protocol of Indonesian Air Force.
RESULTS : The mean value of fitness levels 67,6 ± 5,6 . The mean value of duration of endurance ability on Positive Pressure Breathing Training 6,77 ± 1,49 second. With multivariate analysis statistically aerobic fitness level had moderate positive correlation (r = 0,285 ; p = 0,05) and statistically muscle fitness level had moderate positive correlation too (r = 0,292 ; p = 0,05). Sit up item had a strong correlation (r = 0,549 ; p = 0,000) with ability on Positive Pressure Breathing Training durations. Pull up item had a moderate correlation (r = 0,347 ; p = 0,003) with ability on Positive Pressure Breathing Training durations.
CONCLUSION : The result indicate that the aerobic and muscle fitness level both can be used to predict duration of endurance ability on Positive Pressure Breathing performed by air crew and Indonesian Air Force fighter pilots. Training to strengthen abdominal muscle may reduce fatique while performing Positive Pressure Breathing maneuver.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T12363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifatul Muizzati
"Asma adalah penyakit peradangan kronis pada bronkus yang menyebabkan sindrom hiperventilasi dan pola napas tidak efektif. Pelaporan studi kasus ini bertujuan untuk menganalisis asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan asma bronkial, dengan penerapan Buteyko Breathing Technique (BBT) untuk memperbaiki pola napas tidak efektif. Metode studi kasus digunakan dalam penulisan ini, di mana seorang pasien dengan asma bronkial dirawat dan diberikan intervensi BBT selama 4 hari di rumah sakit dan 1 minggu di rumah. Pasien dilakukan pemantauan pola napas, pengukuran control pause & maximum pause, tingkat kekontrolan asma dengan Asthma Control Questionnaire (ACQ), gejala sindrom hiperventilasi dengan Nijmegen Questionnaire (NQ), serta pemantauan penggunaan obat asma. Hasil analisis didapatkan bahwa intervensi ini efektif memperbaiki pola napas pasien, meningkatkan control pause & maximun pause, meningkatkan kekontrolan asma, menurunkan gejala sindrom hiperventilasi. Studi kasus ini menunjukkan bahwa BBT efektif dalam perbaikan pola napas, perbaikan skor kontrol asma & gejala sindrom hiperventilasi sehingga dapat menjadi pertimbangan sebagai intervensi non-farmakologis dalam manajemen asma.

Asthma is a chronic inflammatory disease of the bronchi that causes hyperventilation syndrome and ineffective breathing patterns. This case study report aims to analyze the nursing care given to a patient with bronchial asthma, with the application of Buteyko Breathing Technique (BBT) to improve ineffective breathing patterns. The case study method was used in this writing, where a patient with bronchial asthma was admitted and given BBT intervention for 4 days in the hospital and 1 week at home. The patient was monitored for breath pattern, measurement of control pause & maximum pause, level of asthma control with Asthma Control Questionnaire (ACQ), symptoms of hyperventilation syndrome with Nijmegen Questionnaire (NQ), and monitoring of asthma medication use. The results of the analysis showed that this intervention was effective in improving the patient's breathing pattern, increasing pause & maximun pause control, increasing asthma control, reducing symptoms of hyperventilation syndrome. This case study shows that BBT is effective in improving breathing patterns, improving asthma control scores & hyperventilation syndrome symptoms so that it can be considered as a non-pharmacological intervention in asthma management.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library