Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Istiqomah
"Ikterus neonatorum merupakan kondisi pada neonatus karena peningkatan bilirubin dalam darah. Ikterus neonatus mempunyai tanda diantaranya kulit dan sklera yang kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi. Salah satu terapi hyperbilirubinemia adalah fototerapi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan durasi fototerapi dengan nilai bilirubin total akhir pada pasien ikterik neonatorum di RS Polri DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan total 103 data yang mengalami ikterus neonatorum sebagai responden. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar bilirubin awal 14, 81 mg/dL, kadar bilirubin setelah fototerapi selama 24 jam menghasilkan penurunan sebesar 2,60 mg/dL dan fototerapi selama 48 jam menghasilkan rata-rata penurunan bilirubin sebesar 3,69 mg/dL. Terdapat hubungan durasi fototerapi dengan nilai bilirubin total pada 24 jam dan 48 jam pasca fototerapi (p Value <0,005). Rekomendasi penelitian ini adalah perlu dilakukannya eksplorasi factor-faktor yang berhubungan dengan efektivitas fototerapi.

Neonatal jaundice is a condition in neonates due to increased bilirubin in the blood. Neonatal jaundice has signs including yellow skin and sclera due to unconjugated bilirubin. One of the therapies for hyperbilirubinemia is phototherapy. The purpose of the study was to determine the relationship between the duration of phototherapy and the final total bilirubin value in neonatal jaundice patients at DKI Jakarta Police Hospital. This study used a cross sectional design with a total of 103 data who experienced neonatal jaundice as respondents. The results showed an average initial bilirubin level of 14, 81 mg/dL, bilirubin levels after phototherapy for 24 hours resulted in a decrease of 2.60 mg/dL and phototherapy for 48 hours resulted in an average decrease in bilirubin of 3.69 mg/dL. There is a relationship between the duration of phototherapies with total bilirubin values at 24 hours and 48 hours after phototherapy (p value <0.005). The recommendation of this study is the need to explore the factors associated with the effectiveness of phototherapy."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Yuniar
"Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD) adalah kelainan metabolisme bawaan pada sel darah merah akibat defisiensi enzim yang paling sering ditemui. Defisiensi enzim ini diperkirakan mengenai kurang Iebih 400 juta orang di dunia dengan prevalensi tertinggi terdapat di daerah tropis Afrika, Timur Tengah, daerah tropis dan subtropis Asia, beberapa daerah di Mediteranea dan Papua Nugini. Insiden defisiensi G-6-PD berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tertinggi pada bangsa Yahudi yaitu 70%, diikuti daerah Afrika 26%, China 1,9-16% dan Italia 0-7%.2.
Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada defisiensi enzim G-6-PD berupa anemia hemolitik akut dan ikterus yang menetap pada neonatus. Terdapatnya anemia ringan, morfologi sel darah merah yang abnormal dan peningkatan kadar retikulosit sangat mungkin disebabkan oleh proses hemolitik yang dapat terjadi balk pada bayi prematur atau cukup bulan dengan defisiensi enzim G-6-PD. Antara bulan September 1975 sampai dengan bulan Oktober 1976, Suradi telah memeriksa adanya defisiensi enzim G-6-PD, menggunakan uji tapis dengan metode Bernstein pada 3200 neonatus yang lahir di RSCM. Pada penelitian ini didapatkan 85 neonatus (2,66%) menderita defisiensi enzim tersebut dan 35 neonatus diantaranya menjadi ikterus. Pada beberapa kasus, ikterus neonatorum dapat sangat berat sehingga menyebabkan kerusakan otak permanent bahkan sampai meninggal. Munculnya manifestasi klinik pada anemia hemolitik dapat dicetuskan oleh obat-obatan, infeksi atau favism.
Ikterus neonatorum yang disebabkan oleh defisiensi G-6-PD mempunyai banyak variasi pada berbagai populasi baik mengenai frekuensi maupun beratnya penyakit. Secara biokimia ditemukan kurang lebih 400 varian yang berbeda. Pada daerah Afrika Banat dan Asia Tenggara, defisiensi enzim G-6-PD ditemukan pada 30% ikterus neonatorum. Penyebab variasi ini tidak sepenuhnya diketahui, yang jelas berperan adalah faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetik yang mendasari variasi ini diduga karena terdapat mutasi pada gen G-6-PD. Analisis molekular untuk melihat adanya mutasi ini telah dilakukan dan didapatkan kurang lebih 122 varian. WHO membagi varian-varian ini menjadi 5 kelas dengan manifestasi klinis yang berbeda-beda.
Di Indonesia defisiensi enzim G-6-PD secara biokimia pertama kali diteliti oleh Kirkman dan Lie Injo pada tahun 1969, kemudian diikuti oleh beberapa penelitian lain. Secara analisis molekuler juga telah dilakukan penelitian pada orang dewasa normal dengan hasil mutasi terbanyak terdapat pada ekson 5,6,11 dan 12. Sumantri dkk pada tahun 1995 melakukan penelitian defisiensi enzim G-6-PD dengan subyek orang dewasa normal dan melaporkan bahwa varian G-6-PD Mahidol (ekson 5), Taipe Hakka (ekson 5), Mediteranean (ekson 6), dan Kaiping (ekson 12) terdapat pada suku Jawa. Iwai dkk pada tahun 2001 melakukan skrining pemeriksaan enzim G-6-PD pada berbagai negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia dengan subyek laki-laki dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan diagnosis anemia hemolitik akut. Pada penelitian ini ditemukan varian Vanua Lava (ekson 5) terdapat pada suku Ambon, dan varian Coimbran (ekson 6) pada suku Jawa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library