Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anugerah Indraji
"Perkembangan teknologi yang sangat pesat pada zaman ini menuntut ilmu fabrikasi mikro untuk berkembang lebih pesat lagi. Dewasa ini, sedang dikembangkan teknik mikrofabrikasi menggunakan mikroorganisme (biomachining). Bakteri yang digunakan adalah bakteri jenis Achidithiobacilus ferooxidans. Penelitian ini melanjutkan penelitian sebelumnya dengan menambahkan parameter inklinasi dan aliran udara (aerasi) pada prosesnya. Sudut yang digunakan adalah variasi dari 200, 300, dan 400. Benda kerja berupa material nikel diberi sebuah pola melalui proses photolithography dan dimasukkan ke dalam cairan medium kultur dalam posisi bersudut yang sudah terisi bakteri, dan dijaga temperatur ruangannya menggunakan inkubator serta dialirkan udara. Percobaan dilakukan selama 24 jam. Pengolahan data dilakukan menggunakan SURFCOM dan foto SEM. Hasil yang didapat bahwa tingkat kekasaran (Ra) sangat bergantung kepada kondisi bakteri
The rapid development of technology in this day and age require microfabrication knowledge to grow more rapidly again. Today, the technique is being developed by using microorganisms (biomachining). The bacteria used is Achidithiobacilus ferooxidans types of bacteria. This study continues the previous research by adding the inclination and airflow parameters (aeration) in the process. The angle used is a variation of the 200, 300, and 400. Workpiece material in the form of nickel given a pattern through a photolithography process and put into liquid culture medium in the angular position of the bacteria that are already filled, and kept the room temperature using an incubator and air flows. The experiments were conducted for 24 hours. Data processing was performed using Surfcom and SEM. The results that the degree of roughness (Ra) is very dependent on the condition of the bacteria"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S57522
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhli Yusuf
"Permasalahan delineasi sistem geothermal adalah hal yang penting untuk dikaji, karena akan menentukan seberapa besar prospek panas bumi yang berada di subsurface. Metode magnetik bisa menentukan zonasi daerah di subsurface yang mengalami demagnetisasi akibat thermal. Batuan yang menjadi penyusun reservoir mengalami perubahan suseptibilitas dari tinggi ke rendah akibat pengaruh fluida dan panas dari heat source yang berada pada sistem tersebut.
Penelitian ini telah membuktikan keberadan delineasi sistem panas bumi Lapangan "E" dengan metode Magnetik dan Magnetotellurik, data magnetik sebanyak 674 titik dikoreksi dengan diurnal variation dan undistributed earth magnetic field atau lebih dikenal dengan IGRF. Setelah itu telah dilakukan kontinuasi hingga ketinggian 700 m asl, dan terlihat bodi yang berorientasi dipole dengan arah NE-SW pada inklinasi intermediet. Dilakukan Reduction to Pole pada hasil pengangkatan keatas dan didapatlah anomali low negatif yang mengindikasikan keberadaan hydrothermally demagnetization rock.
Hasil RTP juga dikorelasikan dengan kurva apparent resistivity MT, didapatkan nilai anomali low negatif cenderung berasosiasi dengan kurva MT tipe H. Kontur RTP dimodelkan dengan inversi 3D magnetik dan didapatkan zonasi reservoir berada dikedalaman mean sea level s/d 1900 m bsl. Cross korelasi pun dilakukan antara hasil Inversi 3D magnetik dan 2D Forward Modelling Magnetik serta inversi MT, bahwa zona batuan reservoir memiliki suseptibilitas sebesar 0.04-0.06 Cgs dan dengan resistivitas 20-80 ohm.m, Keberadaan reservoar panas bumi diduga berada di zona upflow hingga ke arah SW yang berada di sekitar sesar utama di daerah lapangan" E" yang berasosiasi dengan anomali low negatif sebesar-300 s.d -550 nT.

The delineation problem of the geothermal system is important to examine, as it will determine how big the geothermal prospects are in the subsurface. Magnetic methods can zonate the subsurface region undergoing thermal demagnetization processes. The rocks that make up the reservoir have changed the susceptibility from high to low due to the influence of fluid and heat from the heat source in the system.
This research has proved the existence of Geothermal Field 39 s delineation of Field E with Magnetic and Magnetotellurik method, 674 points magnetic data corrected by diurnal variation and undistributed earth magnetic field or better known as IGRF.After that continuity has been carried out to a height of 700 m asl, and visible dipole oriented body with NE SW direction in intermediate inclination. Reduction to Pole was performed on uplift and obtained a low negative anomaly indicating the presence of hydrothermally demagnetization rock.
The RTP results are also correlated with the apparent resistivity MT curve, and the low negative anomaly values tend to be associated with the Type H MT curve. The RTP contour is modeled by a 3D magnetic. And the reservoir zonation is in the mean sea level to 1900 m bsl. Cross correlation was performed between magnetic 3D Inversion and 2D Forward Modeling Magnetic and MT inversion, that reservoir rock zone has a susceptibility of 0.04 0.06 Cgs and with resistivity of 20 80 ohm.m The existence of geothermal reservoir is suspected to be in the upflow zone up to SW direction is in the vicinity of the main fault in the E field area associated with a negative low anomaly 300 s d 550 nT.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S67018
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valerie Kartini
"Latar Belakang: Maloklusi adalah ketidakteraturan kesejajaran gigi dan/atau hubungan lengkung gigi dengan gigi yang tidak normal yang diakibatkan oleh berbagai faktor dan dapat menyebabkan ketidakpuasan estetika sampai masalah pada segi fungsional. Pasien dengan maloklusi memerlukan perawatan ortodonti salah satunya untuk memperbaiki maloklusi. Inklinasi dan angulasi gigi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan perawatan ortodonti yang stabil dan optimal. Tujuan: Mengetahui gambaran sudut inklinasi dan angulasi gigi anterior pada pasien maloklusi skeletal kelas I pasca perawatan ortodonti cekat di klinik spesialis ortodonti RSKGM FKG UI. Metode: Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif dengan desain potong lintang (cross-sectional) menggunakan sampel berupa data sekunder rekam medik. Hasil: Dari 96 rekam medik pasien maloklusi kelas I yang telah selesai mendapatkan perawatan ortodonti cekat di Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, didapatkan rerata sudut U1-SN sebesar 105,60° ± 5,80°, rerata sudut U1-PP sebesar 114,55° ± 6,21°, rerata sudut L1-MP sebesar 93,63° ± 7,94°, dan rerata sudut IMPA adalah sebesar 96,40° ± 7,96°. Rerata angulasi gigi 11 sebesar 89,03° ± 3,26°, rerata angulasi gigi 21 sebesar 90,35° ± 3,07°, rerata angulasi gigi 31 sebesar 89,28° ± 4,33°, dan rerata angulasi gigi 41 sebesar 90,61° ± 5,04°. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tentang Gambaran Inklinasi dan Angulasi Gigi Anterior pada Pasien Maloklusi Kelas I Pasca Perawatan Ortodonti Cekat di Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, rerata sudut inklinasi gigi anterior pasien termasuk dalam kisaran nilai normal, kecuali pada sudut IMPA. Rerata sudut angulasi gigi anterior pasien relatif tegak dan paralel.

Background: Malocclusion is the irregularity of teeth and is considered as oral health problem resulting from various etiological factors causing esthetic dissatisfaction to functional impartment. Patients with malocclusion require orthodontic treatment to correct the malocclusion. Inclination and angulation of teeth are one of the factors that influence the success of stable and optimal orthodontic treatment. Objective: This study aims to describe the inclination and angulation of anterior teeth on class I malocclusion patients after fixed orthodontic treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI. Methods: Cross-sectional descriptive study is done using the secondary data found in the patient’s medical record. Results: From 96 medical records of class I malocclusion patients who have completed fixed orthodontic treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, the mean U1-SN angle is 105.60° ± 5.80°, the mean U1-PP angle is 114.55°. ± 6.21°, the mean angle of L1-MP is 93.63° ± 7.94°, and the mean angle of IMPA is 96.40° ± 7.96°. The mean angulation of tooth 11 is 89.03° ± 3.26°, mean angulation of tooth 21 is 90.35° ± 3.07°, mean angulation of tooth 31 is 89.28° ± 4.33°, and mean angulation of tooth 41 is of 90.61° ± 5.04°. Conclusion: Based on research on the Inclination and Angulation of Anterior Teeth on Class I Malocclusion Patients after Fixed Orthodontic Treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, the inclination of anterior teeth is within the normal range, except at the IMPA angle. The angulation of anterior teeth is relatively upright and parallel."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Premono
"Permasalahan Gougingdan Collisionsampai saat ini masih menjadi kendala terbesar dalam proses pemesinan 5-aksis, tidak terkecuali dalam pemodelan proses pemesinan 5-aksis yang menggunakan pahat toroid berbasis model faset. Gouging pada model faset dideteksi terjadi pada titik (vertex), sisi (edge) maupun muka (face) dari model faset. Metode yang dikembangkan dalam penelitian ini meliputi : metode penurunan persamaan matematika serta metode pemodelan yang berfungsi untuk verifikasi model matematika yang telah dihasilkan. Metode matematika digunakan untuk menurunkan persamaan inklinasi pahat minimal yang dapat digunakan untuk menghilangkan gouging. Untuk vertex gouging penurunan persamaan diturunkan berbasis geometri analitik, sedangkan edge gouging dan face gouging diturunkan berbasis numerik. Metode pemodelan dilakukan dengan bantuan MATLAB berfungsi untuk mensimulasi persamaan yang dihasilkan, sehingga terlihat persamaan yang tekah diturunkan benar adanya.

Gouging and collision are the main problems in multiaxis machining. Gouging in faceted models detected in the vertex, edge, and face of the triangles. There are two methods to avoid gouging which are lifting tool and inclining too). In this research, the minimum inclination angle for avoid gouging must be found. The tool is inclined based on the types of gouging. In vertex gouging, the equation of inclination angle for avoid gouging based on analytical mathematic, but for edge and face gouging, the equation of the inclination angle for avoid gouging based on numerical methods. These types of gouging are described and the tool inclining procedure has been developed and implemented for gouging elimination."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
T26189
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fahri Ali Imran
"Pembaraan atau smoldering merupakan tipe pembakaran yang unik, karena merupakan tipe pembakaran yang tidak memiliki lidah api. Fenomena smoldering dapat menjadi bahaya, karena dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama sebelum bertransisi menjadi flaming combustion. Sehingga smoldering menjadi sumber bahaya, terutama dalam keberadaan material organik, yang dapat mengakibatkan kebakaran hutan / wildland fire. Salah satu bentuk pembakaran smoldering juga dapat dilihat pada rokok, terutama rokok kretek. Rokok kretek adalah tipe rokok dengan campuran tembakau dan cengkeh. Penelitian mengenai proses pembakaran smoldering pada rokok diharapkan dapat menjadi batu loncatan untuk penelitian fenomena smoldering lainnya. Dengan menggunakan parameter berupa sudut, tulisan ini menganalisis hubungan sudut dengan static burn rate dan mass loss rate. Selain itu, eksperimen dilanjutkan dengan melihat interaksi antara rokok dengan material uji berupa kertas. Hasil dari eksperimen ini adalah, sudut sangat berpengaruh dalam proses smoldering, karena posisi dari rokok menentukan oxygen attacknya. Sudut 270º merupakan sudut dengan static burn rate dan mass loss rate paling cepat. Sedangkan, pada eksperimen interaksi dengan kertas, didapatkan penyebaran luasan kertas yang terbakar dengan rokok, dengan parameter sudut kontak. Didapatkan bahwa sudut 50º memiliki luasan area bakar paling besar, hal ini diakibatkan besarnya kontak area antara rokok dengan kertas uji.
Smoldering has long been a unique type of combustion. Its self sustained, slow, and flameless form of burning, can be extremely hazardous in certain situations; especially in the presence of organic matters. Peat and wildland fire, for example, usually occur as an aftermath of smoldering of organic matter. Another example of smoldering combustion is the burning process of a cigarette, namely Kretek Cigarette, a type of cigarette with a mixture of tobacco and clove. Experimentation about the smoldering combustion of a kretek cigarette is expected to be a stepping stone towards a thorough analysis about smoldering combustion as a whole. With inclination as the main parameter, the experiment conducted are aimed towards the the relation between inclination and smoldering combustion, with static burn rate and mass loss rate as the main data gathered. Further more, an analysis about the interaction of cigarette an paper as contacting materia are conducted. The results showed that smoldering combustion are affected by inclination, due to the positioning of the cigarette, and the allowance of oxygen attack. The results showed a cigarette in a 270º position has the fastest static burn rate and mass loss rate. Another result showed that propagation of burned area, caused by a burning cigarette, are influenced by contacting angle, and contacting surface area. The results showed that a 50º angle of cigarette and paper contact produced the largest burned area propagation."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S59067
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merry Natalia Martina Duwiri
"Latar Belakang: Hal dasar dalam penentuan rencana perawatan ortodonti ialah melihat posisi dan inklinasi dari gigi insisif rahang atas dan rahang bawah, akan tetapi penempatan posisi dan inklinasi gigi insisif yang sesuai dengan kriteria parameter sefalometri normal tidak menjamin bahwa jaringan lunak di atasnya akan menghasilkan tampilan wajah yang harmonis. Hal ini disebabkan karena adanya variasi jaringan lunak antar etnis atau ras.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara inklinasi gigi insisif dan posisi bibir berdasarkan analisis sefalometri pada pasien ras Deutro-Melayu di klinik ortodonti RSKGM FKG.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode penelitian analitik restropektif cross sectional pada 64 radiograf sefalometri pasien di klinik ortodonti RSKGM FKG UI. Uji korelasi Spearman dilakukan antara nilai parameter inklinasi gigi insisif (UI-Mx, IMPA, Interincisal Angle) dengan nilai parameter posisi bibir berdasarkan E-line.
Hasil: Terdapat korelasi signifikan positif yang lemah antara UI-Mx dan posisi biibr bawah (r=0,294*). Terdapat korelasi signifikan negatif yang lemah antara Interincisal Angle dan posisi bibir bawah (r=-0,323*). Namun tidak terdapat korelasi antara UI-Mx, IMPA dan Interincisal Angle dengan bibir atas, serta IMPA dengan bibir bawah.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara inklinasi gigi insisif (UI-Mx, IMPA, Interincisal Angle) dan posisi bibir berdasarkan E-line.

Background: The basic thing in an orthodontic treatment plan is to look at the position and inclination of the maxillary and mandibular incisors, but the placement and inclination of the incisors according to the criteria for normal cephalometric parameters does not guarantee that the overlying soft tissues will produce a harmonious facial appearance. This is due to soft tissue variations between ethnicities.
Objective: To determine the relationship between incisor teeth and lip position based on cephalometric analysis in Deutro-Malay patients at the orthodontic clinic of RSKGM FKG.
Method: This study is a quantitative study using a cross-sectional retrospective analytic research method on 64 patients with cephalometric radiographs at the orthodontic clinic of RSKGM FKG UI. Spearman correlation test was performed between the incisor inclination parameter values ​​(UI-Mx, IMPA, Interincisal Angle) and the lip position parameter values ​​based on the E-line.
Results: The correlation test showed that there was weak positive significant between UI-Mx and lower lip position (r=0.294*). There was a weak negative significant correlation between Interincisal Angle and lower lip position (r=-0.323*). However, there was no correlation between UI-Mx, IMPA and Interincisal Angle with the upper lip, and IMPA with the lower lip.
Conclusion: There is no relationship between incisor inclination (UI-Mx, IMPA, Interincisal Angle) and lip position based on E-line.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Putri Secoria
"Latar Belakang : Pada sebagian besar kasus maloklusi skeletal kelas III terdapat kombinasi antara elemen dental dan skeletal yang bervariasi. Beberapa elemen tersebut diantaranya adalah pola kerangka vertikal wajah dan inklinasi insisivus mandibula. Hubungan antara gigi insisivus mandibula dan posisinya terhadap bidang mandibula seringkali menjadi pedoman dasar dokter gigi untuk merencanakan perawatan ortodontik, karena dianggap sebagai salah satu kunci dalam diagnostik ortodontik. Tujuan : Mengetahui perbedaan inklinasi insisivus mandibula pada kasus maloklusi skeletal kelas III dengan pola kerangka vertikal wajah Hipodivergen, Normodivergen, Hiperdivergen. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif numerik secara potong lintang. Penelitian dilakukan pada 54 sefalomeri lateral pasien ortodontik sesuai kriteria inklusi. Digunakan uji komparasi One-Way ANOVA dan uji Post Hoc Bonferroni untuk melihat perbedaan inklinasi insisivus mandibula antar kelompok. Hasil : Uji komparasi One-Way ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan bermakna secara statistik inklinasi gigi insisivus mandibula pada kasus maloklusi skeletal kelas III antara ketiga kelompok wajah tersebut. Selanjutnya berdasarkan uji Post Hoc Bonferroni menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna inklinasi insisivus mandibula pada kasus maloklusi skeletal kelas III dengan pola wajah Hipodivergen. Kesimpulan : Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara inklinasi gigi insisivus mandibular pada kasus maloklusi skeletal kelas III dengan pola kerangka vertikal wajah Hipodivergen, Normodivergen, dan Hiperdivergen.

Background : There are various combinations of dental and skeletal elements in most cases of class III malocclusion. Some of these elements include the vertical facial patterns and the mandibular incisors inclination. The relationship between the mandibular incisors and their position towards the mandibular plane is often the basic guideline for dentists to plan orthodontic treatment, because it is considered as one of the keys in orthodontic diagnostics. Objective : To compare the difference of mandibular incisor inclination in class III malocclusion cases with a Hypodivergent, Normodivergent, Hyperdivergent vertical facial patterns. Methods : This research was a comparative numerical analytic study with cross-sectional design. It was conducted on 54 lateral cephalometrics of orthodontic patients according to the inclusion criteria. One-Way ANOVA comparison test and Bonferroni Post Hoc test were used to see differences in the inclination of the mandibular incisors between groups. Results : One-Way ANOVA comparison test showed that there was a stastically significant difference in the mandibular incisor inclination in class III malocclusion cases between three facial groups. Furthermore, based on the Bonferroni Post Hoc test, it showed that there was a significant difference in the mandibular incisor inclination in class III malocclusion with a Hypodivergent facial pattern. Conclusion : There was a statistically significant difference between the inclination of the mandibular incisor in class III malocclusion with a Hypodivergent, Normodivergent, Hyperdivergent vertical facial patterns.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandya Wintasari
"Latar Belakang: Inklinasi eminensia artikularis merupakan struktur yang paling cepat mengalami degenerasi akibat beban oklusi yang berat. Perbedaan inklinasi eminensia artikularis kanan dan kiri lebih banyak ditemui pada individu dengan Temporomandibular disorders TMD . Jenis kelamin, usia, oklusi, kehilangan gigi dan sleep bruxism juga dapat mempengaruhi perbedaan inklinasi eminensia artikularis. Sehingga, perlu diteliti hubungan antara diagnosis TMD, jenis kelamin, usia, oklusi, kehilangan gigi dan sleep bruxism dengan perbedaan inklinasi eminensia artikularis kanan dan kiri.
Tujuan: Menganalisis hubungan antara diagnosis TMD dengan perbedaan inklinasi eminensia artikularis kanan dan kiri.
Metode: Desain penelitian potong lintang dengan penegakan diagnosis melalui pemeriksaan DC-TMD, serta foto radiograf transkranial pada 70 subjek 14 pria, 56 wanita , usia 20 tahun ke atas. Uji One-way ANOVA digunakan untuk menganalisis hubungan diagnosis TMD dengan perbedaan inklinasi eminensia kanan dan kiri. Uji t tidak berpasangan digunakan untuk menganalisis pengaruh jenis kelamin, usia, oklusi, kehilangan gigi dan sleep bruxism terhadap perbedaan inklinasi eminensia artikularis kanan dan kiri. Uji chi-square digunakan untuk menganalisis hubungan antara jenis kelamin, usia, kondisi oklusi, kehilangan gigi dan kebiasaan sleep bruxism terhadap diagnosis TMD. Uji multivariat regresi logistik digunakan untuk menentukan faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan inklinasi eminensia kanan dan kiri.
Hasil: Terdapat hubungan antara diagnosis TMD dengan perbedaan inklinasi eminensia artikularis kanan dan kiri p=0,001 . Dengan hasil post hoc bermakna pada kelompok gangguan sendi p=0,042 dan gangguan kombinasi p=0,000 . Jenis kelamin dan usia mempengaruhi diagnosis TMD p=0,009 dan p=0,029 . Uji multivariat menunjukkan bahwa variabel diagnosis TMD merupakan variabel yang paling berpengaruh dengan perbedaan inklinasi eminensia artikularis kanan dan kiri.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara diagnosis TMD dengan perbedaan inklinasi eminensia artikularis kanan dan kiri. Diagnosis TMD dengan gangguan intra artikular dan otot mempunyai risiko terjadinya perbedaan inklinasi eminensia artikularis kanan dan kiri sebesar 9,75 kali dibandingkan TMD dengan gangguan otot.

Background: Articular eminence is the most rapidly degenerating structure due to heavy occlusion loads. Asymmetrical articular eminence is more common in individuals with Temporomandibular disorders TMD. It is also associated with gender, age, occlusion, missing tooth teeth and sleep bruxism. Therefore, further research is required to analyze the relationship between TMD diagnoses, gender, age, occlusion, missing tooth teeth and sleep bruxism with asymmetrical articular eminence.
Objective: To analyze the association between TMD diagnoses and asymmetrical articular eminence.
Method: This research implemented a cross sectional study in diagnosis process using DC TMD protocol and transcranial radiographs of 70 subjects 14 male, 56 female aged 20 years and older. One way ANOVA was used to determine the association between TMD diagnoses to asymmetrical articular eminence. Independent t test was used to determine the association between gender, age, occlusion, missing tooth teeth and sleep bruxism to asymmetrical articular eminence. Chi square test was used to determine the influence of gender, age, occlusion, missing tooth teeth and sleep bruxism in association to TMD diagnoses. Logistic regression multivariate test was used to determine which factors are the most influential to asymmetrical articular eminence.
Result: TMD diagnoses had a significant association with asymmetrical articular eminence p 0,001 . Post hoc result showed significant values in intra articular disorder p 0,042 , and combination disorder p 0,000 . Gender and age were associated with TMD diagnoses p 0,009 and p 0,029 . Based on multivariate test, TMD diagnoses was the most influential factor to asymmetrical articular eminence, with OR value of 9,75 for intraarticular disorder and OR value of 4,13 for muscle disorder.
Conclusion: TMD diagnoses were significantly associated with asymmetrical articular eminence. TMD with intraarticular and muscle disorder is 9,75 times more likely to cause asymmetrical articular eminence compared to TMD with muscle disorder.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faza Furqan Wibisana
"Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, menyebabkan Indonesia cenderung mendapatkan sinar matahari secara merata dan memiliki temperature yang cukup panas. Hal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai keuntungan dalam pemanfaatan energi surya dan juga menyebabkan kerugian pada tinggi nya suhu pada ruang bangunan akibat energi termal. panasnya energi termal menyebabkan ketidaknyamanan termal pada bangunan, sehingga dibutuhkan sistem pendinginan ruangan yang dapat menyebabkan peningkatan konsumsi listrik. oleh karena itu sistem konservasi energi merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi permaslahan tersebut. penelitian ini menggunakan sistem Closed loop pulsating heat pipe dengan fluida kerja biner DI Water- Methanol untuk konservasi energi pada bangunan Gedung. Closed loop pulsating heat pipe bekerja dengan prinsip heat exchange pada tiga bagian yaitu evaporator, adiabatic dan kondensor. bagian evaporator diharapkan dapat menyerap panas dan menggerakan fluida kerja sebagai medium perpindahan panas melalui bagian adiabatik ke bagian kondensor untuk melepas panas. studi ini dilakukan untuk mengetahui kinerja sistem CLPHP dengan fluida kerja biner DI Water-Methanol sebagai perangkat reduksi termal dan konservasi energi Gedung serta pemanfaatan Kembali panas yang dilepas pada bagian kondensor sebagai pemanas air. eksperimen ini menggunakan variasi antara lain Mixing ratio 10:1, 5:1, 1:1, 1:5, 1:10 sudut inklinasi 5°, 10° , 15° dan Heat Input 25 W 35 W 45 W. Hasil pengujian menunjukan bahwa Mixing ratio 1:5 dengan sudut inklinasi 5 danHeat Input 45 W menghasilkan hasil paling optimum dengan nilai resistensi termal (0,741°C/W) dan perolehan suhu akhir pada tangki kondensor (34,89 °C).

Indonesia is a tropical country, which means it tends to receive sunlight evenly and has relatively high temperatures. This can be leveraged as an advantage in the utilization of solar energy but also poses a disadvantage in terms of high indoor temperatures due to thermal energy. The heat from thermal energy causes thermal discomfort in buildings, necessitating cooling systems that can increase electricity consumption. Therefore, energy conservation systems are an appropriate solution to address this issue. This research utilizes a Closed loop pulsating heat pipe (CLPHP) system with a binary working fluid of DI Water-Methanol for energy conservation in buildings. The Closed loop pulsating heat pipe operates on the principle of heat exchange in three sections: the evaporator, the adiabatic section, and the condenser. The evaporator is expected to absorb heat and move the working fluid as a heat transfer medium through the adiabatic section to the condenser to release heat. This study aims to determine the performance of the CLPHP system with the binary working fluid DI Water-Methanol as a thermal reduction device and energy conservation for buildings, as well as the reutilization of heat released in the condenser section for water heating. This experiment employs variations including Mixing ratios of 10:1, 5:1, 1:1, 1:5, 1:10; inclination angles of 5°, 10° , 15°; and Heat Inputs of 25 W, 35 W, and 45 W. The test results show that working fluid with Mixing ratio of 1:5 with an inclination angle of 5° and a Heat Input of 45 W produces the most optimal results with thermal resistance value of 0.741 °C/W and a final temperature gain in the condenser tank of 34.89°C."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Taufiqurrakhman
"Teknologi fabrikasi berskala mikro saat ini sangat bervariasi dan sedang terus dikembangkan. Salah satunya menggunakan mikroorganisme (biomachining). Terdapat jenis bakteri yang dapat melakukan pemakanan pada logam sebagai sumber energinya, salah satunya adalah Acidithiobacillus ferooxidans. Penelitian sebelumnya telah membuktikan kemampuan Acidithiobacillus ferooxidans dalam karakterisasi proses pemakanan dan hasil akhir material benda kerja. Namun, perkembangan teknologi biomachining belum selesai.
Dalam penelitian ini, proses biomachining diberikan tambahan parameter variasi sudut inklinasi terhadap benda kerja material tembaga untuk mengetahui pengaruhnya terhadap profil permukaan dan tingkat kekasaran yang dihasilkan. Benda kerja diberi sebuah pola dengan metode photolithography dan dimasukkan dalam cairan medium kultur bakteri, dengan diberikan sudut inklinasi sebesar 20° dan 30° dengan alat bantu inklinator. Data hasil pengukuran bentuk profil dan tingkat kekasaran permukaan oleh mesin SURFCOM akan dibandingkan dengan hasil biomachining yang diberi sudut inklinasi berbeda yaitu 40° dari hasil penelitian sebelumnya.
Hasil penelitian ini yaitu pemakanan sampel 20° memiliki kedalaman yang lebih kecil dibandingkan dengan sampel 30°, namun center island yang dihasilkan cenderung lebih panjang. Tren untuk nilai tingkat kekasaran (Ra) yaitu sampel 20°>30°>40°. Perbedaan karakteristik pemakanan ini diharapkan dapat mendukung pengembangan proses biomachining multi-axis kedepannya.

Nowadays, micro fabrication technology is very varied and being continuosly developed. One of them uses microorganisms culture (biomachining). There is a type of bacteria which can do metal removal as a source of energy, one of which is Acidithiobacillus ferooxidans. The previous research has proven the ability of Acidithiobacillus ferooxidans in the characterization and result of workpiece material removal process. However, biomachining technology has not done yet.
In this research, biomachining process is added by angle of inclination parameter to know the effect on copper surface profile and roughness. Workpieces are given a pattern by photolithography method and put in the bacterial culture medium, which is added inclination angle of 20° and 30° on inclinator. Profile shape and the surface roughness measurement data which are taken by SURFCOM machine will be compared with the inclination angle of 40° measurement data from previous research.
The results of this research that removal depth of sample 20° is smaller than the sample 30°, but the center island tend to be longer. Result for the value of roughness average (Ra) is the sample 20° > 30° > 40°. This characteristic differences are expected can support the development of multi-axis biomachining.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S53970
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>