Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Farisa Amiladinan
"Tulisan ini menganalisis bagaimana tanggung jawab agen asuransi selaku field underwriter pada proses underwriting dalam perjanjian asuransi jiwa. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam kegiatan underwriting, pengungkapan segala fakta material yang berkaitan dengan objek yang diasuransikan memegang peranan penting dalam hubungan pertanggungan yang terbentuk antara penanggung dan tertanggung. Kewajiban pengungkapan tersebut dilandasi oleh sebuah prinsip yang dikenal dengan istilah utmost good faithsebagaimana diatur dalam Pasal 251 KUHD. Prinsip utmost good faith sejatinya meliputi 2 (dua) hal yaitu kewajiban untuk mengungkapkan fakta materiil (duty of disclosure) dan larangan memberikan informasi yang keliru (misrepresentation). Namun, dua hal tersebut banyak dijadikan dasar oleh perusahaan asuransi untuk melakukan penolakan pembayaran klaim kepada pemegang polis atas dasar adanya unsur pelanggaran utmost good faith. Padahal,fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak jarang kegagalan pengungkapan fakta tersebut justru terjadi karena kegagalan agen asuransi selaku field underwriter dalam melakukan proses underwriting. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kasus sengketa asuransi antara Dahlan Sinambela melawan PT. AXA Mandiri Financial Services. Banyaknya penolakan klaim asuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi atas dasar tertanggung telah melakukan pelanggaran terhadap prinsip utmost good faith dengan melakukan misrepresentation atau non-disclosure menjadi dasar bagi Penulis untuk melakukan analisis lebih lanjut terhadap peran agen asuransi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi dalam melakukan proses underwriting. Penelitian yang dilakukan Penulis menunjukkan bahwa adanya kecenderungan untuk mendistorsi muatan materi Pasal 251 KUHD sehingga seolah-olah peran penanggung atau agen asuransi dalam proses underwriting sepenuhnya pasif, padahal sejumlah prinsip, doktrin, dan peraturan-perundang-undangan nyatanya telah memberikan kerangka yang cukup untuk memastikan terciptanya keseimbangan hubungan antara penanggung dan tertanggung. Hal ini dalam memastikan adanya tanggung jawab bersama antara penanggung dan tertanggung dalam memastikan pertukaran informasi yang akurat dan lengkap selama proses underwriting.
This thesis analyzes the responsibility of insurance agents as field underwriters in gathering information from potential policyholders during the underwriting process in life insurance contracts. This thesis is written using a doctrinal research method. In the underwriting process, the disclosure of all material facts related to the insured object plays a crucial role in the insurance relationship between the insurer and the insured. This disclosure obligation is based on a principle known as utmost good faith, as regulated in Article 251 of the Commercial Code (KUHD). The principle of utmost good faith encompasses two aspects: the duty to disclose material facts (duty of disclosure) and the prohibition against providing false information (misrepresentation). However, these two aspects are often used by insurance companies as grounds for rejecting claim payments to policyholders on the basis of a breach of utmost good faith. In practice, there are instances where the failure to disclose such facts occurs precisely because of the failure of insurance agents as field underwriters to gather information from potential policyholders. This issue is exemplified in the insurance dispute case between Dahlan Sinambela and PT. AXA Mandiri Financial Services. The high number of insurance claim rejections by insurance companies on the grounds that the insured has breached the principle of utmost good faith by misrepresenting or failing to disclose information is the basis for the author to conduct further analysis of the role of insurance agents acting for and on behalf of insurance companies in gathering information from potential policyholders during the underwriting process. The research conducted by the author shows a tendency to distort the contents of Article 251 of the KUHD, suggesting that the role of the insurer or insurance agent in the underwriting process is entirely passive. In contrast, various principles, doctrines, and regulations provide a framework to ensure a balanced relationship between the insurer and the insured. This thesis highlights the importance of a balanced approach in interpreting and applying the principle of utmost good faith in insurance contracts. It emphasizes the shared responsibility of both the insurer and the insured in ensuring accurate and complete information exchange during the underwriting process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Deasyna Alyssa Putri Sukandar
"Pialang asuransi memiliki kewenangan untuk bertindak untuk dan atas nama tertanggung. Namun, kewenangan tersebut tidak semerta-merta memperbolehkan pialang asuransi untuk bertindak bebas. Pialang asuransi selaku wakil dari tertanggung harus tetap mendapatkan persetujuan setiap kali ia ingin melakukan suatu tindakan hukum yang mengatasnamakan tertanggung. Dalam kasus Putusan Nomor 2642 K/PDT/2015, pialang asuransi mengajukan pembatalan polis asuransi tanpa persetujuan tertanggung dan pialang asuransi pada kasus ini tidak menyalurkan premi asuransi kepada penanggung dan menahan premi asuransi tersebut dalam periode waktu yang panjang. Dengan demikian, penelitian ini dirancang dengan tujuan memberikan pemahaman terkait akibat hukum dari polis asuransi yang dibatalkan oleh pialang asuransi serta adanya tindakan penggelapan premi yang dilakukan oleh pialang asuransi pada kasus bersangkutan. Metode penelitian pada penulisan penelitian ini adalah metode doktrinal, yaitu metode yang memfokuskan pada doktrin berupa aturan, asas, atau norma yang diambil dari sumber hukum. Akibat hukum pembatalan polis yang dilakukan oleh pialang asuransi adalah masih berlakunya polis. Hal ini dikarenakan pialang asuransi bukan merupakan pihak yang berwenang dalam melakukan pembatalan polis. Selanjutnya, pialang asuransi dalam kasus bersangkutan telah melakukan tindakan penggelapan premi sebagaimana tindakannya telah memenuhi unsur-unsur penggelapan premi yang diatur dalam peraturan yang berlaku di Indonesia.
Insurance brokers are authorized to act for and on behalf of the insured. However, this authority does not necessarily allow the insurance broker to act freely. The insurance broker must still obtain approval every time they want to take a legal action on behalf of the insured. In the case of Decision Number 2642 K/PDT/2015, the insurance broker submitted a cancellation of the insurance policy without the consent of the insured and did not distribute the insurance premium to the insurer and held the insurance premium for a long period of time. Therefore, this research is designed to provide an analysis of the legal consequences of insurance policies canceled by insurance brokers and the embezzlement of premiums committed by insurance brokers in the case in question. The research method in this writing is the doctrinal method, which focuses on doctrine in the form of rules, principles, or norms taken from legal sources. The legal effect of policy cancellation carried out by insurance brokers is that the policy is still valid. This is because the insurance broker is not an authorized party in canceling the policy. Furthermore, the insurance broker in the case in question has committed an act of premium embezzlement as his actions have fulfilled the elements of premium embezzlement regulated in the applicable regulations in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library