Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mashuri
Abstrak :
Tesis ini untuk menjelaskan bagaimana penerapan butir-butir kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (Loi) yang terjadi di era pemerintahan Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid. Pada saat terjadi krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, pemerintah Indonesia akhirnya meminta bantuan ke lembaga keuangan internasional atau IMF. Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus siap menerima berbagai rekomendasi kebijakan yang disarankan oleh IMF, bagi upaya pemulihan krises ekonomi. Rekomendasi ini tidak diberikan secara sembarangan, karena harus diikuti oleh sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Awalnya, pemerintah Soeharto saat itu terlihat keberatan dengan berbagai program pemulihan ekonomi seperti yang tertuang dalam Loi pertama, maupun kedua. Hal ini terjadi karena pemerintah Soeharto saat itu menjalankan roda perekonomian yang diduga banyak melakukan tindakan KKN. Padahal, IMF dalam rekomendasinya, menuntut agar segala bentuk monopoli, KKN dalam Iingkungan bisnis dihilangkan. Tarik ulur antara pemerintahan Soeharto dan IMF pun terjadi. Soeharto sempat mencari altematif kebijakan pemulihan krisis seperti membahas ide sistem dewan mata uang atau lebih dikenal dengan Currency Board System (CBS). Namun, IMF lagi-lagi menolak. Hal ini berbeda dengan pelaksanaan Loi yang terjadi di era Habibie maupun Abdurrahman Wahid. Latar belakang politik saat itu, juga ikut mempengaruhi bagaimana butir-butir Loi itu dijalankan. Berbagai hal ikut mempengaruhi proses tersebut. Mulai dari faktor ekonomi, sosial hingga politik. Tujuan untuk melihat bagaimana ketiga presiden itu menjalankan resep IMF inilah yang ingin diketahui dalam penulisan ini. Hal ini dilakukan dengan menggunakan berbagai teori, mulal dari teori ekonomi politik internasional yang pertama yakni aliran liberalis, kedua aliran nasionalis dan ketiga strukturalis. Dibagian lain, untuk mengupas tentang permasalahan, digunakan teori yang membahas tentang politik domestik diperkuat dengan berbagai tipe kepemimpinan dalam membuat kebijakan nasional. Pada kenyataannya, penerapan Loi antara IMF dan Indonesia sangat menuntut konsistensi serta political will dari pemerintah dalam menuntaskan krisis ekonomi. Hal inilah yang kurang dilakukan oleh ketiga presiden itu sehingga tidak jarang target waktu pelaksanaan Loi itu sering tidak tepat waktu. Tesis. ini merupakan kajian kualitatif dan penelitian tesis ini adalah dekriptif eksplanatif. Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan teknis pengumpulan data dan kepustakaan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14359
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Wardhana
Abstrak :
Pada periode 1945 - 1965 kekurangan dana untuk investasi dan kekurangan devisa untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran selalu menjadi masalah dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Pada periode 1945 - 1965 strategi pembangunan tidak terlalu mengandalkan utang luar negeri dan modal asing. Pada periode Orde Baru, sejak Pelita pertama sampai sekarang pembangunan ekonomi menempuh strategi pembiayaan dengan dana dalam negeri dan dana luar negeri (utang). Penelitian ini ingin mengetahui: (1) Pengaruh bantuan luar negeri dan pengaruh modal asing -terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. (2) Pengaruh arus masuk modal asing terhadap investasi dalam negeri. (3) Penggunaan utang luar negeri untuk investasi bantuan proyek di berbagai bidang. (4) Potensi sumber-sumber dalam negeri untuk pembangunan nasional. (5) Dampak (1), (2), (3) dan (4) terhadap ketahanan nasional. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Selama empat Pelita (1969/70 - 1988/89), pinjaman luar negeri berpengaruh signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (Pendapatan Nasional). Pembiayaan dari dalam negeri saja tanpa bantuan luar negeri secara statistik menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap peningkatan Produk Domestik Bruto. Meskipun demikian secara bersama-sama baik pembiayaan dari pinjaman luar negeri maupun pembiayaan dari dalam negeri berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan Produk Domestik Bruto. (2) Mengenai , arus modal asing pengaruhnya tidak significant terhadap investasi di Indonesia. Ini berarti modal asing tidak meningkatkan tabungan rakyat Indonesia. (3) Penggunaan bantuan luar negeri dalam bentuk proyek dialokasikan untuk gatra ekonomi 78,3%; gatra politik 1,8%; gatra sosial budaya 12,8%; gatra pertahanan keamanan 4,1%; gatra kependudukan 2,4%; gatra sumberdaya alam 1,6%. (4) Beberapa jenis pajak masih bisa ditingkatkan antara lain: Pajak Pertambahan nilai (PPn) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Deregulasi di berbagai sektor untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri, perlu digalakkan. (5) Sejak tahun 1985 -- 1992 hutang bukan lagi pelengkap untuk pembangunan tetapi sudah mengambil tempat yang besar untuk biaya pembangunan. (6) Defisit transaksi berjalan merupakan penyakit kronis ekonomi Indonesia. (7) Kandungan import produk Indonesia masih cukup tinggi sehingga kebijaksanaan ekspor terperangkap ke dalam "lingkaran setan". (8) Dengan makin meningkatnya pembayaran cicilan utang plus bunga pinjaman tiap tahun maka kemampuan pemerintah berkurang untuk investasi sosial terutama meningkatkan kesejahteraan pegawai. (9) Akibat dari kondisi tersebut di atas bantuan luar negeri dan modal asing bukan lagi merupakan hambatan, gangguan dan tantangan, tetapi ancaman terhadap ketahanan nasional.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Hanni
Abstrak :
Krisis ekonomi telah membuat Pemerintah Indonesia terbelit utang yang berat. Utang pemerintah telah bertambah menjadi tiga sampai empat kali lipat dari kondisi sebelum krisis, dan hampir tiga perempat dari pertambahan ini merupakan utang dalam negeri yang harus dibayar untuk restrukturisasi perbankan. Kenaikan jumlah utang ini merupakan akibat gabungan kesalahan kebijakan masa lalu dengan krisis ekonomi, bukan karena pengeluaran baru. Kewajiban-kewajiban penutupan utang (bunga dan amortisasi) akan melebihi 40 persen dari penerimaan pemerintah selama beberapa tahun, sedangkan kebutuhan pembiayaan baru (baik luar maupun dalam negeri) di tahun-tahun mendatang masih tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran. Hal ini akan sangat membatasi fleksibilitas fiskal pada masa pemerintahan sekarang ini, sehingga telah menggeser permasalahan dari fiscal stimulus menjadi fiscal sustainability. Indikasi awal dalam menilai apakah kebijakan fiskal yang ditempuh sustainable atau unsustainable adalah rasio utang terhadap PDB dan rasio keseimbangan primer (primary balance) terhadap PDB. Jika pertambahan utang diiringi dengan kenaikan PDB yang sama ataupun Iebih besar bukanlah merupakan ancaman bagi sustainabilitas fiskal. Primary Balance juga merupakan indikator utama bagi sustainabilitas fiskal dimana dalam penelitian ini diketahui bahwa Primary Balance dipengaruhi oleh overall balance. Dengan kata lain, sustainabilitas fiskal dicapai me;alui peningkatan penerimaan dalam negeri dan pengoptimalisasian pengeluaran negara. Indikator lainnya yang tidak kalah penting adalah pertumbuhan ekonomi dan tingkat suku bunga. Dalam model yang dibangun dalam penelitian ini terlihat bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh besaran PDB, konsumsi rumah tangga dan pemerintah, investasi, suku bunga, inflasi, PMA, ekspor, impor dan kurs. Sedangkan suku bunga dipengaruhi oleh uang beredar, tingkat pertumbuhan dan lag kurs. Perkembangan fiscal sustainabilitiy dalam rentang waktu penelitian dapat dikatakan bahwa pemerintah sudah sangat berhati-hati dalam menjaga tingkat sustainabilitas fiskalnya (terlihat dari nilai aktual primary balance yang berada antara 0,82 sampai dengan 3,84). Sedangkan dari hasil simulasi ex-post terlihat bahwa kondisi fiskal yang unsustainable terjadi pada tahun 1998-2003, hal ini lebih disebabkan karena tingginya tingkat suku bunga dari pada tingkat pertumbuhan ekonominya. Sedangkan dari hasil simulasi ex-ante terlihat bahwa instrumen yang paling efektif untuk mencapai keadaan fiskal yang sustainable adalah kebijakan moneter yang ekspansif. ]umlah uang yang beredar secara langsung akan mempengaruhi variabel suku bunga yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kegiatan investasi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter untuk menurunkan suku bunga akibat banyaknya uang yang beredar akan merangsang kegiatan investasi sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan. Tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dari tingkat suku bunga akan menurunkan stok utang sehingga tercapai keadaan sustainabilitas fiskal.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15322
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library