Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rani Indira Sari
"Tujuan: Menganalisis efek pemberian sitikolin terhadap kerusakan sel ganglion tikus pada Etambutol Optik Neuropati (EON).
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan hewan coba tikus. Lima belas ekor tikus Wistar dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan (A), kelompok etambutol (B), kelompok etambutol dan sitikolin (C). Kelompok B dan C diberikan perlakuan selama 30 hari, kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menilai densitas sel ganglion retina, dan imunohistokimia untuk menilai ekspresi bcl-2 dan caspase-3.
Hasil: Densitas sel ganglion retina tikus dengan intoksikasi etambutol yang mendapat sitikolin lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,001). Lapisan ganglion tikus yang mendapat sitikolin lebih tipis dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,005), peningkatan ketebalan lapisan sel ganglion ini karena pembentukan vakuola pada sitoplasma sel ganglion. Tikus dengan sitikolin didapatkan ekspresi bcl-2 ganglion yang lebih tinggi (p=0,001), dan ekspresi caspase-3 yang lebih rendah (p=0,02) dibandingkan tikus yang tidak mendapatkan sitikolin.
Simpulan: Sitikolin memberikan efek proteksi terhadap sel ganglion retina dengan EON, dinilai dari morfologi sel ganglion dan ekspresi caspase-3 dan bcl-2.

Objective: To analyze the effects of citicoline administration on rat ganglion cell damage in Ethambutol Optic Neuropathy (EON).
Method: This study was an experimental study with rat experiments. Fifteen Wistar rats were divided into three groups, the non-treatment group (A), the ethambutol group (B), the ethambutol and citicoline group (C). Group B and C were given treatment for 30 days, then histopathological examination was performed to assess retinal ganglion cell density, and immunohistochemistry to assess bcl-2 and caspase-3 expression.
Result: retinal ganglion cell density of rat with ethambutol intoxication that received citicoline were higher than those who did not get citicoline (p = 0.001). The rat ganglion layer that received citicoline was thinner than those who did not get citicoline (p = 0.005), the increase in thickness of the ganglion cell layer was due to the formation of vacuoles in the cytoplasm of ganglion cells. Rat with citicoline obtained higher bcl-2 ganglion expression (p = 0.001), and lower caspase-3 expression (p = 0.02) than rat that did not get citicoline.
Conclusions: Citicoline have a protective effect on retinal ganglion cells with EON, judged by the morphology of ganglion cells and caspase-3 and bcl-2 expressions.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulinda Arty Laksmita
"Tujuan: Mengevaluasi efek pemberian sitikolin dalam menekan kerusakan retina tikus dengan intoksikasi metanol.
Metode: Lima belas ekor tikus Sprague-Dawley dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan (A), kelompok metanol yang diobservasi di hari ke-3 (B1) dan ke-7 (B2), serta kelompok metanol dan sitikolin yang diobservasi di hari ke-3 (C1) dan ke-7 (C2). Tikus pada kelompok perlakuan (B dan C) ditempatkan pada inhalation chamber berisi gas N2 O:O2 selama eksperimen, dilanjutkan dengan pemberian metanol via oral gavage dengan dosis inisial 3,2 gr/kg dan dosis tambahan 1,6 gr/kg. Tikus kelompok C mendapat sitikolin via oral gavage dengan dosis 1 gr/kg setiap 24 jam. Enukleasi dilakukan pada akhir eksperimen. Pada preparat retina dilakukan pemeriksaan histopatologi fotoreseptor dan sel ganglion retina, serta imunohistokimia ekspresi bcl-2 dan caspase-3.
Hasil: Densitas sel ganglion tikus terintoksikasi metanol yang mendapat sitikolin lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapat sitikolin di hari ke-3 dan ke-7 (p<0,001). Lapisan ganglion tikus yang mendapat sitikolin tidak setebal lapisan ganglion tikus yang tidak mendapat sitikolin, menandakan edema yang lebih ringan. Tikus dengan sitikolin menunjukkan ekspresi bcl-2 ganglion yang lebih tinggi, serta caspase-3 yang lebih rendah dibandingkan tikus tanpa sitikolin.<
Kesimpulan: Pemberian sitikolin memiliki efek dalam menekan kerusakan lapisan ganglion retina tikus dengan intoksikasi metanol.

Aims: To evaluate effect of citicoline administration in suppressing retinal damage due to methanol intoxication.
Methods: Fifteen Sprague-Dawley rats were divided into five groups including normal group (A), groups with methanol only, observed on day-3 (B1) and day-7 (B2), and groups with methanol and citicoline, observed on day-3 (C1) and day-7 (C2). Rats in group B and C were placed in an inhalation chamber filled with N2 O:O 2 during the experiment, then methanol was administered via oral gavage. Citicoline 1 gr/kg every 24 hours was administered via oral gavage for group C. Enucleation was done and rats retina were prepared for histopathology and immunohistochemistry examination to evaluate photoreceptor morphology, retinal ganglion cell (RGC) density, bcl-2 and caspase-3 expression.
Result: RGC density of citicoline-treated intoxicated rats was higher than no-citicoline intoxicated rats, either on day-3 (p<0.001) or day-7 (p<0.001). Ganglion layer thickness of citicoline-treated intoxicated rats was thinner than no-citicoline intoxicated rats, which means citicoline-treated rats had milder ganglion layer edema. Citicoline-treated rats showed higher bcl-2 and lower caspase-3 expression than no-citicoline rats. No differences was found in photoreceptor findings among groups.
Conclusion: Citicoline administration showed effect in suppressing rat’s retinal ganglion layer damage in methanol intoxication.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Tiaranita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gagal jantung merupakan salah satu masalah kesehatan global dengan angka yang meningkat setiap tahunnya. Pengobatan gagal jantung melibatkan berbagai golongan obat, salah satunya adalah digoksin sebagai komponen terapi tertua pada gagal jantung. Penggunaan digoksin masih kontroversial karena selain batas terapeutik sempit, terdapat berbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya intoksikasi.
Tujuan: Menganalisis kejadian intoksikasi, rehospitalisasi, dan kesintasan dalam setahun pada pasien gagal jantung yang mendapat digoksin.
Metode: Studi analitik observasional dengan desain potong lintang dilakukan di Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita pada bulan Januari 2017 hingga Desember 2018. Pasien gagal jantung yang mendapatkan terapi digoksin dan diperiksa kadar digoksin serum diikutsertakan dalam penelitian. Intoksikasi didefinisikan sebagai peningkatan kadar digoksin serum ≥ 2 ng/ml disertai dengan perubahan EKG tipikal intoksikasi dan minimal satu gejala non-kardiak. Dilakukan analisis terhadap faktor-faktor risiko pada pasien dan gejala intoksikasi menggunakan uji X2, sedangkan angka kesintasan dan rehospitalisasi dalam setahun dianalisis dengan rumus Kaplan Meyer.
Hasil: Sebanyak 195 subyek penelitian yang terdiri dari 22 (11,3%) subyek dengan kadar digoksin subterapeutik, 43 (22,1%) subyek dengan kadar terapeutik, 70 (35,9%) subyek dengan kadar supraterapeutik dan 60 (30,8%) subyek dengan kadar toksik diikutsertakan dalam studi ini. Didapatkan sebanyak 32 (16,4%) subyek mengalami intoksikasi. Insufisiensi renal merupakan faktor risiko yang sangat memengaruhi kejadian intoksikasi digoksin, dengan risiko sebesar 2,5 kali (p=0,016; RR=2,484). Angka rehospitalisasi pada pasien gagal jantung yang mendapat dan tidak mendapat digoksin adalah sebesar 11,8% dan 29,2% (p=0,085). Angka kesintasan dalam setahun pada pasien gagal jantung yang mendapat digoksin di RS JPDHK tahun 2017-2018 adalah 300 hari (259 hari pada yang mengalami intoksikasi, dan 307 hari pada yang tidak mengalami intoksikasi).
Kesimpulan: Proporsi intoksikasi digoksin pasien gagal jantung pada penelitian ini adalah 16,4%. Insufisiensi renal merupakan faktor risiko yang memengaruhi kejadian intoksikasi digoksin. Terdapat kecendrungan pengurangan rehospitalisasi pada pasien yang mendapat digoksin.

ABSTRACT
Background: Heart failure is one of the most prevalent global health problems with increasing number every year. Treatment of heart failure involves various classes of drugs, one of which is digoxin as the oldest therapy for heart failure. The use of digoxin is still controversial because of a narrow therapeutic limit, there are various factors that can increases the risk of intoxication.
Objective: To analyze digoxin intoxication, rate of rehospitalization as well as one-year survival in patients with heart failure who were prescribed digoxin.
Methods: An observational analytic study with a cross-sectional design was conducted at the Harapan Kita National Cardiovascular Center from January 2017 to December 2018. Heart failure patients who received digoxin therapy and had been examined for serum digoxin levels were included in the study. Intoxication was defined as having increased serum digoxin level exceeding 2 ng/ml along with electrocardiogram changes and a minimum of one non-cardiac symptomsRisk factors of intoxication were analyzed by Chi-square test, and one year survival was analyzed with Kaplan Meyer method.
Results: A total of 195 study subjects consisting of 22 (11,3%) subjects with subtherapeutic digoxin levels, 43 (22,1%) were therapeutic, and 70 (35,9%) supratherapeutic and 60 (30,8%) toxic digoxin level were included in the study. There were 32 (16.4%) subjects having digoxin intoxication in this study. Renal insufficiency was revield as significant influencing factor of digoxin intoxication with 2.5 fold increasing risk. Overall, one-year survival of heart failure patients receiving digoxin was 300 days (259 days in non-intoxication group and 307 days in intoxication group). One-year rehospitalization was 11,8% in patients who received digoxin, and 29,2% in those without digoxin (p=0.085).
Conclusion: The proportion of digoxin intoxication in heart failure patient is 16,4%. Renal insufficiency was reviled as significant influencing factor of intoxication. There was a tendency of reduced hospitalization in those who received digoxin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tugiyo
"Pengaruh pemaparan pestisida terhadap pemakai pestisida dapat diketahui secara dini dengan cara mengukur aktivitas kolinesterase darah pemakai pestisida tersebut. Penurunan aktivitas kolinesterase darah seseorang berkurang karena adanya pestisida dalam darah yang membentuk senyawa kolinesterase fosfor sehingga enzim tersebut tidak berfungsi lagi, yang mengakibatkan aktivitasnya akan berkurang.
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah (aktivitas enzim kolinesterase) tenaga kerja perusahaan pengendalian hama di DKI Jakarta oleh Balai Laboratorium Kesehatan DKI Jakarta selama dua tahun berturut-turut (1998-1999) diperoleh data sebagai berikut : tahun 1998, dan 1213 orang yang diperiksa, 100 orang (8,2%) dinyatakan kadar kolinesterase di bawah normal dan pada tahun 1999, dari 1001 orang yang diperiksa, 57 orang (5,7%) dinyatakan kadar kolinesterase di bawah normal.
Masalah yang diteliti dibatasi hanya pada faktor-faktor penyebab terjadinya keracunan pestisida pada tenaga kerja penyemprot di perusahaan pengendalian hama di wilayah DK Jakarta.
Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi ada tidaknya hubungan antara penggunaan alat pelindung diri secara baik dan benar, lamanya pemaparan (jam kerja), dan status gizi (Body Mass Index = BMI) pekerja dengan risiko terjadinya keracunan pestisida, seta mengetahui faktor manakah yang paling dominan terhadap terjadinya keracunan pestisida pada tenaga kerja. Penelitian menggunakan metode Cross sectional study, analisis data menggunakan Chi-Square dan Regresi Logistik. Penelitian dilakukan di 18 perusahaan pengendalian hama dengan 44 orang responden (penyemprot). Data diperoleh melalui wawancara, peninjauan lapangan, dan penelusuran data hasil pemeriksaan aktivitas kolinesterase darah pekerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan alat pelindung diri, lamanya pemaparan (jam kerja), dan status gizi dengan terjadinya keracunan pestisida pada tenaga kerja. Artinya bahwa tenaga penyemprot yang menggunakan alat pelindung diri tidak lengkap mempunyai risiko keracunan pestisida lebih besar dibanding dengan tenaga penyemprot yang menggunakan alat pelindung diri secara lengkap; tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja (terpapar) lebih dari 5 jam mempunyai risiko keracunan pestisida lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja kurang dan 5 jam; tenaga keja yang mempunyai status gizi (BMI) kurang dan 21 mempunyai risiko keracunan lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai status gizi (BMI) lebih dari 21. Faktor paling dominan di antara ketiga penyebab keracunan pestisida pada penyemprot adalah penggunaan alat pelindung diri, artinya penggunaan alat pelindung diri secara lengkap dapat melindungi tenaga penyemprot terhadap keracunan pestisida.
Kesimpulan penelitian ini adalah : (1) Jumlah tenaga penyemprot yang keracunan pestisida karena menggunakan alat pelindung diri (APD) tidak lengkap (70,8%) lebih besar daripada tenaga penyemprot yang menggunakan APD secara lengkap (20,0%), dengan odds rasio 9,71; (2) Jumlah tenaga penyemprot yang keracunan pesitisida karena jam kerja lebih dari 5 jam per hari (73,3%) lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja kurang dari 5 jam per hari (34,5%), dengan odds rasio 5,22; (3) Tenagapenyemprot dengan BMI kurang dari 21 mengalami keracunan pestisida (66,7%) lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai BMI kurang dari 21 (34,6%), dengan odds rasio 3,36.
Saran yang diajukan : (1) Perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan kepada para tenaga penyemprot, khususnya mengenai penggunaan alat pelindung diri, baik oleh pihak perusahaan pengendalian hama maupun Dinas Kesehatan DKI Jakarta; (2) Bagi perusahaan pengendalian hama yang mempekerjakan tenaga penyemprotnya lebih dari 5 jam per hari, disarankan agar mematuhi peraturan jam kerja yang berlaku; (3) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aktivitas kolinesterase untuk penetapan standar keracunan pestisida dalam suatu peraturan perundang-undangan.
SUMMARY
Program of Study in Environmental Science
Postgraduate Program University of Indonesia
Thesis, August 2003
xv + 52; Illustration: 1 picture, 8 tables, and 8 appendices.

Pesticide Intoxication of Workers Employed in the Pest Control Companies in JakartaPesticide intoxication of workers can be identified by measuring of the blood cholinesterase activity. Blood cholinesterase activity of workers as an indicator of the indicator showed in this study.
The results of cholinesterase examined by the Jakarta Health Laboratory on the two consecutive years shown as: in 1998, 100 were out of 1213 workers (8,2%) showed the results of blood cholinesterase value were lower than normal (value 2,3-7,4). In 1999, 57 workers (5,7%) out of 1001, showed the results were lower than normal.
This study was carried out to identify the relationship between those with protective clothing, duration of exposure and nutritional status of workers employed in the 18 pest control companies. Using a cross section study method and chi-square, logistic regression analysis with selected sample of 44 workers and questionnaire admitted from the field.
The results showed that there is a significant relationship between those whose use protective devices (such as clothing, mask, glove, safety shoes), duration of exposure, nutritional of status with who are not used. Its mean workers who are not used those mentioned above will have more risk.
Workers, who work more than 5 hours per day and those who have body mass index of 21 scales, will have high risk. The most dominant factor causing intoxication of this study was the use of protective devices.
The conclusion is : (1) The workers who have of workers pesticide intoxication and not using completely protective devices is (70,8%), more than on those who used it (20,0%); (2) Workers who have more than 5 hours every day duration of exposure is (73,3%); (3) Nutritional of status less than 21 scale of Body Mass Index with intoxication of (66,7%)."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library