Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yoshua Baktiar
"[ABSTRAK
Latar Belakang: Kraniotomi elektif memiliki insidens komplikasi paru pascaoperasi (25%) dan mortalitas (10%) yang tinggi. Pemakaian volume tidal rendah sebagai bagian dari teknik proteksi paru diketahui menurunkan komplikasi paru pascaoperasi. Penelitian ini berusaha mengetahui efek volume tidal 6 mL/kg dan 10 mL/kg terhadap rasio PaO2/FiO2 pascaoperasi pada kraniotomi elektif.
Metoda: Uji klinis acak ini dilakukan di satu rumah sakit pendidikan di Indonesia. Lima puluh dua pasien kraniotomi elektif (usia 18-60 tahun, durasi bedah >4 jam, paru normal) dirandomisasi ke dalam 2 kelompok intervensi: ventilasi mekanik perioperatif dengan volume tidal 6 mL/kg (VT-6) atau 10 mL/kg (VT-10). Hipotesis penelitian ini adalah rasio PaO2/FiO2 kelompok VT-6 lebih tinggi dibandingkan VT-10. Analisis gas darah dilakukan pada 1 jam pascainduksi, akhir operasi, 24 jam pascainduksi dan 48 jam pascainduksi. Komplikasi paru (atelektasis, pneumonia, ARDS, gagal napas) dan komplikasi ekstraparu (SIRS, sepsis, sepsis berat) diobservasi sampai hari ke-7 dan mortalitas pada hari ke-28.
Hasil: Rasio PaO2/FiO2 kelompok VT-6 dan VT-10 secara berurutan adalah: pada 1 jam pascainduksi adalah 413,7 ± 113,4 mmHg dan 401,5 ± 106,3 mmHg (p = 0,69); pada akhir operasi, 466,6 ± 94,6 mmHg dan 471,1 ± 89,0 mmHg (p = 0,86); pada 24 jam pascainduksi, 418,8 ± 108,8 mmHg dan 448,5 ± 119,6 mmHg (p = 0,35); pada 48 jam pascainduksi, 414,9 ± 88,1 mmHg dan 402,5 ± 100,7 mmHg (p = 0,63). Pneumonia ditemukan pada 1 pasien (3,8%) di kelompok VT-6 dan pada 2 pasien (7,6%) di kelompok VT-10. SIRS ditemukan pada 1 pasien (3,8%) di kelompok VT-6 dan pada 2 pasien (7,6%) di kelompok VT-10. Tidak ditemukan komplikasi paru/ekstraparu lain dan mortalitas dalam penelitian ini.
Simpulan: Ventilasi mekanik perioperatif dengan volume tidal 6 mL/kg tidak menghasilkan rasio PaO2/FiO2 yang lebih tinggi pada 1 jam pascainduksi, akhir operasi, 24 jam pascainduksi, dan 48 jam pascainduksi dibandingkan volume tidal 10 mL/kg pada pasien kraniotomi elektif dengan paru sehat. Insidens komplikasi paru/ekstraparu pascaoperasi dan mortalitas serupa di antara kedua kelompok.

ABSTRACT
BACKGROUND: Elective craniotomy is associated with high incidence of postoperative pulmonary complications/PPC (25%) and mortality (10%). Low tidal volume as part of lung protective strategy is known to decrease PPC. We determined to study the effect of low tidal volume solely to postoperative PaO2/FiO2 ratio (PF ratio) in elective craniotomy.
METHODS: This was a randomised control trial in one university hospital in Indonesia. Fifty two patients underwent elective craniotomy (age 18-60 years, duration of surgery >4 hours, normal lung) were ventilated with tidal volume 6 mL/kg (VT-6) or 10 mL/kg (VT-10) perioperatively. We hypothesized that postoperative PaO2/FiO2 ratio in VT-6 is higher than VT-10. Blood gas analysis were measured at 1 hour postinduction, at end of surgery, at 24 hours postinduction and 48 hours postinduction. Postoperative pulmonary complications (atelectasis, pneumonia, ARDS, respiratory failure) were observed on day 7 and mortality on day 28.
RESULTS: PaO2/FiO2 ratio of VT-6 and VT-10 respectively: at 1 hour postinduction, 413.7 ± 113.4 mmHg and 401.5 ± 106.3 mmHg (p = 0.69); at end of surgery, 466.6 ± 94.6 mmHg and 471.1 ± 89.0 mmHg (p = 0.86); at 24 hours postinduction, 418.8 ± 108.8 and 448.5 ± 119.6 mmHg (p = 0.35); at 48 hours postinduction, 414.9 ± 88.1 mmHg and 402.5 ± 100.7 mmHg (p = 0.63). Pneumonia were found in 1 (3.8%) patient in group VT-6 and 2 (7.6%) patients in group VT-10. SIRS were found in 1 (3.8%) in group VT-6 and 2 (7.6%) in group VT-10. No other pulmonary/extrapulmonary complications and mortality were found in this study.
CONCLUSION: Perioperative mechanical ventilation with lower tidal volume (6 mL/kg) does not result in higher postoperative PaO2/FiO2 ratio compared to higher tidal volume (10 mL/kg) in healthy lung patients undergone elective craniotomy. Incidence of postoperative pulmonary/extrapulmonary complications and mortality were similar between both groups. , BACKGROUND: Elective craniotomy is associated with high incidence of postoperative pulmonary complications/PPC (25%) and mortality (10%). Low tidal volume as part of lung protective strategy is known to decrease PPC. We determined to study the effect of low tidal volume solely to postoperative PaO2/FiO2 ratio (PF ratio) in elective craniotomy.
METHODS: This was a randomised control trial in one university hospital in Indonesia. Fifty two patients underwent elective craniotomy (age 18-60 years, duration of surgery >4 hours, normal lung) were ventilated with tidal volume 6 mL/kg (VT-6) or 10 mL/kg (VT-10) perioperatively. We hypothesized that postoperative PaO2/FiO2 ratio in VT-6 is higher than VT-10. Blood gas analysis were measured at 1 hour postinduction, at end of surgery, at 24 hours postinduction and 48 hours postinduction. Postoperative pulmonary complications (atelectasis, pneumonia, ARDS, respiratory failure) were observed on day 7 and mortality on day 28.
RESULTS: PaO2/FiO2 ratio of VT-6 and VT-10 respectively: at 1 hour postinduction, 413.7 ± 113.4 mmHg and 401.5 ± 106.3 mmHg (p = 0.69); at end of surgery, 466.6 ± 94.6 mmHg and 471.1 ± 89.0 mmHg (p = 0.86); at 24 hours postinduction, 418.8 ± 108.8 and 448.5 ± 119.6 mmHg (p = 0.35); at 48 hours postinduction, 414.9 ± 88.1 mmHg and 402.5 ± 100.7 mmHg (p = 0.63). Pneumonia were found in 1 (3.8%) patient in group VT-6 and 2 (7.6%) patients in group VT-10. SIRS were found in 1 (3.8%) in group VT-6 and 2 (7.6%) in group VT-10. No other pulmonary/extrapulmonary complications and mortality were found in this study.
CONCLUSION: Perioperative mechanical ventilation with lower tidal volume (6 mL/kg) does not result in higher postoperative PaO2/FiO2 ratio compared to higher tidal volume (10 mL/kg) in healthy lung patients undergone elective craniotomy. Incidence of postoperative pulmonary/extrapulmonary complications and mortality were similar between both groups. ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Raymond Rumantir Wardhana
"Latar belakang: Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) merupakan tumor jinak nasofaring yang bersifat hipervaskular, agresif lokal, dan destruktif. Pencitraan sebelum pembedahan untuk menentukan ukuran dan perluasan tumor, serta embolisasi preoperatif dapat mempengaruhi jumlah perdarahan intraoperatif, yang merupakan salah satu faktor morbiditas pada pasien JNA. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh karakteristik tumor antara lain ukuran tumor, staging, dan pembuluh darah yang memperdarahi tumor, serta efek dari embolisasi preoperatif terhadap jumlah perdarahan intraoperatif.
Metode: Penelitian dilakukan pada pasien JNA yang menjalani embolisasi preoperatif dan operasi pengangkatan tumor di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo sejak tahun 2018 hingga Maret 2022. Dilakukan penilaian ukuran tumor dan staging, serta identifikasi feeding artery menggunakan CT/MRI dan juga DSA embolisasi preoperatif, kemudian dilakukan analisis perbandingan dan korelasi terhadap jumlah perdaran intraoperatif.
Hasil: Terdapat 21 pasien JNA yang menjalani embolisasi preoperatif dan pengangkatan tumor. Didapatkan perbedaan jumlah perdarahan intraoperatif yang bermakna antara pasien JNA stadium III dibandingkan dengan stadium I-II (p=0,006). Jumlah perdarahan intraoperatif lebih banyak pada tumor yang berukuran lebih besar, namun didapatkan korelasi yang lemah (R=0,43; p=0,051). Jumlah perdarahan intraoperatif juga berbeda bermakna pada tumor JNA dengan feeding artery dari kedua sisi arteri maksilaris interna dengan tumor JNA yang mendapatkan feeding artery satu sisi arteri maksilaris interna saja (p=0,009), serta keterlibatan feeding artery dari cabang arteri karotis interna (p=0,023). Persentase pembuluh darah yang dilakukan embolisasi preoperatif, juga mengurangi jumlah perdarahan intraoperatif (R=-0,36; p=0,113).
Kesimpulan: Pencitraan preoperatif pada pasien JNA memegang peranan penting dalam menentukan perluasan tumor (staging), ukuran tumor, dan feeding artery yang berpengaruh terhadap jumlah perdarahan intraoperatif pada pasien JNA. Tindakan embolisasi preoperatif juga memiliki peranan penting dalam mengurangi jumlah perdarahan intraoperatif

Background: Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) is a benign tumor of the nasopharynx that is hypervascular, locally aggressive, and destructive. Imaging before surgery to determine the size and extent of the tumor, as well as preoperative embolization can affect the amount of intraoperative bleeding, which is one of the morbidity factors in JNA patients. This study aimed to assess the effect of tumor characteristics such as tumor size, staging, and blood vessels supplying the tumor, as well as the effect of preoperative embolization on the amount of intraoperative bleeding.
Methods: The study was conducted on JNA patients who underwent preoperative embolization and surgical removal of tumors at the Cipto Mangunkusumo National General Hospital from 2018 to March 2022. Tumor size and staging were assessed, as well as identification of feeding arteries using CT/MRI and DSA preoperative embolization, then we performed a comparative and correlation analysis of the amount of intraoperative bleeding.
Results: There were 21 JNA patients who underwent preoperative embolization and tumor removal. There was a significant difference in the amount of intraoperative bleeding between patients with stage III JNA compared to stage I-II (p = 0.006). The amount of intraoperative bleeding was higher in larger tumors, but a weak correlation was found (R=0.43; p=0.051). The amount of intraoperative bleeding was also significantly different in JNA tumors with feeding arteries from both sides of the internal maxillary artery compared to JNA tumors with feeding arteries on one side of the internal maxillary artery only (p=0.009), and the involvement of feeding arteries from the internal carotid artery branch (p=0.023). The percentage of vessels that underwent preoperative embolization also reduced the amount of intraoperative bleeding (R=-0.36; p=0.113).
Conclusion: Preoperative imaging in JNA patients plays an important role in determining tumor expansion (staging), tumor size, and feeding arteries that affect the amount of intraoperative bleeding in JNA patients. Preoperative embolization also have an important role in reducing the amount of intraoperative bleeding.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahyussalim
"Buku ini menjelaskan secara ringkas teori-teori praktis yang menjadi dasar dalam memonitor dan mengelola fungsi saraf menggunakan alat IONM selama operasi tulang belakang berlangsung."
Depok: Penerbit Media Aesculapius, 2018
617.4 RAH i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Annemarie Chrysantia Melati
"Latar Belakang: Hipotermia intraoperatif pada pasien geriatri yang menjalani pembedahan merupakan hal yang cukup sering ditemukan. Hipotermia memiliki dampak negatif terhadap pasien yang menjalani pembedahan, antara lain meningkatnya lama pemulihan pascaanestesia, risiko infeksi luka operasi, dan komplikasi kardiovaskular. Pada penelitian ini menganalisa hubungan kejadian hipotermia intraoperatif pada pasien geriatri yang menjalani pembedahan dalam anestesia umum dengan lama rawat di rumah sakit, kekerapan kejadian infeksi luka operasi, dan komplikasi kardiovaskular pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif terhadap 110 subjek penelitian selama November 2018-Januari 2019. Subjek penelitian adalah pasien geriatri yang berusia di atas 60 tahun yang menjalani pembedahan dalam anestesia umum dengan/tanpa anestesia regional. Kriteria penolakan adalah pasien dengan gangguan termoregulasi, gangguan tiroid, mengalami hipotermia pada saat kunjungan preoperatif dan demam dalam 1 minggu sebelum operasi, dan dalam terapi antipiretik rutin.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan proporsi kejadian hipotermia intraoperatif pada pasien geriatri adalah sebanyak 67,3%. Hipotermia intraoperatif tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan lama rawat di rumah sakit (nilai p = 0,221). Hipotermia intraoperatif juga tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kekerapan kejadian infeksi luka operasi (nilai p = 0,175) dan komplikasi kardiovaskular (nilai p = 0,175).
Simpulan: Hipotermia intraoperatif tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan lama rawat di rumah sakit, kekerapan kejadian infeksi luka operasi dan komplikasi kardiovaskular.

Background: Intraoperative hypothermia among geriatric patients undergoing surgery is commonly found. Hypothermia is associated with negative impact postoperatively, such as increased surgical site infections, prolonged hospital stay, and increased cardiovascular complications. This study aimed to analyse the association between intraoperative hypothermia with length of stay, surgical site infection, and cardiovascular complication among geriatric patients undergoing surgery with general anesthesia.
Methods: This was a prospective cohort study for 110 research subjects from November 2018-January 2019. Research subjects were geriatric patients older than 60 years old undergoing surgery with general anesthesia with/without regional anesthesia. Exclusion criteria were patients with thermoregulation problem, thyroid problem, suffered from hypothermia or fever preoperatively, and with routine antipyretic medication.
Results: In this study, the incidence of intraoperative hypothermia among geriatric patients undergoing surgery with general anesthesia was 67,3%. Intraoperative hypothermia did not have significant association with length of stay (p-value = 0.221). Intraoperative hypothermia also did not have significant association with surgical site infection (p-value = 0.175) and cardiovascular complication (p-value = 0.175).
Conclusion: Intraoperative hypothermia did not have significant association with length of stay, surgical site infection, and cardiovascular complication.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Omega
"Latar belakang: Relaksasi otak saat pembukaan dura merupakan aspek yang penting pada operasi kraniotomi tumor. Secara teori, lidokain dapat menurunkan metabolisme otak (CMRO2), menurunkan CBF dan CBV, sehingga berpotensi menurunkan ICP dan menghasilkan relaksasi otak yang baik. Lidokain juga diketahui memiliki efek analgesia dan antiinflamasi. Hingga saat ini, belum ada penelitian yang meneliti mengenai efek infus lidokain intravena kontinu intraoperatif terhadap relaksasi otak saat pembukaan dura, kebutuhan opioid intraoperatif dan kepuasan operator pada pasien dewasa yang menjalani operasi kraniotomi.
Metode: Penelitian ini merupakan randomized controlled trial dengan pengambilan sampel secara Consecutive sampling. Sebanyak 60 subjek yang akan menjalani operasi kraniotomi tumor dimasukkan ke dalam penelitian. Subjek penelitian akan diberikan lidokain (2%) intravena bolus 1,5 mg/kg saat induksi dilanjutkan rumatan 2 mg/kg/jam hingga selesai jahit kulit (kelompok lidokain) atau diberikan NaCl 0,9% dengan volume yang sama (kelompok Plasebo). Relaksasi otak saat pembukaan dura dinilai oleh operator Bedah Saraf dengan skala 4 derajat, kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif dalam mcg dan mcg/kg/menit, serta kepuasan operator dengan skala 4 derajat.
Hasil: Enam puluh subjek, dengan 30 subjek pada tiap kelompok, mengikuti penelitian hingga selesai. Infus lidokain intravena kontinu intraoperatif menghasilkan relaksasi otak yang baik saat pembukaan dura sebesar 96,7% (vs plasebo sebesar 70%, p = 0,006), kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif sebesar 369,2 mcg (vs plasebo sebesar 773,0 mcg, p < 0,001) atau sebesar 0,0107 mcg/kg/menit (vs plasebo sebesar 0,0241 mcg/kg/menit, p < 0,001), dan menghasilkan kepuasan operator yang puas sebesar 96,7% (vs plasebo sebesar 70%, p = 0,006). Tidak ada efek samping lidokain yang tampak selama penelitian.
Simpulan: Infus lidokain intravena kontinu intraoperatif dibandingkan plasebo dapat meningkatkan proporsi relaksasi otak yang baik saat pembukaan dura, menurunkan kebutuhan opioid intraoperatif, dan meningkatkan proporsi kepuasan operator yang puas pada pasien dewasa yang menjalani operasi kraniotomi tumor.

Background: Brain relaxation after dural opening is important aspect in craniotomy tumor removal operation. Theoretically, lidocaine can decrease brain metabolism (CMRO2), decrease CBF and CBV, and has potential to decrease ICP and resulting excellent brain relaxation after dural opening. Lidocaine also has analgesic and anti-inflammatory effect. Until now, there is no study analyze continous intravenous Lidocain infussion effect to brain relaxation, intraoperative opioid consumption and surgeon’s satisfactory in adult population undergo craniotomy tumor removal operation.
Methods: This study is randomized controlled trial with Consecutive sampling. Sixty subject scheduled for craniotomy removal tumor were enrolled. Subject received either a dose of lidocaine (2%) intravenous bolus 1.5 mg/kg before induction followed by an infussion at a rate 2 mg/kg/h until skin closure (Lidocaine group) or the same volume of NaCl 0.9% (Placebo group). Brain relaxation was evaluated by Neurosurgeon with a four-point scale, total intraoperative opioid consumption in mcg and mcg/kg/minutes, and surgeon’s satisfactory with a four-point scale.
Results: All of sixty subjects completed the study. Lidocaine group resulting good brain relaxation after dural opening in 96.7% subject (vs 70% subject in placebo group, p < 0.006), intraoperative fentanyl consumption was 369.2 mcg (vs 773.0 mcg in placebo group, p < 0,001) or 0.0107 mcg/kg/minutes (vs 0.0241 mcg/kg/minutes in placebo group, p < 0,001), and resulting good surgeon’s satisfactory in 96.7% subject (vs 70% subject in placebo group, p = 0.006). There is no side effect of lidocaine infussion was observed during this study.
Conclusions: Continous lidocaine intravenous infussion intraoperatively can increase proportion of good brain relaxation after dural opening, decrease intraoperative opioid consumption, and increase proportion of good surgeon’s satisfactory compared to Placebo in adult population undergo craniotomy tumor removal operation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Harisandi
"Pendahuluan. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan untuk melakukan pengkajian nilai batasan bloodflow rate BFR intraoperatif menggunakan ultrasonografi Doppler dalam memprediksi maturitas fistula brakiosefalika dengan sampel yang lebih besar dan lebih spesifik untuk mendapatkan nilai dengan tingkat error dan bias lebih rendah, sehingga nantinya dapat dijadikan referensi di divisi Bedah Vaskular RSCM.
Metode. Dilakukan studi potong lintang analitik di Divisi Vaskular Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSCM, Jakarta yang melibatkan semua penderita gagal ginjal stadium 4-5 akibat nefropati diabetik yang akan dihemodialisis dengan akses vaskular fistula brakiosefalika.
Hasil. Terdapat 71 subjek dengan rerata BFR 249,15 86,86 mL/menit, rerata diameter arteri 3,3 mm 2,0-7,4 mm dan rerata diameter vena 3 mm 2,1-5,6 mm. Analisis statistik menunjukkan bahwa hanya BFR yang berhubungan bermakna dengan maturitas AVF p80.

Introduction. This research is a follow-up study to determine the value limits of bloodflow rate BFR intraoperative using Doppler ultrasound to predict maturity of brachiocephalic fistula with a larger sample and to obtain lower level of error and bias, so it can be used as a reference in the Vascular Surgery division, Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods. Cross-sectional design with analytic fashion conducted at Division of Vascular Surgery Department of the Faculty of medicine - Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta with all patients with stage IV-V CKD, due to diabetic nephropathy who planned to get vascular access for hemodialysis brachiocephalic fistula.
Result. Total subject are 71 with mean bloodflow rate is 249.15 86.86 mL / min, mean arterial diameter is 3.3 mm 2.0 to 7.4 mm and the mean diameter of the vein is 3 mm 2.1 to 5.6 mm . Only BFR associated significantly with maturity AVF p
BFR intraoperatif, maturitas AV fistula, brakiosefalika, sensitivitas, spesifisitas
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irza Mirharina
"Karya Ilmiah Akhir ini merupakan analisis dari seluruh kegiatan praktik residensi Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah. Praktik residensi ini telah dilaksanakan selama 1 tahun (2 semester) yang bertujuan untuk melakukan penerapan dan pendalaman ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah dalam praktiknya menjalankan peran sebagai pemberi asuhan, pendidik, peneliti dan inovator. Residen menerapkan Teori Keperawatan Unitary of Human Being Martha E Roger selama dalam memberikan asuhan keperawatan. Peran sebagai pemberi asuhan diterapkan pada 30 pasien dengan berbagai gangguan kardiovaskuler baik medikal maupun bedah dan satu pasien kasus kelolaan utama dengan diseksi aorta. Peran sebagai pendidik dijalankan dengan edukasi terhadap pasien dan keluarga serta pelaksanaan journal reading dan studi kasus untuk rekan sejawat. Hasil analisis praktik menunjukan bahwa teori keperawatan Unitary of Human Being dapat diterapkan pada asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler. Peran sebagai peneliti dilakukan dengan menerapkan tindakan keperawatan berbasis bukti dengan terapi komplementer akupressur untuk mengatasi nyeri pasca operasi jantung. Hasil penerapan didapatkan bahwa akupressur dapat menurunkan level nyeri. Peran sebagai inovator dijalankan dengan menyusun form Handover intraoperaive pada penggantian personal saat operasi jantung berlangsung.

The final scientific paper is the analysis of all activities of Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah practice. The clinical residency practice is conducted for 1 years (2 semesters) and aims to implement and explore the knowledge. In health service nurses contribute as a care provider, educator, researcher and innovator. The nursing care on cardiovascular system disorder is using Rogers’ Science of Unitary Human Being approach to 30 patients with various cardiovasculer dissorders in medcal and surgical cases and a patient with aortic dissection. The role of educator is carried out by educating patients and families as well as conducting journal reading and case studies for colleagues. The analysis show that Science of Unitary Human Being can be applied to nursing care in patients with cardiovascular disorders. The role as a researcher has been carried out by applying evidence-based nursing practice with acupressure as complementary modalities on pain after cardiac surgery. The results of the application found that acupressure can reduce pain levels. As an innovator, the practician trying to create intaoperative handover form on personal change during cardiac surgery."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Kusuma
"Latar Belakang : Anestesia regional dengan blok peribulbar merupakan teknik anestesia alternatif pada operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Umumnya anestetika lokal yang paling sering dipakai adalah campuran bupivakain yang mempunyai durasi panjang dan lidokain yang mempunyai onset cepat. Di rumah sakit kami, median waktu sejak dimulainya blok hingga dimulainya operasi adalah lebih dari 20 menit dan temuan ini menunjukkan bahwa untuk peribulbar anestesia tidak diperlukan anestetika lokal dengan onset yang cepat. Tujuan studi ini untuk mengetahui keefektifan blok peribulbar inferotemporal menggunakan anestetika tunggal bupivakain 0.5% dibandingkan dengan campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% untuk blok peribulbar pada pasien yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsification.
Metode : Penelitian ini dilakukan pada 70 pasien yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Secara random 35 pasien menggunakan anestesia blok peribulbar dengan anestetika campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% (kelompok 1) dan 35 pasien menggunakan anestesia blok peribulbar dengan anestetika tunggal bupivakain 0.5% (kelompok 2). Skor akinesia bola mata dinilai pada menit ke 5, 10, 15 dan 20 setelah penyuntikan anestetika lokal. Analgesia, waktu antara dimulainya blok hingga dimulainya operasi, lamanya operasi, penambahan anestetika topikal intraoperatif dan insidens efek samping terkait blok peribulbar dicatat.
Hasil: Skor akinesia pada menit ke 5 dan 10 setelah penyuntikan lebih rendah secara bermakna pada kelompok 1 (p<0.05). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok dalam hal skor akinesia pada menit ke 15 dan 20 setelah penyuntikan. Analgesia, total lamanya operasi, penambahan anestetika topikal intraoperatif dan efek samping terkait blok peribulbar tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.
Simpulan : Kecuali onset yang lebih cepat pada kelompok anestetika campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2%, bupivakain tunggal 0.5% sama efektif dibandingkan campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% untuk blok peribulbar pada operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Data tersebut didapatkan bahwa bupivakain tunggal 0.5% dapat digunakan pada kasus dimana blok dengan onset yang cepat tidak diperlukan.

Background : Regional anesthesia provided by a peribulbar block is an alternative anesthetic technique in cataract surgery. Generally, the most frequently used local anesthetic agent is a mixture of bupivacaine which has a long duration of effect and lidocaine which has a rapid onset of action. In our centre, the median time from the start of peribulbar blockade to start surgery was more than 20 minutes and these findings suggest that it is not necessary to use a local anesthetic with a quick onset of action for peribulbar anesthesia. The purpose of this study was to determine the effectiveness of single injection inferotemporal peribulbar block using 5 mL of plain bupivacaine 0.5% compared with a 1:1 mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2% in patients underwent cataract surgery with phacoemulsification.
Methods : A total of 70 patients scheduled for phacoemulsification cataract surgery with peribulbar anesthesia were randomly allocated into two groups of 35 patients each, to receive 5 ml of a 1:1 mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2% (group 1), or plain bupivacaine 0.5% (group 2). Ocular movement scores were evaluated at 5, 10, 15 and 20 minutes after injection. Analgesia, time from block to start surgery, duration of surgery, need for supplementary anesthesia and the incidence of perioperative complication were recorded.
Results: The ocular movement scores at mins 5 and 10 were significantly lower in group 1 (p<0.05). There were no significant difference among the groups in ocular movement scores at mins 15 and 20. Analgesia, time from block to start surgery, duration of surgery, need for supplementary anesthesia and the incidence of perioperative complication did not differ among the groups.
Conclusion : Except for a significantly faster onset of peribulbar block with a mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2%, 0.5% bupivacaine as the sole agent was equally effective in inducing satisfactory peribulbar anesthesia for phacoemulsification cataract surgery. These data suggest that plain bupivacaine 0.5% may be suitable where the rapidity of onset of block is not necessary.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christella Natalia P
"Latar Belakang: Prosedur pembedahan dekompresi dan stabilisasi posterior menimbulkan nyeri pascabedah yang mengganggu proses penyembuhan dan mobilisasi dini pasien. Blok TLIP klasik dan modifikasi efektif mengurangi nyeri perioperatif pembedahan tulang belakang. Penanganan nyeri yang baik akan mempercepat proses penyembuhan dan mobilisasi pascabedah.
Tujuan: Membandingkan efektivitas antara blok TLIP klasik dan modifikasi sebagai analgesia perioperatif pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior thoracolumbar terhadap kebutuhan fentanyl intraoperasi, stabilitas hemodinamik intraoperasi, rerata qNox intraoperasi, total kebutuhan morfin pascabedah, rerata NRS pada 6 dan 12 jam pascabedah dan konsentrasi Intraleukin 6 pada 6 dan 12 jam pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, uji klinis acak tersamar tunggal dengan 24 subjek pembedahan dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal di Instalasi Bedah Pusat RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subjek dirandomisasi dalam dua kelompok: kelompok blok TLIP klasik (n-12) dan modifikasi (n=12). Kedua kelompok mendapat bupivakain 0,25% total volume 20 cc stiap sisi. Data yang diolah berupa rerata qNox, fentanyl intraoperatif, total morfin 24 jam pascabedah, rerata NRS pada 6 dan 12 jam pascabedah dan konsentrasi IL-6 pada 6 dan 12 jam pascabedah.
Hasil: Rerata qNox, total morfin 24 jam pascabedah, rerata NRS dan IL-6 pada 6 dan 12 jam pascabedah tidak berbeda bermakna pada grup TLIP klasik dan modifikasi. Total konsumsi fentanyl intraoperatif pada grup TLIP modifikasi berbeda bermakna dibandingkan TLIP klasik (p<0,05).
Simpulan: Blok TLIP modifikasi lebih efektif mengurangi kebutuhan opioid intraoperatif dibandingkan blok TLIP klasik pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior thoracolumbar.

Background: Posterior Stabilization and Decompression procedures are related with severe postoperative pain and stres response. Both modified and classic Thoracolumbar Interfascial Plane Block proven reduced pain perioperatively. Adequate analgesia perioperatively fasten recovery and mobilization postoperatively.
Objective: Compare effectiveness of modified and classic TLIP block as perioperative analgesia in thoracolumbar decompression and posterior stabilization procedures in hemodynamic stability intraoperatively, total fentanyl consuption intraoperatively, mean qNox intraoperatively, total morphine consumpetion postoperatively, mean NRS and Interleukin 6 at 6 and 12 hours postoperatively.
Methods: this study was an experimental, single-blind, randomized controlled trial of 24 subjects who underwent thoracolumbar decompression and posterior stabilization at Central Surgical Unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusuo Jakarta. Subjects were randomized into two groups: Modified TLIP group (n=12) and Classic TLIP group (n=12). Both were received marcain 0,25% 20 ml each side. Data intraoperative taken were intraoperative fentanyl, hemodinamic stability and mean qNox. Data postoperative taken were total morphine 24 hours, IL-6 6 and 12 hours and mean NRS. Data analysis taken with Mann-Whitney and unpaired t test.
Results: Hemodinamic stability, mean qNox, total morphine 24 hours, mean NRS, IL-6 postoperatively were not significantly different (p>0,05). Only total intraoperative fentanyl were significantly lower in modified TLIP group compared classic TLIP group.
Conclusion: Modified TLIP group was more effective to decrease intraoperative opioid compare to classic TLIP group. Modified TLIP group were not significantly reduce opioid consumption, IL-6, mean NRS postoperatively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ulya Amanina
"Pendahuluan: Perdarahan intraoperatif menjadi penyebab utama terjadi henti jantung di ruang operasi. Perdarahan dapat ditangani dengan pemberian transfusi. Pemberian transfusi berisiko menyebabkan infeksi dan reaksi alergi sehingga tidak semua pasien dengan perdarahan diberikan transfusi. Jumlah transfusi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kadar Hb praoperasi, jumlah perdarahan, gangguan hemodinamik serta perkiraan allowable blood loss. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis terdapat hubungan antara faktor-faktor tersebut terhadap jumlah transfusi pada pasien perdarahan intraoperatif Metode: Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan desain potong-lintang. Data diperoleh dari 84 rekam medis pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Data yang dianalisa adalah kadar Hb praoperasi, jumlah perdarahan, gangguan hemodinamik, perkiraan allowable blood loss dan jumlah transfusi intraoperatif. Uji yang dilakukan adalah uji bivariat pada masing-masing faktor dengan uji korelasi Pearson, Spearman dan uji komparatif Mann Whitney menggunakan perangkat lunak SPSS versi 20. Hasil: Didapatkan bahwa jumlah perdarahan (p=0,000) mempengaruhi jumlah transfusi. Pada kelompok dengan gangguan hemodinamik didapatkan perbedaan jumlah transfusi dibandingkan dengan kelompok tanpa gangguan hemodinamik (p=0,009). Hb praoperasi dan perkiraan allowable blood loss tidak mempengaruhi jumlah transfusi (p=0,794, p=0,250). Kesimpulan: Jumlah perdarahan berhubungan dengan jumlah transfusi. Nilai Hb praoperasi dan perkiraan allowable blood loss tidak berhubungan dengan jumlah transfusi intraoperatif.

Introduction: Intraoperative haemorrhage is the leading cause of cardiac arrest in surgery. Transfusion can be given to replace intraoperative blood loss. Transfusion can trigger infection and allergy reactions. Hence it must be given cautiously. Blood transfusion volume can be related to many factors, ie, preoperative hemoglobin value, blood loss volume, the presence or absence of hemodynamic instability, and allowable blood loss value. This study aimed to know the relationship between those factors and the blood transfusion volume. Method: This was an observational analytic study with a cross-sectional design that included 84 patients who had received an intraoperative blood transfusion in Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta. Preoperative hemoglobin, blood loss volume, estimated allowable blood loss, hemodynamic instability, and intraoperative blood transfusion volume data were obtained from medical records and analyzed. Bivariate test (Pearson, Spearman correlation test, and the Mann Whitney comparative test, was performed using SPSS ver. 20.0. Results: Blood loss volume (p=0,000) was significantly associated with the blood transfusion volume. Blood transfusion volume was significantly different in patients with hemodynamic instability than patients with stable hemodynamic (p=0.009). Preoperative hemoglobin level and estimated allowable blood loss value were not significantly associated with blood transfusion volume (p=0.794 and p=0.250, respectively). Conclusion: Blood loss volume was significantly related to blood transfusion volume. Preoperative hemoglobin level and estimated allowable blood loss were not significantly associated with blood transfusion volume."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>