Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anne Gunadi M Widjojo
"ABSTRAK
Perjanjian simulasi atau perjanjian pura-pura atau perjanjian persekongkolan diartikan sebagai perjanjian dimana keadaan yuridis dari suatu perbuatan hukum tersebut disembunyikan dari pihak ketiga. Perjanjian simulasi terjadi bilamana ada dua persetujuan yaitu persetujuan lanjutan (akta lanjutan) dibuat berbeda dengan persetujuan semula (akta aslinya) dan keadaan yuridis dari perbuatan hukum lanjutan disembunyikan dari pihak ketiga. Persetujuan lanjutan jika memuat kausa yang terlarang disebut perjanjian simulasi absolut dan jika kausanya tidak terlarang disebut perjanjian semulasi relatif. Perjanjian simulasi secara teknis yuridis terjadi jika ada pertentangan antara kehendak dan pernyataan yang tidak diketahui oleh pihak ketiga atau suatu perjanjian yang dibuat dengan kausa yang palsu. Akibat Hukum dari perjanjian simulasi yang keadaan yuridis dari perbuatan hukum yang disembunyikan dari pihak ketiga tidak berlaku bagi pihak ketiga yang beritikad baik. Dalam praktek notaris di Kabupaten Bandung Barat didapat ada bentuk-bentuk perjanjian smulasi dengan berbagai variasi, ada yang kausanya palsu dan ada yang kausanya terlarang.

Abstract
Simulation agreement or pretense agreement or conspiracy agreement is taken to mean an agreement in which the judicial situation of a legal act is hidden from the third party. A simulation agreement occurs when there are two agreements, namely a subsequent agreement is made different from the first agreement (its original deed) and the legal act of the subsequent agreement is hidden from the third party. If the subsequent agreement contains a forbidden cause, it is called absolute simulation agreement and if it contains a non-forbidden cause, it is called relative simulation agreement. Technically and judicially, a simulation agreement occurs if there is contradiction between the will and the statement that is not known by the third party or an agreement made with a false cause. The legal consequence of a simulation agreement in which the judicial situation of a legal act is hidden from the third party does not apply to the third party who has good will. In the practice of notaries in Bandung barat Regency are found varied forms of simulation agreements, the causes of some are false and causes of some others are forbidden.
"
2012
T30594
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Aussielia Amzulian
"Itikad tidak baik merupakan salah satu dasar untuk membatalkan pendaftaran suatu merek. Pada sengketa merek yang memiliki persamaan dengan merek terkenal, itikad tidak baik seringkali dianggap ada. Pertanyaan pokok yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah apakah pemilik merek terdaftar yang mereknya memiliki persamaan dengan merek terkenal dapat selalu dianggap memiliki itikad tidak baik dalam mendaftarkan dan menggunakan mereknya. Tulisan ini menganalisis berbagai sengketa merek terkenal dalam putusan pengadilan. Kesimpulan yang diperoleh dari tulisan ini adalah bahwa pemilik merek terdaftar yang mereknya memiliki persamaan dengan merek terkenal tidak dapat selalu dianggap memiliki itikad tidak baik, karena terdapat beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan dalam membuktikan adanya tidaknya itikad tidak baik dari suatu pihak.

Bad faith is one of the reasons to cancel an application of a trademark. In trademark disputes, when having similarities with a well-known mark, judges often assume that the trademark owner always has bad faith. The legal issue in this article is whether a trademark owner that it?s trademark has similarities with a well-known mark always has bad faith in filing and using it?s trademark. This article will analyze well-known mark cases from court rulings. This article concludes that bad faith doesn?t always exist when a trademark has similarities with a well-known mark, because there are some conditions that could be considered to prove that a party does not have bad faith.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S61805
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mitha Gustina
"Pembahasan dalam penelitian ini terkait dengan kendala dalam Undang-Undang Yayasan khususnya terhadap pengaturan itikad baik dalam kewenangan organ yayasan dan perbandingan ketentuan hukum yang terdapat dalam kasus Yayasan Teungku Fakinah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa kendala dalam Undang-Undang Yayasan yang dapat menyebabkan adanya pelanggaran itikad baik oleh organ yayasan . Metode dari penelitian ini adalah Doktrinal (yuridis-normatif) dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Kesimpulan dari penelitian ini adalah Undang-Undang Yayasan masih memiliki kendala khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai itikad baik dibuktikan dengan adanya kasus Yayasan Teungku Fakinah yang menyebabkan adanya perbedaan pendapat hakim dalam memutus perkara dikarekan tidak adanya pemahaman yang utuh mengenai makna itikad baik.

The discussion in this study is related to the obstacles in the Foundation Law; especially, regards to the regulation of good faith within the authority of foundation organs and a comparison of the legal provisions contained in the case of the Teungku Fakinah Foundation. Furthermore, the aim of this study is that to analyze the obstacles in the Foundation Law which can cause violations of good faith by foundation organs. The method of this study was doctrinal (juridical-normative) with a statute and case approach. The conclusion is that the Foundation Law still has obstacles; especially, those relating to provisions regarding good faith. It was proved by the Teungku Fakinah Foundation case which caused differences of opinion among judges in deciding cases due to the lack of a complete understanding of the meaning of good faith."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zarra Nur Alyani
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana pandangan hakim dalam putusan-putusan pengadilan mengenai pembeli beritikad baik, terutama tentang ada atau tidaknya kewajiban dari pembeli untuk memeriksa/mengecek objek jual beli terlebih dahulu sebelum dilaksanakannya jual beli. Disusun dengan menggunakan metode yuridis normatif, pembahasan dalam skripsi ini dilakukan dengan menjabarkan teori-teori dasar dari perjanjian jual beli seperti pengertian, objek, saat terjadinya, kewajiban para pihak dalam jual beli serta bagaimana jual beli atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Mengenai itikad baik selanjutnya dibahas dalam lingkup sejarah dan perkembangannya, pengertian, kedudukan itikad baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan fungsinya dalam perjanjian.
Pada penelitian ini, Penulis menganalisis bagaimana para hakim di pengadilan baik tingkat pertama maupun tingkat kasasi menafsirkan seseorang yang dikatakan sebagai pembeli beritikad baik. Hasil dari analisis dimuat dalam tabel yang dikategorikan berdasarkan objek jual beli yaitu benda bergerak berwujud, benda bergerak tidak berwujud, dan benda tidak bergerak. Adapun hasil dari penelitian ini merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk membuat suatu pengaturan atau pedoman yang jelas dan terperinci mengenai asas itikad baik di Indonesia, terutama dalam mengukur pembeli beritikad baik.

This thesis discusses about judge’s standpoint in court verdicts regarding the good faith purchaser, particularly whether there is an obligation of the buyer to check the object first before purchasing or not. Formulated using a normative juridical method, the study is carried out by elaborating the fundamental theories of a sale and purchase agreement such as the definition, objects, time of occurrence, obligations of both parties, and the legal basis of trade of movable and immovable goods. For the good faith principle also discussed from the historical scope, definition, the arrangement of good faith in Indonesian Civil Code, and its function in the agreement.
The author will analyze how the judges at the first level court and the cassation level decipher about people who is being categorized as the good faith purchaser. The result of the analysis will be consisting of tables that are categorized by type of objects, which are tangible movable objects, intangible movable objects, and immovable objects. For the result of this research are to recommend the Indonesian Government to make a clear and detailed arrangement or guideline of the good faith principle in Indonesia, especially in identifying the good faith purchaser.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hilman Hakim
"Asas itikad baik dalam perjanjian jual beli merupakan faktor yang sangat penting, sehingga pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum secara wajar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, perlindungan disini pun diperlukan ketika obyek jual beli tersebut dijadikan jaminan pelunasan kredit dengan dibebani hak tanggungan oleh pihak penjual kepada kreditor. Berdasarkan atas ciri-ciri hak tanggungan, maka diperlukan perlindungan yang seimbang, karena hukum bukan hanya memperhatikan kepentingan kreditor. Perlindungan juga diberikan kepada debitor dan pemberi hak tanggungan, bahkan juga kepada pihak ketiga yang kepentingannya bisa terpengaruh oleh cara penyelesaian utang-piutang kreditor dan debitor. Pihak ketiga itu khususnya para kreditor yang lain dan pihak yang membeli obyek hak tanggungan. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Itikad baik dalam perjanjian jual beli merupakan asas yang sangat penting dan pihak-pihak yang beritikad baik harus dilindungi. Dari hasil analisa penelitian ini, ternyata pembeli yang beritikad baik masih kurang mendapat perlindungan hukum.

The principle of good faith in the purchase agreement is a very important factor, so the buyer is acting in good faith, will receive equal legal protection in accordance with the legislation in force, the protection is needed here, even when the object is to serve as collateral for the purchase and sale of credit with a mortgage taxed by the seller to the creditors. Based on the characteristics of the mortgage, would require a balanced protection, because the law is not only the interests of creditors. Protection is also given to the debtor and of their mortgages, even to third parties whose interests may be affected by the method of payment of the debts of debtors and creditors. The third was particularly creditors and other interested parties who bought the rights of the dependent objects. This study descriptively analyzed analytically using a normative juridical approach. Good faith in the purchase agreement is a very important principle and parties acting in good faith should be protected. From the analysis of this research, it turns out good faith purchaser still receives less legal protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28897
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Sakinah
"PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai hak atas tanah, salah satunya ialah Akta Hibah. Hibah ialah perjanjian sepihak dimana pihak pertama akan menyerahkan suatu benda karena kebaikannya kepada pihak lain. Dalam pelaksanaannya, hibah harus memenuhi syarat objektif maupun subjektif. Tidak terpenuhinya syarat materiil menyebabkan suatu perbuatan hukum menjadi batal demi hukum seperti pada Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 195/Pdt.G/2020/PN Blb yang mana hakim menyatakan batal demi hukum akta hibah yang dibuat berdasarkan identitas palsu. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. tanggung jawab PPAT terhadap pembuatan akta hibah berdasarkan identitas palsu, 2. akibat hukum pembatalan akta hibah, 3. implementasi asas itikad baik atas peralihan hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan negeri bale bandung Nomor 195/Pdt.G/PN Blb. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah PPAT tidak bertanggung jawab atas pembuatan akta hibah yang memuat identitas palsu sebab PPAT hanya bertanggung jawab atas kebenaran formiil, 2. Akta hibah yang memuat identitas palsu tidak memenuhi syarat objektif sehingga batal demi hukum, maka hibah hibah tersebut dianggap tidak pernah ada, 3. YK dalam kasus posisi tersebut tidak mengimplementasikan asas itikad baik sedangkan DW selaku pembeli atas tanah objek hibah dapat dinyatakan sebagai pembeli beritikad baik. Adapun saran yang dapat diberikan yaitu seharusnya PPAT dalam menjalankan tugasnya mengedepankan asas kehati-hatian dan setiap individu harus mengimplementasikan asas itikad baik atas setiap perbuatan hukum.

PPAT is a public official authorized to make authentic deeds regarding land rights, one of which is the Grant Deed. A grant is a one-sided agreement in which the first party will hand over an object because of their kindness to another party. In its implementation, grants must meet both objective and subjective requirements. The non-fulfillment of material conditions causes a legal action to be null and void, as in the Bale Bandung District Court Decision Number 195/Pdt.G/2020/PN Blb, in which the judge declared null and void the grant deed made based on a false identity. The problems raised in this study are 1. PPAT's responsibility for creating a grant deed based on a false identity, 2. the legal consequences of canceling the grant deed, 3. implementation of the principle of good faith on the transfer of land rights based on the decision of the Bale Bandung District Court Number 195/ Pdt.G/PN Blb. A normative juridical legal research method with an explanatory type of research was used to answer these problems. The analysis results are that PPAT was not responsible for making a grant deed containing a false identity because PPAT was only responsible for the formal truth, 2. The grant deed containing a false identity did not meet the objective requirements, so it was null and void, then the grant was considered to have never existed, 3. In the case of the position, YK did not implement the principle of good faith, while DW, as the buyer of the land object of the grant, can be declared a buyer in good faith. The advice that can be given is that PPAT should prioritize the principle of prudence in carrying out its duties, and each individual must implement the principle of good faith for every legal act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hersinta Setiarini
"ABSTRAK
Tidak adanya pengaturan mengenai tindakan-tindakan apa saja yang
disebut sebagai tindakan persaingan curang yang terdapat dalam penjelasan
pasal 4 dan masih belum memadainya kriteria merek terkenal dalam pasal 6
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek mengakibatkan
munculnya masalah peniruan merek asing terkenal yang menyebabkan
kerugian pada pemilik merek asing terkenal tersebut. Bangsa Indonesia
tunduk kepada instrumen internasional seperti (The Paris Convention for
the Protection of Industrial Property/Konvensi Paris) dan (Agreement on
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in
Counterfeit Good/TRIPs). Akan tetapi ketentuan ini memberikan
kebebasan kepada setiap negara anggota untuk menetapkan dan mengatur
keterkenalan suatu merek di negaranya masing-masing. Oleh sebab itu,
penentuan keterkenalan suatu merek pada akhirnya tetap diserahkan kepada
majelis hakim. Pada dasarnya perlindungan terhadap merek terkenal bisa
menerapkan asas itikad tidak baik kepada pemohon yang mendaftarkan
mereknya secara tidak jujur karena membonceng, meniru, atau menjiplak
ketenaran suatu merek sehingga merugikan pihak lain atau menimbulkan
kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.
Namun, pembuktian adanya itikad tidak baik juga merupakan pekerjaan
yang sangat sulit karena harus dikaitkan dengan pembuktian adanya
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya yang dalam undangundang
merek juga belum diatur secara lengkap dan jelas. Selanjutnya
pembuktian adanya asas itikad tidak baik juga harus didahului dengan
pembuktian keterkenalan merek tersebut. Oleh karena itu, harus ada
peraturan yang mengatur secara jelas mengenai keterkenalan suatu merek
dan mengenai peniruan merek yang mengakibatkan persaingan curang.
Sehingga sengketa yang berkaitan dengan peniruan merek terkenal dapat
diselesaikan atau sedapat mungkin dihindari.

ABSTRACT
The absence of regulation stipulating what actions constituting
unfair competition contained in the explanation of article 4 and the
inadequate criteria of well- known mark which is stipulated in article 6 of
Law Number 15 of 2011 concerning Trademark conduce to arousing a
problem of imitation of foreign well- known mark that causes
disadvantage to the owner of foreign well- known mark. Indonesia is
subject to several international instruments such as (The Paris Convention
for the Protection of Industrial Property/Konvensi Paris) dan (Agreement
on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade
in Counterfeit Good/TRIPs). However, this provision gives freedom to
each member state to stipulate and regulate fame of a trademark in their
respective country. Therefore, determining the fame of a trademark
eventually is left to panel of judges. Basically the protection of well-known
mark can apply the principles of bad faith to an applicant who registers
his/her brands dihonestly because of membonceng, imitating, or tracing the
fame of the trademark that cause disadvantage to another party or arousing
condition of unfair competition, deceiving or misleading the consumers.
However proving the existence of bad faith is also a very hard job because
it must be associated with proving the existence of the equation
substantially or wholly which Law on Trademark has not clearly and
completely regulated. Furthermore, proving the bad faith principles must be
preceded by proving the fame of the trademark. Therefore, there must be
clear rules governing the fame of a trademark and the imitation trademark
resulting in unfair competition. So that disputes relating to pemboncengan
well-known marks can be solved or avoided wherever possible.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42352
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pramu Ichsan Chusnun
"Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek mengatur mengenai daluwarsa atau batas waktu lima tahun untuk mengajukangugatan untuk pembatalan merek. Pada ayat selanjutnya dijelaskan bahwa daluwarsa ini tidak berlaku apabila merek bertentangan dengan moralitas agama,kesusilaan atau ketertiban umum yang mana termasuk di dalam pengertian umum adalah itikad tidak baik. Skripsi ini membahas mengenai perbedaan antara unsur itikad tidak baik dengan unsur persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal sebagai alasan pembatalan merek. Skripsi ini juga membahas mengenai alasan dibalik pengaturan batas waktu untuk mengajukan pembatalan merek. Melihat pada pengaturan di Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Paris Convention for the Protection of Intellectual Property, pengaturan batas waktu ini dimaksudkan untuk memberikan waktu bagi para pemilik merek terkenal untuk bertindak atas merek-merek yang bermasalah atau yang dianggap sama dengan merek mereka. Namun sebuah merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal tidak selalu dapat dikatakan memiliki itikad tidak baik dalam pendaftarannya. Skripsi ini juga membahas bagaimana hakim menilai itikad tidak baik dari tergugat dan dikaitkan dengan daluwarsa pada pembatalan merek. Dalam Putusan Nomor 45/Merek/ 2005/PN.JKT.PST, Putusan Nomor 012 K/N/HaKI/2006 dan Putusan Nomor 49/Merek/2012/PN.JKT.PST, Skripsi ini menilai bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan adanya itikad tidak baik dari Tergugat dalam mendaftarkan mereknya. Sehingga seharusnya merek “Giordani” dan merek “Accènt” tidak dibatalkan walaupun memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal Penggugat.

Article 69 paragraph (1) in Trademark Act no. 15 of 2001 regulates a five years time limitation to make an application for trademark cancellation. The next paragraph (2) states that if a trademark is against religious morality, indecency, and public order - which includes conflict with bad faith – the five year limitation on trademark cancellation does not apply. This paper discusses the differences between the element of bad faith with element of the identical or similarity with the well-known trademark as the reason for trademark cancellation. Furthermore,this paper also examines about the reasons behind the limitation time regulation to file a trademark cancellation. Refering to the Trademark Act no. 15 of 2001 and Paris Convention for the Protection of Intellectual Property, this time limitation was regulated in order to give the owner of well-known trademark time to response on the conflicting trademark. However a trademark that has an identical or similar mark with a well known trademark is not always registered in bad faith.This paper also reviews the judges’ consideration in the Defendant’s bad faith and its connection with the expiration on trademark cancellation. In verdict no.45/Merek/2005/PN.JKT.PST, verdict no. 012 K/N/HaKI/2006 and verdict no.49/Merek/2012/PN.JKT.PST, this paper argues that the Plaintiff was not able to prove the existence of bad faith on the Defendant’s trademark registration. Therefore, the trademark “Giordani” and trademark “Accènt” should not be cancelled although it has similarity with the the Plaintiff’s well-known trademark"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46730
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>