Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anne Gunadi M Widjojo
"ABSTRAK
Perjanjian simulasi atau perjanjian pura-pura atau perjanjian persekongkolan diartikan sebagai perjanjian dimana keadaan yuridis dari suatu perbuatan hukum tersebut disembunyikan dari pihak ketiga. Perjanjian simulasi terjadi bilamana ada dua persetujuan yaitu persetujuan lanjutan (akta lanjutan) dibuat berbeda dengan persetujuan semula (akta aslinya) dan keadaan yuridis dari perbuatan hukum lanjutan disembunyikan dari pihak ketiga. Persetujuan lanjutan jika memuat kausa yang terlarang disebut perjanjian simulasi absolut dan jika kausanya tidak terlarang disebut perjanjian semulasi relatif. Perjanjian simulasi secara teknis yuridis terjadi jika ada pertentangan antara kehendak dan pernyataan yang tidak diketahui oleh pihak ketiga atau suatu perjanjian yang dibuat dengan kausa yang palsu. Akibat Hukum dari perjanjian simulasi yang keadaan yuridis dari perbuatan hukum yang disembunyikan dari pihak ketiga tidak berlaku bagi pihak ketiga yang beritikad baik. Dalam praktek notaris di Kabupaten Bandung Barat didapat ada bentuk-bentuk perjanjian smulasi dengan berbagai variasi, ada yang kausanya palsu dan ada yang kausanya terlarang.

Abstract
Simulation agreement or pretense agreement or conspiracy agreement is taken to mean an agreement in which the judicial situation of a legal act is hidden from the third party. A simulation agreement occurs when there are two agreements, namely a subsequent agreement is made different from the first agreement (its original deed) and the legal act of the subsequent agreement is hidden from the third party. If the subsequent agreement contains a forbidden cause, it is called absolute simulation agreement and if it contains a non-forbidden cause, it is called relative simulation agreement. Technically and judicially, a simulation agreement occurs if there is contradiction between the will and the statement that is not known by the third party or an agreement made with a false cause. The legal consequence of a simulation agreement in which the judicial situation of a legal act is hidden from the third party does not apply to the third party who has good will. In the practice of notaries in Bandung barat Regency are found varied forms of simulation agreements, the causes of some are false and causes of some others are forbidden.
"
Lengkap +
2012
T30594
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Eveline
"ABSTRAK
Lembaga Lelang adalah suatu bentuk penjualan di muka umum yang pelaksanaannya telah diatur oleh Vendu Reglement 1908 (Peraturan Lelang 1908) dan dilaksanakan oleh Pejabat Lelang. Pada lelang dihasilkan produk hukum yang otentik yaitu suatu Risalah Lelang yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempuma khususnya bagi pembeli lelang. Pada kasus pembatalan Risalah Lelang oleh pengadilan saat ini yang terjadi khususnya yang berkaitan dengan lelang benda tidak bcrgerak seperti tanah dan pemenang lelang yang beritikad baik dirugikan karena kehilangan hak mereka atas tanah yang dibelinya melalui Lelang. Demikian Tesis ini membahas mengenai tidak adanya perlindungan hukum terhadap pembeli lelang yang beritikad baik pada perolehan hak atas tanah melalui lelang dalam suatu kasus agar lelang dapat berlaku efektif.

ABSTRAK
Auction is a public sale which ruled by the Vendu Reglement 1908 (Auction Law 1908) and held by the Auctioneer. In the Auction there were an authentic law product called The Auction Minute that gave a certainty of law especially for the buyer in the auction. ln the case of the Auction Minute cancelled by the court decision concerning legal dispute relating to immoceable goods auction and the good faith buyer has been suffered losing their rights of land that they already bought from the auction. Therefore this thesys talking about the absence of legal protection towards the auction buyer who purchase rights on land in good faith through an auction in one case to make the auction can works effectively."
Lengkap +
2010
T26666
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mitha Gustina
"Pembahasan dalam penelitian ini terkait dengan kendala dalam Undang-Undang Yayasan khususnya terhadap pengaturan itikad baik dalam kewenangan organ yayasan dan perbandingan ketentuan hukum yang terdapat dalam kasus Yayasan Teungku Fakinah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa kendala dalam Undang-Undang Yayasan yang dapat menyebabkan adanya pelanggaran itikad baik oleh organ yayasan . Metode dari penelitian ini adalah Doktrinal (yuridis-normatif) dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Kesimpulan dari penelitian ini adalah Undang-Undang Yayasan masih memiliki kendala khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai itikad baik dibuktikan dengan adanya kasus Yayasan Teungku Fakinah yang menyebabkan adanya perbedaan pendapat hakim dalam memutus perkara dikarekan tidak adanya pemahaman yang utuh mengenai makna itikad baik.

The discussion in this study is related to the obstacles in the Foundation Law; especially, regards to the regulation of good faith within the authority of foundation organs and a comparison of the legal provisions contained in the case of the Teungku Fakinah Foundation. Furthermore, the aim of this study is that to analyze the obstacles in the Foundation Law which can cause violations of good faith by foundation organs. The method of this study was doctrinal (juridical-normative) with a statute and case approach. The conclusion is that the Foundation Law still has obstacles; especially, those relating to provisions regarding good faith. It was proved by the Teungku Fakinah Foundation case which caused differences of opinion among judges in deciding cases due to the lack of a complete understanding of the meaning of good faith."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zarra Nur Alyani
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana pandangan hakim dalam putusan-putusan pengadilan mengenai pembeli beritikad baik, terutama tentang ada atau tidaknya kewajiban dari pembeli untuk memeriksa/mengecek objek jual beli terlebih dahulu sebelum dilaksanakannya jual beli. Disusun dengan menggunakan metode yuridis normatif, pembahasan dalam skripsi ini dilakukan dengan menjabarkan teori-teori dasar dari perjanjian jual beli seperti pengertian, objek, saat terjadinya, kewajiban para pihak dalam jual beli serta bagaimana jual beli atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Mengenai itikad baik selanjutnya dibahas dalam lingkup sejarah dan perkembangannya, pengertian, kedudukan itikad baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan fungsinya dalam perjanjian.
Pada penelitian ini, Penulis menganalisis bagaimana para hakim di pengadilan baik tingkat pertama maupun tingkat kasasi menafsirkan seseorang yang dikatakan sebagai pembeli beritikad baik. Hasil dari analisis dimuat dalam tabel yang dikategorikan berdasarkan objek jual beli yaitu benda bergerak berwujud, benda bergerak tidak berwujud, dan benda tidak bergerak. Adapun hasil dari penelitian ini merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk membuat suatu pengaturan atau pedoman yang jelas dan terperinci mengenai asas itikad baik di Indonesia, terutama dalam mengukur pembeli beritikad baik.

This thesis discusses about judge’s standpoint in court verdicts regarding the good faith purchaser, particularly whether there is an obligation of the buyer to check the object first before purchasing or not. Formulated using a normative juridical method, the study is carried out by elaborating the fundamental theories of a sale and purchase agreement such as the definition, objects, time of occurrence, obligations of both parties, and the legal basis of trade of movable and immovable goods. For the good faith principle also discussed from the historical scope, definition, the arrangement of good faith in Indonesian Civil Code, and its function in the agreement.
The author will analyze how the judges at the first level court and the cassation level decipher about people who is being categorized as the good faith purchaser. The result of the analysis will be consisting of tables that are categorized by type of objects, which are tangible movable objects, intangible movable objects, and immovable objects. For the result of this research are to recommend the Indonesian Government to make a clear and detailed arrangement or guideline of the good faith principle in Indonesia, especially in identifying the good faith purchaser.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hilman Hakim
"Asas itikad baik dalam perjanjian jual beli merupakan faktor yang sangat penting, sehingga pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum secara wajar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, perlindungan disini pun diperlukan ketika obyek jual beli tersebut dijadikan jaminan pelunasan kredit dengan dibebani hak tanggungan oleh pihak penjual kepada kreditor. Berdasarkan atas ciri-ciri hak tanggungan, maka diperlukan perlindungan yang seimbang, karena hukum bukan hanya memperhatikan kepentingan kreditor. Perlindungan juga diberikan kepada debitor dan pemberi hak tanggungan, bahkan juga kepada pihak ketiga yang kepentingannya bisa terpengaruh oleh cara penyelesaian utang-piutang kreditor dan debitor. Pihak ketiga itu khususnya para kreditor yang lain dan pihak yang membeli obyek hak tanggungan. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Itikad baik dalam perjanjian jual beli merupakan asas yang sangat penting dan pihak-pihak yang beritikad baik harus dilindungi. Dari hasil analisa penelitian ini, ternyata pembeli yang beritikad baik masih kurang mendapat perlindungan hukum.

The principle of good faith in the purchase agreement is a very important factor, so the buyer is acting in good faith, will receive equal legal protection in accordance with the legislation in force, the protection is needed here, even when the object is to serve as collateral for the purchase and sale of credit with a mortgage taxed by the seller to the creditors. Based on the characteristics of the mortgage, would require a balanced protection, because the law is not only the interests of creditors. Protection is also given to the debtor and of their mortgages, even to third parties whose interests may be affected by the method of payment of the debts of debtors and creditors. The third was particularly creditors and other interested parties who bought the rights of the dependent objects. This study descriptively analyzed analytically using a normative juridical approach. Good faith in the purchase agreement is a very important principle and parties acting in good faith should be protected. From the analysis of this research, it turns out good faith purchaser still receives less legal protection."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28897
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Sakinah
"PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai hak atas tanah, salah satunya ialah Akta Hibah. Hibah ialah perjanjian sepihak dimana pihak pertama akan menyerahkan suatu benda karena kebaikannya kepada pihak lain. Dalam pelaksanaannya, hibah harus memenuhi syarat objektif maupun subjektif. Tidak terpenuhinya syarat materiil menyebabkan suatu perbuatan hukum menjadi batal demi hukum seperti pada Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 195/Pdt.G/2020/PN Blb yang mana hakim menyatakan batal demi hukum akta hibah yang dibuat berdasarkan identitas palsu. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. tanggung jawab PPAT terhadap pembuatan akta hibah berdasarkan identitas palsu, 2. akibat hukum pembatalan akta hibah, 3. implementasi asas itikad baik atas peralihan hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan negeri bale bandung Nomor 195/Pdt.G/PN Blb. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah PPAT tidak bertanggung jawab atas pembuatan akta hibah yang memuat identitas palsu sebab PPAT hanya bertanggung jawab atas kebenaran formiil, 2. Akta hibah yang memuat identitas palsu tidak memenuhi syarat objektif sehingga batal demi hukum, maka hibah hibah tersebut dianggap tidak pernah ada, 3. YK dalam kasus posisi tersebut tidak mengimplementasikan asas itikad baik sedangkan DW selaku pembeli atas tanah objek hibah dapat dinyatakan sebagai pembeli beritikad baik. Adapun saran yang dapat diberikan yaitu seharusnya PPAT dalam menjalankan tugasnya mengedepankan asas kehati-hatian dan setiap individu harus mengimplementasikan asas itikad baik atas setiap perbuatan hukum.

PPAT is a public official authorized to make authentic deeds regarding land rights, one of which is the Grant Deed. A grant is a one-sided agreement in which the first party will hand over an object because of their kindness to another party. In its implementation, grants must meet both objective and subjective requirements. The non-fulfillment of material conditions causes a legal action to be null and void, as in the Bale Bandung District Court Decision Number 195/Pdt.G/2020/PN Blb, in which the judge declared null and void the grant deed made based on a false identity. The problems raised in this study are 1. PPAT's responsibility for creating a grant deed based on a false identity, 2. the legal consequences of canceling the grant deed, 3. implementation of the principle of good faith on the transfer of land rights based on the decision of the Bale Bandung District Court Number 195/ Pdt.G/PN Blb. A normative juridical legal research method with an explanatory type of research was used to answer these problems. The analysis results are that PPAT was not responsible for making a grant deed containing a false identity because PPAT was only responsible for the formal truth, 2. The grant deed containing a false identity did not meet the objective requirements, so it was null and void, then the grant was considered to have never existed, 3. In the case of the position, YK did not implement the principle of good faith, while DW, as the buyer of the land object of the grant, can be declared a buyer in good faith. The advice that can be given is that PPAT should prioritize the principle of prudence in carrying out its duties, and each individual must implement the principle of good faith for every legal act."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hersinta Setiarini
"ABSTRAK
Tidak adanya pengaturan mengenai tindakan-tindakan apa saja yang
disebut sebagai tindakan persaingan curang yang terdapat dalam penjelasan
pasal 4 dan masih belum memadainya kriteria merek terkenal dalam pasal 6
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek mengakibatkan
munculnya masalah peniruan merek asing terkenal yang menyebabkan
kerugian pada pemilik merek asing terkenal tersebut. Bangsa Indonesia
tunduk kepada instrumen internasional seperti (The Paris Convention for
the Protection of Industrial Property/Konvensi Paris) dan (Agreement on
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in
Counterfeit Good/TRIPs). Akan tetapi ketentuan ini memberikan
kebebasan kepada setiap negara anggota untuk menetapkan dan mengatur
keterkenalan suatu merek di negaranya masing-masing. Oleh sebab itu,
penentuan keterkenalan suatu merek pada akhirnya tetap diserahkan kepada
majelis hakim. Pada dasarnya perlindungan terhadap merek terkenal bisa
menerapkan asas itikad tidak baik kepada pemohon yang mendaftarkan
mereknya secara tidak jujur karena membonceng, meniru, atau menjiplak
ketenaran suatu merek sehingga merugikan pihak lain atau menimbulkan
kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.
Namun, pembuktian adanya itikad tidak baik juga merupakan pekerjaan
yang sangat sulit karena harus dikaitkan dengan pembuktian adanya
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya yang dalam undangundang
merek juga belum diatur secara lengkap dan jelas. Selanjutnya
pembuktian adanya asas itikad tidak baik juga harus didahului dengan
pembuktian keterkenalan merek tersebut. Oleh karena itu, harus ada
peraturan yang mengatur secara jelas mengenai keterkenalan suatu merek
dan mengenai peniruan merek yang mengakibatkan persaingan curang.
Sehingga sengketa yang berkaitan dengan peniruan merek terkenal dapat
diselesaikan atau sedapat mungkin dihindari.

ABSTRACT
The absence of regulation stipulating what actions constituting
unfair competition contained in the explanation of article 4 and the
inadequate criteria of well- known mark which is stipulated in article 6 of
Law Number 15 of 2011 concerning Trademark conduce to arousing a
problem of imitation of foreign well- known mark that causes
disadvantage to the owner of foreign well- known mark. Indonesia is
subject to several international instruments such as (The Paris Convention
for the Protection of Industrial Property/Konvensi Paris) dan (Agreement
on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade
in Counterfeit Good/TRIPs). However, this provision gives freedom to
each member state to stipulate and regulate fame of a trademark in their
respective country. Therefore, determining the fame of a trademark
eventually is left to panel of judges. Basically the protection of well-known
mark can apply the principles of bad faith to an applicant who registers
his/her brands dihonestly because of membonceng, imitating, or tracing the
fame of the trademark that cause disadvantage to another party or arousing
condition of unfair competition, deceiving or misleading the consumers.
However proving the existence of bad faith is also a very hard job because
it must be associated with proving the existence of the equation
substantially or wholly which Law on Trademark has not clearly and
completely regulated. Furthermore, proving the bad faith principles must be
preceded by proving the fame of the trademark. Therefore, there must be
clear rules governing the fame of a trademark and the imitation trademark
resulting in unfair competition. So that disputes relating to pemboncengan
well-known marks can be solved or avoided wherever possible.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42352
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Margaretha Jusuf
"Tesis ini menganalisa putusan badan peradilan mengenai perlindungan hukum bagi pihak ketiga beritikad baik dalam hal terjadi pengalihan piutang (cessie). Permasalahan yang dibahas adalah mengenai sah tidaknya pengalihan piutang yang dimiliki oleh BPPN terhadap PT TPN dengan cara cessie kepada PT VBP dan oleh PT VBP kemudian dialihkan kepada AFL, serta perlindungan hukum yang diberikan oleh KUHPerdata dan Hakim terhadap AFL selaku pihak ketiga beritikad baik. Mulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Peninjauan Kembali, AFL dinyatakan sebagai pembeli beritikad baik dan patut mendapatkan perlindungan hukum. Dengan adanya kekonsistenan hakim dalam memutus perkara ini, telah tercipta adanya kepastian hukum bagi seorang pembeli beritikad baik yang wajib dilindungi oleh hukum. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menyarankan para hakim di Indonesia agar terus memberikan perlindungan hukum kepada pihak ketiga beritikad baik sehingga tercipta kepastian hukum di Indonesia.

The focus of this thesis is to analyze the courts' decision on legal protection of third parties in good faith in terms of receivables transfer (cessie). The main issues that would be discussed are in regards to validity of receivables transfer of Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA) to PT TPN by way of cessie to PT VBP, and from PT VBP further transferred to AFL, as well as the legal protection provided by Indonesian Civil Code and the Judge to AFL as a third party acting in good faith. Starting from District Court to Reconsideration level, AFL is declared as purchaser with good faith and therefore it deserves legal protection. The consistency of Judges in deciding this case has created legal certainty for a purchaser with good faith that must be protected by law. The method used in this research is normative juridical research. The conclusion of this study suggests the judges in Indonesia continues to provide legal protection to third parties acting in good faith so as to create legal certainty in Indonesia."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T43082
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Paramitha Putri
"Hardship merupakan suatu keadaan fundamental yang telah mengubah keseimbangan kontrak yang diakibatkan oleh karena biaya pelaksanaan kontrak telah meningkat sangat tinggi atau karena nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun. Aturan mengenai hardship berkembang dalam praktik hukum kontrak internasional, yang menentukan bahwa dalam hal apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya dengan tunduk pada ketentuan tentang kesulitan. Namun demikian, tidak semua negara menganutnya dalam hukum positif. Seperti Indonesia dan Prancis pada awalnya, tidak mengakui prinsip tersebut ke dalam hukum perdatanya.
Adapun penelitian ini bersifat yuridis normatif, dengan tujuan untuk melakukan perbandingan atas penerapan prinsip hardship di Indonesia dan Prancis. Dari perbandingan penerapan prinsip hardship di antara kedua negara tersebut, maka dapat dilihat bahwa baik Indonesia dan Prancis pada awalnya, tidak memiliki ketentuan hukum mengenai hardship dalam hukum perdatanya masing-masing. Untuk itu, dalam menyelesaikan perkara mengenai hardship baik Indonesia dan Prancis menggunakan prinsip hukum yang telah berlaku seperti itikad baik atau ketentuan hukum mengenai keadaan memaksa force majeure . Pada perkembangannya, Prancis telah mengakui dan memiliki aturan tentang prinsip hardship dalam hukum perdatanya. Belajar dari pengalaman Prancis, hukum perdata Indonesia juga harus bisa lebih adaptif terhadap terjadinya perubahan keadaan fundamental dengan dibuatnya aturan mengenai hardship.

Hardship is a fundamental condition in which the balance of a contract has been altered due to either the increased cost of contract execution or the value of contract implementation for the receiving party has greatly decreased. Regulation concerning hardship evolves in the legal practice of international contract, in which it determines that in the case where the execution of a contract becomes more severe for either party, the party shall in any case be bound by its agreement subject to the provisions of difficulty. However, not all countries implement this principle in their positive law, for instance in the earlier years both Indonesia and France did not recognize this principle in their civil law.
The method used in this research is a juridical normative method, with the purpose to do a comparison between the implementation of hardship principle in Indonesia and in France. From this comparison it can be seen that both Indonesia and France initially do not have legal provisions regarding hardship in their respective civil law. Therefore, in solving cases involving hardship both Indonesia and France use other principle such as good faith or force majeure. Fast forward to recent year, France now has acknowledged and has regulated the principle of hardship in its civil law. Learning from France rsquo s experience, Indonesia civil law should also be more adaptive to changes on fundamental condition with the creation of regulation on hardship."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S68376
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>