Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Joviony Veronica Honanda
"ABSTRAK
Tesis ini menguraikan tentang aspek hukum pencatatan perkawinan di kantor catatan sipil bagi pasangan yang salah satunya telah meninggal dunia didasari dengan kasus konkrit berdasarkan putusan pengadilan Nomor 1018/Pdt.P/2018/PN.JKT.SEL. Pencatatan Perkawinan merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan khususnya agar suatu perkawinan dapat diakui menurut hukum Negara Republik Indonesia. Proses Pencatatan Perkawinan oleh Pegawai Pencatatan Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Namun pada tahun 2018 terdapat kasus pencatatan perkawinan bagi pasangan yang salah satunya telah meninggal dunia. Hal ini merupakan suatu permasalahan hukum atas keabsahan dan kekuatan hukum penetapan hakim atas perintah untuk pencatatan perkawinan semacam ini. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai keabsahan pencatatan perkawinan bagi pasangan yang salah satunya telah meninggal dunia; dan kewenangan serta kekuatan hukum penetapan pengadilan untuk memerintahkan kantor catatan sipil dalam mencatatkan perkawinan ini. Untuk menjawab permasalahan ini digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan analitis. Tipe dan Bentuk Penelitian adalah Deskriptif dan analisa data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian adalah menjawab bahwa pencatatan perkawinan di kantor catatan sipil bagi pasangan yang salah satunya telah meninggal dunia adalah dapat dilakukan, serta hakim berwenang untuk mengeluarkan penetapan perintah untuk mencatatkan perkawinan berdasarkan Pasal 36 UU No. 23 Tahun 2006.

ABSTRACT
This thesis describes the legal aspects of marriage registration at the civil registration office for a couple that one of whom has died based on a verdict No. 1018/Pdt.P/2018/PN.JKT.SEL. Marriage Registration is one of the legal requirements for a marriage, so that a marriage could be recognized according to the law of the Republic of Indonesia.. The Marriage Registration Process by Civil Registration Office is written in Government Regulation No. 9 of 1975. But in 2018, there was a case of marriage registration for a couple that one of whom had passed away. This could be seen as a legal problem especially about the validity and about the legal force of the judge provision to registry the marriage. This issues raised regarding the validity of marriage registration for couples, one of whom has passed away; and the authority and legal force of a corut to give order for the civil registration office to register this marriage. To answer this problem,this thesis will use normative juridical research methods with analytical approaches. Data analysis is descriptive analytic.this thesis answes that the registration of marriages in the civil registration office for one of whom has passed away could be done, although the law does not regulate this matter, as well as the judge has the authority to order the civil registration office to register this marriage as stipulated in Article 36 of Law No. 23 of 2006. However, in giving decision the judge needs to consider well because this kind of marriage registration didn't follow the procedure written in Article 10 and Article 11 GR No. 9 of 1975 that require the presence of the bride and groom in order to resgister the marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Cynthia Putri
"Penelitian ini membahas perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil dengan melakukan analisis langsung terhadap peraturan di Indonesia yaitu KUHPerdata dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode pengolahan dan analisis data yang menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian dan wawancara di Kantor Catatan Sipil pada Kantor Catatan Sipil Depok ditemukan fakta bahwa Kantor Catatan Sipil Depok tidak melakukan pencatatan perkawinan beda agama namun hanya mengeluarkan surat keterangan yang kedepannya diperlukan dalam pengurusan dokumen-dokumen seperti kartu keluarga dan akte kelahiran. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama. Sebagai sebuah instrumen hukum, ukuran tingkah laku atau kesamaan sikap standart of conduct, juga berfungsi sebagai suatu perekayasaan untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih sempurna dan sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya suatu tingkah laku. Jika asumsi ini dimasukkan pada Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka pembaruan terhadap beberapa pasal dalam undang-undang ini khususnya pada pasal 2 ayat 1 yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan perkawinan beda agama, menjadi sebuah keharusan.

This research discusses about the reporting of interfaith marriage in Civil Registry Office Depok with direct analysis of the rules in Indonesia, namely KUHPerdata and Undang undang No. 1 Year 1974 on marriage.This research is a normative juridical by the method of processing and analyzing data using a qualitative approach. The results of research and interviews inCivil Registry Office Depokwas found the fact that Civil Registry Office Depok did not record the interfaith marriage but only issued a certificate required in the future to obtain documents such as family card and birth certificate. Undang undang No. 1 Year 1974 on Marriage giving no place to the interfaith marriage. As a legal instrument, the size of similarity behavior or attitude standard of conduct, also has a function as a modified to transform society toward a more perfect and as a tool to check whether the behaviour right or wrong. If this assumption is included in Undang undang No. 1 Year 1974 on marriage, the update to some of the provisions in Undang undang especially in Article 2 paragraph 1 is often used as a reference for the issue of interfaith marriage, becomes a necessity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66426
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fidela Faustina
"Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat umum terjadi dalam masyarakat. Perkawinan dapat menimbulkan akibat-akibat hukum yang banyak dan luas lingkupnya. Perkawinan dapat menimbulkan akibat hukum kepada pihak yang menikah maupun pihak lain diluar pernikahan tersebut. Oleh karena itu, kepastian hukum terkait ada atau tidaknya perkawinan menjadi sangat penting. Kepastian hukum ini dapat terbentuk jika setiap perkawinan dicatatkan pada lembaga catatan
sipil. Akan tetapi, banyak orang yang tidak mengetahui pentingnya pencatatan perkawinan sehingga mereka tidak mencatatkan perkawinannya. Hal ini didorong karena pencatatan perkawinan bukan merupakan salah satu syarat sah perkawinan. Akan tetapi, perkawinan yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan permasalahan jika perkawinan tersebut akan diceraikan. Perceraian
harus dilakukan dari segi agama atau kepercayaan dan dari segi negara. Pengadilan dapat melakukan penceraian terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan dari segi negara. Hal ini menyebabkan pencatatan perkawinan tidak dianggap penting dalam masyarakat. Permasalahan tersebut dapat dicegah oleh pemerintah memberikan pemahaman mendalam kepada masyarakat terkait pentingnya pencatatan perkawinan.
Marriage is an event that happen very often in society. Marriage can cause so many legal consequences in wide scope. Marriage can cause legal consequences to both party that execute marriage and also to other people in society. Therefore, legal certainty about the presence or absence of marriage become very important. Legal certainty about marriage can come up if every marriage that already execute get
registered at The Civil Registry Office. However, there are so many people that do not know how important registration of marriage, so they do not register their marriage. This situation can happen because registration of marriage is not one of the legal requirements to become a valid marriage. However, marriage that not registered can cause legal uncertainty and problem if that marriage wants to be divorced. Divorce must be done from religion or faith side and state side. Court can
execute divorce marriage that not registered from state side. This situation can make people think that registration of marriage is unnecessary. All of this problem can be prevented with government give a deep comprehension to public about how important registration of marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Manfaluthi
"Hingga aat ini, mayarakat masih memiliki persepi tentang lambatnya pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah. Di lain sisi, Pemerintah menganggap telah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Pada kasus pembuatan akta, yang ecara fisik hanyalah suatu penulisan pada blangko dengan tidak Iebih dari lima puluh kata, penyelesaian dalam waktu tujuh hari kerja akan terasa lambat, namun bagi pihak Kantor Catatan Sipil (KCS) penyelesaian akta dalam waktu tujuh hari kerja merupakan hal yang benar karena dalam penyelesaian akta, KCS telah menggunakan peraturan yang berlaku, yang menyatakan bahwa penyelesaian akta paling lambat tujuh han kerja (Keputusan Gubernur No.3 18 Tahun 1983). Dan kasus tersebut, ke dua pihak berada dalam posisi yang tidak dapat disaiahkan, karena masyarakat akan memandang penyelesaian akta teraebut menggunakan tolok ukur hasil fisik yang diperoleh, sedangkan KCS. melihat dari sisi telah melaksanakan peraturan yang berlaku.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan era perdagangan bebas?, dimana pada masa tersebut tingkat persaingan akan semakin tinggi dan kunci keberhasilan dalam persaingan adalah kecepatan. Padahal pihak Pemenntah juga akan memiliki peran dalam menghadapi persaingan yang ada, apakah Pemerintah tetap akan menggunakan acuan peraturan yang ada? Tidakkah sebaiknya dilakukan suatu kebijakssmaan baru yang dapat memenuhi tuntutan keadaan?.
Kantor Catatan Sipil (KCS) sebagai salah satu instansi pemerintah merupakan instansi yang memberi pelayanan kepada masyarakat dalam bidang pencatatan sipil. Pencatatan sipil merupakan suatu catatan tentang keberadaan seseorang secara hukum sejak lahir (akta kelahiran) hingga orang tersebut meninggal (akta kematian). Dimana akta wajib dimiliki oleh penduduk, karena sifatnya yang mendasar itulah maka kajian atas sistem informasi pembuatan akta pada KCS dilakukan.
Hingga saat ini, KCS masih menerapkan sistem pembuatan akta manual, karena acuan yang digunakan adalah peraturan yang menyatakan jangka waktu penyelesaìan akta paling lambat tujuh hari kerja, yang menyebabkan KCS menyelesaikan akta dalam waktu tujuh hari kerja Padahal produk yang dihasilkan oleh KCS hanyalah satu halaman kertas berukuran A4, dalam format yang sudah standar, yang berisi tidak lebih dari lima puluh kata masukan. Dan tinjauan tersebut maka diperlukan suatu pengembangan terhadap sistem yang telah ada ke dalam bentuk sistem informasi pembuatan akta yang akan mempercepat proses penyelesaian akta."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Gitawati Purwana
"Semestinya perjanjian perkawinan memuat harta benda perkawinan saja. Namun, dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta No. 62/PDT/2022/PT DKI, perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak mengatur mengenai akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian. Sementara itu, di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-XIII/2015 terdapat frasa “disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris” dan frasa “harta perkawinan atau perjanjian lainnya” yang selanjutnya menimbulkan ketidakpastian. Untuk itu, penelitian ini mengangkat permasalahan terkait keabsahan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) dan akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian dalam Putusan a quo dari PT DKI Jakarta dengan mempertimbangkan kedua frasa dalam Putusan a quo dari MK. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif. Data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum dikumpulkan melalui studi dokumen yang dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan hanya sah terhadap para pihak yang membuatnya saja, tetapi tidak berlaku terhadap pihak ketiga apabila belum dicatatkan di Disdukcapil. Hal ini karena yang dapat mencatatkan perjanjian perkawinan hanyalah Disdukcapil sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri No. 472.2/5876/DUKCAPIL. Sedangkan Notaris hanya mengakomodir keinginan para pihak ke dalam Akta Perjanjian Perkawinan. Adapun akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian tidak dapat berlaku secara langsung karena tidak sesuai dengan esensi tujuan perkawinan dan harus diputuskan melalui pengadilan. Begitu pula klausul yang dimuat dalam perjanjian perkawinan yakni hanya mengatur harta perkawinan. Adapun sebab dan akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian telah diatur secara limitatif dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

The postnuptial agreement should only contain marital assets. However, in the case of DKI Jakarta High Court (HC) Verdict No. 62/PDT/2022/PT DKI, the postnuptial agreement made by the parties regulate the legal consequences of breaking up a marriage due to divorce. Meanwhile, in the Verdict of the Constitutional Court (CC) No. 69/PUU-XIII/2015 there is the phrase "ratified by a Marriage Registrar or Notary" and the phrase "marital asset or other agreement." For this reason, this study raises issues related to the validity of postnuptial agreements that were not ratified by the Population and Civil Registry Service (Disdukcapil) and the legal consequences of making a postnuptial agreement that regulates the consequences of marriage breakup due to divorce in the a quo verdict from HC DKI Jakarta by considering the two phrases in the a quo verdict from CC. This research is in the form of juridical-normative. Secondary data in the form of legal materials were collected through document studies which were analyzed qualitatively. From the analysis results, it can be explained that the postnuptial agreement is only valid for the parties who made it, but does not apply to third parties if it has not been registered at Disdukcapil. This is because only Disdukcapil can register postnuptial agreements as referred to in the Presidential Regulation No. 96 of 2018 and Circular Letter of the Directorate General of Population and Civil Registration of the Ministry of Home Affairs No. 472.2/5876/DUKCAPIL.  Meanwhile, the Notary only accommodates the parties' desires in the Deed of Postnuptial Agreement. As for the legal consequences of making a postnuptial agreement that regulates the consequences of breaking up a marriage due to divorce, it cannot apply directly because it is not in accordance with the essence of the purpose of marriage and must be decided through a court. Likewise, the clause contained in the postnuptial agreement only regulates marital assets. As for the legal causes and consequences of breaking up a marriage due to divorce, it has been regulated in a limited manner in Law No. 1 of 1974 concerning Marriage."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library