Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rifky Mubarak
"ABSTRAK
Latar Belakang. Ibadah haji merupakan ibadah fisik yang dilakukan oleh jemaah haji terdiri dari aktivitas berjalan minimal sejauh 12 kilometer untuk melakukan kegiatan rukun haji dan kegiatan diluar rukun haji. Ibadah haji memerlukan kapasitas fungsional dan keseimbangan yang baik sebagai syarat istitaah kesehatan untuk mencegah terjadinya kelelahan. Tujuan dari penelitian ini untuk menilai efek latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional dan fungsi keseimbangan pada calon jemaah haji usia dewasa sehat.

Metode. Sebanyak 38 calon jemaah haji dewasa sehat dilakukan uji jalan 6 menit menggunakan rumus Nury prediksi VO2 maks dan uji timed up and go (TUG). Dilakukan randomisasi dan dibagi menjadi kelompok intervensi dan kontrol. Kelompok intervensi diberikan latihan berjalan minimal 6000 langkah per hari selama 30 menit dengan intensitas sedang sebanyak 3-5 kali seminggu dalam 8 minggu. Kelompok kontrol hanya diminta mencatat jumlah langkah per hari tanpa peresepan latihan. Pada akhir penelitian dilakukan kembali uji jalan 6 menit rumus Nury dan uji TUG, serta dilakukan analisis data.

Hasil. Kedua kelompok mengalami peningkatan prediksi VO2 maks namun tidak mengalami peningkatan nilai TUG pada akhir penelitian. Peningkatan prediksi VO2 maks pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,007).

Kesimpulan. Latihan berjalan dapat meningkatkan kapasitas fungsional pada calon jemaah haji usia dewasa sehat, namun tidak memberikan efek peningkatan fungsi keseimbangan.

Kata kunci. Fungsi keseimbangan, jemaah haji, kapasitas fungsional.


ABSTRACT
Background. Hajj pilgrim is physical worship performed by pilgrims consist of walking at least 12 kilometer to complete the hajj principle and related activity. Hajj pilgrim needs good functional capacity and balance as a prerequisite of health to prevent fatigue. The aim of this study is to evaluate the effectivity of walking exercise on functional capacity and balance function for healthy adult pilgrim candidates.

Method. 6 minutes walk test (6MWT) and Timed Up and Go (TUG) test was done on 38 healthy adult hajj pilgrim candidate. VO2max was predicted using Nury Formula. The candidate was randomized into intervention and control group. Intervention group was given walking exercise, minimum of 6000 steps each day for 30 minutes, moderate intensity, 3-5 times a week for 8 weeks. The control group was not prescribed exercise, only asked to record the amount of steps taken each day. At the end of the study, 6MWT and TUG was reevaluated.  

Results. At the end of the study, both groups show improvement  on predicted VO2max but no improvement  on TUG time. Predicted VO2max improvement are higher on intervention group compared to control (p=0.007).

Conclusion. Walking exercise might increase functional capacity on healthy adult hajj pilgrim candidate, but has no effect on balance.

Keywords. Balance function, functional capacity, hajj pilgrim candidates.

"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Suharsono
"Penurunan toleransi latihan dan sesak nafas merupakan manifestasi klinis utama gagal jantung. Kondisi ini menyebabkan pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari yang berakibat pada penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dampak HBET terhadap kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien gagal jantung. Desain penelitian ini adalah quasi experiment, pre-post with control group. Teknik sampling yang digunakan purposive sampling, didapatkan 23 responden yang terbagi menjadi 11 responden kelompok kontrol dan 12 responden kelompok intervensi. Pengumpulan data kapasitas fungsional dilakukan dengan 6MWT dan kualitas hidup menggunakan MLHFQ.
Hasil pengukuran didapatkan perbedaan yang signifikan kapasitas fungsional dan kualitas hidup sebelum dan setelah perlakuan pada kedua kelompok. Hasil analisis kapasitas fungsional dan kualitas hidup setelah perlakuan antara kelompok kontrol dan intervensi tidak didapatkan perbedaan yang signifikan, walaupun kelompok intervensi mempunyai mean kapasitas fungsional dan kualitas hidup yang lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, HBET dapat digunakan sebagai modalitas keperawatan bagi pasien gagal jantung. HBET hendaknya dijadikan bagian integral dari management gagal jantung setelah keluar dari rumah sakit.

A reduced exercise tolerance and shortness of breathing are the main clinical manifestations in patient with heart failure. These conditions cause patient's inability to do their daily activities and lead to reduce functional capacity and quality of life. The aim of this study was to identify the impact of the home based exercise training to functional capacity and quality of life of heart failure patient. It used quasy experimental study design pre-post with control group, recruited 23 respondents with purposive sampling technique. They were divided into two groups, 11 respondents as control group and 12 respondents as experimental group. Functional capacity was obtain through observation of six minute walk test, quality of life data were collected by Minessota Living with Heart Failure Questionaire.
The result showed that there was a significant difference of functional capacity and quality of life before and after intervention in both groups. Statistically, the result of functional capacity and quality of life data analysis after intervention showed that there wasn't significant difference in both groups, although the experimental group has a higher mean data of functional capacity and quality of life. Based on this study, HBET could be used as nursing modality for patient with heart failure. HBET should be integrated with heart failure management after discharging from hospital.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Leni Onna G.P
"Latar Belakang: Dari data SIRS,2010 pasien kanker payudara terbanyak di rawat inap maupun rawat jalan di seluruh RS di Indonesia yakni 28,7 dari seluruh kanker. Efek samping kemoterapi dapat menurunkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dampak pengobatan kemoterapi terhadap perubahan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien kanker payudara stadium I sampai III.
Metode: Desain pre dan post-test. Data diambil sebelum subjek mendapat protokol kemoterapi pertama dan setelah kemoterapi adjuvant ke-3. Kapasitas fungsional dinilai dengan uji jalan 6 menit dan kualitas hidup dinilai dengan EORTC QLQ C-30. Penelitian pada 30 subjek yang didapat secara konsekutif dan memenuhi kriteria penelitian. Data demografis dan klinis pasien dikumpulkan dan dicatat.
Hasil: Dari 30 subjek, terdapat 26 subjek 86,7 mengalami penurunan rerata score uji jalan 6 menit setelah kemoterapi adjuvant ke-3 dibandingkan sebelum pengobatan kemoterapi. Terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p le;0,05. Hasil score EORTC QLQ C-30 pada domain skala fungsi dan kualitas hidup secara global, didapatkan score rerata yang menurun pada semua fungsi setelah kemoterapi adjuvant ke-3 dibandingkan sebelum kemoterapi pada semua subjek. Perbedaan bermakna terdapat pada skala fungsi sosial p le;0,05 . Pada skala gejala terdapat peningkatan rerata score tiap gejala setelah kemoterapi adjuvant ke-3 dibandingkan sebelum kemoterapi pada semua subjek. Perbedaan bermakna terdapat pada gejala fatique, mual-muntah, dan penurunan nafsu makan p le;0,05.
Kesimpulan: Terdapat penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pada pasien kanker payudara setelah mendapat kemoterapi adjuvant ke-3 akibat efek samping pengobatan kemoterapi.

Background: SIRS data from 2010 breast cancer patients most in inpatient and outpatient care in all hospitals in Indonesia, namely 28.7 of all cancers. The side effects of chemotherapy can decrease the functional capacity and quality of life of patients. The purpose of this study Identify the impact of chemotherapy treatment in functional capacity and quality of life in patients with stage I III breast cancer.
Methods: Pre and post test design. Data was taken before the subject had the first chemotherapy protocols and after third adjuvant chemotherapy. Functional capacity was assessed with the 6 minute walking test and quality of life was assessed with the EORTC QLQ C 30. This study was conducted on 30 subjects with consecutive sampling and met the criteria of this study. Demographic and clinical patient data were collected and recorded.
Results: Among 30 subjects, 26 subjects 86.7 experienced decline in six minute walking test score after third adjuvant chemotherapy compare to prior chemotherapy treatment. There were significant differences in functional capacity before and after third chemotherapy adjuvant p le 0,05. There were decrease in mean score of all functions in EORTC QLQ C 30 score on functional domain scale and global quality of life in all subject after third adjuvant chemotherapy compared to prior chemotherapy treatment. Significant differences was found in social functioning scale p le 0,05 . On symptoms scale, there were increase in average score of each symptoms after third adjuvant chemotherapy in all subject compare to prior chemotherapy treatment. Significant differences was found in symptoms of fatigue, nausea, vomiting, and decreased appetite p le 0,05.
Conclusion: There are decrease in functional capacity and quality of life in breast cancer patients after third adjuvant chemotherapy due to side effects of chemotherapy treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sharon Sumampouw
"Hasil : Penurunan nadi terlihat pada l0 dari 17 subyek kelompok studi sedangkan pada kelompok kontrol hanya 6 dari 14 subyek, namun secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Tetapi dengan uji Friedman didapatkan pengurangan dosis akumulasi vasodilator secara bermakna pada minggu pertama dan kedua perlakuan pada kelompok studi (p<0,05). Kesimpulan : Magnet statik dalam kurun waktu 2 minggu secara statistik tidak meningkatkan kapasitas fungsional secara bermakna, namun memperlihatkan pengurangan dosis akumulasi vasodilator secara bermakna pada kelompok studi.

Results: The decrease in pulse was seen in l 0 of 17 subjects in the study group while in the control group only 6 out of 14 subjects, but it was not statistically significant (p>0.05). However, with the Friedman test, a significant reduction in the cumulative dose of vasodilators was obtained in the first and second weeks of treatment in the study group (p<0.05). Conclusion: Static magnetism over a period of 2 weeks does not statistically increase functional capacity significantly, but showing a reduction in cumulative dose vasodilators meaningfully in the study group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Marthias
"ABSTRAK
Latar belakang: Studi sebelumnya menyimpulkan bahwa mitral valve gradient (MVG) merupakan parameter selain area katup mitral (AKM) yang berhubungan dengan perbaikan gejala pasca komisurotomi mitral transkateter perkutan (KMTP). Oleh karena itu, studi diperlukan untuk menjelaskan hubungan MVG terhadap perbaikan gejala secara objektif, dalam bentuk kapasitas fungsional.
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan MVG terhadap perubahan kapasitas fungsional pasca KMTP.
Bahan dan Metode: Studi quasi experimental dengan one group pre-post design terhadap 78 subjek. Pemeriksaan ekokardiografi dan treadmill Bruce termodifikasi dilakukan 1-2 hari sebelum dan 1-2 minggu setelah KMTP. Data sebelum dan setelah KMTP dianalisis untuk mencari hubungan variabel terhadap perbaikan kapasitas fungsional pasca KMTP. Perbaikan kapasitas fungsional didefinisikan sebagai perubahan lama latihan > 180 detik pasca KMTP.
Hasil: Rerata usia adalah 42 tahun, mayoritas perempuan (3,6:1) dengan rerata IMT 22,27 kg/m2. Sebesar 5,1% pasien merokok dengan komorbid stroke sebesar 14,1%. Sebelum KMTP, 53% memiliki irama sinus dengan mayoritas memiliki fungsi ventrikel kiri yang baik (rerata ejeksi fraksi 62%) dan fungsi ventrikal kanan yang baik (median tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) 20 mm). Sebesar 97% pasien datang dengan kelas NYHA II sebelum KMTP dan mengalami perbaikan signifikan kapasitas fungsional pasca KMTP berupa perbaikan median lama latihan (241(18-1080) ke 603(30-1900) detik, p < 0,001) dan perbaikan median nilai VO2max estimasi (18,8(10,2-51,4) ke 32,8(10,6-83,2) mlO2/kg/menit, p<0,001). Dari uji korelasi, didapatkan variabel usia (r -0,23, adjusted R2=4,1%), pre-MVG (r 0,23, adjusted R2=4,2%), Δ MVG (r 0,31, adjusted R2= 9,0%) , dan pre-TR Vmax (r 0,3, adjusted R2=1,3%) berkorelasi terhadap perubahan kapasitas fungsional. Perbaikan kapasitas fungsional segera pasca KMTP tidak berhubungan dengan AKM pasca KMTP ≥ 1,5 cm2 (p= 0,14) dan perubahan AKM ≥ 200% pasca KMTP (p= 0,18). Penurunan MVG > 50 % pasca KMTP (OR 2,89, IK 95% 1,06-7,92; p = 0,038) dan TR Vmax sebelum KMTP > 3,4 m/s (OR 3,42, IK 95% 1,19-9,83; p = 0,023) merupakan prediktor perbaikan kapasitas fungsional segera pasca KMTP.
Kesimpulan: Penurunan MVG lebih dari 50% pasca KMTP berhubungan dengan perbaikan kapasitas fungsional segera pasca KMTP.

ABSTRACT
Introduction: Previous studies had shown that mitral valve gradient (MVG) was other parameter than mitral valve area (MVA) which had correlation with symptom improvement post baloon mitral valvuloplasty (BMV). However, further study is needed to illuminate the assocation of MVG with clinical improvement objectively, in term of functional capacity.
Objective: This study aimed to determine the association between MVG and functional capacity alteration after BMV.
Material and Methods: Quasi exsperimental study with one group pre-post design was applied in 78 subjects. Echocardiography and Modified Bruce Protocol assessment were done 1-2 days before and 1-2 weeks after BMV. Pre and post data were analized to obtain association of variables with functional capacity alteration immediately after BMV. Improvement of functional capacity was defined as alteration of exercise time more than 180 seconds after KMTP.
Results: The mean age was 42 y.o, female dominant (3,6:1), mean BMI was 22,27 kg/m2. Of 5,1% patient were smoker with most commonly observed comorbidities include stroke (14,1%). Majority 53% had sinus rhythm with dominant good left ventricular function (mean ejection fraction 62%) and good right ventricular function (median tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) 20 mm). Of 97% patients presented with NYHA class II before BMV with significant improvement of functional capacity after BMV such as median exercise time alteration (241(18-1080) to 603(30-1900) s, p < 0,001) and median estimate VO2 max value alteration (18,8(10,2-51,4) to 32,8(10,6-83,2) mlO2/kg/minute, p<0,001). From correlation test, age (r -0,23, adjusted R2=4,1%), pre-MVG (r 0,23, adjusted R2=4,2%), Δ MVG (r 0,31, adjusted R2= 9,0%), and pre-TR Vmax (r 0,3, adjusted R2=1,3%) were corelated with functional capacity alteration. Improvement of functional capacity did not significantly associate with post MVA>1,5 cm2 (p= 0,14) and AKM alteration after BMV ≥ 200% (p= 0,18). Reduction of MVG > 50 % after BMV (OR 2,89, 95% CI 1,06-7,92; p = 0,038) and TR Vmax before BMV > 3,4 m/s (OR 3,42, 95% CI 1,19-9,83; p = 0,023) were predictor of functional capacity improvement immediately after BMV.
Conclusions: Reduction of MVG more than 50% had association with immediate improvement of functional capacity post BMV."
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Hapsari Suprobo
"Latar Belakang. Kondisi hipoksia kronik pada pasien dengan penyakit jantung bawaan sianotik akan menurunkan oksigenasi jaringan sehingga terjadilah mekanisme adaptasi yaitu eritrositosis sekunder. Besi merupakan substrat yang penting dalam produksi hemoglobin dan cadangan besi untuk menjaga kadar hemoglobin yang adekuat. Namun 50% pasien dengan kelainan penyakit jantung bawaan sianotik mengalami defisiensi besi dan kondisi ini dikaitkan dengan gangguan kapasitas fungsional akibat berkurangnya pengiriman oksigen dan efeknya terhadap metabolisme pada otot rangka. Kadar feritin serum merupakan pemeriksaan yang paling awal dan akurat untuk menilai defisiensi besi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar feritin serum dengan kapasitas fungsional pada pasien Tetralogi Fallot (TF).
Metode. Studi potong lintang dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta pada pasien TF usia 4-8 tahun yang belum menjalani operasi paliatif dan atau operasi definitif. Dilakukan pengumpulan karakteristik dasar, kadar feritin serum, ekokardiografi, serta uji jalan 6 menit. Dilakukan uji korelasi dan analisis multivariat menggunakan uji regresi.
Hasil. Diteliti sebanyak 20 pasien TF dengan rentang usia 51 hingga 98 bulan. Nilai tengah kadar feritin serum adalah 39.75 g/L (kadar terendah 5g/L, kadar tertinggi 246g/L). Nilai tengah kadar hemoglobin adalah 16.4 g/dL, kadar terendah 12 g/dL dan kadar tertinggi 20 g/dL. Limapuluh persen pasien memiliki kadar feritin serum di bawah normal (< 40 g/L). Pada uji korelasi antara kadar feritin serum dengan jarak uji jalan 6 menit didapatkan nilai r = 0.23 dengan nilai p = 0.34. Pada uji regresi linear pada 2 kelompok, ditemukan perbedaan rerata jarak uji jalan 6 menit pada kelompok dengan kadar feritin lebih tinggi (> 40 g/L, n = 10) sebesar 46,83 m dibandingkan dengan kelompok feritin rendah (< 40 g/L, n = 10) dengan koefisien β = 46,83; IK 95 -47,81- 141,47 p = 0,307.
Kesimpulan. Secara klinis terdapat kecenderungan pasien TF dengan kadar feritin serum yang lebih tinggi mampu menempuh jarak uji jalan 6 menit yang lebih jauh walaupun secara satistik tidak bermakna.

Background. Chronic hypoxia in cyanotic congenital heart disease (CCHD) result in reduced of tissue oxygenation, therefore stimulates adaptive mechanism of secondary erythrocytosis. Iron is a vital substrate for hemoglobin production and sufficient iron stores are necessary to achieve and maintain adequate levels of hemoglobin. Unfortunately, 50% of patients with cyanotic CHD are iron-deficient and this condition is associated with exercise intolerance through reduced oxygen delivery and its effect on skeletal muscle cell metabolism Ferritin serum level is the most accurate test to determine iron deficiency. Aim of this study is to evaluate the association between ferritin serum level and functional capacity in patient with Tetralogy of Fallot (TOF).
Methods. A cross-sectional study was done in Department Cardiology and Vascular Medicine, Faculty Medicine Universitas Indonesia / National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in patients with TOF aged 4-8 years old before the palliatif and or definite operation. The data collected from patients including basic characteristic, ferritin serum level and erythocyte index and six minute walk test result. Statistical analysis was done using correlation test and multivariat analysis using regression test.
Result. Twenty subjects of TF aged 51 to 98 months was collected. Median level of ferritin serum level was 39.75 g/L (the lowest level 5g/L, the highest level 246g/L). Median level of hemoglobin level was (the lowest level 12 g/dL, the highest level 20 g/dL). Fifty percent of patients had abnormal feritin serum level (< 40 g/dL). There was a correlation coefficient (r) of 0,23 with p value of 0,34 found on the correlation between ferritin serum level and six minute walk test distance. However, on linear regression test between 2 groups of ferritin serum, 46,83 m mean difference of six minute walk test distance found between higher level of ferritin serum group (> 40 g/d, n = 10), and lower level of ferritin serum group (< 40 g/d, n = 10) with β = 46,83; IK 95 -47,81- 141,47 p = 0,307.
Conclusion. Clinically in patients with higher level of feritin serum there is a tendency able to walk farther on six minute walk test, although statitically not significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shiela Stefani
"Tindakan bedah pankreatektomi dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pascabedah. Terapi medik gizi pra dan pasca-pankreatektomi dapat mempertahankan status gizi, mempercepat pemulihan kapasitas fungsional, dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Empat pasien, yang terdiri atas tiga perempuan dan satu laki-laki dengan rentang usia 30‒65 tahun, menjalani pankreatikoduodenektomi sebagai terapi kanker ampula Vateri. Nutrisi prabedah diberikan secara oral dalam bentuk makanan biasa dengan atau tanpa oral nutrition supplement (ONS). Delapan jam prabedah semua pasien mendapat ONS yang mengandung 30 g karbohidrat dan tiga pasien diberikan nutrisi enteral dini <48 jam pascabedah. Dua pasien mengalami komplikasi postoperative pancreatic fistula grade A dan satu pasien dengan obes morbid mengalami delayed gastric emptying pascabedah. Terapi medik gizi pascabedah berupa pemberian energi, makronutrien, mikronutrien, dan edukasi nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis dan toleransi asupan pasien. Asupan energi keempat pasien saat pulang mencapai 76‒109% kebutuhan energi total. Semua pasien mengalami perbaikan keluhan klinis, komplikasi, toleransi asupan, kontrol glukosa darah, dan kapasitas fungsional, serta dapat mempertahankan bahkan meningkatkan berat badan perioperatif. Lama rawat menjadi lebih singkat dan semua pasien diizinkan rawat jalan. Terapi medik gizi yang adekuat pada pasien pankreatektomi dapat meningkatkan status gizi dan kapasitas fungsional, memperbaiki luaran klinis, menurunkan morbiditas, dan mempersingkat lama rawat.

Pancreatectomy surgery can cause escalation in post-surgical morbidity and mortality. Nutrition therapy before and after pancreatectomy can help preserve nutritional status, accelerate recovery of functional capacity, and improve patient’s quality of life. Four patients, consisting of three women and one man whose age ranged between 30 – 65 years old, underwent pancreaticoduodenectomy as a therapy for ampulla of Vateri cancer. Pre-surgical nutrition was given through oral route in the form of normal food with or without oral nutritional supplement (ONS). Eight hours before surgery all patients received ONS containing 30 g of carbohydrate and three patients were given early enteral nutrition <48 hours post-surgery. Two patients experienced postoperative pancreatic fistula grade A and one patient with morbid obesity experienced delayed gastric emptying postoperatively. Post-surgical nutritional therapy includes supply of energy, macronutrients, micronutrients, and nutrition education adjusted to the patient’s clinical condition and intake tolerance. Energy intake of the four patients attained 76-109% of the total energy requirement. All patients experience improvement of clinical symptoms, complications, intake tolerance, glycemic control and functional capacity, and able to preserve and even increase their perioperative body weight. Length of stay was shorter and all patients were allowed to be discharged and treated in the outpatient clinic. Adequate medical nutrition therapy in pancreatectomy patients can enhance nutritional status and functional capacity, improve clinical outcome, reduce morbidity, and shorten length of stay."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Suseno
"Latar Belakang: Penurunan kapasitas fungsional kerap terjadi pada pasien yang menjalani perawatan. Kekuatan genggam tangan merupakan salah satu metode dalam penilaian kapasitas fungsional. Sejauh ini hubungan kausatif dari faktor-faktor yang memengaruhi perubahan kekuatan genggam tangan belum dapat di tentukan.
Tujuan: Mengetahui angka kejadian perubahan kekuatan genggam tangan selama perawatan dan faktor-faktor yang memengaruhi pada pasien dewasa rawat inap.
Metode: Desain kohort prospektif terhadap 31 pasien rawat inap yang berusia 18-59 tahun. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pencatatan data demografis, asupan energi, Beck Depression Inventory-II (BDI-II), Charlson Commorbidity Index (CCI), Rasio Neutrofil-Limfosit (RNL), Appendicular Skeletal Muscle Index (ASMI), jumlah obat (polifarmasi), dan lama rawat. Pengukuran kekuatan genggam tangan dilakukan pada awal dan akhir perawatan. Asupan energi diukur dengan metode Food Weighing untuk makanan dari rumah sakit dan Food Record untuk makanan dari luar rumah sakit. Analisis bivariat dilakukan untuk menilai hubungan faktor-faktor tersebut terhadap perubahan kekuatan genggam tangan.
Hasil: Sampel penelitian berjumlah 31 subjek dengan rerata usia 43,32 ± 10 tahun, dan 54,8% adalah pria. Mayoritas subyek dirawat akibat gangguan gastrointestinal dan hepatobilier (54,8%). Median lama rawat 6 (3-15) hari, median CCI 1 (0-6), dan median RNL 6,1 (2,1-40,9). Median ASMI pada pria 7,4 (4,7-11,1) kg/m2 , dan wanita 7,2 (3,3-9,2) kg/m2. Sebanyak 22,5 % terdapat gejala depresi, dan 58,1 % mendapatkan polifarmasi. Rerata presentase asupan harian subyek penelitian adalah 74%. Terdapat penurunan kekuatan genggam tangan selama perawatan sebesar 1 kilogram yang tidak bermakna (p:0,133). Analisis bivariat mendapatkan lama rawat berkolerasi dengan perubahan kekuatan genggam tangan (r:-0,553; p:0,001).
Simpulan: Tidak terdapat perubahan kekuatan genggam tangan yang bermakna selama perawatan pada pasien dewasa rawat inap. Lama rawat memiliki korelasi dengan perubahan kekuatan genggam tangan.

Background: Functional capacity decline often occurs in hospitalized patients. Hand grip strength is one of the methods in assessing functional capacity. So far, the causative relationship of the factors that influence changes in hand grip strength cannot be determined.
Purpose: To determine hand grip strenght changes and related factors among adult hospitalized patients.
Method: A prospective cohort study toward 31 adult hospitalized patients aged 18-59 years. Patients who fulfilled the inclusion and exclusion criteria were recorded. The data consist of demographic data, energy intake, Beck Depression Inventory-II (BDI-II), Charlson Commorbidity Index (CCI), Neutrophil-Lymphocyte Ratio (NLR), Appendicular Skeletal Muscle Index (ASMI), number of drugs (polypharmacy) and length of stay. Assessment of hand grip strength conducted upon the admission and discharge. Energy intake was assessed with food weighing method for the hospital food and food record for the noo-hospital. Bivariate analysis was conducted to assess the correlations of those factors with hand grip strength changes.
Result: Number of subjects was 31 with average age 43,32 ± 10 years and 54,8% of them were male. Majority of subjects were hospitalized due to gastrointestinal and hepatobiliary disorders (54,8%). Median length of stay was 6 (3-15) days, median of CCI was 1 (0-6), and median of NLR was 6,1 (2,1-40,9). Median of ASMI in male was 7,4 (4,7-11,1) kg/m2 , and female was 7,2 (3,3-9,2) kg/m2. There was 22,5% depression symptoms and 58,1% polypharmacy. The daily intake percentage was 74%. There was a reduction of insignificant hand grip median during the treatment amount of 1 kilograms (p:0,133). Bivariate analysis shows that length of stay was correlated with the changes of hand grip strength (r:-0,553; p:0,001).
Conclusion: There was no significant changes of hand grip strength among adult hospitalized patients. Length of stay was correlated with the changes of hand grip strength.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Erlangga Luftimas
"Meningitis tuberkulosis (MeTB) merupakan manifestasi klinis berat dari infeksi TB yang menyerang sistem saraf pusat (SSP) dan menyebabkan pasien mengalami penurunan asupan nutrisi karena menurunnya kemampuan makan dan selera makan. Asam amino rantai cabang (AARC) diketahui memiliki efek meningkatkan selera makan dan protektif terhadap massa otot. Pemenuhan kebutuhan AARC berpotensi memperbaiki kapasitas fungsional pasien sehingga menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien MeTB. Empat pasien MeTB dipantau selama perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pencatatan asupan makanan pasien dilakukan dengan metode FFQ semi kuatitatif dan 24h dietary recall. Selama masa perawatan diberikan terapi medik gizi sesuai kondisi klinis pasien, dilakukan pemantauan harian termasuk penilaian kapasitas fungsional pasien hingga pasien selesai perawatan. Semua pasien menunjukkan tanda malnutrisi berdasarkan kriteria klinis menurut American Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Belum ada rekomendasi terapi medik gizi khusus MeTB yang dapat digunakan, namun pada pasien dengan masalah infeksi disertai masalah neurologis rekomendasi tatalaksana TB paru dan stroke dapat menjadi acuan untuk tatalaksana pasien. Pemberian asupan kalori 35-40 kkal pada pasien dengan protein minimal 1,5 g/kgBB berpotensi meningkatkan kapasitas fungsional pasien dan mencegah perburukan penyakit. Tiga pasien mendapatkan asupan AARC diatas rekomendasi dan didapatkan peningkatan kapasitas fungsional dengan menggunakan indeks Barthel. Terapi medik gizi dengan pemberian protein dan AARC yang lebih tinggi dari rekomendasi IOM pada pasien MeTB dapat meningkatkan kapasitas fungsional pasien.

Tuberculous Meningitis (TBM) has been the most severe manifestation of Tuberculosis infection attacking central nervous system (CNS) and causes the risk of malnutrition in patients due to decrease the ability of eating and loss appetite. Branched chain amino acid (BCAA) has been known having effects in appetite and protection of muscle mass. Fulfilling BCAA requirement is potential to improve patient functional capacity, furthermore lowering the morbidity and mortality of TBM patient. Four TBM patients has been observed during hospitality in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM). Patient’s dietary intake was collected using semiquantitative FFQ and 24h dietary recall. During hospitality, medical nutrition therapy was administered based on patient clinical condition, daily observation including patient functional capacity was done until patient was discharged. All patients showed malnutrition signs based on clinical criteria according to American Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Recommendation of nutrition therapy on TBM patient still not exist, however in patient with infection and neurological problem, guideline of nutrition therapy in TB infection and stroke can be used. Intake of 35-40 kcal/kgBW calories and 1,5 g/kgBW of protein can be potential to increase patient functional capacity and prevent further morbidity. Three patient can fulfill their BCAA beyond the requirement and there were increase in patient functional capacity using Barthel Index. Medical nutrition therapy using protein and BCAA administration above the IOM recomendation in TBM patient can improve functional capacity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gilang Pamungkas
"Pendahuluan: Pasien pasca Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) dapat mengalami penurunan kapasitas fungsional dan produktivitas. Hal ini dikarenakan adanya penurunan curah jantung dan penghancuran protein otot (aktin dan miosin). Latihan berjalan dilakukan untuk meningkatkan pompa jantung dan keseimbangan metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional dan produktivitas ada pasien pasca BPAK.
Metode: Penelitian ini menggunakan Randomized Controlled Trial (RCT) dengan single blind pada outcome assessor. Jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 42 orang yang dibagi menjadi 21 orang di kelompok intervensi maupun kontrol.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan hasil adanya pengaruh yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional (0,008<0,05), gangguan dalam bekerja (0,011<0,05), dan gangguan aktivitas(0,044<0,05). Hasil juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kehilangan waktu kerja (0,967>0,05) dan gangguan pekerjaan keseluruhan (0,696).
Diskusi: Latihan berjalan meningkatkan pompa jantung dan metabolisme. hal tersebut meningkatkan pengeluaran Adenosine Triphospat (ATP) sehingga meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien.
Kesimpulan: Latihan berjalan meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien pasca BPAK.

Introduction: Patients after coronary artery bypass graft (CABG) may experience reduced functional capacity and productivity. This is due to decreased cardiac output and destruction of muscle proteins (actin and myosin). Walking exercise is performed to improve cardiac pump and metabolic balance. This study aims to assess the effect of walking training on functional capacity and productivity in patients after BPAK.
Methods: This study used a Randomized Controlled Trial (RCT) with a single blind on the outcome assessor. The number of respondents in this study amounted to 42 people who were divided into 21 people in the intervention and control groups.
Results: This study showed a significant effect of walking training on functional capacity(0,008<0,05), work interference(0,011<0,05), and activity interference(0,044<0,05). The results also showed no significant difference between walking training on lost work time (0,967>0,05)and overall work interference(0,696>0,05).
Discussion: Walking exercise improves cardiac pump and metabolism, which increases Adenosine Triphosphate (ATP) expenditure, thereby improving functional capacity and productivity in patients.
Conclusion: Walking exercise improves functional capacity and productivity in patients after BPAK.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>