Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nia Ramdhaniaty
"ABSTRAK
Studi ini menunjukkan bahwa perempuan adat non elit telah diekslusi secara berlapis dari proses perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat atas hutan adat. Keberadaan masyarakat adat secara global maupun di Indonesia belum sepenuhnya mendapatkan pengakuan atas tanah dan sumber daya alamnya. Hutan adat yang terdapat di wilayah adatnya dinyatakan sebagai hutan negara. Penetapan hutan adat secara legal berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 merupakan upaya perwujudan hak konstitusional kewarganegaraan masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alamnya. Namun dalam proses perjuangannya perempuan adat non elit tidak pernah terlihat dan terlibat. Studi ini bertujuan untuk menelusuri kompleksitas eksklusi berlapis yang dialami perempuan adat non elit dalam proses perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat atas hutan adat. Studi kualitatif yang dilakukan dengan pendekatan life her story pada lima perempuan adat non elit ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara proses eksklusi berlapis perempuan adat non elit dengan perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat atas hutan adatnya. Dengan mengadopsi teori power of exclusion yang dikembangkan oleh Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li, teori feminist political ecology dari Rebecca Elmhirst, dan teori feminis tentang kewarganegaraan dari Anupama Roy, argumentasi pada studi ini adalah 1 bahwa ketidakterlibatan perempuan adat non elit dalam proses perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat atas hutan adat karena perempuan adat telah dieksklusi secara berlapis, dan 2 untuk itu penetapan hutan adat memiliki beragam limitasi yang memunculkan keberagaman dilema perempuan adat non elit dalam pengelolaan lahan dan sumber daya alam lainnya.

ABSTRACT
This study show that non elite indigenous women had been excluded in multi layered from the process of citizenship rights struggle over customary forest. The existence of indigenous people globally as well as in Indonesia had not fully got its recognition over its land and natural resources. Customary forest which located in their community area declared as the state forest. The customary forest legal determination based on Constitutional Court Decree No. 35 PUU X 2012 was an embodiment effort of inidigenous people citizenship constitutional rights over their land and natural resources. However, in the struggling process, the non elite indigenous women, never been seen and involved. This study aimed to search the complexity multi layered exclusion which experienced by non elite indigenous women in the process of inidigenous people citizenship rights struggle over their customary forest. This qualitative study which performed with life her story approach in five non elite indigenous women, showed the connection between the multi layered exclusion process of non elite indigenous women with the struggle of indigenous people citizenship rights over their customary forest. By adopting the power of exclusion theory which developed by Derek Hall, Philip Hirsch, and Tania Li, feminist political ecology theory by Rebecca Elmhirst, and feminism theory on citizenship by Anupama Roy, we argue 1 that the non involvement of non elite indigenous women on the struggling process of indigenous people citizenship rights over the customary forest because the non elit indigenous women had been excluded in multi layered, therefore 2 the determination of customary forest gained various limitation that gave rise variety of non elit indigenous women rsquo s dilemmas in managing land and other natural resources."
2018
T51126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Laeliyatul Masruroh
"Masyarakat adat Kasepuhan Karang di Banten telah melalui perjuangan panjang untuk memperoleh kedaulatan atas tanah hutan yang mereka kelola secara turun-temurun. Penetapan Hutan Adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2016 membuka peluang masyarakat adat untuk mengelola dan mengembangkan hutan yang berdampak pada dinamika relasi kekuasaan di dalamnya. Penelitian ini bertujuan mengkaji dinamika relasi kuasa di akar rumput masyarakat adat Kasepuhan Karang pasca-Penetapan Hutan Adat, dengan menelusuri perubahan-perubahan yang terjadi. Metode yang digunakan adalah etnografi dengan observasi partisipatif di Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, 7-15 Oktober 2023. Analisis dengan teori agensi, struktur sosial, dan ekologi politik yang berorientasi pada aktor. Penelitian ini menunjukkan pasca-Penetapan Hutan Adat 2016, masyarakat adat Kasepuhan Karang melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan identitas adat mereka. Identitas ini memungkinkan mereka mengelola hutan melalui berbagai proyek, seperti saung pembibitan, ekowisata meranti, dan pengelolaan kopi dengan teknologi baru. Namun, proyek-proyek tersebut menimbulkan ketegangan akibat ketidakadilan dalam distribusi peluang. Kepala Desa (Jaro) sebagai aktor utama yang memanfaatkan struktur sosial untuk mempertahankan kekuasaan dan identitas adat. Pemuda adat sebagai agensi dalam pengembangan ekonomi berbasis hutan, meskipun kekuasaan mereka dibatasi. Perempuan adat, berperan kunci dalam melestarikan ritual panen padi dan mempertahankan identitas adat menghadapi ketidakadilan karena terbatasnya akses terhadap peluang kerja dan keterlibatan kegiatan ekonomi proyek. Ekologi politik menekankan pengelolaan hutan harus mengutamakan kesetaraan dan keadilan untuk menciptakan perubahan sosial yang inklusif.

The Kasepuhan Karang indigenous community in Banten has undergone a long struggle to obtain sovereignty over the forest land they have managed for generations. The designation of Indigenous Forest by the Ministry of Environment and Forestry (KLHK) in 2016 opened opportunities for the community to manage and develop the forest, which has impacted the dynamics of power relations within it. This study aims to examine the dynamics of power relations at the grassroots level of the Kasepuhan Karang indigenous community post- Indigenous Forest designation, by exploring the changes that have occurred. The method used is ethnography with participant observation in Jagaraksa Village, Muncang Subdistrict, Lebak Regency, Banten Province, from October 7–15, 2023. The analysis is conducted using the theories of agency, social structure, and political ecology, with an emphasis on power oriented toward actors. The study shows that after the 2016 Indigenous Forest designation, the Kasepuhan Karang indigenous community made various efforts to maintain their cultural identity. This identity enabled them to manage and develop the forest through various activities and projects, such as the seedling hut, Meranti ecotourism, and coffee management with new technologies. However, these projects have created tensions due to the inequities in opportunity distribution. The Village Head (Jaro) plays a central role by utilizing the social structure to maintain power and cultural identity. Indigenous youth act as agents in forest-based economic development, although their power is limited. Indigenous women play a key role in preserving rice harvest rituals and maintaining cultural identity, face injustices due to their limited access to work opportunities and involvement in the economic activities of the projects. Political ecology emphasizes that forest management should prioritize equality and justice to foster inclusive social change."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library