Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kartini Rustandi
"Buta katarak merupakan masalah kesehatan dan sosial yang m gakibatkan kerugian ekonomis yang besar bagi penderita maupun keluarga, dapar diatasi dengan dndakan operasi. Terbatasnya mmber daya dan dana serta tingginya angka buta katarak pada masyamkat kumng mampu di Kabupaten Karawang, memerlukan altematif rchabilitasi yang paling cos! ejiecrive. Tiga altematif kegiatan pelayanan operasi katarak yang dilaksanakan di Knbupaxen Karawang tahun 2000, yaim di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) dan puskesmas.
Penelitian ini mcrupakan penelitian deskmiptif, yang menggunakan data sekunder ditinjau dari sisi provider, di sarana pclayanan yang melaksanaknn kegiatan pelayanan operasi katarak di Kabupaten Karawang Tahun 2000, .dengan tujuan mendapatkan gambaran aiternatif terbaik dari kegiatan pelayanan operasi katarak di Kabupaten Kamwang dengan membandingkan biaya satuan dan cakupan kegiatan ketiga altematitf.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pelayanan operasi katarak yang dilaksanakan di puskesmas merupakan altemaiif yang paling can qffecfive ditinjau dali segi biaya., dibandingkan kegiatan pelayanan di BICMM dan RSUD Tetapi BKMM memiliki jangkauan pclayanan yang paling Unmk mendukung Jawa Barat bebas buta katarak penduduk misldn tahun 2005 disarankan rneningkatkan iielcuensi kegiatan pelayanan operasi katarak di puskesmas dan melakukan kombinasi kegiatan di BKMM dan puskesmas Serta meningkatkan penyuluhan kebutaan karcna ka.ta.rak $66811 terpadu.

Cataract blindness is a health and social problem, which can bring great economic loss to the person as well as hisfher family, but it can be solved by taking an operation procedure. Because of limited resources in health sector and high cataract prevalence, most cost eE`ective altemative treatment is needed. There are 3 altematives of cataract operation service available in Karawang District.
The purpose of this smdy is to explore the best alternative or the most cost etfective cataract operation service rendered in-Karawang Disuict by comparing the unit cost and output of cataract operastion in District Hospital (RSUD), Community Eye Centre (BKMM) and Health Center. This study is a descriptive one, base on mondary data related to the cataract operation services and the data were collected using a specilic instruments.
The result of this study shows that cataract operation service held publicly in Health Center is the most cost elfective alternative, compare to those held in Community Eye Centre (BKMM) and District Hospital (RSUD), however Community Eye Centre (BKMM) has th largest coverage or output. To support "Jawa Barat Bebas Katarak Penduduk Miskin Tahun 2000" it is recommended to increase the Eequency of the cataract operation service in Health Center, combined with cataract operation services in Health Center and Community Eye Centre. It is also recommended to promote the dissemination of information about the rehabilitation of blindness due to cataract.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T6436
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhri Rahman
"Program Operasi Katarak Gratis merupakan salah satu program kerja Dinas Kesehatan Kota Depok yang telah dilaksanakan sejak tahun 2004 dan pada tahun 2015 target program operasi katarak di Kota Depok tidak terpenuhi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang membahas tentang evaluasi program operasi katarak gratis di Kota Depok pada tahun 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak tercapainya target program operasi katarak gratis di Kota Depok disebabkan oleh kurangnya pelatihan yang diberikan kepada petugas kesehatan di masyarkat, kurangnya sosialisasi program operasi katarak gratis di masyarakat dan banyaknya masyarakat Kota Depok yang telah terdaftar menjadi pasien BPJS. Di era BPJS saat ini masyarakat yang terdaftar menjadi pasien BPJS tidak diperbolehkan mengikuti program operasi katarak gratis karena dapat berpotensi terjadinya pembiayaan ganda terhadap pasien tersebut.

Free Cataract Surgery Program has been implemented since 2004 in Depok. However, in 2015 the target of cataract surgery program in Depok is not fulfilled. This study is a qualitative descriptive study with aim to evaluate the free cataract surgery program in Depok 2015. The results showed that the target of free cataract surgery program not fulfilled caused by the lack of training that given to health workers in the community, lack of socialization about free cataract surgery program, and majority of public who already have registered in BPJS. In BPJS era, people who have registered in BPJS are not allowed to register for free cataract surgery program because it would be a double burden for BPJS.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S64934
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Setiadi
"ABSTRAK
Katarak merupakan sebab kebutaan utama di seluruh dunia. Sebab timbulnya katarak, baik katarak senilis (KS), maupun katarak diabetik (KD) belum jelas. Oleh karena itu pencegahan dan pengobatannya belum dapat dilaksanakan dengan sempurna.
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah radikal bebas, diukur sebagai peroksida lipid (PL), berperan pada timbulnya KS dan KD. Untuk mencapai tujuan ini dibandingkan kadar FL serum kelompok KS1 KD dan kontrol nonkatarak (K). Dibandingkan pula kadar FL aqueous humor (AO) kelompok KS dan KD. Darah kelompok KS dan KD diperoleh dari pasien sebelum operasi katarak, sedangkan A0 sewaktu operasi oleh dokter bedah mata. Kadar PL ditetapkan dengan Cara Stringer, berdasarkan pengukuran malondialdehida (MDA), hasil penguraian PL.
Kelompok KS terdiri dari 51 orang dengan umur 43-85 tahun ( X = 60,93, SP = 8,84); kelompok KD terdiri dari 22-orang dengan umur 42-75 tahun (X = 61,68, SD = 9,74), sedangkan kelompok K terdiri dari 24 orang dengan umur 40-82 tahun (X = 58,42, SB = 13,84). Tidak ada perbedaan bermakna antara umur kelompok KS, KD dan K. Oleh karena lebih dari 30. (16 orang) dari kelompok KS berumur kurang dari 60 tahun, kelompok ini lebih tepat disebut kelompok non-diabetik.
Hasil PL darah KS = 7,23 ± 2,31, KD = 7,24 ± 1,61 dan K 6,19 {- 1,91 (X -4. SB) vmol/L, tanpa perbedaan bermakna antara ketiga kelompok (p 0,05). Kadar PL AO KS ( 2,54 t 1,98 vmol/L, n = 12) dan KD ( 2,29 ± 1,00 vmol/L, n - 4) juga tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p > 0,05). Tidak ada korelasi antara kadar PL darah dan AG . Dari data tersebut tidak dapat disimpulkan bahwa PL berperan pada timbulnya KS dan KD, namun belum dapat disingkirkan kemungkinan terganggunya metabolisme oksidatif pada tingkat lensa.
Kami sarankan teknik pengambilan An disempurnakan dan penetapan PL AO pada katarak non-diabetik dan KD( IDDM dan NIDDM) dilakukan dengan sampel yang lebih banyak.

ABSTRACT
Lipid Peroxide Level In Blood And Aqueous Humor Of Patients With Senile And Diabetic CataractCataract is the main cause of blindness all over the world. The cause of both senile and diabetic cataract are still unknown; consequently no appropriate therapy and prevention of cataract formation are presently known.
The aim of this study is to get information on the possible role of free radicals, measured as lipid peroxide (LP), on the formation of senile (SC) and diabetic cataract (DC).
We compaired the serum LP level of patients with SC, DC and noncataract controls; also the LP level of aqueous humor (AO) of patients with SC and DC. Blood of cataract patients was drawn before the cataract operation, while AO was collected during the operation by the ophthalmic surgeon. Estimation of LP was performed by the method of Stringer, which measured , the malondialdehyde concentration.
The SC group consisted of 51 persons, aged 43--85 years (X - 60.93, SD = 8.84); the DC group of 22 persons aged 42-75 years (X = 61.69, SD = 9.74) and the control group (C) of 24 noncataractous persons. As more than 30% of the SC group were younger than 60 years, this group should be more appropriately classified as the nondiabetic cataract group. The blood LP level of the SC, DC and C group were 7.2,E - 2.31, 7.24 ± 1.61 and 6.19 ± 1.91 ( X ± SD) vmol/L respectively. These results showed no significant difference. The aqueous LP levels of the SC ( 2.54 ± 1.9B, n = 12) and the DC ( 2.29 ± 1.00) group were also not significantly different. No correlation was found between the LP levels in blood and AO of the SC and DC patients. The results mentioned above did not show that LP were involved in the development of SC and DC and that a systemic disturbance in oxidative metabolism existed in the SC and DC patients. However, an increase of oxidative metabolism or defect in the anti-oxidative mechanism at lens level could be present.
We propose to improve the AO sampling technique and estimate the AO LP levels, using a larger number of samples from non diabetic and diabetic (IDDM and NIDDM) cataract patients.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Felyzia Estaliza Irzan
"ABSTRAK
Ekstraksi katarak ekstrakapsular akhir-akhir ini semakin
digemari terutama setelah populernya teknik penanaman lensa
intraokular bilik belakang.1,2 Mengecilnya pupil merupakan
satu-satunya faktor resiko tinggi untuk terjadinya prolaps
badan kaca selama pembedahan, maka mempertahankan keadaan
midriasis merupakan hal yang sangat penting.
Flurbiprofen, merupakan salah satu obat yang dapat
digunakan secara topikal untuk mempertahankan keadaan
midriasis ini.15,18
Selama ini belum pernah dilaporkan penelitian mengenai efek
Flurbiprofen pada mata penderita katarak di Indonesia dan
perlu dicari cara pemberian yang lebih praktis dan sesuai
dengan keadaan. Hal ini menimbulkan keinginan pada diri
penulis untuk meneliti, apakah pemberian Flurbiprofen 0,03%
sebanyak 3 tetes dalam 45 menit sebelum pembedahan dapat
memberi manfaat untuk mempertahankan keadaan midriasis
selama pembedahan ekstraksi katarak ekstrakapsular.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
Flurbiprofen 0,03% yang diteteskan secara topikal sebanyak
3 tetes dalam ± 45 menit sebelum pembedahan ekstraksi
katarak ekstrakapsular dalam mempertahankan keadaan
midriasis.
Bila kelak ternyata cara ini cukup bermanfaat, maka mungkin
cara ini dapat membantu mengatasi permasalahan-permasalahan
di atas.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Referano Agustiawan
"Tujuan: Mengetahui jumlah berbagai kategori IMT pada penduduk Lombok usia ?50 tahun, prevalensi katarak senilis, proporsi katarak senilis di kelompok IMT rendah dan mencari hubungan IMT dengan katarak senilis.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional cross-sectional, meliputi 2720 subyek dari 68 klaster. Semua subyek dilakukan kunjungan rumah untuk pemeriksaan oftalmologi yang meliputi pemeriksaan visus secara kasar dengan pin-hole, pemeriksaan lensa serta segmen posterior menggunakan senter, dan oftalmoskopi langsung. Setiap subyek dihitung IMT-nya. Hubungan IMT dan katarak senilis dihitung dengan analisa statistik multivariat.
Hasil: Subyek yang dapat diperiksa secara lengkap sebesar 93,5% dari semua target. Prevalensi katarak di Lombok 12,4%. Penduduk yang masuk dalam kategori IMT severe thinness 13,6%, mild thinness 12,7%, normal 59%, mild overweight 7,7%, dan severe overweight 7%. Proporsi katarak senilis pada IMT rendah sebesar 36,6%. Tidak ada hubungan secara statistik antara IMT dan katarak senilis.
Kesimpulan: Prevalensi katarak senilis di Lombok masih cukup tinggi, dan diperlukan penanganan yang komprehensif dan lintas sektoral. Distribusi IMT di penduduk Lombok usia ?50 tahun merupakan distribusi normal. Perin diteliti lebih lanjut tentang hubungan antara katarak senilis dan IMT dengan memperhatikan jenis katarak dan faktor-faktor resiko katarak yang lain.

Objective: To determine the frequency of each category of BMI, prevalence of senile cataract, proportion of senile cataract in thin subjects, and the relationship between thinness and senile cataract of population aged 50 years and older living in Lombok.
Method: An observational cross-sectional study was carried out involving 2720 subjects aged 50 years. and over divided into 68 clusters. Home visits were conducted for ophthalmology examination including visual acuity evaluation with pin-hole, inspection of posterior segment and lens using flash light, and direct ophthalmoscopy. HMI was calculated after ophthalmology examination. Relations between BMI and senile cataract was anal-zed using multivariate statistical method.
Result: Ninety three point five percent subjects were examined completely. Prevalence of senile cataract in Lombok was 12,4%, severe thinness category was 13,6%, mild thinness 12,7%, normal 59%, mild overweight 7,7%, and severe overweight 7%. Proportion of senile cataract in subjects with low BMI was nearly 36,6%. No stastitical correlation was found between BMI and senile cataract.
Conclusion: Prevalence of senile cataract in Lombok is quite high. More comprehensive cataract management is needed. Normal BMI distribution was detected in this study. Further study is necessary to find the relationship between BMI and senile cataract regarding contribution of cataract maturation, type and other risk factors."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azrina Noor
"Tujuan: membandingkan efektivitas yang dinilai berdasarkan Cumulative Dissipated Energy (CDE), Phaco Time, Best Corrected Visual Acuity (BCVA), dan Keamanan yang diukur berdasarkan Endothelial Cell Density (ECD), Central Corneal Thickness (CCT), dan Balanced Salt Solution. (BSS) volume yang digunakan, dari empat dan enam segmen nukleofraktis dalam teknik fakoemulsifikasi stop and chop untuk katarak sedang-keras.
Metode: Uji klinis prospektif yang melibatkan 42 dengan densitas nuklear derajat NO/NC 3-5 berdasarkan Lens Opacities Classification System III (LOCS III), dirandomisasi menjadi dua kelompok nukleofraksis, empat segmen (21 subjek) atau enam segmen (21 subjek). Pengukuran objektif dilakukan pre operatif, 1 hari, 1 minggu, dan 1 bulan pasca operasi yang meliputi ECD, CCT, dan TPDK. Intra- operatif dinilai CDE, phaco time, dan volume BSS yang terpakai.
Hasil: terjadi penurunan ECD (5.76 ± 29.08 μm VS 2.33 ± 13.73 μm) dan peningkatan CCT (346.42 ± 154.45 sel/mm2 VS 247.05 ± 160.40 sel/mm2) pada kedua kelompok pada satu bulan pasca operasi. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada TPDK satu bulan pasca operasi kedua kelompok (logMAR 0.05 VS 0.04). Parameter intra-operatif dalam kelompok empat segmen (CDE 20.73 ± 6.46, phaco time 78.49 ± 23.63 detik, BSS 59.38 ± 12.04 ml) sebanding dengan kelompok enam segmen (CDE 20.46 ± 5.47, phaco time 78.62 ± 13.80 detik, BSS 58.86 ± 13.32 ml), dan tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik.
Simpulan: tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik parameter efektivitas dan keamanan antara kelompok nukleofraksis empat segmen dan enam segmen. Namun, pasca operasi nukleofraksis empat segmen mempunyai kecenderungan menimbulkan efek kerusakan endotel lebih banyak dibandingkan nukleofraksis enam segmen.

Objective: to compare effectiveness, assessed by cumulative dissipated energy (CDE), phaco time, best corrected visual acuity (BCVA), and safety which were observed by endothelial cell density (ECD), central corneal thickness (CCT), and balanced salt solution (BSS) volume used, of four and six segments nucleofractis in stop and chop phacoemulsification technique for moderate-hard cataract.
Methods: This prospective study comprised forty-two subjects with NO/NC 3-5 nuclear density according to the Lens Opacities Classification System III (LOCS III) system. Patients were equally randomized into four segments or six segments nucleofractis group. Stop-and-chop technique were applied in all subjects. The objective measurements of ECD, CCT, and BCVA were performed pre-operative, 1 day, 1 week, and 1 month post-operative. Phaco time, CDE and BSS volume were measured intraoperatively.
Results: The mean ECD were reduced (5.76 ± 29.08 μm VS 2.33 ± 13.73 μm) and CCT increased (346.42 ± 154.45 cells/mm2 VS 247.05 ± 160.40 cells/mm2) in both groups after 1 month follow-up. No statistically difference was found between mean BCVA at 1 month follow-up in both group (logMAR 0.05 VS 0.04). All intraoperative parameters of four segments group (CDE 20.73 ± 6.46, phaco time 78.49 ± 23.63 second, BSS 59.38 ± 12.04 ml) were comparable with six segments group (CDE 20.46 ± 5.47, phaco time 78.62 ± 13.80 second, BSS 58.86 ± 13.32 ml).
Conclusions: No effectiveness and safety difference between four and six segments nucleofractic in stop and chop phacoemulsification technique for moderate - hard cataract. However, our study demonstrates the tendency of higher endothelial cell loss in four segments nucleofractis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martinus
"Penderita karatak di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Usia penderita katarak juga semakin muda. Penyembuhan dengan operasi mahal dan beresiko gagal. Oleh karena itu, dibutuhkan pengobatan dengan sediaan obat yang mudah dibuat dan aman digunakan. Bunga telang (Clitoria ternatea L.) mengandung antosianin yang memiliki kemampuan untuk meluruhkan katarak. Ekstraksi air panas terhadap 2 tangkai bunga telang pada 20 ml aquades menghasilkan kadar antosianin maksimum pada suhu pelarut 80oC yaitu 2,5 mg/l.
Katarak diuji pada hewan coba tikus (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley jantan berumur 10 hari hasil induksi natrium selenit (Na2Se2O3) 20 μmol/kg BB tikus. Pengujian kemampuan peluruhan katarak dilakukan dengan cara meneteskan ekstrak bunga telang pada mata tikus. Penetesan dilakukan dengan dosis 2, 3, dan 4 tangkai bunga telang dan frekuensi penetesan 1x,2x dan 3x sehari. Sifat keaktifan peluruhan katarak diuji dengan melihat penurunan tingkat kekeruhan lensa mata tikus dari tingkat 5 hingga 1.
Hasil penetesan menunjukkan semakin besar dosis antosianin dan semakin sering dilakukan penetesan memberikan peluruhan katarak yang semakin besar. Penetesan ekstrak bunga telang dengan dosis 2 tangkai dan frekuensi penetesan 3x sehari menghasilkan tingkat kekeruhan terendah yaitu tingkat 1. Dosis 4 tangkai dan frekuensi penetesan 1x sehari menghasilkan tingkat kekeruhan tertinggi yaitu tingkat 4. Kemampuan peluruhan ekstrak bunga telang berkisar antara 20% pada dosis 4 tangkai dan 1x penetesan hingga 80% pada dosis 2 tangkai dan 3x penetesan.

The number of cataract patients in Indonesia keeps increasing every year. It has also affected younger people. Healing with operation is getting more expensive and has higher risk. Hence, it needs more alternative medicine which can be easily made and found. Butterfly pea (Clitoria ternatea L.) contains anthocyanin which is able to decay the cataract. The Extract of the butterfly pea with 80oC water, which resulting the level of the extracted anthocyanin is 2.5 mg/l. The cataract, induced from sodium selenite (Na2Se2O3) 20 μmol/kg is tested on male ten-days-old laboratory rats, Rattus norvegicus.
The experiment of cataract decaying is done by shedding the pea?s extract on the rats? eyes. The shedding is practiced with 2, 3, and 4 stalks of butterfly peas, and the frequency is once, twice and third times a day. The characteristics of the cataract decaying are experimented by observing the turbidity level reduction of the rats eyes, with five to one scales.
The shedding shows the higher dose of anthocynin and more often the frequency, the bigger cataract will be decayed. The extract shedding of two stalks of butterfly peas and the third times a day frequency produces the lowest turbidity level which is one. The extract of four stalks of butterfly peas and once a day frequency ends with the highest turbidity level which is four. The decay ability of the extract butterfly pea is around 20% at dose 4 stalks and once frequency and 80% at dose 2 stalks and third times frequency of shedding.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
T44486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Dwijayanti
"ABSTRAK
Kemajuan teknologi dalam peralatan kedokteran menciptakan alternatif baru
dalam pelayanan kedokteran, termasuk di oftalmologi. Salah satu cara operasi
katarak yang baru disebut fakoemulsifikasi (Fako) yang memberikan hasil lebih
baik dibandingkan dengan cara konvensional yaitu Ekstraksi Katarak Ekstra
Kapsular (EKEK).
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi efektivitas biaya dari dua
metode operasi katarak yaitu Fako dan EKEK yang dilakukan di RSUP Fatmawati
di Jakarta. Penelitian ini deskriptif, namun beberapa pendekatan analitis juga
digunakan. Pengambilan data secara cross sectional dengan sampel sebanyak 192
pasien operasi katarak (96 pasien Fako dan 96 pasien EKEK) yang dipilih secara
acak dari 300 populasi. Data sekunder diperoleh dari rekam medis pasien yang
menjalani operasi katarak pada tahun 2009 di rumah sakit untuk mengetahui tiga
indikator keberhasilan operasi.
Activity-based costing (ABC) digunakan untuk menghitung biaya dari
setiap metode, dan teknik pembobotan oleh duabelas dokter mata dari RSUP
Fatmawati dan RSU Dr. Sardjito dilakukan untuk mendapatkan nilai tunggal
(indeks komposit) dari efektivitas operasi katarak. Biaya yang dihitung adalah
biaya langsung yang berhubungan dengan operasi katarak, yaitu biaya
pemeriksaan mata, biaya laboratorium, biaya rontgen thorax, biaya konsultasi,
biaya operasi, biaya pelayanan farmasi, dan biaya administrasi. Efektivitas
diperoleh melalui pembobotan tiga indikator keberhasilan operasi katarak, yaitu
ketajaman visus pasca operasi, tidak adanya astigmat pasca operasi, dan tidak
adanya komplikasi intra-operasi dan pasca-operasi. Perhitungan efektivitas
operasi katarak dilakukan dengan modifikasi metode Bayes.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya satuan normatif operasi Fako
sebesar Rp. 4.419.755,17, yang lebih mahal dibandingkan EKEK (Rp.
3.369.549,24). Biaya obat-obatan dan bahan medis adalah komponen biaya
terbesar pada operasi katarak di RSUP Fatmawati. Hasil penelitian menunjukkan
ketajaman visus pasca-operasi untuk grup Fako secara signifikan lebih baik
daripada kelompok EKEK (p <0,05 dan odds ratio = 28.5). Dalam hal tidak
adanya astigmat pasca-operasi, kelompok Fako secara signifikan lebih baik
daripada kelompok EKEK (p <0,05, rasio odds = 22.7). Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok untuk tidak adanya komplikasi
intra-operasi dan pasca-operasi (p> 0,05).
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa Average Cost-effectiveness
Ratios (ACER) metode Fako lebih rendah (Rp.1.379.326,08) dibandingkan
dengan ACER EKEK (Rp. 1.485.113,49). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, dalam penelitian ini metode Fako lebih cost effective daripada metode
EKEK.
Disarankan penelitian lebih lanjut yang mencakup seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk pasien operasi katarak dengan menggunakan jumlah sampel
yang lebih besar, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif
terhadap dua teknik operasi katarak dan pilihan yang lebih baik terhadap teknik
operasi yang dapat ditawarkan untuk populasi yang lebih luas

Abstract
Technological advancement in medical equipment has created new
alternatives in medical care, including in ophthalmology. One of the new cataract
operation called Phacoemulsification (Phaco) provides better results as compared
to conventional Extracapsular Cataract Extraction (ECCE).
This study aimed at exploring the cost-effectiveness of two methods of
cataract surgeries i.e. Phaco and ECCE done at Fatmawati General Hospital in
Jakarta. It was a descriptive inquiry in nature; however, some analytical
approaches were also used. A cross sectional examination of a sample of 192
cataract surgery patients (96 phaco patients and 96 ECCE patients) was randomly
selected from 300 populations. Secondary data were obtained from patients?
medical records undergoing cataract surgeries in 2009 at the hospital to explore
three success indicators of the surgeries.
Activity-based costing (ABC) was used to calculate the costs of each
method, and weighing technique of twelve peer ophthalmologists from Fatmawati
General Hospital and Dr. Sardjito General Hospital was done to obtain a single
value (composite index) of the effectiveness indicators of the cataract surgery.
The costs were calculated for direct costs relevant to cataract surgery, i.e. the costs
of eye examinations, laboratory tests, thorax roentgen, consultation, surgical fees,
pharmaceutical services, and administrative costs. The effectiveness were
obtained through the weighing of three success indicators of cataract surgery, i.e.
post-operative visual acuity, the absence of post-operative astigmatism, and the
absence of intra-operative and post-operative complications. The calculation of
effectiveness of cataract surgery was performed by modified Bayes Method.
The findings of the study showed that the normative unit cost of Phaco
surgery was Rp. 4.419.755,17, which was more expensive than that of ECCE (Rp.
3.369.549,24). The costs of medicines and medical supplies were the largest cost
components in cataract surgery in Fatmawati General Hospital. The result of study
showed that post-operative visual acuity for Phaco group was significantly better
than ECCE group (p <0.05 and odds ratio = 28.5). In terms of the absence of
post-operative astigmatism, Phaco group was significantly better than ECCE
group (p<0.05, odds ratio = 22.7). However, there was no significant difference
between the two groups in the absence of intra-operative and post-operative
complications (p>0.05).
The result of this study also found that the average cost-effectiveness ratio
(ACER) of Phaco method was lower (Rp.1.379.326,08) than that of ECCE (Rp.
1.485.113,49). Therefore, it was concluded that, in this study, Phaco method was
more cost effective than ECCE method.More rigorous studies covering all the costs incurred to patients of cataract
surgeries using a bigger sample size were suggested, so that a more
comprehensive understanding of the two cataract surgery techniques could be
obtained and a better choice of the surgery technique could be offered for wider
population."
2010
T31393
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Zatila
"Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di Indonesia dan dunia pada umumnya. Diperkirakan l,5% prevalensi kebutaan terjadi di Indonesia dan merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Provinsi Sumatera Selatan merupakan Salah satu provinsi di Indonesia dengan prevalensi kebutaan yang cukup tinggi 1,3%). Tingginya penumpukan kasus (backlog) katarak disebabkan oleh ketidakseimbangan antara insiden katarak dengan operasi yang dilakukan setiap tahunnya.
Operasi katarak merupakan salah salu tindakan operatif yang terbukti cost effective. Bcberapa jenis metode operasi diharapkan bisa mengatasi backlog katarak dan bisa diterima baik dari sisi provider juga dari penerima pelayanan (penderita). Manual Small Incision Cataract Surgery (MSICS) dan Phacoemalsfficarion diharapkan bisa rnenjadi standar operasi katarak di negara berkembang seperti Indonesia dan Sumatera Selatan khususnya di kota Palembang. Penelitian ini membandingkan dua metode operasi katarak, MSICS dan phacoemulsification.
Penelitian ini bertujuan membandingkan biaya rata-rata dan output operasi katarak yang dilakukan di dua klinik khusus mata di Palembang, Sumatera Selatan yaitu Palembang Eye Centre untuk metode MSICS dan Sriwijaya Eye Centre untuk metode Phacoemulsificataion. Sampel adalah 55 penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 60 pasien yang dioperasi dengan metode phacoemulsification. Penelitian dilakukan secara prospektif dari bulan Februari sampai dengan April 2008. Data demografi penderita, visus sebelum dan sesudah operasi diperoleh dari rekam medis dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya total pada phacoemulsification lebih besar dibandingkan metode MSICS. Phacoemulsification membutuhkan biaya investasi yang besar untuk mesin phacoemulsification dan mikroskop operasi serta biaya bahan medis habis pakai dan lensa tanam per kasus yang dioperasi. Pada metode MSICS biaya bahan medis habis pakai ini mengambii porsi 46 % dari biaya total dan 63 % pada metode phacoemulsiiication. Biaya bahan medis habis pakai adalah Rp.866.850 untuk MSICS dan Rp.2.008.750 untuk phacoemulsification. Perbandingan biaya rata-rata per operasi adaiah Rp. 1.895.019 untuk metode MSICS dan Rp.3.20l.4l6 untuk phacoemulsiiication. Biaya investasi per unit operasi pada metode MSICS lebih tinggi dibandingkan dengan metode phacoemulsification sedangkan biaya operasional dan pemeliharaan rata-rata per operasi pada metode MSICS lebih rendah.
Pada penelitian ini sebanyak 8l,8% penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 96,7 % penderita yang dioperasi dengan metode phacoemulsification bisa mencapai perbaikan visus 6/ 12 atau lebih pada 4 minggu post operasi. Pada penelitian ini hanya biaya dari sisi provider yang dihitung, sementara biaya dari sisi penderita tidak dihitung. Pengukuran visus post operasi hanya dilakukan sampai minggu ke-4. Karena keterbatasan inilah, hasil evaluasi ekonomi ini harus diinterpretasikan secara hati-hati dan metode operasi manakah yang lebih cost-effective belum dapat disimpulkan. Kesimpulan yang bisa dibuat dari penelitian ini adalah biaya operasi katarak dengan metode MSICS Iebih effisien secara ekonomi dan bisa dipilih sebagai altematif dalam penanganan baclog katarak.

Cataract is the main cause of avoidable blindness in Indonesia and throughout the world. There are an estimated prevalence l.5 % of blindness in Indonesia, the highest one in South East Asia. South Sumatera is one of the province in Indonesia having high prevalence of blindness (l,8%). A huge backlog of cataract blindness is due to imbalance of cataract incidence and surgery done every year.
Cataract extraction is one of the cost eiective surgical interventions. Any type of cataract surgery, which is expected to tackle the backlog has to be affordable to service provider and the service recipient (patient). Manual Small incision Cataract Surgery (MSICS) and Phacoemulsilication are expected to be the standard of care for cataract surgery. A small incision is done and does not need to be sutured makes both of these methods to have high quality in restoring visual function after cataract surgery.
This study was done to make comparison of these two methods, MSICS and phacoemulsification, aimed to compare the average cost and output of cataract surgeries done in two Eye Care Centre in Palembang, South Sumatera, namely Palembang Eye Centre for MSICS methods and Sriwijaya Eye Centre for phacoemulsitication methods. The sample of 55 patient for MSICS and 60 patient for phacoemulsification were enrolled prospectively from February to April 2008. Data on patient demography, pre operative and post operative visual acuity were abstracted from medical record and observation. Output was measured as visual acuity 4 weeks post operatively.
The total cost for phacoemulsification was higher than that for MSICS in this study. Phacoernulsitication requires a high capital investment for a phacoemulsiiication machine and a more expensive operating microscope along with higher cost per case for disposable and a foldable IOL. Consumable cost contributes 46 % of total cost for MSICS and 63 % for Phacoemulsitication. Consumable cost was Rp.866.850 for MSICS and Rp.2.008.'/50 for phacoemulsification. Cost per catarct surgery was Rp.l.895.0l9 for MSICS as compared to Rp.3.20l.4l6 for phacoemulsitication. Average investment cost for MSICS was higher than that for phacoemulsification. Average operational cost (without consumable cost in operating room) and average maintence cost of MSICS were lower than phacoemulsification in this study.
The result of the study showed that 81,8 % patients of MSICS procedures and 96,7 % patients of phacoemulsification procedures achieved 6/ 12 or better visual acuity 4 weeks postoperatively. In this study Only provider cost was calculated while the consumer cost was not included. Visual acuity was measured merely 4 weeks postoperatively. BCVA (Best Corrected Visual Acuity) is used as an outcome measure for cataract surgery. These limitations of the study make the result of this economic evaluation sould be interpreted cautiously. Whether one method is more cost-effective can not be concluded from this study. The conclusion of this study is that the MSICS method being the more efficient method to tackle cataract backlog.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T33917
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aghnia Permatasari
"Kebutaan merupakan masalah yang ada di dunia, dimana penyebab utama masalah ini adalah katarak, baik di Indonesia maupun di dunia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data prevalensi katarak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada tahun 2010 dan faktor-faktor yang berkaitan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medik sebanyak 904 sampel yang dipilih secara random dari 147.288 rekam medis pasien poliklinik RSCM tahun 2010.
Data variabel yang disertakan dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, pekerjaan, asuransi pembiayaan, status gizi, gaya hidup, dan riwayat penyakit sebelumnya. Analisis data dilakukan untuk mendapatkan angka prevalensi katarak di RSCM pada tahun 2010 dan faktor yang berhubungan dengan katarak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 2 dari 11 variabel bebas yang terisi lengkap, yaitu usia dan jenis kelamin. Prevalensi katarak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2010 adalah sebesar 12,5% dan menempati peringkat pertama penyakit terbanyak. Berdasarkan uji hipotesis, didapatkan bahwa katarak lebih banyak terjadi pada pasien berusia > 40 tahun dari usia< 40 tahun dengan nilai kemaknaan p<0,001 dan terdapat peningkatan kejadian katarak seiring dengan penurunan tingkat pendidikan dengan nilai kemaknaan p=0,030.
Sementara, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara variabel jenis kelamin (p=0,235), status pernikahan (p=0,624), pekerjaan (p=0,273), asuransi pembiayaan (p=0,865), status gizi (p=0,523), dan riwayat penyakit sebelumnya (p=0,403) dengan kejadian katarak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa usia (>40 tahun) merupakan faktor risiko terjadinya katarak.

Blindness is the world's health problem, which the most common cause is cataract, even in Indonesia. This study aims to estimate the prevalence of cataract in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) in 2010 and its correlating factors using cross-sectional study design. Samples of this study were secondary data using medical record, with total amount of 904 samples which were randomly chosen from 147,288 medical records of RSCM policlinic patients in year 2010.
Variable data being included in this study were age, gender, education, marital status, jobstatus, utilization of health insurance, nutrient status, lifestyle, and disease history. Data analysis was done to estimate the prevalence of cataract in RSCM in 2010 and its relations with correlating factors.
The results showed that only 2 of 11 independent variables was complete, the age and the gender. The prevalence of cataract in Cipto Mangunkusumo Hospital in 2010 was 12.5% and it had the first rank of the disease. Based on hypothesis test, we obtained that cataract was more common in subject > 40 years old (p<0.001) and there was a trend of increasing cataract?s event with decreasing education (p=0.030).
However, other variables such as gender (p=0.235), marital status (p=0.624), job status (0.273), utilization of health insurance (0.865), nutrient status (p=0.523), and disease history (p=0.403) did not have significant different in cataract?s event. Based on the result, it can be concluded that age is the risk factor of cataract.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>