Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ria Angelia Stefany
"Drama Korea merupakan salah satu media hiburan yang kerap kali mengangkat isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat Korea Selatan sebagai bagian dari narasi cerita. Kekerasan Berbasis Gender (KBG) menjadi permasalahan yang serius di Korea Selatan sehingga kerap diangkat dalam drama Korea. Salah satu drama yang mengangkat isu tersebut adalah Mask Girl dengan karakter bernama Mo-mi yang mengalami kekerasan berbasis gender. Tindak kekerasan berbasis gender yang dialami oleh Mo-mi menimbulkan perubahan perilaku pada dirinya menjadi agresif dan amoral. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perlawanan perempuan terhadap kekerasan berbasis gender melalui perubahan respons Mo-mi. Metode penelitian yang digunakan yakni kualitatif deskriptif dengan pendekatan gothic feminism oleh Diane Hoeveler. Sumber data penelitian berupa potongan adegan dan dialog pada beberapa episode yang relevan dengan kajian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender yang dialami oleh Mo mi adalah negative lookism, kekerasan psikologis, stereotip, dan kekerasan seksual. Respons yang dilakukan oleh Mo-mi terhadap kekerasan berbasis gender yang ia alami adalah internalisasi dan perlawanan agresif. ......Korean dramas are one type of entertainment that often bring social issues that occur in South Korean society as part of its story narrative. Gender Based Violence (GBV) is a serious problem in South Korea so it is often brought up in Korean dramas. One of the dramas that brought up this issue is Mask Girl with a character named Mo-mi that has experienced gender-based violence. From all of those gender-based violence Mo-mi had experienced, her behavior turned aggressive and immoral. This study aims to explain women’s resistance to gender-based violence through changes in Mo-mi’s response. The research method used is descriptive qualitative along with a gothic feminism approach by Diane Hoeveler. The data source of this research is in the form of cuts of scenes and dialogue in several episodes that are relevant to this study. The research results show that the forms of gender-based violence Mo-mi’s had experienced are negative lookism, psychological violence, stereotypes, and sexual violence. Mo-mi's response to the violence she experienced was internalization and aggressive resistance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Bintang Anugrah Ramadhan
"Tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi perlindungan hukum bagi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang kasusnya diselesaikan melalui restorative justice, membandingkan penerapannya dengan Kanada dan Belanda, serta mengidentifikasi tantangan implementasi restorative justice di Indonesia. Selanjutnya, tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan restorative justice dalam kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) di Indonesia menghadapi banyak kendala, di antaranya lemahnya substansi hukum, keterbatasan sumber daya manusia, sarana pemulihan yang belum memadai, dan minimnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa aturan hukum di Indonesia belum sepenuhnya berpihak pada korban dan tidak ada instrumen hukum khusus yang mengatur kekerasan berbasis gender online (KBGO) secara rinci. Dalam konteks Internasional, penerapan restorative justice di Kanada dan Belanda dapat menjadi referensi untuk memperbaiki sistem yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan adanya reformasi hukum dan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum untuk menangani kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) secara lebih efektif dan adil.
......This paper aims to evaluate the legal protection for victims of online genderbased violence (OGBV) whose cases are resolved through restorative justice, compare its application with Canada and the Netherlands, and identify the challenges of implementing restorative justice in Indonesia. Furthermore, this paper is compiled using doctrinal research methods. The results show that the implementation of restorative justice in online gender-based violence (OGBV) cases in Indonesia faces many obstacles, including weak legal substance, limited human resources, inadequate means of recovery, and minimal supervision by law enforcement officials. In addition, this research also found that the rule of law in Indonesia has not fully sided with victims and there is no specific legal instrument that regulates online gender-based violence (OGBV) in detail. In the international context, the application of restorative justice in Canada and the Netherlands can be a reference to improve the existing system in Indonesia. Therefore, there is a need for legal reform and capacity building of law enforcement officials to handle online gender-based violence (OGBV) cases more effectively and fairly."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azhara Khayati
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas eksploitasi pada F (perempuan hamil kurir narkoba) sebagai
kekerasan berbasis gender. Skripsi ini melihat latar belakang F dilibatkan dalam
penyelundupan narkoba serta bentuk bentuk eksploitasi yang terjadi pada F oleh
kekasihnya sebagai bagian dari transnasional organized crime. Teori dalam
penelitian ini ialah politik seksual, feminis radikal dan feminist legal theory.
Pendekatan kriminologi feminis dan kritis digunakan dalam mengkaji eksploitasi
terhadap F. Metode yang digunakan ialah metode kualitatif melalui wawancara
mendalam.. Penelitian ini menemukan, keterlibatan F dalam perdagangan ilegal
narkoba melalui romantisme cinta yang diciptakan oleh kekasihnya. F mengalami
eksploitasi pada tubuhnya sebagai bentuk kekerasan berbasis gender. F juga
memberi pemaknaan terhadap eksploitasi yang dialaminya, serta bagaimana
respon sosial formal terhadap F merupakan bentuk dari penegakan hukum tidak
sensitif gender.

ABSTRACT
This research discuss about exploitation happens towards F (pregnant women as
drug courier) as gender based violence. This research sees background of F
involved in drug smuggling and exploitation happens toward F by her lover as
part of transnational organized crime. Theory used in this research are sexual
politic, feminist radical theory, and feminist legal theory. Feminist criminology
and critical approach used to explain how exploitation toward F. Method used in
this research is qualitative by depth interview. This research found F involved in
drug trafficking by love romanticism created by her lover. F experienced
exploitation toward her body as gender based violence. This research also
explains F?s understanding about exploitation towards her and social formal
responds towards F as form of non-sensitive gender criminal justice system."
2014
S55457
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Valencia Katlea Rotua
"Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana perlindungan hukum bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dengan modus Non-Consensual Dissemination of Intimate Images (NCII) di Indonesia di tengah ketiadaan hukum yang secara spesifik mengaturnya. NCII merupakan tindakan penyebaran konten intim tanpa persetujuan. Tindakan ini merupakan bentuk KBGO yang kerap terjadi kepada anak perempuan di bawah umur. Motif dari NCII umumnya dimulai dengan jalinan hubungan romantis, perekaman konten intim tanpa konsen maupun dengan konsen, sehingga berujung dengan pengancaman serta penyebaran konten intim tersebut tanpa persetujuan korban. Di Indonesia NCII masih diatur dalam konteks yang terbatas, yaitu hanya pada Pasal 14 ayat (1) UU TPKS tentang perekaman konten intim tanpa persetujuan, dan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang mentransmisikan konten bermuatan asusila. Melalui penelitian ini, Penulis menemukan bahwa walaupun undang-undang Indonesia telah mengatur mengenai unsur tindak pidana NCII, akan tetapi pelaksanaannya terkadang masih belum optimal. Dalam suatu perkara NCII, biasanya terdapat beberapa unsur perbuatan lain yang memenuhi kriteria sebagai tindak pidana. Namun, pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku hanya unsur tindak pidana penyebaran konten bermuatan asusilanya saja. Hal ini berpotensi merugikan korban dalam mendapat keadilan. Oleh karena itu, melalui metode socio-legal, penelitian ini mengkaji bagimana penanganan perkara NCII yang paling ideal dapat memberikan keadilan serta perlindungan bagi korban. Penyelesaian jalur hukum bukanlah hal yang mudah bagi korban, sebab terdapat stigma dari masyarakat, sekolah, bahkan APH yang memperburuk situasi korban. Oleh karena itu korban NCII, terutama anak di bawah umur membutuhkan perlindungan lebih dalam menempuh penyelesaian jalur hukum, mulai dari proses pelaporan, persidangan, hingga pemulihan. Dalam memberikan keadilan bagi korban, diperlukan peran APH yang berperspektif korban. Selain keadilan, korban NCII anak di bawah umur juga membutuhkan pemulihan dan penanganan pasca-kejadian agar korban dapat kembali beraktivitas layaknya anak pada umumnya. Selain itu, penanganan korban NCII juga membutuhkan sinergisitas antara lembaga-lembaga sosial terkait. Pemerintah, APH, dan lembaga sosial harus bahu-membahu dalam pencegahan dan penanganan perkara-perkara NCII yang dialami korban anak di bawah umur untuk mencapai keadilan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban.
......This research aims to explore how legal protection is for victims of Online Gender Based Violence (KBGO) using the Non-Consensual Dissemination of Intimate Images (NCII) mode in Indonesia amidst the absence of laws that specifically regulate it. NCII is an act of distributing intimate content without consent. This action is a form of KBGO which often occurs to underage girls. The motives for NCII generally start with a romantic relationship, recording intimate content without consent or with consent, which ends with threats and distributing intimate content without the victim's consent. In Indonesia, NCII is still regulated in a limited context, namely only in Article 14 paragraph (1) of the TPKS Law concerning recording intimate content without consent, and Article 27 paragraph (1) of the ITE Law concerning transmitting immoral content. Through this research, the author found that although Indonesian law has regulated the elements of NCII criminal acts, its implementation is sometimes still not optimal. In an NCII case, there are usually several other elements of the act that meet the criteria for a criminal act. However, the punishment imposed on the perpetrator is only an element of the crime of spreading immoral content. This has the potential to harm victims in getting justice. Therefore, through socio-legal methods, this research examines how the most ideal handling of NCII cases can provide justice and protection for victims. Resolving legal action is not an easy thing for victims, because there is stigma from society, schools, and even law enforcement officers which worsens the victim's situation. Therefore, NCII victims, especially minors, need more protection in pursuing legal remedies, starting from the reporting process, trial, to recovery. In providing justice for victims, a law enforcement officer’s role with a victim perspective is needed. Apart from justice, minor NCII victims also need post-incident recovery and treatment so that victims can return to their activities like children in general. Apart from that, handling NCII victims also requires synergy between related social institutions. The government, law enforcement officers, and social institutions must work together in preventing and handling NCII cases experienced by minor victims to achieve justice, protection, and recovery for victims."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wiyanti Eddyono
"Tulisan ini menganalisis sejauh mana RUU KUHP berorientasi terhadap kepentingan dan perlindungan hak-hak korban, khususnya perempuan korban kekerasan berbasis gender. Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis atau normative, yang secara langsung menganalisis pasal-pasal yang ada di RUU KUHP. Kerangka analisis yang digunakan adalah pendekatan hokum berpersentatif feminis yang meletakan hokum sebagai produk politik dan seringkali abai terhadap kepentingan perempuan korban kekerasan yang beragam. Tulisan ini menemukan bahwa orientasi utama RUU KUHP adalah kepentingan pelaku dan masyarakat, namun tidak secara eksplisit berorientasi kepada kepentingan korban. Diasumsikan bahwa dengan mengacu kepada kepentingan masyarakat maka telah berorientasi kepada korban. Korban masih dilihat sebagai pihak yang membantu mengungkapkan perkara semata, bukan pihak yang telah mengalami kerugian sehingga perlu mendapat perlindungan dan pemulihan. Tanggung jawab pelaku juga diarahkan untuk memenuhi kepentingan rasa keadilan masyarakat, bukan korban. Selain itu, beberapa pasal pengaturan tentang perbuatan pidana masih mengandung masalah karena RUU KUHP lebih mengoplikasi beberapa UU di luar KUHP namun tidak meevisi pasal-pasal yang berdasarkan pengalaman korban sulit untuk diimplementasikan, sepeti pengaturan PKDRT. Lebih jauh, masih ditemukan pasal-pasal yang memviktimasi korban dengan mengkriminalisasi mereka sesungguhnya adalah korban kekerasan berbasis gender."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2018
305 JP 23:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Roremary Megawe Suwasono
"Penelitian ini akan berperspektif Feminisme Siber, yang mengupayakan pemberdayaan perempuan di ruang digital untuk melawan budaya patriarki dalam pemanfaatan teknologi, Salah satunya Kekerasan Seksual Berbasis Gender yang difasilitasi teknologi yaitu, Deepfake Pornografi sebagai hasil rekayasa terhadap citra seseorang yang digabungkan dengan wajah atau tubuh orang lain untuk menciptakan konten porno berbentuk gambar dan atau video palsu yang baru. Penelitian ini melihat bahwa Deepfake Pornografi dioperasikan oleh mayoritas laki-laki yang memposisikan perempuan sebagai target pengancaman untuk mengontrol dan berkuasa atas korban. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam memposisikan dan memberikan perlindungan terhadap korban. Mengingat, Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dirumuskan dengan Pasal-Pasal yang lebih berperspektif pada pengalaman korban dan gender. Penelitian ini juga ingin menunjukkan pada penanganan kasus Deepfake Pornografi, beberapa Aparat Penegak Hukum memilih untuk tetap menggunakan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan alasan belum memahami mekanisme pelaksanaan dan belum mendapat sosialisasi materi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kurangnya literasi pada Aparat Penegak Hukum menyebabkan pemahaman yang multitafsir, bias gender dan objektivikasi tubuh perempuan pada penanganan kasus Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online dapat berpotensi mere-viktimisasi dan mengkriminalisasi korban melalui pengunaan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan demikian, Feminisme Siber hadir sebagai perjuangan gerakan feminis di ruang digital dalam menyediakan ruang aman bagi perempuan untuk berkembang, berpartisipasi, berkontribusi dan untuk melawan budaya patriarki dan dominasi laki-laki dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dengan mengutamakan pengalaman perempuan sebagai korban untuk sistem hukum yang lebih berperspektif gender.
......This research will take the perspective of Cyberfeminism, which seeks to empower women in the digital space to fight patriarchal culture in the use of technology, one of which is Gender-Based Sexual Violence which is facilitated by technology, namely, Deepfake Pornography as a result of engineering a person's image combined with another person's face or body to creating pornographic content in the form of new fake images and/or videos. This research sees that Deepfake Pornography is operated by the majority of men who position women as targets of threats to control and have power over the victims. This research aims to see how Law no. 12 of 2022 concerning Crime of Sexual Violence and Law no. 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions in positioning and providing protection for victims. Bearing in mind, Law no. 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence, formulated with articles that have a greater perspective on the victim's experience and gender. This research also wants to show that in handling Deepfake Pornography cases, several Law Enforcement Officials choose to continue using Law no. 19 of 2016 Information and Electronic Transactions on the grounds that they do not understand the implementation mechanism and have not received socialization on the material on the Law no. 12 of 2022. Lack of literacy among Law Enforcement Officials causes multiple interpretations, gender bias and the objectification of women's bodies in handling cases of Online Gender-Based Sexual Violence which can potentially re-victimize and criminalize victims through the use of the Law on Information and Electronic Transactions. Thus, Cyberfeminism is present as the struggle of the feminist movement in the digital space in providing a safe space for women to develop, participate, contribute and to fight patriarchal culture and male domination in the use of Information Technology by prioritizing women's experiences as victims for a legal system that has a more gender perspective. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library