Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 53 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cici Lisdiana
"Kecelakaan lalu lintas merupakan satu-satunya penyebab kematian tertinggi di dunia selain dari penyakit dan bisa menimpa siapa saja tanpa mengenal waktu kejadian baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penelitian ini berfokus di Kabupaten Tuban yang merupakan daerah dengan kerugian materiil, jumlah kejadian dan korban kecelakaan tertinggi di Indonesia pada tahun 2016.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keparahan luka korban kecelakaan lalu lintas. Probit Binary digunakan untuk mengestimasi model ini dimana variabel bebas yang diestimasi terdiri dari variabel tipe kecelakaan, infrastruktur, jenis kendaraan dan manusia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kendaraan sepeda motor paling memengaruhi terjadinya keparahan fatal bagi korban kecelakaan. Pengemudi berusia senja memiliki peluang lebih besar mengalami keparahan yang fatal. Pada faktor infrastruktur, kondisi pencahayaan yang baik dapat mengurangi terjadinya keparahan fatal kecelakaan. Kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah dari penelitian ini berfokus pada infrastruktur pencahayaan jalan dan sosialisasi kedisiplinan terhadap pengguna jalan.

Road injuries are the one and only the most causes of death beside from the diseases in the world on 2016. Traffic accidents can happen to anyone and anytime in both of urban and rural areas. This study focuses on Tuban Regency which is the region with the highest material damage costs, the highest number of incidents and casualties in Indonesia on 2016.
The purpose of this research is analyzing the factors that influence the injury severity of traffic accident. Probit Binary are used to estimate the independent variables that consist of accident type, infrastructure, vehicle type and human variables.
The results show that motorcycles are the most affect the occurrence of fatal severity for casualties. Older drivers have a greater chance of experiencing a fatal severity. On infrastructure factors, good lighting conditions can reduce the occurrence of fatal injury severity. The government 39 s policy on this research focuses on road lighting infrastructure and the socialization of disciplinar on road users.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Widyaningrum
"Setiap negara memiliki permasalahan sistem transportasi yang dapat diselesaikan dengan berbagai cara berbeda. Namun sering kali, penanganan sistem transportasi tidak disertai dengan pengingkatan fasilitas jalan bagi pengguna jalan yang rentan. Salah satunya dan yang paling sering diabaikan adalah penyediaan fasilitas yang memadai bagi pejalan kaki. Terlebih bagi kota-kota besar yang sedang berkembang di Indonesia, seperti kota-kota satelit yang berada di sekitar Jakarta. Depok sebagai kota satelit di Jakarta pun memiliki masalah yang sama. Akibatnya, pertumbuhan penduduk yang diikuti pertumbuhan kendaraan dan tidak disertai dengan perencanaan tata wilayah yang baik dapat merugikan masyarakat khususnya pejalan kaki.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor penyebab tingkat keparahan pejalan kaki pada kecelakaan lalu lintas di Kota Depok. Tingkat keparahan korban kecelakaan pejalan kaki yang diamati adalahluka ringan, luka berat dan meninggal dunia. Analisis yang dilakukan menggunakan metode regresi multinomial logistik sehingga nantinya akan dihasilkan model peluang terjadinya keparahan kecelakaan lalu lintas berdasarkan variabel prediksi yang telah diuji. Hasilnya, faktor yang signifikan secara statistik mempengaruhi tingkat keparahan korban kecelakaan pejalan kaki adalah usia pejalan kakidanjenis kendaraan. Faktor lainnya yang tidak signifikan secara statistik mempengaruhi resiko luka berat dan meninggal dunia adalah adalahkecelakaan di siang hari, kondisi cahaya redup/ gelap, cuaca cerah, kendaraan sepeda motordan mobil kecil, pengendara tidak memiliki SIM, pejalan kaki perempuan, usia diatas 55 tahun, tipe jalan tidak terbagi, dan terjadi pada fungsi jalan lokalserta kolektor."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silviana Maharani
"Salah satu aspek penentu kondisi perekonomian suatu negara adalah kualitas human capital. Melalui investasi pada kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Peningkatan kesehatan dari status gizi yang lebih baik menjadi faktor penting terhadap pertumbuhan ekonomi di jangka Panjang Namun permasalahan gizi masih menjadi permasalahan utama yang dihadapi oleh berbagai negara khususnya Indonesia. Salah satu aspek yang mendukung percepatan penurunan permasalahan gizi pada anak adalah kualitas air dan fasilitas sanitasi yang digunakan oleh anak tersebut sehari-hari. Dengan meggunakan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) 5 dengan menggunakan indikator antropometri akan digunakan untuk menilai status gizi seorang anak. Menggunakan model analisis logit biner untuk melihat berapa besar peluang seorang anak mengalami permasalahan gizi berdasarkan kondisi air dan fasilitas sanitasi yang digunakan dengan variabel kontrol lainnya. Selain itu, menggunakan model ordered logit juga digunakan untuk menilai tingkat keparahan permasalahan gizi pada anak.Hasil estimasi logit biner ditemukan bahwa fasilitas sanitias berpengaruh signifikan dalam menurunkan kemungkinan anak mengalami stunting dan underweighr sedangkan kondisi air berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemungkinan anak mengalami wasting. Berdasarkan tingkat keparahan gizi, ditemukan bahwa fasilitas sanitasi yang layak secara signifikan mengurangi kemungkinan anak mengalami permasalahan gizi yang lebih parah. 

One aspect that determines the economic condition of a country is the quality of its human capital. Investing in health can lead to a better quality of life. Improved health from better nutritional status is an important factor for long-term economic growth. However, nutritional problems are still a major problem faced by various countries, especially Indonesia. One aspect that supports the acceleration of the reduction of nutritional problems in children is the quality of the water and sanitation facilities used by them daily. Using data from the Indonesia Family Life Survey (IFLS), anthropometric indicators will be used to assess the nutritional status of a child. Using a binary logit analysis model to see how likely a child is to experience nutritional problems based on the condition of water and sanitation facilities used with other control variables The results of the binary logit estimation found that sanitation facilities have a significant effect on reducing the likelihood of children experiencing stunting and underweight, while water conditions have a significant effect on reducing the likelihood of children experiencing wasting. Based on the severity of nutrition problems, it was found that proper sanitation facilities significantly reduced the likelihood of children experiencing more severe nutrition problems."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivana Yapiy
"Infestasi tuma kepala sering terjadi pada anak-anak yang tinggal di lingkungan padat penghuni misalnya di pesantren. Pengetahuan mengenai cara penularan tuma kepala diharapkan dapat menurunkan keparahan infestasi tuma. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan tingkat keparahan infestasi dengan pengetahuan mengenai penularan tuma kepala pada santriwati di sebuah pesantren di Jakarta.
Desain penelitian ini adalah studi potong lintang yang dilakukan pada bulan Maret 2014. Subyek penelitian adalah semua santriwati yang hadir saat pengumpulan data dan bersedia berpartisipasi. Data dikumpulkan dengan kuesioner yang berisi lima pertanyaan mengenai pengetahuan santriwati tentang penularan tuma kepala dan pemeriksaan kepala untuk menilai keparahan infestasi. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 20 dan diuji dengan chi-square.
Hasil penelitian menunjukan semua anak perempuan (n=74) terinfestasi tuma kepala dengan kasus infestasi parah 24,3%. Sebagian besar santriwati (49/66,2%) memiliki pengetahuan rendah mengenai penularan tuma kepala. Uji chi-square tidak menunjukkan perbedaan signifikan pada tingkat keparahan infestasi antara santriwati yang memiliki tingkat pengetahuan baik dan kurang. Disimpulkan keparahan infestasi tuma pada santriwati tergolong tinggi dan tidak berhubungan dengan tingkat pengetahuan mengenai penularan tuma kepala.

Head lice infestation commonly found in children which live in overcrowded areas such as in pesantren. Having knowledge on head lice transmission is expected to decrease the severity of head lice infestation in children in pesantren. The aim of this research is to find the relationship between severity of infestation and level of knowledge on transmission of head lice in female students in a pesantren in Jakarta.
The study design was cross-sectional study which is held on March, 2014. The subjects of research were all female students that presented on the day of data collection and were willing to participate. Data were collected through questionnaire that consisted of five questions regarding level of female students? knowledge on head lice transmission and physical examination that assessed the level of head lice infestation severity. Data were analyzed through SPSS version 20 and chi-square test.
The result showed that all female students (n=74) infested by head lice with 24.3% of infestations were severe cases. Majority of female students (49/66.2%) had poor knowledge on head lice transmission. Chi-square test did not reveal significant difference on severity of head lice infestation between female students with good and poor knowledge on head lice transmission. As a conclusion, the severity of head lice infestation in female students was considered high and was not related to the level of knowledge on head lice transmission.;
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70425
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rikawarastuti
"Penyakit periodontal merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut dengan
prevalensi cukup tinggi di Indonesia (60%). Diabetes melitus merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya penyakit periodontal. Tujuan
penelitian adalah menganalisis hubungan diabetes melitus terhadap tingkat
keparahan jaringan periodontal. Jenis penelitian observasional analitik potong
lintang. Penelitian dilakukan di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa
Jakarta Selatan pada bulan Oktober - November 2014 dengan populasi
penelitian adalah pengunjung Puskesmas Kecamatan Jagakarsa.
Pengambilan sampel menggunakan simple random sampling sebanyak
122 orang. Status diabetes melitus didapat dari rekam medis poli penyakit
tidak menular. Analisis data menggunakan kai kuadrat dan regresi logistik
sederhana. Hasil penelitian menunjukkan proporsi penderita diabetes melitus
usia > 50 tahun mengalami kerusakan jaringan periodontal yang lebih
parah dibandingkan penderita diabetes melitus ≤ 50 tahun. Kelompok diabetes
melitus berisiko 3,5 kali mengalami keparahan jaringan periodontal
dibandingkan kelompok nondiabetes melitus, OR = 3,505 (1,609 ? 7,634),
nilai p = 0,002. Kelompok diabetes melitus tidak terkendali berisiko 2,5 kali
mengalami keparahan jaringan periodontal dibandingkan kelompok diabetes
melitus terkendali, nilai OR = 2,514 (0,892 ? 7,085), nilai p = 0,12
disebabkan ukuran sampel terlalu kecil. Penderita diabetes melitus lebih
berisiko mengalami keparahan jaringan periodontal dibandingkan dengan
nondiabetes melitus. Pada diabetes melitus tidak terkendali, risiko penyakit
periodontal semakin tinggi.
Periodontal disease is a teeth and oral health problem, with a quite high
prevalence in Indonesia (66%). Diabetes mellitus one of predisposing factors
of periodontal occurence. This study aimed to analyze relation between
diabetes mellitus and the severity of periodontal tissue. The study was observational
analytic study with cross-sectional design. The study was conducted
in Jagakarsa District Primary Health Care of South Jakarta on
October to November 2014 with the primary health care visitors as population.
Sample was taken using simple random sampling as much as 122 respondents.
Diabetes mellitus status was identified from the non-infectious
disease medical record. Data analysis used chi-square and simple logistic
regression. Results showed proportion of diabetes mellitus patients > 50
years suffered periodontal tissue damage more severe than ≤ 50 years old
patients. Diabetes mellitus group had 3.5 times risk of suffering severe periodontal
tissue than nondiabetes mellitus group, OR = 3.505 (1.609 -
7.634), p value = 0.002. Uncontrolled diabetes mellitus group had 2.5 times
risk of suffering severe periodontal tissue than controlled diabetes mellitus
group, OR = 2.514 (0.892 - 7.085), p value = 0.12 due too small size of sample.
Diabetes mellitus sample patients were more risky to suffer severe periodontal
tissue than nondiabetes mellitus patients. On uncontrolled diabetes
mellitus, the risk of periodontal disease was getting higher."
Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta I, 2015
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Ayudyasari
"Prediktor keparahan pankreatitis bilier yang telah banyak digunakan seperti kriteria Ranson, Imrie modifikasi, dan APACHE II membutuhkan waktu pengumpulan data hingga 48 jam dengan variabel diagnostik multipel sehingga sulit untuk diterapkan. Studi ini bertujuan untuk mencari prediktor keparahan tunggal agar dapat segera ditentukan tatalaksana terbaik bagi tiap pasien.Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien-pasien pankreatitis bilier akut di RSCM tahun 2008-2016. Kadar glukosa darah sewaktu GDS awal, derajat keparahan, dan mortalitas dicatat dan dianalisis menggunakan SPSS 20.0.Sebanyak 41 pasien pankreatitis bilier dari 140 pasien pankreatitis akut memenuhi kriteria inklusi dari studi ini. Rerata usia pasien 49,2 tahun, 24 58,5 laki-laki dan 17 41,5 perempuan. Median kadar GDS kasus ringan, sedang, dan berat adalah 109,5 mg/dL; 131 mg/dL; dan 171 mg/dL. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar GDS pada pankreatitis bilier ringan dengan berat, nilai p 0,008.Pada kurva ROC GDS terhadap pankreatitis bilier berat didapatkan AUC 0,885 IK 95 0,743 ndash; 1,000 . Nilai cut-off GDS 154,5 mg/dL memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang optimal dalam memprediksi pankreatitis bilier akut berat, yaitu 75 dan 91,8 . Kadar GDS tersebut memiliki nilai prediksi positif dan negatif sebesar 50 dan 97,1 . Tidak didapatkan hubungan antara kadar GDS dengan mortalitas, nilai p 0,249. Didapatkan hubungan antara derajat keparahan dengan mortalitas dengan nilai p 0,021 dan OR 0,028. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar GDS 154,5 mg/dL dapat memprediksi pankreatitis bilier akut berat dengan akurasi yang baik.

The established severity predictors of gallstone pancreatitis such as Ranson criteria, modified Imrie, and APACHE II usually require several days and multiple diagnostic variable to be fulfilled so that they are not convenient to use. This study was held to find a simple severity predictor of gallstone pancreatitis to immediately choose the best management for each patient.The data were derived retrospectively from the medical records of acute gallstone pancreatitis patients during 2008 2016. Random blood glucose RBG level on admission, severity grading, and mortality were recorded and analyzed using SPSS 20.0.Forty one gallstone pancreatitis out of 140 acute pancreatitis patients were included in this study. The mean age was 49,2 years old, 24 58,5 were male and 17 41,5 were female. The median RBG level in mild, moderately severe, and severe disease were 109,5 mg dL 131 mg dL and 171 mg dL respectively. There was a significant difference of RBG level on mild and severe disease, p value 0,008.The ROC curve of RBG and severe gallstone pancreatitis revealed the AUC of 0,885 CI 95 0,743 ndash 1,000 . The cut off point of RBG level 154,5 mg dL had the optimal sensitivity 75 and specificity 91,8 to predict severe disease. The positive and negative predictive value of RBG level 154,5 mg dL were 50 and 97,1 . There was no significant difference between RBG level and mortality, p 0,249. There was a relationship between severity grading and mortality, p 0,021 and OR 0,028. We can conclude that RBG level of 154,5 mg dL can acurately predict severe disease.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sammy Yahya
"Latar belakang dan tujuan: Akne vulgaris AV merupakan inflamasi kronik pada unit pilosebasea. Beberapa penelitian telah meneliti kadar 25-hydroxyvitamin D [25 OH D] serum pada pasien AV dengan hasil bervariasi, namun umumnya rendah. Kadar vitamin D diduga terpengaruh oleh pajanan sinar matahari, letak geografis, ras/tipe kulit, dan asupan makanan, sehingga mungkin temuan di Indonesia akan berbeda daripada penelitian terdahulu di luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar 25 OH D serum dan hubungan dengan derajat keparahan, lesi inflamasi, noninflamasi, dan total lesi AV.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 30 subjek penelitian SP, direkrut secara consecutive sampling, terbagi rata ke dalam kelompok AV ringan AVR, AV sedang AVS, dan AV berat AVB berdasarkan klasifikasi Lehmann. Faktor risiko AV yang berkaitan dengan vitamin D pajanan sinar matahari, penggunaan tabir surya, suplementasi, jumlah lesi, dan kadar 25 OH D serum dinilai pada seluruh SP.
Hasil : Median kadar 25 OH D serum pada kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 16,3 9,1- 17,8 ng/mL, 12,7 9,6-15,6 ng/mL, dan 9,35 4,9-10,9 ng/mL Median pada kelompok AVR dan AVS lebih tinggi dibandingkan AVB.

Background and objective: Acne vulgaris AV is chronic inflammation of pilosebaceous units. Several studies have investigated the levels of serum 25 hydroxyvitamin D 25 OH D in AV patients with varying outcomes, but mostly decreased. Vitamin D levels are thought to be affected by sun exposure, geographical location, race skin type, and food intake, that research in Indonesia may yield different results. This study aimed to determine the level of serum 25 OH D and its association with the severity and the number of inflammatory, noninflammatory, and total AV lesions.
Methods: This cross sectional study included 30 patients. Subjects were recruited by consecutive sampling, grouped equally into mild, moderate, and severe AV based on Lehmann's classification. The risk factors for inadequate vitamin D such as sun exposures, sunscreen, and suplements, the number of lesions, and serum 25 OH D levels were assessed on all subjects.
Results: The median concentrations of serum 25 OH D in the three groups were respectively 16.3 9.1 17.8 ng mL, 12.7 9.6 15.6 ng mL, and 9.35 4.9 10.9 ng mL p.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gilbert Mayer Christianto
"Osteogenesis Imperfecta OI adalah kelainan genetik pada gen pengkode kolagen yang menyebabkan kolagen tipe 1 tidak terbentuk. Manifestasi utama dari kelainan ini adalah pada jaringan ikat seperti tulang, dan kulit. Namun pada tipe yang parah ditemukan juga komplikasi pada sistem saraf, seperti hidrosefalus dan kraniosinostosis. Gangguan pada sistem saraf pusat dalam menyebabkan masalah pada berbagai fungsi otak, seperti perilaku. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan dari keparahan klinis OI dengan gangguan perilaku pada anak usia 5-12 tahun. Sebuah studi potong lintang, menggunakan rumus analitik korelatif numerik-numerik dibutuhkan jumlah sampel minimum 38 orang. Namun hanya 20 anak yang bisa dikumpulkan dari daerah Jakarta dan sekitarnya. Keparahan klinis diukur menggunakan Clinical Scoring System CSS untuk Osteogenesis Imperfecta dan gangguan perilaku anak diukur menggunakan subskala kesulitan dari Parent-Rated Strength and Difficulties Questionnaires SDQ . Subskala kesulitan terdiri dari 4 buah komponen: emotional problem, conduct problem, hyperactivity, peer problem. Uji korelasi juga dilakukan antara skor keparahan klinis dengan keempat komponen ini. Tergantung persebaran data, dilakukan uji pearson atau spearman antara variabel-variabel tersebut. Analisa dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 20. Hasil menunjukkan tidak ada korelasi bermakna dari keparahan klinis Osteogenesis Imperfecta dengan gangguan perilaku anak pada usia 5-12 tahun p > 0,05 . Akan tetapi ditemukan korelasi dengan kemaknaan rendah antara keparahan klinis OI dengan fungsi psikomotor hyperactivity p=0,049, r=0,446 . Perlu diperhatikan jumlah sampel yang didapatkan tidak memenuhi jumlah minimum, sehingga dapat memengaruhi nilai uji statistik.

Osteogenesis Imperfecta OI is a genetic disorder in the collagen coding gene that causes defect in type 1 collagen formation. The main manifestation of this disorder are in connective tissue, such as bone and skin. However in cases with high severity, neurological complications are often found, such as hydrocephalus and craniocytosis. Disorders of the central nervous system will cause various disturbances in brain functions, such as the process of behavior. This study will aim to find the correlation between clinical severity of OI with behavioral disorders in children at 5 12 years of age. A cross ndash sectional study, using numerical analytic correlation formula, minimum sample size of 38 subject was obtained. However only 20 children were able to be collected from Jakarta and the surrounding areas. The clinical severity was measured using Clinical Scoring System CSS for Osteogenesis Imperfecta and children 39 s behavioral disorders were measured using the difficulties subscales of Parent Rated Strength and Difficulties Questionnaires. This subscales consists of four components emotional problem, conduct problem, hyperactivity and peer problem. Correlation test was also performed between clinical severity with these components. Using SPSS version 20, Pearson or Spearman correlation test were conducted depending on the data distribution of the variables. The results showed no significant correlation between clinical severity of Osteogenesis Imperfecta with behavioral disorders of children age 5 12 years p 0.05 . However, correlation with low significance was found between clinical severity of OI with psychomotor function hyperactivity p 0.049, r 0.446 . The number of samples obtained does not meet the minimum number needed, therefore can affect the significance of the statistical test."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusrina Iman
"Dermatitis Seboroik DS merupakan kelainan inflamatorik kronik pada kulit dengan karakteristik plak eritematosa dan skuama kekuningan berminyak pada area tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea, termasuk kulit kepala. DS umum terjadi pada 1-5 populasi dan menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas hidup. Sekresi sebum, yang merupakan salah satu faktor DS, memiliki laju yang bervariasi sesuai dengan usia seseorang di mana mencapai puncak pada tiga bulan pertama kehidupan, masa pubertas, dan usia dewasa 30-60 tahun.
Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui korelasi usia dan skor keparahan DS. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan mendapatkan sampel dengan metode consecutive sampling sebanyak 87 pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Usia diukur berdasarkan tanggal lahir pada kartu identitas dan skor keparahan DS diukur menggunakan seborrheic dermatitis area severity index SDASI.
Berdasarkan uji normalitas data dan uji korelasi Spearmann yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa korelasi usia dan skor keparahan DS tidak signifikan p=0,495 ; r=0,074. Rerata usia dalam median yaitu 29,25 12,67-69,75 tahun, sedangkan rerata skor keparahan DS dalam median yaitu 2,25 0,25-21.

Seborrhoeic Dermatitis DS is a chronic inflammatory disorder on skin characterized by erythematous plaque and oily yellowish scales in areas of body with high sebaceous glands, including the scalp. DS occurs in 1-5 of the population and causes negative impact to quality of life. Sebum secretion, one of DS factors, has varrying rates according to age of a person, where the peak incidence is in first three months of life, puberty, and adult age 30 60 years.
Purpose of this study was to know the correlation between age and DS severity score. In this cross sectional study, consecutive sampling method was used and total subjects were 87 patients of Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Age was obtained based on date of birth on identity card and DS severity score was measured by seborrheic dermatitis area severity index SDASI.
Based on normality test and Spearmann test which had been done, the result showed that there was no significant correlation between age and DS severity score p=0.495 ; r=0.074. Age in median was 29.25 12.67-69.75 years, while the mean DS severity score in the median was 2.25 0.25-21.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfah Nur Lathiifah
"Latar belakang: Dermatitis seboroik adalah penyakit inflamasi kronik pada kulit yang bermanifestasi sebagai bercak kemerahan yang gatal dan bersisik di daerah kaya akan kelenjar sebasea. Sebum yang berada di kulit kepala merupakan nutrisi bagi Malassezia sp dan menjadi salah satu faktor risiko dari dermatitis seboroik. Keramas dapat membersihkan sebum dan kotoran dari kulit kepala. Setiap individu memiliki preferensi tersendiri mengenai frekuensi keramas.
Tujuan: Studi ini dilakukan untuk melihat korelasi skor keparahan dermatitis seboroik dengan frekuensi keramas.
Metode: Sejumlah 87 pasien dermatitis seboroik dengan metode consecutive sampling. Pasien dilakukan pemeriksaan untuk mengukur keparahan dermatitis seboroik yang diderita menggunakan diberikan kuesioner Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI. Studi ini merupakan penelitian dengan metode potong lintang.
Hasil: Median frekuensi keramas pada pasien DS adalah 3 kali seminggu 1,00-7,00 dan nilai median Skor Keparahan DS sebesar 2,25 0,25-21,00. Uji korelasi Spearman dilakukan dan didapatkan hasil tidak bermakna korelasi antara frekuensi keramas dengan skor keparahan DS P= 0,155, r= -0,154.
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara frekuensi keramas dengan Skor Keparahan DS.

Background: Seborrheic dermatitis SD is chronic inflammation disease in scalp which manifested as itchy scale erythema found on area rich of sebaceous gland. Sebum produced by sebaceous gland is nutrition for Malassezia sp and one of main risk factor of sebhorreic dermatitis. Hair washing may clean sebum and dirt on scalp. Each individual has their own preference on how often one should wash their hair.
Aim: This study was conducted to see the correlation of severity of seborrheic dermatitis with frequency of shampoo.
Methods: A total of 87 sebhorrheic dermatitis patients had been selected using exclusion criteria and recruited by consecutive sampling. Those SD patients were examined to measure the degree of seborrheic dermatitis severity using Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI questionnaire. This study was cross sectional study.
Results: Median hair washing frequency on SD patients were three times a week 1.00 7.00 and Seborrheic Dermatitis Severity Score median value at 2.25 0.25 21.00. Spearman correlation test was conducted and from the test result there were no significant correlation between hair washing frequency and SD severity score by statistic P= 0.155, r 0.154.
Conclusion: There was no correlation between frequency of hair washing with DS Severity Score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>