Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tiara Sumardi
"Proses penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen dibuat
selain untuk mendapatkan kepastian hukum juga dengan memperhatikan sisi
efektifitas dari prosedur penyelesaian sengketa, sehingga lahirlah proses penyelesaian
sengketa yang bisa dilakukan secara nonlitigasi dan penyelesaian secara litigasi.
Proses penyelesaian sengketa secara nonlitigasi ini bisa dengan sengketa secara
damai oleh para pihak sendiri. Dan melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui
BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi atau arbitrase.
Dari hasil penelitian ini, dalam prakteknya BPSK selama ini menerima dan memutus
perkara wanprestasi, tetapi ketika perkara ini sudah sampai pada tahap Peninjauan
Kembali, Mahkamah Agung menyatakan bahwa BPSK tidak berwenang atas perkara
wanprestasi tersebut. Mahkamah Agung menilai bahwa sengketa yang terjadi dalam
pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen baik berdasarkan perjanjian fidusia
maupun hak tanggungan bukanlah termasuk sengketa konsumen, oleh karenanya
BPSK tidak memiliki kewenangan untuk mengadilinya. Sengketa yang timbul dari
pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen tersebut menurut MA merupakan
sengketa perjanjian yang mana hal tersebut merupakan kewenangan dari pengadilan
negeri. Diharapkan tidak ada lagi ke tumpang-tindih peraturan hukum, itu harus
diselesaikan dengan baik karena banyak sekali peraturan perundang-undangan yang
saling tumpang-tindih, sehingga menyusahkan untuk penegakan hukum ataupun
menjalankan undang-undang tersebut. Ketidakjelasan ini menimbulkan
ketidakpastian hukum dan kerugian bari para pihak yang bersengketa, karena tidak
menjamin terselesaikannya sengketa yang efektif dan efisien. Serta perlu adanya
perubahan-perubahan terhadap kaedah-kaedah yang mengatur Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK), sehingga BPSK dapat berperan lebih aktif dalam
penyelesaian sengketa konsumen.

The dispute resolution process between business actors and consumers is
made in addition to obtaining legal certainty as well as by taking into account the
effective side of the dispute resolution procedure, so that a dispute resolution process
that can be carried out by non-litigation and litigation resolution is born. The nonlitigation
dispute resolution process can be carried out by peaceful disputes by the
parties themselves. And institutions that are in the forest, namely through BPSK by
using through conciliation, mediation or arbitration. From the results of this study, in
practice BPSK has received and decided cases of default, but when this case reached
the Reconsideration stage, the Supreme Court stated that BPSK was not awarded for
the default case. The Supreme Court is of the opinion that the dispute that occurs in
the implementation of consumer financing, whether based on a fiduciary agreement
or a consumer dispute coverage right, by BPSK does not have the authority to try
them. Disputes arising from the implementation of the financing agreement according
to the Supreme Court are disputes which are the authority of the district court. It is
hoped that there will be no more overlapping legal regulations, it must be
implemented properly because many regulations overlap each other, making it
difficult for law enforcement or to implement the law. This uncertainty creates legal
uncertainty and losses for the disputing parties, because it does not guarantee an
effective and efficient resolution of the dispute. And there need to be changes to the
methods that help the Consumer Dispute Resolution Agency (BPSK), so that BPSK
can be more active in resolving consumer disputes.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlyana Maharani
"Pembatasan kewenangan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen menjadi suatu isu hukum yang mengaburkan kepastian hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Analisa mengenai kewenangan BPSK terhadap sengketa konsumen yang mengarah pada perkara keperdataan (wanprestasi) perlu dikaji dari segi UU Perlindungan Konsumen dan Putusan-Putusan Mahkamah Agung yang memutus dengan amar membatalkan Putusan BPSK dan menyatakan BPSK tidak berwenang menyelesaikan sengketa wanprestasi. Mahkamah Agung selaku tingkat tertinggi dalam lingkup Peradilan Umum kerap kali tidak mencantumkan dasar dan alasan hukum terhadap Putusan-Putusannya yang menyangkut kewenangan BPSK. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif (kepustakaan) dengan studi dokumen (bahan-bahan pustaka) dengan dilengkapi data primer berupa wawancara dengan beberapa narasumber. Bahwa penulis mendapati, meskipun Mahkamah Agung sebelumnya sepakat BPSK berwenang menyelesaikan sengketa konsumen terkait perkara wanprestasi, namun dengan adanya yurisprudensi Mahkamah Agung, mengenai sengketa keperdataan (wanprestasi) bukan lagi ranah BPSK melainkan menjadi kompetensi absolut Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus perkara. Mahkamah Agung seharusnya tidak serta merta membatalkan Putusan BPSK dan menyatakan BPSK tidak berwenang menyelesaikan sengketa wanprestasi tanpa pertimbangan dan dasar hukum yang jelas dan lengkap agar hak konsumen mendapat penyelesaian sengketa yang patut tidak terabaikan.

The limitation of BPSK's authority in resolving consumer disputes is a legal issue that obscures the legal certainty of consumer protection in Indonesia. The analysis of BPSK's authority on consumer disputes that lead to civil cases (default) which need to be studied in terms of the Consumer Protection Law and Supreme Court Judges Considerations and Decisions which ruled against BPSK's decision and stated BPSK has no authority to resolve default disputes. The Supreme Court as the highest level within the scope of the General Court does not affect the legal basis and reasons for its decisions that regulate the authority of BPSK. The author uses the normative legal research method (literature) with document study (library materials) supplemented by primary data in the form of interviews with several interviewees. The fact is that although the Supreme Court agrees on the authority of BPSK to resolve disputes related to the interests of cases of default, with the existence of Supreme Court jurisprudence, Regarding civil disputes (default), it is no longer the domain of BPSK, but the absolute competence of the District Court to examine and decide cases. The Supreme Court should not immediately cancel the BPSK decision and state that BPSK does not resolve default disputes without consideration and a clear and complete legal basis so that proper dispute resolution consumers' rights are not neglected."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library