Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 1996
930.095 SEJ
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Perpustakaan Nasional RI, 1996
930.095 98 SEJ
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan Tanggok
Abstrak :
ln this thesis I discuss about the ancestor worship in in the Chinese-Hakka family and community in Singkawang-West Kalimantan (Borneo). The central concem of this study is the description and analysis of ancestor worship in rituals of death within family as conducted at the home, at place managed by Chinese burial association, and burial place, before and after burial.

The main issue raised in this thesis is the function of ancestor worship for Hakka family and community of Singkawang, which based on Mauss (1992) and Suparlan (l978)?s exchange theory is to tighten the kinship relations between family members who are alive or living in this world-the ?real world? and their ancestors in the atier-life world or the ?unreal world?.

The reason for the Hakka people of Singkawang to worship their ancestors. besides showing their filial piety (xiao) to ancestor. is also to ask for protection and assistance from them. In the time of needs or problems, members of a Hakka family or community will ask their ancestor spirits to help and protect him or her, and in return they will reciprocate the ancestors? help by providing food and beverages, as well as by paying respect to them, and all of these are conducted through rituals at the burial place or temples. This form or exchange is always maintained because it benefited both sides.

Death and death rituals in Hakka family are the most important part ol ancestor worship among the Chinese-Hakka in Singkawang. There would be no ancestor worship without death and death rituals. According to Hakka people?s beliefs, the well-being of their ancestors in the after-life will determine their well- being or the well-being of related family in this life.

In Chinese culture, as stated by Mencius, the most revered Confucian philosopher after Confucius himself, ?the greatest of all sins is to have no sons to carry on the ancestral line and continue the ancestors? worship? (see McCreey in Scupin, 2000: 286). Therefore, ?sons? is the operative world for Chinese in general. Traditional Chinese society is a patrilineal society in which Family surname and the right to a share of the family property descends from father to son. Daughters, once they married, their duty is to serve their parents-in-law, to worship their husband?s ancestors, and above all, to provide sons to continue their husband?s family line. Thus, usually daughters are not expected to share the burden of ancestor?s worship within their original family. In this thesis, I show that in Hakka family and community in Singkawang, in contrast to the abovementioned Chinese tradition, daughters who have married, together with their husbands, could come and share the burden of ancestor worship duty in the daughters? original family, as long as they do not take the place of sons as the leader of the family. Hakka family and community in Singkawang too see ancestor worship as means to gather members of related family, from both patrilineal and matrilineal sides, at one place and at a particular time, not only to conduct rituals and to worship their ancestors, but also to talk about family economy as well as other metters among family members.

The ancestor worship of Haldta family and community in Singkawang does not only benefit members of related family, but, as a matter of fact, also provides some advantages for members of other ethnic groups, such as the Madurese and the Dayaks, particularly those who live near the Chinese burial place. During Ching Ming Jie or Chinese Toms Festival and Zhong Yuan Jie or Hungry Ghost Festival, these people-the Madurese and the Dayaks--could ask to help Hakka families to clean or cut grass on their ancestors? graves in return for a little money.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
D825
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutahuruk, M.
Jakarta : Erlangga, 1987
958.81 HUT s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Romi
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Suku Baduy yang terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Penelitian ini mengambil tema tentang ritus kematian, salah satu ritual khusus yang dianggap sakral bagi masyarakat Suku Baduy. Ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat Suku Baduy adalah bentuk ketaatan masyarakat dalam menjalankan aturan adat yang mengharuskan mereka menjalankan prosesi ritual ketika salah seorang dari mereka meninggal dunia. Ritual ini dilakukan bukan hanya sebatas aturan adat yang menjadi acuan masyarakat dalam melakukannya, melainkan sebagai bentuk penghormatan terakhir keluarga terhadap si mayit. Selain itu, ritual kematian dianggap penting karena masyarakat Baduy percaya bahwa ritual kematian diyakini mampu mengantarkan roh si mayit ke tempat suci (Mandala Hiyang), dan tidak tersesat ke tempat larangan (Buana Larang). Ritus kematian masyarakat Suku Baduy dilakukan karena masyarakat percaya bahwa kematian adalah awal dari perjalanan roh si mayit menjalankan kehidupan barunya di tempat lain bersama para leluhur mereka terdahulu. Oleh karena itu, masyarakat Suku Baduy percaya bahwa dengan mentaati semua aturan adat dan mampu menjaga alam semesta titipan leluhur mereka, berharap setelah kematian bisa bersama-sama dengan para leluhur. Interaksi yang dibangun oleh masyarakat Baduy dengan para leluhur adalah dengan cara menjaga alam semesta. Dengan demikian, makna kematian bagi masyarakat Baduy sangat mendalam karena menyangkut keberlangsungan orang hidup dan keberlangsungan roh si mayit dengan para leluhurnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan antropologis. Sedangkan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan studi pustaka. Ritus kematian masayarakat Suku Baduy diwarnai berbagai macam simbol yang menunjukan adanya relasi antara orang hidup, orang mati dan alam semesta. Masyarakat Suku Baduy juga memahami bahwa kematian merupakan bagian dari siklus hidup manusia dan sekaligus menunjukan adanya keberlangsungan roh si mayit dengan roh para leluhurnya di tempat suci. Oleh karena itu, relasi yang dibangun masyarakat Suku Baduy antara orang mati dan orang hidup melalui ritus yang dilakukan sebagai bentuk keterjalinan dan memastikan roh si mayit dapat menghadap yang suci dan bisa bertemu dengan para leluhurnya di tempat suci (Mandala Hiyang). ......This research was conducted on the Baduy Tribe community located in Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten. This research takes the theme of the death rite, the special ritual that is considered sacred to the Baduy tribe. The death rite performed by the Baduy people is a form of community obedience in carrying out customary rules that require them to carry out a ritual procession when one of them dies. This ritual is carried out not only to the extent of the customary rules that are the reference for the community in doing so, but as a form of the family's last respect for the dead. In addition, the death ritual is considered important because the Baduy people believe that the death ritual is considered to be able to deliver the spirit of the dead to the holy place (Mandala Hiyang), and not stray to the place of prohibition (Buana Larang). The death rite of the Baduy people was carried out because the people believed that death was the beginning of the mayit living his new life elsewhere with their previous ancestors. Therefore, the people of the Baduy Tribe believe that by obeying all customary rules and being able to maintain the universe entrusted by their ancestors, hope that after death they can be together with the ancestors. The interaction built by the Baduy people with the ancestors was by taking care of the universe. Thus, the meaning of death for the Baduy people is very deep because it concerns on the continuity of the living and the continuity of the spirit of the dead with his ancestors. This research used qualitative methods with anthropological approach. Observation, interviews and literature studies were used in collection data. The death rites of the Baduy people are colored by various simbols that indicate the relationship between the living, the dead and the universe. The Baduy people also understand that death is part of the human life cycle and at the same time shows the continuity of the spirit of the dead with the spirit of his ancestors in the holy place. Therefore, the relationship built by the Baduy tribe between the dead and the living through rites is carried out as a form of intertwining and ensuring that the spirit of the dead can face the holy and can meet his ancestors in the holy place (Mandala Hiyang).
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayuk Windarti
Abstrak :
Persembahan sajen kepada leluhur dalam keseharian serta dalam ritual Karo telah menjadi adat yang mengakar pada masyarakat Tengger. Tindakan yang berulang ini membentuk keterhubungan di antara yang hidup dan yang mati maupun dengan sesama yang hidup hingga dicitakanlah kehidupan yang harmonis. Namun, di balik romantisme tersebut mengandung perubahan sosial dan kontradiksi nilai sebagai konsekuensi dari modernisasi agama. Masuknya agama Hindu yang monoteistik berbenturan dengan kepercayaan adat Tengger yang pluralistik. Tesis ini mempertanyakan tentang bagaimana masyarakat Tengger menyikapi perubahan sosial yang muncul dalam adat istiadat mereka di tengah modernisasi agama? Serta bagaimana mereka mengelola kontradiksi nilai di antara agama Hindu dan adat Tengger dalam etika keseharian dan ritual Karo yang ditandai dengan persembahan untuk leluhur dan kerabat? Penelitian ini dilakukan di Desa Jetak, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur pada Agustus 2021 dan berlanjut secara berkala melalui media telepon. Saya berpartisipasi dan melakukan wawancara mendalam dengan dukun, pemuka adat, pemuka agama, dan beberapa masyarakat Tengger. Saya menggunakan kerangka adopsi dalam Robbins guna menggambarkan masyarakat Tengger yang hidup dalam duplex cultural formation dengan menempatkan nilai adat dan nilai agama sebagai nilai tertinggi secara bersamaan. Ini bersinggungan dengan upaya perajutan pertalian dengan leluhur sebagaimana dikerangkai dalam konsep ancestorship serta pertalian dengan sesama kerabat yang terjelaskan lewat konsep kinship. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semirip apapun agama Hindu dan adat Tengger, keduanya tetaplah berjarak. Ini tergambar dalam etika keseharian dan ritual Karo di mana masyarakat Tengger memisahkan agama dan adat secara temporal dan spasial. ......Sajen as a gift for ancestors in daily life as well as in Karo ritual has become a tradition rooted in the Tengger people. This repeated action forms a connection between the living and the dead as well as with the living so that a harmonious life has aspired. Behind this romanticism, there are social changes and contradictions in values as a consequence of the modernization of religion. Adoption of the monotheistic Hindu religion contradicts with the pluralistic Tenggerese traditional beliefs. This thesis aims to answer how the Tenggerese people respond to the social changes that arise in their customs amidst the modernization of religion? And how do they manage the contradictory values between Hinduism and Tenggerese customs in daily ethic and Karo ritual which are marked by gifts for ancestors and relatives? This research was conducted in Jetak Village, Sukapura District, Probolinggo Regency, East Java in August 2021 and continues periodically through telephone media. I participated and conducted in-depth interviews with dukun, traditional leaders, religious leaders, and several Tenggerese. I used the adoption framework in Robbins to describe that the Tenggerese live in a duplex cultural formation by placing traditional values and religious values together as the paramount values. This intersects with efforts to knit ties with ancestors as outlined in the concept of ancestorship and ties with relatives which are explained through the concept of kinship. The results of the study show that no matter how similar Hinduism and Tenggerese customs are, the two are still far apart. This is reflected in the daily ethics and Karo ritual in which the Tenggerese separate religion and customs temporally and spatially.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Riani Utami
Abstrak :
Tradisi pemujaan leluhur di Jepang merupakan perpaduan dari berbagai kepercayaan yang berkembang di Jepang seperti Shinto, Konfusianisme dan Budha. Tradisi ini berawal dari adanya pemikiran bahwa roh orang yang telah meninggal dunia akan mengganggu kehidupan manusia yang masih hidup. Agar roh tersebut tidak mengganggu mereka yang masih hidup maka diadakanlah ritual-ritual untuk menenangkan roh tersebut.

Leluhur dalam tradisi pemujaan leluhur di Jepang mengacu pada pendiri ie tempat keluarga itu tinggal. Penghormatan dan pemujaan terhadap leluhur penting untuk dilakukan bukan hanya karena dia adalah pendiri ie tapi juga karena mereka dipercaya memberikan kesejahteraan dan perlindungan keamanan kepada keturunannya. Sejalan dengan adanya perkembangan pemikiran dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat Jepang, konsep leluhur yang terpusat pada ie ini kemudian meluas menjadi konsep leluhur yang terpusat pada keluarga. Tradisi pemujaan leluhur ini pun sejak Zaman Tokugawa telah digunakan sebagai alat propaganda politik pemerintah sampai dengan PD II berakhir.

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah cara pemerintah Meiji menggunakan tradisi pemujaan leluhur sebagai dasar untuk mendapatkan legitimasi bagi kekuasaannya. Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut, penulis telah mengadakan penelitian kepustakaan dan analisa yang dalam dengan metode pendekatan Deskriptif-Analitik untuk memudahkan penulis dalam mencari jawabannya dan memudahkan para pembaca dalam memahaminya.

Pada akhir penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa tradisi pemujaan leluhur ini telah digunakan oleh pemerintah Meiji untuk mendapatkan legitimasi bagi kekuasaannya dan dasar pemikiran pemujaan leluhur tersebut diterapkan di dalam beberapa institusi yang ada di Jepang seperti institusi hukum, pendidikan, keluarga, agama Shinto dan dalam penggunaan sistem kalender matahari. Dalam tradisi pemujaan leluhur pada Zaman Meiji inilah terlihat bahwa hal yang dianggap paling asasi sekalipun, yaitu kebebasan beragama, tidak terlepas dari propaganda pemerintah derni kepentingan politiknya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S13963
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gesta Bayuadhy
Yogyakarta: Laksana, 2014
181.16 GES j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yerina Asnawi
Abstrak :
Adanya hubungan yang cukup erat antara Indonesia Jepang secara tidak langsung telah terjalin sejak negara Indonesia terjajah dari tahun 1942. Namun pengalaman semasa penjajahan yang dialami oleh masyarakat Indonesia bukanlah suatu alasan untuk membuat kerenggangan hubungan yang terjalin dewasa ini. Kenyataan menunjukkan gejala yang sebaliknya. Kekaguman akan kemajuan dan keberhasilan Jepang, telah menjadi motivasi bagi negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Secara tidak langsung keberhasilan Jepang dianggap dapat menjadi motivasi menuju dunia moderen dan telah pula menjadi alasan bagi setiap negara untuk meningkatkan hubungan yang lebih erat lagi dengan bangsa tersebut. Sebetulnya bukan hanya Jepang yang dapat digolongkan negara yang berhasil membangun negerinya, melainkan Amerika dan Eropa pun menduduki peringkat nomor satu di dunia. Namun dalam kenyataan dewasa ini, dari negara-negara moderen tersebut di atas mulai tampak selisih yang cukup unik di antara mereka, terutama dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Jepang bukanlah merupakan suatu negara yang kaya akan sumber alamnya jika dibandingkan dengan Indonesia. Oleh karena itu patutlah kiranya kita bersyukur dianugerahi kekayaan sumber alam yang tinggi dan memiliki iklim yang tidak kejam. Dalam jalinan yang cenderung semakin erat ini antara Indonesia dan Jepang, para sarjana dan juga mahasiswa berusaha menemukan jalan untuk menyetahui faktok-faktor yang menyebabkan kemajuan Jepang tersebut yang kemudian akan dijadikan pegangan atau pun pola baru yang perlu diterapkan. Di dalam kita memahami suatu bangsa, tidaklah cukup dengan hanya menyoroti segi ekonomi, politik, tehnik dan semacamnya yang merupakan perwujudan konkrit dari budaya material. Melainkan kita perlu memperhatikan serta mencoba menemukan apa dan bagaimana yang terdapat di balik perwujudan konkrit yang dapat kita saksikan sekarang ini. Atas dasar inilah penulis mencoba untuk meneliti kebudayaan Jepang yang dapat membantu menjelaskan atau menerangkan lebih jelas lagi tentang ciri kebudayaan Jepang. Dalam hal ini penulis mencoba untuk menjabarkan ke-budayaan Jepang khususnya dalam bidang keagamaan yaitu sekitar pemujaan leluhur di Jepang, khususnya berkisar sekitar pemikiran 'Pemujaan Leluhur' menurut Takeda Chaoshu. Takeda Choshu adalah seorang ahli sejarah, tapi ia banyak menaruh perhatian pada bidang folklor dan agama Buddha. Ia juga mencoba mengamati masalah shinbutsu shuga (perpaduan antara agama Shinto dan Buddha) terutama di zaman Edo (abad 17-18). Setelah Perang Dunia ke-II, Takeda mengadakan penelitian agama Buddha di Cina. Beliau mempunyai premis bahwa agama Buddha di Cina sama dengan agama Buddha di Jepang. Namun ternyata dugaan itu meleset, karena agama Buddha di Cina memiliki bentuk yang lain. Sedangkan agama Buddha di Jepang menurutnya sangat erat kaitannya dengan pemujaan leluhur. Inilah yang merupakan motif baginya untuk mengadakan penelitian sosen suhai atau pemujaan leluhur di Jepang. Takeda beranggapan bahwa agama Buddha di Jepang adalah sosen sehaiteki atau bersifat pemujaan leluhur. Ada pun faktor yang menyebabkan terjadi kompleks ini, adalah struktur masyarakat Jepang yang sangat menunjang pembentukan sistim tersebut. Memang masalah pemujaan leluhur sudah banyak diteliti, terutama oleh kalangan ahli folklor, namun Takeda memperhatikannya dari sudut agama Buddha. Menurutnya dalam mempermasalahkan kebudayaan spi ritual Jepang tidak mungkin dapat dipisahkan dari faktor agama Buddha. Atas dasar pertimbangan ini penulis mengambil topik tentang pemujaan leluhur. Pemujaan leluhur merupakan salah satu tradisi keagamaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Jepang. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya kebiasaan memlliki butsudan (altar agama Buddha yang ada di rumah-rumah anak laki-laki tertua), adanya tradisi ziarah ke kubur-kubur keluarga ataupun ke kubur-kubur orang tertentu seperti obon dan higan.
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S13911
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brigitta Bayurina Dewanti
Abstrak :
Penulisan dilakukan dengan cara menganalisa data-data yang dikumpulkan dari buku-buku dan tulisan yang bgerkaitan dengan masalah. Data-data mengenai upacara Obon berasal dari berbagai buku panduan, diantaranya: Nihon No Matsuri, Tate Shakai No Ningen Kankei, ancestor Worship in Contemporary Japan, Bukyo Minzoku Jiten. Berdasarkan analisa dapat diuraikan mengenai upacara obon sebagai bagian dari religi orang Jepang menjadi sarana atau faktor yang mempererat kekerabatan dalam keluarga. Upacara pemujaan leluhur telah dilakukan oleh orang Jepang sejak dahulu dan merupakan tradisi yang hingga kini masih dijalankan. Di dalam upacara obon ini terjadi hubungan timbal balik di antara arwah leluhur dan keturunannya, di mana para arwah membutuhkan doa dan makanan yang diberikan melalui upacara, sedangkan keturunannya membutuhkan bimbingan dan perlindungan dari leluhurnya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dengan adanya berbagai pemujaan leluhur sejenis obon yang umumnya dilakukan secara berkelompok dan bersifat kekeluargaan menjadi mengakar dalam kehidupan religi orang Jepang dan menjadi sarana untuk melestarikan tradisi yang ada. Di samping itu upacara ini telah berperan sebagai faktor dalam mempererat kekerabatan dalam keluarga.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S13506
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>