Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mareoza Ayutri
"Wabah COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus 2) telah menjadi pandemi di seluruh dunia. Para peneliti berupaya untuk mengetahui dan mengembangkan obat-obatan yang berpotensi dalam melawan penyakit ini dengan mengevaluasi kembali obat yang kemungkinan dapat melawan virus ini. Oseltamivir dan favipiravir merupaka obat yang disetujui untuk pengobatan dan menunjukkan aktivitas ampuh melawan SARS-CoV-2. Namun, pengobatan definitif dari wabah ini belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek oseltamivir dan favipiravir pada pasien terkonfirmasi COVID-19 terhadap luaran klinis dan lama rawat. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dan retrospektif dengan menggunakan data rekam medis pasien rawat inap periode Maret hingga Oktober 2020. Penelitian dilakukan di RSUP Fatmawati Jakarta. Total sampel 114 pasien dengan 98 pasien (86%) menerima terapi oseltamivir dan 16 pasien (14%) menerima favipiravir. Proporsi pasien dengan luaran klinis sembuh adalah 101 pasien (88,6%) sedangkan 11 pasien meninggal (11,4%). Sebagian besar pasien memiliki lama rawat ≤ 14 hari (58,8%) sedangkan pasien dengan lama rawat > 14 hari sebanyak 41,2%. Efek antivirus (oseltamivir dan favipiravir) terhadap luaran klinis tidak signifikan secara statistik (p=0,690, OR=0,478, IK95% 0,058-3,950). Hubungan antara antivirus terhadap lama rawat juga tidak signifikan secara statistik (p=0,852, OR=0,767, IK95% 0,251-2,342). Variabel independen lain yang mempengaruhi luaran klinis ialah derajat keparahan (p=0,004) dan komorbid (p=0,009) sedangkan variabel lain yang mempengaruhi lama rawat ialah usia (p=0,005). Pada studi ini dengan data Maret hingga Oktober 2020 menunjukkan bahwa oseltamivir dan favipiravir tidak memiliki hubungan bermakna terhadap luaran klinis maupun lama rawat pasien terkonfirmasi COVID-19. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat tetapi studi lebih lanjut tetap diperlukan.

The outbreak of COVID-19 caused by SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2) is a worldwide pandemic. It has led researchers to develop drugs to fight against this ailment. Repurposed drugs have been evaluated to accelerate the treatment of COVID-19 patients. Oseltamivir and Favipiravir are drugs approved for the treatment of influenza. Both drugs have shown potent activity against SARS-CoV-2. Nevertheless, definitive treatment of this outbreak has not been confirmed yet. This study aims to evaluate the effect of oseltamivir and favipiravir in patients with confirmed COVID-19 on clinical outcomes and length of stay. It is a retrospective cross-sectional study using medical record data. The study was conducted at Fatmawati General Hospital Jakarta between March to October 2020. In this study, 98 patients (86.0%) received oseltamivir, while 16 patients (14.0%) received favipiravir. The mortality rate was 11.4% (13 patients), while the recovered was 88.6% (103 patients). Most of the patients had LoS (Length of Stay) of ≤ 14 (58.8%), while patients with LoS > 14 days were 41.2%. Antivirals (oseltamivir and favipiravir) effect on clinical outcome was not statistically significant (p = 0.690; OR = 0.478; CI95% 0.058-3.950) .Likewise, the association between antivirals and LoS was not statistically significant (p = 0.852; OR = 0.767; CI95% 0.251-2.342). Other independent variables that affect the clinical outcome are the degree of severity (p=0.004) and comorbidities (p=0.009), while another variable that affects the length of stay is age (p=0.005). In conclusion, oseltamivir and favipiravir were not significantly associated with clinical outcomes and length of stays in COVID-19 patients on March to October 2020. We hope this study will provide useful information about COVID-19 therapy. However, further study needs."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atvinda Prilya Afista
"ABSTRAK
Diabetes Melitus Tipe 2 (DM Tipe 2) sering dikaitkan dengan penyakit komorbid yaitu hipertensi dan dislipidemia. Peran apoteker belum terlihat untuk mengendalikan penyakit DM tipe 2, komorbid serta kepatuhan terapi pasien dalam perawatan kesehatan primer Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh konseling apoteker disertai buklet terhadap luaran klinis dan kepatuhan terapi pasien rawat jalan DM Tipe 2. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai September 2018 dengan desain pre-eksperimental dan pengambilan sampel secara konsekutif. Selama penelitian, subjek diberikan kuesioner sosiodemografi, Medication Adherence Questionnaire, melakukan penilaian pill count adherence, serta pengukuran luaran klinis yang dilakukan sebelum dan sesudah 3 kali diberikan intervensi apoteker. Hasil penelitian 51 pasien memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan juga menyelesaikan penelitian. Proporsi pasien yang diuji menggunakan kai kuadrat memberikan hasil, pasien dengan kadar Gula Darah Puasa dan HbA1c yang terkontrol serta kepatuhan terapi yang tinggi signifikan lebih banyak dan berbeda bermakna setelah diberikan intervensi dengan nilai (p = <0,0001; 0,014; <0,0001). Analisis perbedaan rerata luaran klinis menggunakan uji T dependen dan Wilcoxon Sign menunjukkan hasil terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar GDP (p= <0,0001), HbA1c (p= <0,0001), kolesterol total (p= 0,011), HDL (p= <0,0001), LDL (p= <0,0001) dan kepatuhan terapi (p= <0,0001) sedangkan trigliserida dan tekanan darah tidak berbeda (p >0,05). Penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi apoteker yaitu konseling dan pemberian buklet dapat memperbaiki kadar glikemik, mencegah atau memperlambat progresivitas penyakit komorbid, dan efektif meningkatkan kepatuhan terapi pasien.

ABSTRACT
Type 2 diabetes mellitus (DM) is often associated with comorbid diseases that is hypertension and dyslipidemia. The role of pharmacists has not been seen to control type 2 DM disease and its comorbidities in Indonesian primary health care. The aim of this study was to evaluate the influence of counseling by pharmacists with the booklet on clinical outcomes and adherence to therapy for outpatients type 2 DM. The study was conducted from January to September 2018 with pre-experimental design and consecutive sampling. During the study, subjects were given a sociodemographic questionnaire, Medication Adherence Questionnaire, do the Pill Adherence Count assessment, measurement clinical outcome before and after 3 times of pharmacy intervention. The study result was 51 patients who entered inclusion-exclusion criteria and had completed the study. The proportion of patients whose tested using chi-squared gave results that patients with controlled Fasting Blood Glucose, HbA1c levels, and high medication adherence was more significant and different after the intervention (p = <0,0001; 0,014; <0,0001). Difference analysis of clinical outcomes using T dependent test and Wilcoxon sign test showed there was a significant difference in FBS (p = <0,0001), HbA1c (p = <0,0001), total cholesterol (p = 0,011), HDL (p = <0,0001), LDL (p = <0,0001) and therapy adherence (p = <0,0001) while triglycerides levels and blood pressure has no difference. This study shows that pharmacist intervention can improve glycemic levels, prevent or decrease progression of comorbid and effective to improve patient compliance."
2018
T52355
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damiarta
"Pendahuluan: Fusi interkorpus lumbal adalah pilihan dalam tatalaksana spondilosis degeneratif. Operasi minimal invasif menekankan pada kelebihan dalam mengurangi kerusakan jaringan lunak, jumlah perdarahan dan durasi rawat di Rumah Sakit sehingga dapat meningkatkan derajat pemulihan pasien, status fungsional dan nilai cost-effective. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi luaran pasien yang menjalani operasi terbuka dan minimal invasif. Metode: Penelitian ini merupakan restrospektif kohort pada 70 pasien operasi terbuka n=35, minimal invasif n=35 . Evaluasi klinis dan radiologis mencakup nilai VAS, jumlah perdarahan intraoperatif, durasi operasi, paparan fluoroskopi, tingkat fusi pada bulan ke 12, skor ODI untuk penilaian fungsional pasien, serta total biaya. Pasien diobservasi sampai 12 bulan pascaoperasi. Temuan Penelitian: Kedua kelompok menunjukkan hasil luaran klinis pascaoperasi yang baik. VAS nyeri punggung 1 hari pascaoperasi lebih baik secara signifikan pada kelompok minimal invasif p 0,001 , sedangkan VAS nyeri tungkai tidak berbeda secara bermakna pada kedua kelompok. Operasi minimal invasif diasosiasikan dengan berkurangnya jumlah perdarahan, namun terdapat peningkatan paparan radiasi intraoperatif. Evaluasi fusi dalam 12 bulan pascaoperasi tidak berbeda secara bermakna. Kelompok minimal invasif menunjukkan nilai ODI yang lebih baik pada periode 6 dan 12 bulan pascaoperasi. Total biaya berbeda secara bermakna, dimana terdapat angka yang lebih tinggi pada kelompok minimal invasif. Diskusi: Perbandingan antara operasi terbuka dan minimal invasif menunjukkan luaran yang relatif sama. Pada operasi minimal invasif jumlah perdarahan lebih sedikit, namun paparan radiasi lebih tinggi. Nyeri pascaoperasi periode awal lebih pada kelompok minimal invasif. Metode operasi minimal invasif dapat meningkatkan cost-effectiveness dihubungkan dengan kecepatan pemulihan dan waktu untuk kembali bekerja.

Introduction Lumbar interbody fusion is one of the mainstay management in degenerative spondylosis. Minimal invasive surgery emphasize its potential advantages to reduce soft tissue injury, blood loss, length of hospital stay that result in improvement of recovery, functional outcome and cost effectiveness. The purpose of this study is to evaluate the outcomes of patients underwent MIS TLIF and open TLIF. Methods This is a prospective cohort study on total of 70 patients open TLIF n 35, MIS TLIF n 35 . We evaluate VAS for back pain and leg pain, ODI scores, intraoperative bleeding, operation duration, C arm shots, degrees of fusion, and total cost. We observed the patients until 1 year post operation. Results Post operation all the clinical parameter increased in both group compared to pre operative condition. VAS back pain was significantly lower in the MIS TLIF group p"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Rossa Atika
"Latar belakang: Pada tahun 2018, Indonesia memiliki 3,55% kasus pneumonia pada balita. Proporsi status nutrisi pada balita juga beragam meliputi sangat kurus (3,5%), kurus (6,7%), dan gemuk (8,0%). Belum adanya suatu instrumen prediktor luaran klinis pada pneumonia anak menjadi alasan dilakukannya penelitian ini. Hubungan status nutrisi dengan luaran klinis juga perlu diketahui lebih jauh. Hal ini bertujuan untuk membantu klinisi agar tata laksana dapat dilakukan lebih cepat dan tepat.
Metode: Penelitian dilakukan pada pasien anak dibawah dua tahun dengan pneumonia komunitas di RS Pasar Rebo, Jakarta. Desain penelitian adalah studi potong lintang
dengan sumber data primer yang diambil sejak Maret 2020 hingga September 2020. Skor RISC diperoleh dengan metode kuesioner. Status nutrisi didapatkan berdasarkan hasil
antropometri dan dikategorikan berdasarkan kurva BB/TB WHO. Hasil luaran yang diteliti adalah mortalitas, kebutuhan ICU, dan lama rawat.
Hasil: Sampel terdiri dari 25 pasien. Sebagian besar pasien memiliki Skor RISC 1 dan status nutrisi baik. Empat dari dua puluh lima pasien meninggal. Sebagian besar pasien dirawat <7 hari dan membutuhkan ICU. Hasil uji hipotesis menunjukan tidak adanya hubungan Skor RISC dan status nutrisi terhadap mortalitas, kebutuhan ICU, dan lama rawat. Uji Skor RISC untuk mortalitas menghasilkan cutoff Skor RISC 3 (AUC = 0,702).
Kesimpulan: Skor RISC dan status nutrisi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan luaran klinis pasien. Skor RISC untuk mortalitas memiliki nilai diagnostik yang
rendah pada pasien anak dibawah dua tahun dengan pneumonia komunitas di RS Pasar Rebo.

Background: In 2018, Indonesia has 3.55% pneumonia cases in children under 5 years old. There was also variance in nutritional status including severely wasted (3.5%), wasted (6.7%), and overweight (8.0%). This research was conducted because instrument for predicting outcomes in children with pneumonia is not yet available. It is also necessary to know the association between nutritional status and outcomes in children with pneumonia. Predicting outcomes of pneumonia in children will be helpful for clinicians to choose the effective treatment.
Methods: Patients were children under 2 years old with community acquired pneumonia in Pasar Rebo Hospital, Jakarta. This is a cross-sectional study with primary data that obtained from March 2020 until September 2020. RISC score were taken with questionnaire methods. Nutritional status are anthopometry results that is categorized by WHZ chart from WHO. Outcomes include mortality, ICU admission, and length of stay.
Results: There were 25 patients. Most patients had RISC score of 1 and normal nutritional status. Four out of twenty five patients died. Majority of the patients stayed in the hospital for <7 days and needed ICU admission. From our study, we found no association between RISC score and nutritional status with the outcomes. Three in RISC Score is the cutoff
for mortality (AUC = 0,702).
Conclusion: There is no significant association between RISC score and nutritional status with clinical outcomes. RISC score for mortality has low diagnostic value in children under 2 years old with community acquired pneumonia in Pasar Rebo Hospital.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Ardian Noor
"Pendahuluan: Rekonstruksi anatomi dan biomekanik panggul yang akurat sangat penting untuk mendapatkan luaran klinis yang optimal pasca THR. Kesejajaran stem femur yang sesuai berperan dalam mendapatkan luaran yang diharapkan, terutama mencegah terjadinya impingement dan loosening. Meski demikian, tilting stem femur pada bidang sagital belum banyak diteliti dan pengaruhnya pada luaran klinis dan radiologis masih belum jelas. Pada studiini, peneliti ingin mengevaluasi posisi stem femur pada bidang sagital pasca THR cementless dan menganalisis hubungannya dengan luaran klinis dan parameter radiologis pascaoperasi.
Metode: Studi analitik observasional dengan desain potong lintang dilakukan pada total 71 panggul (67 pasien, usia 18-85 tahun) yang telah dilakukan prosedur THR cementless di dua pusat orthopedi di Jakarta, Indonesia. Semua panggul dioperasi dengan teknik anterolateral atau posterior dan menggunakan implan dengan desain extended/full- coating wedge tapered stem (Corail, Depuy) atau proximal-coated wedge tapered stem (EcoFit, Implantcast; M/L Taper, Zimmer). Evaluasi dilakukan pada satu waktu dengan median 1,1 tahun (13,7 bulan). Luaran klinis dievaluasi menggunakan penilaian dengan kusioner mHHS, nilai VAS pada nyeripaha depan, dan penilaian derajat lingkup gerak sendi panggul. Kesejajaran sagital stem femurdan variabel radiologis lainnya diukur dari foto polos pelvis dan femur. Subjek dibagi ke dalam3 grup (anterior tilt, netral, dan posterior tilt) dan dilakukan analisis luaran pada ketiga grup tersebut. Pada studi ini, peneliti juga melakukan studi bivariat antara kesejajaran sagital stem femur dengan morfologi femur, approach, dan desain implan untuk melihat efeknya terhadapposisi stem.
Hasil: Nilai median kesejajaran sagital stem adalah 2o (-4,3o – 7.2o) dengan posisi stem netralditemukan lebih banyak dibandingkan stem yang mengalami tilting (54,9% vs. 45,1%). Tidakditemukan perbedaan bermakna antara skor mHHS, nilai VAS nyeri paha, dan derajat ROM diantara ketiga grup stem alignment. Nilai anteversi dan offset implan pasca prosedur juga tidakdipengaruhi oleh posisi stem femur. Studi ini menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi kesejajaran sagital stem yang bermakna secara statistik. Uji regresi linier pada morfologi femurmendapatkan bahwa setiap penambahan sudut kelengkungan anterior femur (femoral tilt) 1o berpotensi meningkatkan tilting stem femur sebesar 0,69o ke posterior (Coeff. = 0,502). Posisistem netral lebih banyak ditemukan pada approach anterolateral dibandingkan posterior(56,9% berbanding 50%; p=0,000). Anterior tilt ditemukan hanya pada approach posterior dansebaliknya posterior tilt ditemukan lebih banyak pada approach anterolateral approach (43,1%berbanding 20%). Deviasi stem juga ditemukan lebih besar secara proporsi pada proximal- coated stem dibandingkan dengan fully-coated stem (66,6% berbanding 37,7%; p=0,000).
Kesimpulan: Perbedaan kesejajaran stem femur di bidang sagital tidak mempengaruhi luaran klinis maupun radiologis pasien pasca operasi. Meskipun demikian, dalam memposisikan stem, approach ̧anterolateral merupakan teknik terbaik untuk mendapatkan posisi stem netral. Sebaliknya, deviasi stem banyak ditemukan pada approach posterior maupun tipe implant proximal-coated. Terkait morfologi femur, setiap penambahan 1o anterior bowing, posterior tilting dapat bertambah 0,69o. Temuan ini akan sangat berguna bagi klinisi dalam melakukan perencanaan preoperasi THR cementless untuk medapatkan posisi stem femur yang ideal.

Introduction: Optimal stem alignment is essential after THR. However, stem sagittal tilting has not been sufficiently investigated and outcome is still unclear. We aimed to evaluate sagittal stem position following cementless THR and its relationship with functional and radiological outcomes.
Method: Seventy-one hips underwent primary cementless THR. Median follow up was 1,1 years. Postoperative clinical and radiological outcomes were evaluated. Subjects divided based on tilting degree and outcomes were compared between groups. Bivariate analysis was performed between sagittal alignment and several influencing factors for stem position.
Results: Median sagittal alignment was 2º (-4,3º – 7.2º) with neutral stem more frequent. There were no significant differences on clinical or radiological outcomes. Test result showed 0,69º increase of posterior tilt for every 1º anterior bowing. Anterior tilting found only in posterior approach. Conversely, more posterior tilting after anterolateral approach. Larger stem deviation were found on proximal-coated stem.
Conclusion: Stem tilting in sagittal plane did not affect patient’s functional or radiological outcome postoperatively. Although, in term of stem positioning, anterolateral is the best approach to obtain neutral stem. In addition, for every degree of increased anterior femoral bowing, 0,69º increase in posterior stem tilting can be expected.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rezaalka Helto
"Latar Belakang: malformasi arteri-vena (MAV) adalah struktur abnormal yang menyebabkan fistula antara arteri dan vena tanpa perantara kapiler. MAV serebral memiliki risiko ruptur yang tinggi, dimana keadaan ruptur dapat menyebabkan kondisi katastrofik bagi pasien. Terdapat berbagai modalitas penatalaksanaan dalam manajemen MAV, seperti reseksi, embolisasi endovaskular, pembedahan stereotaktik, atau kombinasi tindakan-tindakan tersebut. Penelitian mengenai MAV sudah banyak dilakukan di luar negeri, namun masih sedikit dilakukan di Indonesia.
Tujuan: memperoleh data profil klinis, manajemen, luaran, dan gambaran pembiayaan pasien MAV serebral di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, serta memperoleh hubungan antara variabel tersebut.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan memperoleh data dari rekam medis pasien sejak tahun 2012 hingga 2021.
Hasil: sebanyak 128 tindakan dilakukan pada pasien MAV serebral di RSCM. Jenis tindakan terbanyak adalah DSA diagnostik, disusul dengan GKRS dan embolisasi. Pada tindakan embolisasi,  luaran klinis yang memiliki perbedaan signifikan atara pra dan pasca operasi adalah kejang, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran. Pada tindakan GKRS, luaran klinis yang memiliki perbedaan signifikan pra dan pasca operasi adalah kejang, nyeri kepala, mual muntah, penurunan kesadaran, hemiparesis, dan hemihipestesia. Median persentase obliterasi GKRS adalah 51,86%. Data tindakan reseksi tidak dianalisis karena jumlah sampel tidak mencukupi. Biaya tindakan paling tinggi adalah tindakan GKRS, dengan rerata pembiayaan tindakan sebesar Rp. 134.878.643,00.
Kesimpulan: dibandingkan dengan embolisasi dan reseksi, tindakan GKRS menunjukkan luaran klinis yang lebih baik dengan nilai median obliterasi 51,86%, namun merupakan tindakan dengan pembiayaan paling tinggi dan tidak ditanggung oleh asuransi negara.

Backgrounds: Arteriovenous malformation (AVM) is an abnormal structure that causes fistulas between arteries and veins without capillary intermediaries. Cerebral AVM has a high risk of rupture, where the state of rupture can cause catastrophic conditions for the patient. There are various treatment modalities in the management of AVM, such as resection, endovascular embolization, stereotactic surgery, or a combination of the treatments above. Many researches on AVM have been carried out abroad, but little has been done in Indonesia.
Objective: to obtain data on clinical profiles, management, outcomes, and costs of cerebral AVM patients at Dr. Cipto Mangunkusumo, and to obtain the relationship between the variables.
Method: this study is a descriptive observational study by extracting data from patient medical records from 2012 to 2021.
Results: a total of 128 procedures were performed on cerebral AVM patients at RSCM. The most common type of procedure was diagnostic DSA, followed by GKRS and embolization. In the embolization procedure, the clinical outcomes that had a significant difference between pre and post-procedure were seizures, headache, and decreased consciousness. In the GKRS procedure, the clinical outcomes that had significant differences before and after the procedure were seizures, headache, nausea and vomiting, decreased consciousness, hemiparesis, and hemihypesthesia. The median percentage of GKRS obliteration was 51.86%. Resection data were not analyzed because the number of samples was insufficient. The highest cost of procedure is GKRS, with an average cost of action of Rp. 134,878,643.00.
Conclusion: compared to embolization and resection, the GKRS procedure showed a better clinical outcome with a median obliteration value of 51.86%, but it was the procedure with the highest cost and was not covered by national health coverage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sheena R Angelia
"Penyakit autoimun berisiko mengalami komplikasi yang berujung pada sakit kritis. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tata laksana nutrisi dapat membantu mencegah malnutrisi, meningkatkan status nutrisi, dan memperbaiki status metabolik, sehingga dapat memperbaiki luaran klinis, mempersingkat fase sakit kritis, dan lama rawat rumah sakit (RS). Pasien dalam serial kasus ini mengalami komplikasi penyakit autoimun yang menyebabkan pasien mengalami sakit kritis, dan
membutuhkan perawatan intensif. Keempat pasien adalah perempuan, dengan rentang usia 19−37 tahun, dengan status gizi obes 1 pada dua pasien, dan malnutrisi berat pada pasien lainnya. Dua dari empat pasien mendapatkan tata laksana nutrisi sejak awal fase sakit kritis, sedangkan sisanya setelah lebih dari tujuh hari perawatan intensif. Terapi medik gizi diberikan selama berada di ruang perawatan intensif, meliputi pemenuhan
energi, makronutrien, dan mikronutrien, sesuai kondisi klinis dan toleransi pasien. Asupan energi pada keempat pasien saat perawatan intensif mencapai 25−47 kkal/kg BB/hari, dengan asupan protein tertinggi sebesar 1,4−2,7 g/kg BB/hari. Durasi pemakaian ventilator mekanik, hari perawatan intensif dan RS terpanjang, terdapat pada pasien yang mengalami malnutrisi berat. Tiga dari empat pasien dengan toleransi asupan yang baik mengalami perbaikan luaran klinis, peningkatan kapasitas fungsional,
dan diizinkan untuk rawat jalan. Satu pasien pulang atas permintaan sendiri sebelum perbaikan kondisi klinis. Tingkat keparahan penyakit, komplikasi, dan status gizi pada pasien autoimun yang mengalami sakit kritis, mempengaruhi luaran klinis. Tata laksana nutrisi dapat meningkatkan status gizi, sehingga membantu memperbaiki kondisi klinis, menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien

Autoimmune diseases pose risks for complications, leading to critical illnesses, thus increase the morbidity and mortality rate. Nutritional management can prevent malnutrition, improve metabolic and nutritional status, thereby, improve clinical outcomes, shorten critical illness phase, and reduce hospital length of stay. In these case series, all patients had autoimmune diseases with complications, leading to critically ill conditions that required intensive care. All patients were women, aged of 19−37 years. There were two patients with obesity and others with severe malnutrition. Two patients received nutritional management starting from the acute phase, while the rest were at the late period. Medical nutrition therapy was given while in the intensive care unit (ICU), including the energy fulfillment, macro- and micro-nutrients, according to the clinical condition and patient’s tolerance. The energy intake of patients during the critical ilness was 25−47 kcal/kg BW/day, with the protein intake was 1.4−2.7 g/kg BW/day. The longest duration of mechanical ventilator use, length of ICU and hospital stay, were found in patients who were severely malnourished. Three patients with good nutritional intake, had better improvement in clinical conditions, complications, and functional capacity. They were allowed to be discharged and followed up at outpatient unit, while one patient returned home on her own request, before required improvement of clinical conditions. Severity of the diseases, complications, and the nutritional status of autoimmune patients with critical illnesses affected overall clinical outcomes. Medical nutrition therapy can improve metabolic and nutritional status, thereby improve clinical conditions, reduce morbidity and mortality of the patient"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muh Tri Nugroho Fahrudhin
"Lumbar canal stenosis merupakan penyebab utama disabilitas pasien. Selective Nerve Root Block (SNRB) pada area lumbar adalah salah satu metode terapi untuk mengatasi nyeri akibat radikulopati lumbar yang bertujuan mengurangi kebutuhan operasi. Ultrasonografi (USG) muncul sebagai alternatif dengan kelebihan seperti tanpa radiasi, mobilitas tinggi, kemampuan pencitraan jaringan lunak, dan penetrasi jarum real-time jika dibandinagkan menggunakan Floroskopi. Penelitian ini merupakan studi uji klinis acak non-inferiority tersamar tunggal yang dilakukan di 2 Rumah Sakit. 52 subjek penelitian yang terdiri dari 26 subjek yang dilakukan tindakan SNRB dengan panduan fluoroskopi dan 26 subjek yang dilakukan tindakan SNRB dengan panduan USG. Tidak ada perbedaan karakteristik dasar antara kedua kelompok berdasarkan usia, jenis kelamin, IMT, durasi gejala. level lumbar VAS, maupun ODI pre operasi (p > 0,05). Penelitian ini menunjukkan penurunan signifikan pada nilai VAS di kelompok floroskopi dan USG pada 30 menit, 2 minggu, dan 12 minggu setelah tindakan dibandingkan dengan baseline (p < 0,01). Kendati demikian, tidak ada perbedaan VAS dan ODI yang signifikan antara kedua metode panduan pada setiap titik waktu (p > 0,05). Tidak terdapat perbedaan dalam pengurangan nyeri radikular lumbal, skor ODI, dan kejadian komplikasi antara tindakan SNRB dengan panduan fluoroskopi maupun USG. Penggunaan panduan USG pada SNRB terbukti lebih efisien dengan durasi yang lebih singkat dan sama efektifnya dengan fluoroskopi.

Lumbar canal stenosis is a leading cause of patient disability. Selective Nerve Root Block (SNRB) in the lumbar area is a therapeutic method aimed at alleviating pain from lumbar radiculopathy to reduce disability and surgical needs. SNRB typically employs fluoroscopy but has drawbacks such as radiation exposure. Ultrasonography (USG) has emerged as an alternative offering benefits. This was a randomized single-blind non-inferiority clinical trial conducted at 2 Hospitals. There were 52 subjects, with 26 undergoing SNRB with fluoroscopy guidance and 26 with USG guidance. No baseline characteristic differences were found between the groups in terms of age, gender, BMI, symptom duration, preoperative lumbar level VAS, or ODI (p > 0.05). The study demonstrated significant reductions in VAS scores in both fluoroscopy and USG groups at 30 minutes, 2 weeks, and 12 weeks post-procedure compared to baseline (p < 0.01). However, no significant differences in VAS and ODI were observed between the two guidance methods at any time point (p > 0.05). There was no difference in the reduction of lumbar radicular pain, ODI scores, and complication rates between SNRB procedures guided by fluoroscopy and USG. USG guidance in SNRB proves to be more efficient with shorter duration and equally effective as fluoroscopy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delly Chipta Lestari
"Bakteri multi-resisten antibiotik [multidrug-resistant (MDR)] saat ini menjadi perhatian di seluruh dunia, terutama pada Klebsiella pneumoniae penghasil enzim beta laktamase. Di Indonesia, data mengenai Klebsiella pneumoniae MDR belum tersedia. Penelitian ini bersifat restrospektif untuk mengidentifikasi Klebsiella pneumoniae MDR penghasil enzim beta laktamase (ESBL, AmpC, dan karbapenemase), mengidentifikasi gen penyandi sifat resisten pada isolat yang resisten karbapenem, menganalisis faktor risiko dan menilai luaran klinis pasien yang terinfeksi oleh bakteri tersebut. Penelitian dilakukan di ICU RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011.
Dari hasil penelitian didapatkan prevalensi Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL 76%, penghasil AmpC 0%, dan penghasil karbapenemase adalah 43%. Ditemukan 1 isolat dengan penyandi gen resinten pada karbapenem yaitu NDM-1. Faktor risiko pasien yang berhubungan dengan infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL adalah penggunaan CVC. Infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil enzim beta laktamase dapat memengaruhi lama rawat pasien di ICU dengan selisih lama rawat 11 hari dan effect size d = 0,4 (efek kecil hingga sedang). Infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil enzim beta laktamase dapat memengaruhi luaran klinis pasien meskipun dengan efek kecil (ES d = 0,2).

Multidrug-resistant organisms (MDRO) are being public health concern worldwide, especially for beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae. There is no data about multidrug-resistant Klebsiella pneumoniae in Indonesia yet. In this restrospective study we identified beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae (ESBL, AmpC, and carbapenemase), identified resistance encoding genes on carbapenem resistant isolates, analysed risk factors and patient?s outcomes. This study conducted in intensive care unit Cipto Mangunkusumo Hopital during 2011.
Study results found 76% isolates are ESBL producing, 0% are AmpC producing, and 43% are carbapenemase producing. We found 1 isolate contain gene that encoded resistance on carbapenem resistant, namely NDM-1. Risk factor that have correlation with ESBL producing is the use of central venous catheter. Infection due to beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae could influence length of stay at ICU (11 days longer) and effect size (ES) d = 0,4 (low to medium effect). Infection due to beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae also could influence patient?s outcome although with low effect (ES d = 0,2).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Fiolin
"Perkapuran lutut (Osteoartritis Lutut / OA Lutut) merupakan penyakit peradangan pada sendi lutut progresif yang paling sering ditemui. Hingga saat ini, terapi OA lutut yang ada bersifat simtomatik dan belum ada terapi yang terbukti dapat meningkatkan regenerasi tulang rawan. Injeksi intra-artikular (IA) sel punca mesenkimal (SPM) disinyalir dapat meningkatkan regenerasi tulang rawan melalui efek parakrin dengan perantara mikro RNA (miRNA). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek terapi eksosom SPM adiposa pada OA serta peran miRNA. Penelitian ini merupakan studi in-vitro dan in-vivo yang pertama bertujuan untuk mengisolasi, karakterisasi serta evaluasi kandungan miRNA kondrogenesis pada eksosom SPM adiposa, sedangkan yang kedua bertujuan untuk mengevaluasi efek injeksi eksosom serta kombinasi asam hyaluronat (HA) pada model domba OA. Pada tahap in-vitro, studi ini telah berhasil mengisolasi eksosom SPM adiposa dengan karakter yang sesuai dengan ketentuan Minimal Information for Studies of Extra-Cellular Vesicles (MISEV) 2018, serta menemukan 3 miRNA (miR-140-3p, miR-27b-3p, miR-23a-3p) yang mengalami peningkatan ekspresi, serta 3 miRNA (miR485-5p, miR-218-5p, miR-31-5p) yang mengalami penurunan ekspresi pada injeksi eksosom SPM adiposa di jaringan. Secara in-vivo, ditemukan perbaikan klinis dengan penurunan skor Clinical Lameness Score (CLS), makroskopis dan mikroskopis dengan skor OARSI yang bermakna pada model domba OA setelah 3x pemberian eksosom SPM. Pada evaluasi lebih lanjut, ditemukan pemberian kombinasi eksosom dan HA memberikan efek regenerasi tulang rawan paling optimal, terlihat dari perbaikan skor klinis pada bulan kedua, mikroskopis dan makroskopis pada sisi tibia dibandingkan kelompok injeksi HA. Peningkatan regenerasi tulang rawan ini diperantarai oleh peningkatan ekspresi miR-140-3p, miR-27b-3p, miR-23a-3p dan penurunan ekspresi miR-485-5p, miR-218-5p, miR-31-5p melalui jalur proliferasi sel dan anti-apoptosis.

Knee osteoarthritis (Knee OA) is the most common inflammatory disease of the knee joint and is progressive in nature. Currently, existing knee OA therapies are symptomatic, and there is no proven therapy that can enhance cartilage regeneration. Mesenchymal stem cell (MSC) exosome injections are believed to enhance cartilage regeneration through paracrine effects mediated by microRNAs (miRNAs). This study aims to evaluate the effects of adipose mesenchymal stem cell (MSC) exosome therapy on OA and the role of miRNAs. This research consists of two parts: an in vitro and in vivo study. The first part aims to isolate, characterize, and evaluate the chondrogenic miRNA content of adipose MSC exosomes, while the second part aims to evaluate the effects of exosome injections and hyaluronic acid (HA) combination therapy in an OA sheep model. In the in vitro phase, adipose MSC exosomes were successfully isolated with characteristics conforming to the MISEV 2018 guidelines. Three miRNAs (miR 140-3p, 27b-3p, 23a3p) showed increased expression, while three miRNAs (miR 485-5p, 218-5p, 31-5p) showed decreased expression after adipose MSC exosome injections into the tissue. In the second phase, clinical improvement was observed with a decrease in Clinical Lameness Score (CLS) and significant macroscopic and microscopic improvements with OARSI scores in the OA sheep model after three administrations of adipose MSC exosomes. In the third phase, the combination of exosomes and HA therapy provided the most optimal cartilage regeneration effect, as evidenced by clinical, microscopic, and macroscopic improvements compared to the HA injection group. The combination of adipose MSC exosome injections 3 times and HA injections 2 times intra-articularly in the OA sheep model significantly demonstrated the best clinical, macroscopic, and microscopic outcomes within 6 weeks, mediated by chondrogenic miRNAs through cell proliferation and anti-apoptosis pathways."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library