Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
Anggi Priyandari
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh corporate governance proporsi komisaris independen, ukuran dewan komisaris, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kualitas auditor publik, dan debt to equity ratio terhadap praktik earnings management di sekitar pelaksanaan right issue. Penelitian ini menggunakan data cross sectional dengan sampel penelitian berjumlah 56 perusahaan non-financial yang melakukan right issue pada periode 2008-2015 dengan menggunakan regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel corporate governance yaitu debt to equity ratio memiliki pengaruh signifikan terhadap earnings management di sekitar pelaksanaan right issue. Sedangkan variabel corporate governance lainnya memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap earnings management di sekitar pelaksanaan right issue.
This study aims to analyze the effect of corporate governance percent of outside commisioner, commisioner size, managerial ownership, institutional ownership, quality of public auditor, and debt to equity ratio on earnings management around the exercise of right issue. This study used data with a cross sectional sample of 56 from non financial sectors of the period 2008 2015 using multiple regression. The results showed that one of corporate governance variable debt to equity ratio have significant effect on earnings management around the exercise of right issue. Whereas, the other corporate governance variables have no significant effect on earnings management around the exercise of right issue."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66560
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Elizabeth Elysia
"Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003, BUMN Persero, sebagaimana Perseroan Terbatas, tunduk pada ketentuan UU No. 40 Tahun 2007. Hal tersebut berdampak pada adanya pemisahan kekayaan dan terbaginya modal BUMN Persero dalam bentuk saham. Mengingat kedudukan BUMN Persero sebagai pemegang Hak Pengelolaan, menjadi pertanyaan apakah BUMN Persero layak memegang status tersebut? Hasil penelitian menunjukan terdapat inkonsistensi antara pengaturan yang mengatur Hak Pengelolaan dan ketentuan yang mengatur BUMN Persero seperti tidak ada prioritas bagi pihak ketiga yang dapat menjadi mitra kerja bagi BUMN Persero. Selain itu, menurut pandangan beberapa ahli, nomenklatur "kekayaan negara yang dipisahkan" dalam UU No. 19 Tahun 2003, menyebabkan aset negara kini telah beralih kepemilikannya kepada BUMN Persero yang digunakan untuk mencari keuntungan. Kemudian, diperbolehkannya pemindahan harta kekayaan BUMN dimana Hak Pengelolaan telah ditetapkan untuk tidak dapat dipindahtangankan. Dengan ini, BUMN Persero pun tidak layak disebut pemegang Hak Pengelolaan. Terkait dengan ketentuan yang mengatur tindakan yang harus diambil apabila Hak Pengelolaan jatuh ke tangan pihak yang bukan pemegang Hak Pengelolaan, hal ini belum diatur secara jelas. Menurut Permen No. 246/PMK/06/2014, berakhirnya jangka waktu penggunaan barang milik negara dapat menjadi pembatasan penggunaan tanah Hak Pengelolaan oleh BUMN Persero. Dengan berakhirnya jangka waktu tersebut, dapat dilakukan serah terima barang milik negara antara BUMN Persero dengan BPN sebagai pengguna barang, yang mana kemudian BPN dapat menyampaikan hal tersebut kepada Menteri BUMN. Ketentuan ini berikutnya harus ditindaklanjuti dengan ketentuan yang mengatur pencatatan hapusnya Hak Pengelolaan.
Law No. 19 Yr. 2003 stipulates that State Owned Limited Liability Company SOLLC has to comply with Law No. 40 Yr. 2007. This resulted in a separated asset and a division of capital into shares. Is SOLLC suitable to be the holder of the Management Right The research showed that there is a discrepancy between the rules controlling the Management Right and the regulation managing SOLLC, which is no priority for third parties who could partner with SOLLC. Besides, some law experts think in relation to declaration statement of ldquo the state rsquo s separated asset rdquo that the land asset is now in SOLLC rsquo s hand, for commercial use. Furthermore, the Management Right as one of the company rsquo s assets are transferrable, which are supposed to be the opposite non transferrable . The previous notion supports the idea of SOLLC is not suitable to be the holder of the Management Right. Unfortunately, there is no regulation dealing with it. Based on Regulation of The Minister of Finance No. 246 PMK 06 2014, the expiration date of using state property also could restrict utilization of the Management Right. Thus, SOLLC must have to hand over state propery to Minister of Agrarian and Spatial Planning at the end of the term. It must be followed with making record of transfer and conveying to Minister of State Owned Enterprises. As a consequence, Minister of Agrarian and Spatial Planning is obliged to do the registration of the nullification of the Management Right."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69289
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Cathlin
"
ABSTRAKBank sebagai financial intermediary berfungsi untuk menghimpun dana dan menyalurkannya dalam bentuk kredit. Bank memperhatikan prinsip-prinsip tertentu dalam memberikan fasilitas kredit, salah satunya adalah agunan/ jaminan kredit. Salah satu bentuk agunan/ jaminan kredit yang diterima oleh bank adalah tanah dengan status Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan. Tesis ini membahas mengenai permasalahan-permasalahan hukum yang timbul sehubungan dengan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah tersebut: perihal tertib administrasi Badan Pertanahan Nasional dalam pencatatan hak atas tanah tersebut dalam sertipikat, perihal surat rekomendasi dari pemegang Hak Pengelolaan yang multitafsir, serta perihal uang pemasukan terkait perpanjangan Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan kasus di Kawasan Berikat Nusantara Marunda . Hal-hal tersebut membuat bank menghadapi risiko kehilangan kedudukan sebagai kreditur preferen pemegang Hak Tanggungan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan analisis kualitatif atas data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa permasalahan-permasalahan hukum tersebut disebabkan baik oleh ketidakseragaman administrasi Kantor Pertanahan maupun oleh kesewenang-wenangan pemegang Hak Pengelolaan, yang timbul karena adanya kekosongan hukum.
ABSTRACTAs a financial intermediary, bank has two functions to collect funds and to distribute it in the form of credit. Bank will use certain principles in giving credit facility, one of which is collaterals. One of the collaterals accepted by bank is Right to Build on Management Right land. This thesis reviews legal issues related to the mortgage imposition of such land regarding administration order in National Land Body in recording the status of land in the land certificate, regarding recommendation letter from Management Right holder which has multiple interpretations, and regarding the compensation fee in extending the period of Right to Build on Management Right land a case in Kawasan Berikat Nusantara Marunda . Those issues make bank face a risk to lose its position as a preference creditor. This research is a normative legal research with qualitative analysis on secondary data. This research shows that those legal issues are caused either by the disharmony in administration of Land Offices or by the despotism of Management Right holder, which came from the absence of regulations."
2017
T46971
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Fahrul Fauzi
"Para pemegang sertipikat hak guna bangunan atas hak pengelolaan milik PT. KBN (Persero) mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Objek sengketa berupa surat keputusan direksi tentang tarif perpanjangan hak dan sikap diam terhadap permohonan rekomendasi perpanjangan hak yang telah diajukan. Putusan No. 171 PK/TUN/2016 yang berkekuatan hukum tetap memenangkan pihak KBN tetapi perlindungan hukum tetap harus diberikan para pemegang hak guna bangunan atas hak pengelolaan. Pokok permasalahan yang dibahas adalah mengenai implementasi pemberian dan perpanjangan hak guna bangunan serta perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat hak guna bangunan dalam Putusan No. 171 PK/TUN/2016. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan memanfaatkan data sekunder untuk membahas pokok permasalahan dari sudut pandang hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi pemberian hak guna bangunan yang dilakukan KBN pada tahun 1988 hingga 1990 telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977. Sedangkan, implementasi perpanjangan hak guna bangunan yang sebagian besar berakhir pada 2013 hingga 2014 menghadapi problematika yang berujung penyelesaian di pengadilan. Pengenaan tarif pemanfaatan tanah oleh KBN merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pemegang hak pengelolaan. Oleh karena itu, pemegang sertipikat hak guna bangunan tetap harus membayar tarif yang disyaratkan untuk dapat memperpanjang haknya. Namun perlindungan hukum terhadap pemegang hak guna bangunan tetap harus diberikan berupa perlindungan terhadap hak prioritas perpanjangan hak dan perlindungan hukum terhadap operasional bisnis, bangunan, serta benda milik pemegang hak guna bangunan. Beberapa perjanjian penggunaan tanah industri terdahulu telah menjanjikan hak prioritas perpanjangan hak guna bangunan sehingga KBN terikat untuk memenuhi hak itu apabila pemegang hak guna bangunan yang telah memenuhi persyaratan. Tidak diperpanjangnya hak guna bangunan juga dapat berimbas pada terhambatnya operasional bisnis, resiko kehilangan bangunan, dan bertambahnya pengeluaran bagi pemegang hak guna bangunan. Sehingga diperlukan perlindungan hukum dan mekanisme penyelesaian yang dapat meringankan beban kerugian pemegang hak guna bangunan. Selain itu, kekosongan hukum yang terjadi pasca dicabutnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 juga kurang memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan.
The holders of the certificate of right to build on the right of management belonging to PT KBN (Persero) filed a lawsuit to the state administrative court. There are two objects of dispute, namely director letters concerning the cost of extending the right and silence/rejection on the application for a recommendation for the extension of the right that has been submitted. Supreme Court Decision No. 171 PK/TUN/2016, which has been inkracht won KBN, must still give legal protection to the holders of the right to build on the right of management. The main issues discussed are the implementation of the granting and extension of the right to build and the legal protection for the holders of the certificate of the right to build in the Supreme Court Decision No. 171 PK/TUN/2016. The research method used is normative legal research by utilizing secondary data to discuss the subject matter from the applicable laws and regulations. This study indicates that the implementation of the granting of the right to build carried out by KBN from 1988 to 1990 was following the applicable legislation, namely the Minister of Home Affairs Regulation No. 1 of 1977. Meanwhile, the implementation of the extension of right to build, which mostly ended in 2013 to 2014, faced problems that led to a settlement in court. The imposition of fees for land use by KBN is one of the powers possessed by the holder of the right of management. Therefore, the holders of the certificate of right to build still has to pay the required fee to extend their right. However, it must still give legal protection for the holders of the right to build in the form of protection of the priority right of the extension of the right and legal protection of business operations, buildings, and objects belonging to the holders of the right to build. Several previous industrial land use agreements have promised priority rights to extend the right to build so that KBN is bound to fulfill these rights if the holders of the right to build have fulfilled the requirements. The non-extension of the right to build can also impact the delay of business operations, the risk of losing the building, and increasing expenses for the holders of the right to build. So that legal protection and settlement mechanisms are needed can ease the burden of losses for the holders of the right to build. In addition, the legal vacuum that occurred after the revocation of the Minister of Home Affairs Regulation Number 1 of 1977 also did not guarantee legal certainty for holders of the right to build on the right of management."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library