Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
Myrna Zachraina
"Dalam kehidupan sehari-hari penerapan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), masih sering diabaikan karena pencatatan perkawinan hanya dianggap sebagai suatu tindakan administratif belaka, sehingga banyak pasangan yang tidak melakukan pencatatan perkawinan mereka, baik perkawinan biasa maupun perkawinan campuran yang dilakukan di dalam negeri maupun yang dilakukan di luar negeri. Apakah akibat hukum bagi perkawinan campuran yang telah lalai dicatatkan terhadap status istri dan anak? Bagaimanakah konsekuensi atas perkawinan tersebut apabila salah satu pihak akan mengajukan perceraian? Metode penelitian penulisan tesis ini bersifat yuridis normatif, dengan mempelajari, membaca, menelusuri kepustakaan tentang pencatatan perkawinan, keputusan pengadilan dan sumber relevan lainnya untuk mendapatkan landasan teori dan implementasinya. Akibat hukum bagi perkawinan campuran yang telah lalai dicatatkan pada lembaga pencatatan perkawinan terutama pada status istri dan anak yaitu: bahwa perkawinan tersebut dianggap belum sah dimata negara; apabila lahir anak-anak dalam perkawinan tersebut, mereka hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 UU Perkawinan) baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Konsekuensi atas perkawinan tersebut apabila salah satu pihak akan mengajukan gugat perceraian adalah harus mencatatkan terlebih dahulu perkawinan yang dilakukan di luar negeri tersebut dengan tunduk kepada hukum positif Negara Kesatuan Republik Indonesia di lembaga pencatatan perkawinan diwilayah dimana ia melaksanakan perkawinannya saat itu, atau di wilayah Indonesia dimana ia berdomisili. Perlu dilakukan revisi terhadap Pasal 2 UU Perkawinan, yaitu agar ayat (1) dan (2) dijadikan satu pasal, sehingga tidak ada dua perbuatan hukum yang terpisah; diadakan sosialisasi kepada masyarakat luas di Indonesia tentang adanya Undang-undang lain selain UU Perkawinan yang mengatur pencatatan perkawinan, yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan agar ada keseragaman dalam prosedur pencatatan perkawinan.
In everyday activities, the implementation of Article 2 paragraph (2) of LawNo.1 Year 1974 regarding Marriage (Marriage Law), is quite often being ignoredbecause the registration of marriage is merely considered as an administrativeprocess, therefore there are many couples who do not register their marriage, bothnormal marriage and mixed marriage which was performed in Indonesia as well asabroad. What would be the legal aspect of a mixed marriage which is not registeredtoward the status of the wife and the children? What consequences on such marriageif one of the spouses would file a divorce? The writing method of this thesis isnormative jurisdiction by reviewing, reading and observing literatures of marriageregistration, court rulings and other relevant reading materials to obtain thetheoretical background and its implementation. The legal consequence of the mixedmarriage which was not registered in the registration institution especially to thestatus of the wife and children is that such marriage is not considered valid by thestate; the children from such marriage are only considered as only having arelationship with the mother and the mother's family (Articles 42 and 43 MarriageLaw),and the wife and children borne do not have the right to ask for financialsupport or being the heirs of the father. The consequences of such marriage shouldone of the spouses want to file a divorce is to first register their marriage performedabroad in the country where the marriage is performed shall be bound to Indonesianpositive law in the registration institution where she/he he/her domiciles. A revisionto Article 2 of the Marriage Law must be carried out in which paragraph (1) andparagraph (2) should be merged into one article, therefore there will be no twoseparate legal actions; a socialization should be held for the general public regardingother law, apart from the Marriage Law, that stipulates marriage registration, whichis Law No. 23 Year 2006 regarding Population Administration so there will be auniformity on the procedure of marriage registration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24714
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Adriel Michael Tirayo
"Perkawinan yang dilangsungkan secara agama tanpa dicatatkan, hanya akan berstatus sebagai perkawinan di bawah tangan, namun diberikan kesempatan bagi mereka untuk mengajukan pengesahan perkawinan untuk memperoleh keabsahan status perkawinannya. Namun pada kasus tertentu, pengesahan perkawinan tersebut malah akan menimbulkan akibat hukum terhadap para pihak sebagaimana dalam Penetapan nomor 52/Pdt.P/2020/PN.Pms. Penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai akibat hukum terkait pengesahan perkawinan di bawah tangan yang timbul dalam pelaksanaan pertimbangan hakim pada penetapan tersebut serta upaya hukumnya. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa hakim telah memberikan solusi hukum yang baik dan tepat pada penetapan tersebut, yaitu untuk mengesahkan perkawinan terlebih dahulu kemudian mengajukan gugatan perceraian. Namun pengesahan perkawinan tersebut justru malah akan menimbulkan akibat hukum yang merugikan para pihak dikarenakan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan adanya beberapa upaya hukum dalam rangka menghindari atau mencegah agar akibat-akibat hukum tersebut tidak timbul. Upaya hukum ini tidak hanya memerlukan peran para pihak yang terlibat dalam perkawinan tersebut, tetapi juga melibatkan peran para praktisi hukum seperti hakim dan notaris, sehingga nantinya pengesahan perkawinan dapat terlaksana tanpa menimbulkan akibat hukum dan memenuhi tujuan hukum bagi para pihak.
Marriages that are held religiously without being registered will only have the status of an underhand marriage, but there is an opportunity for them to apply for marriage legalization to obtain the validity of their marital status. However, in certain cases, the legalization of the marriage will have legal consequences for the parties as stated in the determination number 52/Pdt.P/2020/PN.Pms. This research raises the issue of the legal consequences related to the legalization of underhanded marriages that arise in the implementation of the judge's considerations on the determination number 52/Pdt.P/2020/PN.Pms as well as the legal. The research method used is normative juridical using secondary data through literature study. This research obtained the results that the judge had provided a good and appropriate legal solution to the determination number 52/Pdt.P/2020/PN.Pms, which is to legalize the marriage first and then file a divorce suit. However, the legalization of the marriage will actually cause legal consequences to the parties because they will violate the applicable laws and regulations. Therefore, it is necessary to have several legal remedies in order to avoid or prevent these legal consequences from arising. This legal effort not only requires the role of the parties involved in the marriage, but also involves the role of legal practitioners such as judges and notaries, so that later the ratification of the marriage can be carried out without causing legal consequences and fulfilling the legal objectives for the parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Myrna Zachraina
2008
T24714
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Stella Inarma
"Penelitian ini menganalisis bagaimana pertimbangan hukum yang menolak dan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama sebelum diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 (“SEMA No. 2 Tahun 2023”) serta kedudukan SEMA No. 2 Tahun 2023 terhadap permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pencatatan perkawinan sahnya perkawinan tidak lepas dari syarat sah menurut agama (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Sedangkan, Pasal 35 huruf a Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Ketentuan ini telah memberi kesempatan adanya penetapan perkawinan beda agama yang kontradiktif dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan. Kemudian lahirlah perbedaan keputusan hakim dalam menentukan permohonan perkawinan beda agama. Sebagian pertimbangan hukum menganggap bahwa perkawinan beda agama tidak sah untuk dilakukan dengan berdasar pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan. Di sisi lain, pertimbangan hukum yang digunakan adalah pertimbangan hukum yang digunakan adalah pasal-pasal yang mensiratkan tidak adanya larangan atas dilakukannya perkawinan beda agama. Kedudukan SEMA No. 2 Tahun 2023 tidak dapat berlaku surut membuat status perkawinan beda agama yang dilangsungkan sebelum diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2023 tetap mendapatkan hak sebagaimana mestinya. SEMA No. 2 Tahun 2023 menjadi jawaban dari adanya kekosongan dan ketidakpastian hukum terkait aturan perkawinan beda agama di Indonesia. Meskipun hierarki SEMA dalam peraturan perundang-undangan masih belum jelas, namun SEMA No. 2 Tahun 2023 tetap dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama.
This study analyzes how legal considerations reject and grant applications for registration of interfaith marriages before the issuance of Supreme Court Circular Letter Number 2 of 2023 ("SEMA No. 2 of 2023") and the position of SEMA No. 2 of 2023 regarding applications for registration of interfaith marriages. This study was compiled using a doctrinal research method. Registration of a valid marriage cannot be separated from the requirements for validity according to religion (Article 2 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage). Meanwhile, Article 35 letter a of Law No. 23 of 2006 concerning Population Administration states that registration of marriages also applies to marriages determined by the Court. This provision has provided an opportunity for the determination of interfaith marriages that contradict Article 2 of the Marriage Law. Then there was a difference in the judge's decision in determining applications for interfaith marriages. Some legal considerations consider that interfaith marriages are not valid to be carried out based on Article 2 paragraph 1 of the Marriage Law. On the other hand, the legal considerations used are the legal considerations used are the articles that imply that there is no prohibition on interfaith marriages. The position of SEMA No. 2 of 2023 cannot be applied retroactively, making the status of interfaith marriages that took place before the issuance of SEMA No. 2 of 2023 still get the rights as they should. SEMA No. 2 of 2023 is the answer to the legal vacuum and uncertainty regarding the rules on interfaith marriages in Indonesia. Although the hierarchy of SEMA in the laws and regulations is still unclear, SEMA No. 2 of 2023 can still be used as a guideline for judges not to grant requests for registration of interfaith marriages."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Hansto Ruben Gusti Oscar
"Penelitan ini membahas tentang pengaturan perlindungan konsumen pada transaksi apartemen yang dilakukan oleh WNI dalam Perkawinan Campuran. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum doktrinal untuk menganalisis perlindungan konsumen dalam transaksi apartemen pasangan perkawinan campuran. Dengan teknik pengumpulan data berbasis studi kepustakaan dan analisis deskriptif kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa norma hukum positif, khususnya hukum agraria, perkawinan, dan perlindungan konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan hak-hak konsumen WNI dalam perkawinan campuran, penerapan peraturan hukum terkait transaksi apartemen, serta perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam konteks tersebut. bahwa tanpa adanya perjanjian pranikah, harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama, sehingga WNI dalam perkawinan campuran dapat kehilangan hak atas properti yang berada di atas tanah berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Hal ini menimbulkan konflik dengan peraturan agraria yang melarang WNA memiliki tanah atau bangunan di atas tanah HGB. Selain itu, pengembang sering kali gagal memberikan informasi yang lengkap dan transparan mengenai status legalitas tanah dan properti, yang menyebabkan kerugian bagi konsumen. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan penguatan regulasi dan pengawasan terhadap pengembang, kewajiban memberikan informasi yang transparan, serta edukasi kepada konsumen mengenai hak dan kewajiban hukum dalam transaksi apartemen. Pengembang juga wajib untuk memperhatikan lebih seksama calon pembeli, guna mencegah sengketa hukum di masa mendatang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perlindungan konsumen dalam transaksi apartemen memerlukan sinergi antara regulasi yang tepat sasaran, pengawasan yang ketat, dan edukasi konsumen yang berkelanjutan untuk menciptakan transaksi yang adil dan transparan di sektor properti.
This study examines the regulation of consumer protection in apartment transactions conducted by Indonesian citizens (WNI) in mixed marriages. Using a doctrinal legal approach, the research analyzes consumer protection in apartment transactions involving mixed-marriage couples. Employing data collection techniques based on literature studies and qualitative descriptive analysis, this study highlights the challenges posed by positive legal norms, particularly agrarian, marital, and consumer protection laws. The research aims to analyze the regulation of WNI consumer rights in mixed marriages, the application of legal provisions related to apartment transactions, and the legal protection afforded to consumers in this context. Without a prenuptial agreement, assets acquired during marriage are considered joint property, potentially causing WNI to lose rights over properties built on land with a Right to Build (Hak Guna Bangunan, HGB) status. This conflicts with agrarian regulations prohibiting foreign nationals (WNA) from owning land or buildings on HGB land. Additionally, developers often fail to provide complete and transparent information about the legal status of land and property, leading to consumer losses. To address these issues, stronger regulations, enhanced oversight of developers, mandatory provision of transparent information, and consumer education on legal rights and obligations are required. Developers must also pay closer attention to prospective buyers to prevent future legal disputes. This study concludes that consumer protection in apartment transactions requires synergy between targeted regulations, strict oversight, and continuous consumer education to create fair and transparent transactions in the property sector."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Imania Ainiputri Mahidin
"Skripsi ini membahas mengenai pencatatan perkawinan dalam perkawinan Islam di Indonesia. Pencatatan perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan lebih khususnya bagi umat Islam dalam KHI. Namun dalam prakteknya masih terdapat banyak masyarakat yang belum mencatatkan perkawinannya. Padahal pencatatan perkawinan sangatlah penting agar perkawinan antara umat Islam di Indonesia agar terdata secara hukum dan dapat dibuktikan.Hal ini dikarenakan sebagian umat Islam memilih mematuhi Hukum Islam dibanding Hukum Perkawinan Islam Indonesia. Hukum Islam menyatakan bahwa selama memenuhi rukun dan syarat perkawinan maka perkawinan adalah sah walaupun tidak dicatatkan.Berangkat dari latar belakang demikian, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah untuk melihat kedudukan pencatatan perkawinan berdasarkan hukum perkawinan Islam dan hukum positif di Indonesia dan bagaimana penerapannya dalam praktik. Permasalahan tersebut dibahas menggunakan metode penelitian yuridis-normatif. Hasil penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan secara hukum agama dan kedudukan pencatatan bukanlah syarat sah namun syarat administrasi/formil. Perbandingan yang dilakukan juga menunjukkan bahwa diantara penetapan pengadilan agama terdapat perbedaan interpretasi terhadap Pasal 2 Undang Undang No 1 tahun 1974 dan pasal 6 ayat 2 KHI.
This thesis discusses about Marriage Registration in Islamic Marriage in Indonesia. Marriage Registration has been regulated in Law Number 1 Year 1974 and specifically for moslems in Islamic Marriage Compilation. In reality, there are many people who haven’t registered their marriage yet. On the other side, Marriage Registration is important to record Islamic Marriages as a legal proof. This was caused by most moslems preference to obey Islamic Law rather than the Marriage Law in Indonesia. Islamic Law states a marriage is legal as long as it fulfills Islamic Marriage Law pillars and requirements. In reference to those issues, this thesis concerns about Marriage Registration position in Indonesia Islamic Marriage Law and it's application in reality. Those problems are analyzed by juridical-normative legal research methods. The conclusions are a marriage is legal if it’s comply to the Religious Law. Furthermore, Marriage Registration is only as a formal requirement and not a legal requirement. The comparative study discovers that between Religious Court Orders has different interpretation on Article 2 Law Number 1 Year 1974 and on Article 6 verses 2 Islamic Compilation Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55843
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Fathimah Az-Zahra
"Dalam suatu perkawinan campuran, penting untuk diadakannya perjanjian kawin untuk memisahkan harta kekayaan pasangan suami istri dalam perkawinan mereka. Perjanjian kawin, menurut Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan harus dibuat pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Kasus yang digunakan dalam penelitian ini bertitik pada perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan tetapi sebelum perkawinan tersebut dicatatkan di kantor catatan sipil. Permasalahan yang dibahas mengenai keabsahan perjanjian kawin tersebut dan dampaknya terhadap harta bersama pasangan suami istri tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian berbentuk yuridis-normatif, dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui studi dokumen yang ditunjang oleh wawancara dengan narasumber, dan data tersebut dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai pengetahuan bagi Notaris dalam pembuatan perjanjian kawin dan pentingnya pencatatan perkawinan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perjanjian kawin adalah tetap sah sepanjang dibuat sebelum dilakukannya pencatatan perkawinan dan dengan sah serta berlakunya perjanjian kawin tersebut maka tidak terdapat harta bersama di antara suami dan istri.
In a mixed marriage, it is necessary to make a prenuptial agreement to separate the property of a married couple in their marriage. Prenuptial agreement, according to Article 29 paragraph (1) of the Marriage Law must be made at the time or before the marriage takes place. The case that is used in this journal is about prenuptial agreement that was made after the marriage took place but before the marriage was registered in the registry office. The problems here are regarding the validity of the prenuptial agreement and its impact on their shared property. This research uses a juridical- normative research method, with secondary data that is collected through document studies which is supported by interviews with interviewees, and the data is analyzed by using a qualitative approach. The benefits of this research are as knowledge for Notaries in making prenuptial agreements and the importance of marriage registration. This research shows that the prenuptial agreement is valid as long as it is made before the marriage registration and with the validity and enactment of the prenuptial agreement, there is no shared property between the husband and wife."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T53591
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Annabelle Octaviany Josephine Karamoy
"Dalam pembuatan Surat Keterangan Waris yang berisi perkawinan campur yang dilangsungkan di luar negeri, Notaris perlu memperhatikan terlebih dahulu mengenai pendaftaran atau pencatatan perkawinan tersebut di Indonesia. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah akibat hukum dari perkawinan campur yang dilangsungkan di luar negeri dan tidak didaftarkan di Indonesia terhadap kedudukan dan hak waris anak ditinjau berdasarkan Pasal 16 Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB) dan keabsahan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh masing-masing Notaris dalam Putusan Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta Nomor 16/PTS/MJ.PWN.Prov.DKIJakarta/XII/2022. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal. Hasil penelitian ini menyatakan akibat hukum dari perkawinan campur yang dilangsungkan di luar negeri dan tidak didaftarkan di Indonesia terhadap kedudukan dan hak waris anak berdasarkan Pasal 16 AB adalah anak yang bersangkutan kedudukannya disamakan dengan anak luar kawin dan dirinya hanya dapat mewaris terhadap ibu dan keluarga ibunya saja. Dalam hal ini, hak mewaris terhadap ayahnya dapat diperoleh jika ayah yang bersangkutan melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut atau dilakukan pembuktian menggunakan tes DNA mengenai kebenaran hubungan darah antara ayah dan anak luar kawin tersebut sebagaimana Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010. Kemudian, Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris RF adalah sah, sedangkan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris VR adalah tidak sah. Hal ini dikarenakan Surat Keterangan Waris Notaris RF telah mencantumkan seluruh ahli waris yang berhak dan dibuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Berbeda dengan Putusan MPW terkait, Surat Keterangan Waris Notaris VR adalah tidak sah karena Tuan TL selaku satu-satunya ahli waris yang berhak dalam keterangan waris tersebut merupakan anak luar kawin yang tidak diakui berdasarkan hukum waris Indonesia. Sebagai anak luar kawin yang tidak diakui, Tuan TL tidak mempunyai alas hak yang sah untuk memperoleh harta peninggalan ayahnya selaku pewaris.
In making a Certificate of Inheritance containing a mixed marriage that took place abroad, the Notary needs to first pay attention to the registration or recording of the marriage in Indonesia. The main problem in this research is the legal consequences of mixed marriages that take place abroad and are not registered in Indonesia have on the position and inheritance rights of children reviewed based on Article 16 of the Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB) and the validity of the Certificate of Inheritance made by each Notary in the Decision of the Regional Notary Supervisory Council of DKI Jakarta Province Number 16/PTS/MJ.PWN.Prov.DKIJakarta/XII/2022. This research is using doctrinal legal research methods. The results of this research are that the legal consequences of mixed marriages that take place abroad and are not registered in Indonesia on the position and inheritance rights of children based on Article 16 AB are that the child in question has the same position as illegitimate children and he can only inherit from the mother and the mother’s family. In this case, the right to inherit from the father can be obtained if the father concerned acknowledges the illegitimate child or provides proof using a DNA test regarding the truth of the blood relationship between the father and the illegitimate child as stated in Constitutional Court Decision Number 46/PUU-VIII/2010. Then, the Inheritance Certificate made by the Notary RF is valid, while the Inheritance Certificate made by the Notary VR is invalid. This is because the Notary RF Certificate of Inheritance includes all entitled heirs and is made in accordance with applicable legal provisions. Notary VR Inheritance Certificate is invalid because Mr. TL, as the only heir entitled to the inheritance statement, is an illegitimate child who is not recognized under Indonesian law. As an unrecognized illegitimate child, Mr. TL has no legal right to obtain the property inherited from his father as heir. This is different from the related MPW Decision which states that the VR Notary has carried out his position in accordance with applicable legal provisions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library