Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dion Darius Samsudin
"ABSTRAK
Latar belakang: Diare akut merupakan masalah kesehatan yang penting dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Perubahan komposisi mikrobiota usus pada diare akut ditandai dengan menurunnya komposisi bakteri yang menguntungkan bagi tubuh, yaitu Bifidobacterium dan Lactobacillus, dan peningkatan bakteri patogen seperti Enterobacter dan Clostridium. Kondisi ini disebut disbiosis. Pemberian probiotik pada kasus diare akut dapat mengatasi disbiosis, mempercepat masa penyembuhan, dan mengurangi komplikasi. Sampai saat ini, belum terdapat penelitian di Indonesia mengenai pemberian probiotik untuk mengatasi disbiosis pada diare akut. Tujuan: Membuktikan bahwa terjadi disbiosis pada diare akut, yang dapat diseimbangkan dengan pemberian probiotik. Metode: Studi uji klinis, kontrol plasebo, dilakukan di RSUD Budhi Asih Jakarta, sejak Januari hingga Maret 2018. Penelitian melibatkan 36 orang anak berusia 6-48 bulan yang datang dengan keluhan diare akut. Spesimen tinja diperiksa menggunakan teknik non culture real time PCR untuk mendeteksi jumlah Lactobacillus, Bifidobacterium, Enterobacter, Clostridium dan all bacteria, kemudian dilakukan pemberian probiotik atau plasebo selama 5 hari, kemudian dilakukan pemeriksaan mikrobiota kembali 2-3 minggu kemudian. Hasil: Jumlah bakteri Lactobacillus lebih tinggi pada kelompok diare akut dibandingkan anak sehat yaitu dalam median jarak interkuartil : 1,52x103 1,22x104 vs 6,87x10 2,41x102 p

ABSTRACT
Background Acute diarrhea is an important health problem with high morbidity and mortality. During acute diarrhea, changes in gut microbiota is marked by decreased of beneficial microbes such as Bifidobacterium and Lactobacillus, and increase of pathogenic bacteria such as Enterobacter and Clostridium, which is also known as dysbiosis. Treatment with probiotic may help to repair dysbiosis, quickens healing time, and decrease complications. Currently there is no research to investigate dysbiosis in acute diarrhea in Indonesia.Objective To prove that there is dysbiosis during acute diarrhea, and can be normalize by giving probiotic.Methods Placebo controlled, unblinded clinical trial was performed in RSUD Budhi Asih, Jakarta from January until March 2018. 36 children age 6 48 months with acute diarrhea were enrolled. Fecal specimen was taken and analyzed using non culture real time PCR to detect the presence of Lactobacillus, Bifidobacterium, Enterobacter, Clostridium, and all bacteria. Children were then given probiotic or placebo for 5 days. Second fecal sample was taken 2 3 weeks afterwards.Results Higher amount of Lactobacillus are observed in children with acute diarrhea vs healthy control with a median interquartile range 1,52x103 1,22x104 vs 6,87x10 2,41x102 p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desak Gede Budi Krisnamurti
"Latar belakang: Prediabetes didefinisikan sebagai keadaan hiperglikemia dengan kadar glukosa di atas normal dan dapat berkembang menjadi keadaan diabetes. Beberapa studi membuktikan keadaan defisiensi vitamin D berhubungan dengan keadaan resistensi insulin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek modulasi suplementasi vitamin D terhadap mekanisme molekular pada kondisi resistensi insulin melaluli regulasi persinyalan jalur inflamasi dan mikrobiota usus pada tikus prediabetes.
Metode: Penelitian ini dilakukan pada tahun 2019-2021 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Medica Satwa Laboratory Bogor. Eksperimen dilakukan pada tikus Wistar jantan berumur 4 minggu. Tikus akan dibagi secara acak, yaitu tikus yang menerima diet normal dan diet tinggi lemak dan tinggi glukosa (DTL-G)yang dikombinasi dengan dosis rendah injeksi streptozotocin 30 mg/kgBB intraperitoneal pada minggu ketiga. Setelah itu dilakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan dosis 2 gram/kgBB pada tikus. Jika telah terjadi resistensi insulin (model tikus prediabetes) maka tikus prediabetes dibagi dalam tiga kelompok secara acak yaitu: (1) kelompok yang tidak diberi terapi, (2) kelompok yang diterapi vitamin D3 dosis 100 IU/kg/hari, (3) kelompok yang diterapi vitamin D3 dosis 1000 IU/kgBB/hari bersamaan dengan induksi DTL-G 12 minggu. Setelah itu akan dilakukan pengukuran kadar glukosa darah puasa (GDP), kadar glukosa darah 2 jam pasca-bebas glukosa, nilai HOMA-IR, kadar Glycated albumin, profil hematologi, kadar 25(OH)D3,pengamatan histopatologi pankreas, kadar TNF-alpha, IL-6, IL-10, NF-κB, TLR2, TLR4, PPARg, IRS1, dan komposisi mikrobiota usus.
Hasil: Pada tikus prediabetes terjadi peningkatan nilai glukosa darah puasa, kadar glukosa darah 2 jam pasca-bebas glukosa, nilai HOMA-IR, kadar Glycated albumin, serta perubahan profil hematologi. Pemberian vitamin D 1000 IU mampu menurunkan nilai GDP, TTGO, Glycated albumin, HOMA-IR, serta mampu mengurangi degenerasi pada pulau Langerhans. Vitamin D 1000 IU mampu meningkatan sitokin anti-inflamasi IL-10, menurunkan ekspresi TLR2 dan TLR4, mengembalikan ekspresi IRS seperti kelompok normal, serta dapat meningkatkan keragaman mikrobiota. Suplementasi vitamin D berkorelasi dengan kadar PPARg, IRS1, TLR2, TLR4, dan sel beta pankreas.
Kesimpulan: Pemberian vitamin D 1000 IU bersamaan dengan DTL-G pada tikus prediabetes dapat memberikan perbaikan kondisi resistensi insulin, meningkatkan sitokin anti-inflamasi, mengembalikan nilai ekspresi PPARg, meningkatkan ekspresi protein IRS1 kembali seperti kelompok normal, serta meningkatkan keragaman mikrobiota yang berkorelasi dengan regulasi persinyalan sitokin inflamasi.
......Introduction: Prediabetes is defined as a state of intermediate hyperglycemia and can lead to type 2 diabetes. Several studies have shown that vitamin D deficiency is associated with insulin resistance. This study aimed to analyze the modulating effect of vitamin D supplementation on the molecular mechanisms of insulin resistance through signaling regulation pathways of inflammation and gut microbiota in prediabetic rats.
Methods: The study was conducted during 2019-2021 at the Faculty of Medicine, Universitas Indonesia and Medica Satwa Laboratory Bogor. The experiments was conducted on male Wistar rats of 4 weeks. Rats were divided randomly into control and a high-fat and high-glucose (HFD-G) diet combined with 30 mg/kg intraperitoneal injection of streptozotocin in the third week. Oral glucose tolerance test (OGTT) was performed at 2 grams/kgBW gluocose. If insulin resistance has occurred (prediabetic rat model) then rats were randomly divided into three groups, namely: (1) the group that was not given therapy, (2) the group with vitamin D3 at a dose of 100 IU/kgBW/day, (3) the group with vitamin D3 at a dose of 1000 IU/kgBW/day together with HFD-G in 12 weeks. Fasting blood glucose (FBG) levels, OGTT, HOMA-IR, Glycated albumin levels, hematological profiles, 25(OH)D3 levels, pancreatic histopathological observations, TNF-alpha, IL-6, IL-10, NF-B, TLR2, TLR4, PPARg, IRS1, and gut microbiota composition was evaluated.
Results: In prediabetic rats there was an increase in FBG, OGTT, HOMA-IR, Glycated albumin levels, and changes in hematological profiles. The administration of vitamin D 1000 IU could reduce the levels of FBG, OGTT, Glycated albumin, HOMA-IR, and could reduce degeneration of the islets of Langerhans. Vitamin D 1000 IU increased the anti-inflammatory cytokine IL-10, decreased the expression of TLR2 and TLR4, increased IRS1 expression like the normal group, and increased the diversity of gut microbiota. Vitamin D supplementation correlated with levels of PPARg, IRS1, TLR2, TLR4, and pancreatic beta cells.
Conclusion: Vitamin D 1000 IU vitamin D together with HFD-G in prediabetic rat could reduce insulin resistance, increased anti-inflammatory cytokines, increased PPARg expression level, increased IRS1 protein expression, and increased diversity of gut microbiota which correlates with signaling regulation of Inflammatory Pathways."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Lukas Hendrata
"ABSTRAK
Penelitian mengenai asupan karbohidrat dan serat pangan dengan proporsi mikrobiota usus pada anak masih belum banyak di Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan profil jumlah asupan karbohidrat dan serat pangan pada anak serta hubungannya dengan mikrobiota usus. Mikrobiota usus yang diperiksa adalah Bifidobacterium spp dan Lactobacillus spp mewakili mikrobiota usus baik serta Eschericia dan Clostridium spp mewakili mikrobiota patogen usus.Studi potong lintang dilakukan pada 68 siswa TK usia 4-6 tahun dilakukan selama Januari-Februari 2017 di Jakarta. Data jumlah asupan energi, karbohidrat, serta serat pangan dikumpulkan dengan menggunakan food recall form selama 2x24 jam. Subjek terdiri dari 33 anak perempuan 48 dan 35 anak lelaki 52 , sebagian besar dengan gizi baik dan perawakan normal. Median asupan energi, karbohidrat, dan serat pangan berturut-turut sebanyak 1230 kalori, 158 gram dan 2,4 gram. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara asupan karbohidrat dan serat pangan terhadap proporsi mikrobiota ususAsupan karbohidrat dan serat pangan subjek penelitian ini di bawah angka kecukupan gizi AKG yang dianjurkan untuk usia 4-6 tahun. Perbedaan kandungan prebiotik pada asupan karbohidrat maupun serat pangan subjek penelitian ini, mungkin merupakan penyebab perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian diluar negeri. Data yang didapat diharapkan dapat dipergunakan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya.

ABSTRACT
There are not many studies in Indonesia related to gut microbiota, especially in relation with carbohydrate and dietary fiber intake. The objectives of this study are to gain profiles on the amount of carbohydrate and dietary fiber intake in children, and its relations with gut microbiota. The gut microbiota being studied are Bifidobacterium spp and Lactobacillus spp, representing the good microbiota, and Eschericia and Clostridium spp as the pathogen gut microbiota.Cross sectional study was conducted on 68 kindergarten students aged 4 6 years old during the period of January ndash February 2017. The data on energy, carbohydrate and dietary fiber intakes were compiled using food recall form for 48 hours. Subjects consisted of 33 girls 48 and 35 boys 52 majority of them are well nourished and normal stature. Median of the energy, carbohydrate and fiber intake were 1,230 calories, 158 gram and 2.4 gram, consecutively. There was no significant relation between carbohydrate and dietary fiber intakes on the composition of gut microbiota.The intake of carbohydrate and dietary fiber for the subjects of this study was below the Daily Dietary Requirement for children aged 4 6 years old. The discrepancy of prebiotic amount on the carbohydrate and fiber intake might impact the results of this study compared with similar studies abroad. However, the acquired data can be used for basis of future studies in this field."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan: menganalisis hubungan komposisi mikrobiota terhadap ekspresi HSP70 dan Caspase-3 pada jaringan kolon pasien yang menjalani kolonoskopi dalam upaya pengembangan kandidat deteksi dini untuk
pasien kanker kolorektal di Indonesia. Metode: penelitian potong lintang dilakukan pada 32 responden yang
menjalani pemeriksaan kolonoskopi. Selanjutnya diketahui bahwa 16 orang adalah penderita kanker kolorektal,
sementara 16 lainnya bukan kanker kolorektal (yaitu kolitis dan hemorrhoid interna). Komposisi mikrobiota
pada sampel feses diperiksa dengan menggunakan 16S rRNA Denaturing Gradient Gel Electrophoresis
(DDGE) sedangkan pemeriksaan immunohistokimia untuk menilai ekspresi HSP70 dan Caspase-3 diperiksa
dengan pewarnaan Haematoxylin-Eosin(HE) untuk mengetahui perubahan morfologis pada jaringan kolon.
Hasil: analisis dengan PCR-DGGE menunjukkan perbedaan komposisi mikrobiota yang terdapat pada pasien
kanker kolorektal dan bukan penderita kanker kolorektal. Semua pasien dengan kanker kolorektal menunjukkan
hilangnya pita dominan pada kelompok Bifidobacterium. Pengamatan histologi yang dihitung berdasarkan
uji Inter Class Corelation (ICC) didapati skor yang cukup tinggi (5,2-9,2) pada pasien kanker dan skor yang
lebih rendah (1,7-2,4) pada pasien bukan kanker kolorektal. Ekspresi HSP70 mengalami peningkatan secara
signifikan pada pasien kanker kolorektal dengan persentase tertinggi yaitu 84%, sebaliknya, ekspresi Caspase-3
mengalami penurunan dengan persentase tertinggi hanya 21%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
kejadian kanker kolorektal berhubungan dengan ekspresi HSP70 (p<0,001) dan berhubungan dengan ekspresi
Caspase-3 (p<0,001). Kesimpulan: penelitian ini mengindikasikan bahwa Bifidobacterium menjadi indikator
penting terhadap pasien kanker kolorektal yang ditunjukkan pada gambaran pita yang menghilang, sedangkan
ekspresi HSP 70 mengalami peningkatan dan ekspresi Caspase 3 terjadi penurunan yang signifikan.
Aim: to investigate the relationship between microbiota composition with HSP70 and Caspase-3 expressions
in colon tissue as an initial study to develop the candidate for early detection of colorectal cancer for Indonesian
patients. Methods: this is a cross-sectional study on 32 patients undergoing colonoscopy; 16 patients of colorectal
cancer (CRC) while the other 16 patients are not (colitis and internal hemorrhoid). The composition of microbiota
in stool samples was examined using 16S rRNA Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DDGE) while expression
of HSP70 was examined by immunohistochemistry and Caspase-3 by using Haematoxylin-Eosin(HE) staining to determine the morphological changes in colon tissue. Results: analysis of PCR-DDGE shows a different composition
of microbiota between patients with CRC and non-CRC. All CRC patients showed disappearance of dominant band
from Bifidobacterium groups. Histological observation based on Inter Class Correlation (ICC) test from all slide
showed a high scores (5.2-9.2) in CRC patients and low scores (1.7-2.4) in non-CRC patients. HSP70 expression
was increased significantly in CRC patients with the highest percentage of 84%, while expression of caspase-3
decreased with the highest percentage of 21%. Statistical analysis showed that the incidence of colorectal cancer
was associated with the expression of HSP 70 (p<0.001), and Caspase 3 (p<0.001). Conclusion: bifidobacterium is
an important indicator for colorectal cancer patients that show disappearance of dominant band, while expression
of HSP70 increased and the Caspase-3 expression decreased significantly."
Syiah Kuala University. Faculty of Medicine ; North Sumatera University. Mathemathical and Natural Science Faculty ; North Sumatera University. Faculty of Medicine ; Brawijaya University. Mathemathical and Natural Science Faculty, 2016
610 IJIM 48:4 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Christopher Andrian
"Kolonisasi Bifidobacterium merupakan bakteri komensal yang baik untuk perkembangan dan kolonisasi awal mikrobiota janin. Jumlah Bifidobacterium dapat dipengaruhi oleh asupan protein ibu selama hamil. Penelitian potong lintang ini dilakukan di seluruh puskesmas kecamatan di Jakarta Timur mulai bulan Februari hingga April 2015 dengan subjek ibu hamil berusia 19 - 44 tahun dan usia kehamilan 32 - 37 minggu. Data asupan protein didapatkan dengan metode 2-day repeated 24 hour food recall, selain itu dinilai juga rasio asupan nabati- hewani menggunakan metode semi quantitative - food frequency questionnaire (SQ-FFQ). Analisis feses dilakukan pada 52 subjek menggunakan metode real time-polymerase chain reaction (rPCR). Hasil penelitian ini memperlihatkan terdapat korelasi positif lemah tidak bermakna antara asupan protein dengan jumlah Bifidobacterium (r = 0,132, p >0,05), sehingga penelitian ini belum dapat membuktikan adanya korelasi antara asupan protein dengan jumlah Bifidobacterium pada ibu hamil trimester ketiga.

Bifidobacterium is a commensal bacteria that are beneficial for the development and early colonization of microbiota on fetus. The amount of Bifidobacterium can be influenced by maternal protein intake during pregnancy. A cross-sectional study had been conducted in all primary health care in East Jakarta Subdistrict, from February to April 2015. Subjects of the study were pregnant women aged 19-44 years old and gestational age 32-37 weeks. The quantity of protein intake was obtained by 2-day repeated 24 hour food recall method, moreover, the study also assessed the intake of vegetable-animal ratio by semiquantitative-food frequency questionnaire (SQ-FFQ) method. Stool analysis was conducted on 52 subjects using real-time polymerase chain reaction (rPCR). The result of the study showed a poor positive correlation between protein intake with the amount of Bifidobacterium (R = 0.132, p >0.05).This study has not showed any significant correlation between protein intake with the amount of Bifidobacterium in the third trimester of pregnancy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T633878
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kaban, Risma Kerina
"ABSTRAK
Resusitasi dengan konsentrasi oksigen yang tinggi (100%) pada bayi cukup bulan
meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. Hiperoksia dapat meningkatkan stres
oksidatif pada bayi prematur oleh karena kadar anti oksidannya yang rendah. Peningkatan
stres oksidatif akan mengakibatkan inflamasi dan berhubungan dengan terjadinya displasia
bronkopulmonal dan gangguan integritas usus. Pemberian oksigen yang tinggi juga akan
memengaruhi mikrobiota aerob dan anaerob dalam usus oleh karena oksigen akan berdifusi
dari mukosa usus ke dalam lumen usus. Belum diketahui berapa kadar FiO2 awal yang tepat
pada resusitasi bayi prematur.
Penelitian ini bertujuan menelaah dampak perbedaan pajanan konsentrasi oksigen awal pada
resusitasi bayi prematur terhadap displasia bronkopulmonal, integritas mukosa, dan
mikrobiota usus.
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak terkontrol tidak tersamar di Ilmu
Kesehatan Anak, FKUI-RSCM dan RS Bunda Menteng pada bayi prematur (usia gestasi 25?
32 minggu) yang mengalami distres pernapasan yang dirandomisasi untuk diberikan
resusitasi dengan FiO2 awal 30% atau 50%. Kadar FiO2 disesuaikan untuk mencapai target
saturasi oksigen (SpO2) 88?92% pada menit ke-10 dengan menggunakan pulse oxymetry.
Luaran primer berupa angka kejadian DBP dan luaran sekunder berupa penanda stres
oksidatif (rasio GSH/GSSG dan MDA darah tali pusat dan hari ke-3), penanda gangguan
integritas usus (alpha-1 antitrypsin), dan mikrobiota usus (polymerase chain reaction) pada
feses hari 1?3 dan hari ke-7.
Selama periode Januari?September 2015, terdapat 84 bayi yang direkrut (masing-masing 42
bayi pada kelompok 30% dan 50%). Tidak ada perbedaan bermakna angka kejadian DBP
pada kelompok FiO2 30% vs. 50%, yaitu 42,8% vs. 40,5% (intention to treat analysis) dan
25% vs. 19,4% (per protocol analysis). Juga tidak ada perbedaan bermakna penanda stres
oksidatif (rasio GSH/GSSG dan kadar MDA), kadar AAT, dan mikrobiota usus pada kedua
kelompok. Mikrobiota anaerob fakultatif lebih tinggi dibandingkan dengan mikrobiota
anaerob pada hari ke-7 pada kedua kelompok.
Pada bayi prematur dengan usia gestasi 25?32 minggu yang diresusitasi dengan FiO2 awal
30% vs. 50% tidak dijumpai perbedaan yang bermakna angka kejadian DBP, penanda stres
oksidatif, gangguan integritas mukosa usus (AAT), dan mikrobiota usus. Oleh karena itu,
pemberian FiO2 awal 30% hingga 50% selama resusitasi sama amannya untuk bayi prematur

ABSTRACT
Resuscitation with high oxygen levels (100%) in term infants increases mortality and
morbidity rates. Hyperoxia can increase oxidative stress in premature infants due to its low
antioxidant level. The increased oxidative stress will cause inflammation and it is associated
with the development of bronchopulmonary dysplasia (BPD) as well as intestinal
dysintegrity. The administration of high oxygen levels will also affect aerobic and anaerobic
intestinal microbiota as the oxygen will diffuse from intestinal mucosa into the lumen. The
appropriate initial FiO2 level during the resuscitation of premature infants has not been
known.
This study aims to analyze an impact on the difference of exposure to initial oxygen
concentration in resuscitation of premature infants against bronchopulmonary dysplasia,
mucosal integrity, and intestinal mucosa.
The study was an unblinded randomized controlled clinical trial, in Child Health Department
University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, and Menteng Bunda Hospital in
Jakarta, which was conducted in premature infants (25?32 weeks of gestational age) who
experienced respiratory distress and were randomized for receiving resuscitation using 30%
or 50% initial FiO2. The FiO2 levels were adjusted to achieve target oxygen saturation (SpO2)
of 88?92% on the 10th minute using pulse oximetry. The primary outcome was incidence of
BPD; while the secondary outcome was markers of oxidative stress (ratio of GSH/GSSG and
MDA in umbilical cord blood and on the 3rd day), intestinal dysintegrity (AAT) and
intestinal microbiota (using PCR) found in fecal examination on day 1?3 and on the 7th day.
During the period between January and September 2015, there were 84 infants recruited
(there were 42 infants in each group of the 30% and 50% FiO2). There was no significant
difference on BPD incidence between 30% and 50% FiO2 groups, i.e. 42.8% vs. 40.5%
(intention to treat analysis) and 25% vs. 19.4% (per protocol analysis). There was also no
significant difference on oxidative stress markers (ratio of GSH/GSSG and MDA levels),
AAT levels, and changes of facultative anaerobic and anaerobic microbiota in both groups.
However, there was a higher level of facultative anaerobic microbiota compared to anaerobic
microbiota on the 7th day in both groups.
In premature infants with 25?32 weeks of gestational age who were resuscitated using 30%
vs. 50% initial FiO2 level, significant differences were found in terms of BPD incidence,
oxidative stress markers (ratio of GSH/GSSG and MDA), AAT (intestinal mucosa integrity)
and intestinal microbiota. Therefore, it is concluded that the administration of 30% to 50%
initial FiO2 are both equally safe for premature infants during resuscitation."
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratiwi Dyah Kusumo
"

Latar Belakang. Konstipasi fungsional disebabkan oleh banyak faktor, faktor luminal (disbiosis mikrobiota) merupakan salah satu faktor tersebut. Mikrobiota saluran pencernaan memegang peranan penting sebagai dasar aspek kesehatan maupun terjadinya penyakit. 

Metode. Desain penelitian randomised, double-blind, placebo-controlled clinical trial   untuk mengevaluasi suplementasi  susu fermentasi yang mengandung probiotik Lactobacillus plantarum IS-10506 (1.2x1010 cfu/hari) dan plasebo pada saluran pencernaan dari 73 perempuan dengan konstipasi fungsional setelah 21 hari suplementasi. Profil fekal mikrobiota dan profil fekal SCFA (asetat, propionat dan butirat), dianalisa dengan menggunakan NGS dan GC-MS. Hasil analisa tersebut akan dikorelasikan dengan score PAC-Sym sebagai parameter  gejala konstipasi fungsional.

Hasil. Data baseline menunjukkan ketidakseimbangan (disbiosis) komposisi mikrobiota, rasio Firmicutes:Bacteroidetes; rasio lebih tinggi ditemukan pada subyek konstipasi. Selain itu  dua parameter konsentrasi SCFA secara bermakna lebih rendah pada subyek konstipasi, asetat (p=0.023) dan propionat (p=0.005). Setelah 21 hari suplementasi ditemukan korelasi negatif yang kuat antara asetat dengan skor PAC-Sym, secara bermakna meningkatkan taksa Lactobacillus sp., dan Lachnospiraceae.other meningkat setelah intervensi yang juga berkorelasi  memperbaiki  gejala konstipasi fungsional  (rho 0.5). Lachnospiraceae.other menekan Roseburia sp., Ruminococacceae.g., Bilophila sp. Penekanan dari Roseburia sp. secara signifikan berkorelasi dengan peningkatan SCFA dan signifikan berkorelasi dengan perbaikan gejala konstipasi fungsional (rho 0.4)

Simpulan. Suplementasi susu fermentasi yang mengandung probiotik  Lactobacillus plantarum IS-10506 dengan dosis 1.2x1010 cfu/hari selama 21 hari, terbukti menjaga keseimbangan profil mikrobiota mengarah pada eubiosis dan meningkatkan konsentrasi SCFA (asetat, propionat dan butirat) sebagai dasar mekanisme molekuler perbaikan  gejala perempuan dengan konstipasi fungsional.


Background. Functional constipation is caused by various factors, and a luminal factor (dysbiosis of microbiota) is one of those factors. The gut microbiome plays a fundamental role in several aspects of host health and diseases. 

Methods. A randomized, double-blind, placebo-controlled clinical trial was conducted to evaluate the effect of fermented milk containing probiotic Lactobacillus plantarum IS-10506 (1.2x1010 cfu/day) and placebo on gut microbiota profile and activity of 73 women with functional constipation after 21 days supplementation. Profile of fecal microbiota and fecal SCFA (acetate, propionate, and butyrate) was assessed by next generation sequencing (NGS) and GC-MS, respectively, and then correlated with the PAC-Sym score as a functional constipation symptom.  

Results. Baseline data showed that there was dysbiosis of microbiota composition in terms of Firmicutes:Bacteroidetes ratio: a higher ratio was found in constipated subjects. Also, two of the SCFA concentrations were significantly lower in constipated subjects, acetate (p=0.023) and propionate (p=0.005). After 21 days supplementation there was a strong negative correlation between acetate and PAC-Sym score, significantly increased taxa Lactobacillus sp. and Lanchospiraceae.other increase after intervention as ell as significantly improved the functional constipation symptom (rho 0.5). Lachnospiraceae.other seemed to suppress Roseburia sp,  Ruminococcaceae.g_, Bilophila sp. Suppresion of Roseburia sp,  significantly correlated with increased SCFA,  and significantly correlated with improvement of constipation symptom (PAC-Sym) (rh0 0.4).

Conclusion. Supplementation of fermented milk containing Lactobacillus plantarum IS-10506 at a dose of  1.2x1010 cfu/day for 21 days improved the balance of microbiota towards eubiosis, increased SCFA (acetate, propionate and butyrate) concentration as an underlying molecular mechanisms of the functional constipation symptom improvement in women.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnayani
"Latar belakang dan tujuan: Area kumuh identik dengan permasalahan gizi pada anak. Salah satunya adalah masih terdapatnya anak pendek di daerah tersebut. Perawakan pendek dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya dikarenakan oleh dysbiosis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komposisi mikrobiota pada anak pendek dan tidak pendek di daerah kumuh di Jakarta serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain comparative cross sectional study yang dilakukan di RW 9 dan 11, Kelurahan Kebon Bawang, Jakarta Utara. Subjek dalam penelitian ini adalah 21 anak pendek (HAZ £ -2SD) dan 21 anak tidak pendek (-1SD £ HAZ £ 3SD) usia 2-5 tahun. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik subjek dan keluarga, riwayat cara lahir, riwayat asi eksklusif, riwayat sakit serta higiene dan sanitasi. Selain itu juga dilakukan pengumpulan asupan zat gizi melalui Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQFFQ). Analisis mikrobiota dilakukan dengan mengekstraksi DNA dari feses subjek kemudilan dilakukan sekuensing 16S rRNA menggunakan Next Generation Sequencing (NGS). Analisis bioinformatika dilakukan untuk membandingkan komposisi mikrobiota pada kedua kelompok. Uji Manova dan korelasi Spearman dilakukan untuk menganalisis kaitan antara faktor-faktor dan asupan zat gizi dengan komposisi mikrobiota.
Hasil: Berdasarkan asupan zat gizi, pada kelompok anak pendek, asupan energi, zat gizi makro (karbohidrat, protein, dan lemak) dan zat gizi mikro (Zn dan Fe) lebih rendah dibandingkan anak yang tidak pendek. Pada kelompok anak pendek terdapat kecenderungan jumlah anak yang dilahirkan secara Caesar lebih banyak, yang memiliki riwayat sakit lebih banyak, konsumsi air minum air isi ulang lebih banyak dan yang tidak mencuci tangan sebelum makan lebih banyak dibandingkan kelompok anak tidak pendek. Dilihat dari komposisi mikrobiota, terdapat perbedaan komposisi mikrobiota pada kedua kelompok, baik pada tingkat genus maupun spesies. Pada kelompok pendek terdapat kelimpahan yang lebih tinggi pada genus Mitsuokella and Alloprevotella serta spesies Providencia alcalifaciens. Sedangkan pada kelompok tidak pendek terdapat kelimpahan lebih tinggi pada genus Blautia, Lachnospiraceae, Bilophila, Monoglobus dan spesies Akkermansia municiphila, Odoribacter splanchnicus and Bacteroides clarus. Perbedaan komposisi mikrobiota ini dipengaruhi oleh riwayat cara kelahiran, riwayat ASI eksklusif, sumber air minum, sumber air untuk aktivitas lain, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan serta asupan energi, makronutrient dan mikronutrient.
Kesimpulan: Secara umum kelimpahan mikrobiota yang bersifat patogen pada anak pendek lebih tinggi dibandingkan kelompok tidak pendek. Hal ini dipengaruhi oleh asupan zat gizi serta faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor yang berpengaruh ini dapat diterapkan oleh anak pendek di daerah kumuh sebagai upaya perbaikan status gizi.
......Background and objective: Slum areas are identic with nutritional problems in children including stunted children. Incidence of stunted can be caused by various factors, one of which is dysbiosis. This study aims to analyze the microbiota composition of stunted and non-stunted children in Jakarta slum areas and related contributing factors.
Method: This study used a comparative cross-sectional study design which was conducted in RW 9 and 11, Kebon Bawang Village, North Jakarta. The subjects in this study were 21 stunted children (HAZ£-2SD) and 21 non-stunted children (-1SD£HAZ£3SD) ages 2-5 years. The data collected included subject and family characteristics, mode delivery history, exclusive breastfeeding history, history of illness and hygiene and sanitation. In addition, nutrient intake was also collected through the Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQFFQ). Microbiota analysis was performed by extracting DNA from the subject's feces and then 16S rRNA sequencing using Next Generation Sequencing (NGS). Bioinformatics analysis was performed to compare the composition of the microbiota in the two groups. Manova test and Spearman correlation were performed to analyze the association between factors and nutrient intake with gut microbiota composition.
Results: Based on nutrient intake, in the stunted children, energy intake, macronutrients (carbohydrates, protein, and fat) and micronutrients (Zn and Fe) were lower than non-stunted children. In the stunted group there was a tendency for the number of children born by Caesarean section to be higher, to have a higher history of illness, to consume more refillable drinking water and not to wash their hands before eating than non-stunted group. There were differences in the composition of the microbiota in the two groups, both at the genus and species levels. In the stunted group there were higher abundance in the genera Mitsuokella and Alloprevotella and the species Providencia alcalifaciens. Whereas in the stunted group there was a higher abundance in the genera Blautia, Lachnospiraceae, Bilophila, Monoglobus and the species Akkermansia municiphila, Odoribacter splanchnicus and Bacteroides clarus.
Conclusion: In general, the abundance of pathogenic microbiota in stunted children was higher than in the non-stunted children. This is influenced by nutrient intake and other factors. These influencing factors can be applied by stunted children in slum areas as an effort to improve nutritional status."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angky Budianti
"COVID-19 merupakan penyakit penyebab pandemi pada akhir 2019. Perbedaan manifestasi klinis pada infeksi SARS-CoV-2 ini memicu banyak pertanyaan di kalangan peneliti dan medis. Perbedaan klinis COVID-19 tersebut dapat dipicu oleh faktor hospes, patogen maupun lingkungan. Infeksi SARS-CoV-2 terutama melalui saluran napas atas, tempat kolonisasi mikroba komensal dan patogen. Bagaimana interaksi antara mikroba yang berkolonisasi dengan SARS-CoV-2 dalam menimbulkan respons inflamasi di saluran napas atas masih belum diketahui dengan jelas. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara karakteristik mikrobiota, serta rasio kadar sitokin pro- dan anti-inflamasi dari saluran napas atas dengan beratnya COVID-19.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan 74 swab nasofaring dan orofaring di dalam viral transport medium (VTM) dari pasien COVID-19 berusia 18–64 tahun. Profil mikrobiota di saluran napas atas dan kadar IL-6, IL-1β, IFN-γ, TNF-α dan IL-10 diperiksa dengan metode sekuensing 16S ribosomal RNA dan Luminex assay, secara berurutan. Selanjutnya dilakukan analisis hubungan antara beratnya COVID-19 dengan OTU, keragaman alfa dan beta dari mikrobiota saluran napas atas.
Lima filum terbanyak di saluran napas pasien COVID-19 di Indonesia berusia 18-64 tahun adalah Firmicutes (32,3%), Bacteroidota (27,1%), Fusobacteriota (15,2%), Proteobacteria (15,1%) dan Actinobacteria (7,1%). Analisis indeks Shannon dan ACE menunjukkan bahwa tidak ada penurunan keragaman microbiota saluran napas atas dengan bertambah beratnya penyakit. Namun, ada perbedaan bermakna keragaman beta pada mikrobiota saluran napas atas antara COVID-19 ringan dan berat. Keberlimpahan filum Firmicutes (p = 0,012), dan genus Streptococcus (p = 0,033) dan Enterococcus (p = 0,031) lebih tinggi pada COVID-19 berat dibandingkan yang ringan, sedangkan keberlimpahan filum Fusobacteriota (p = 0,021), Proteobacteria (p = 0,030), Campilobacterota (p = 0,027), genus Neisseria (p = 0,008), dan Fusobacterium (p = 0,064), spesies Porphyromonas gingivalis (p = 0,018), Fusobacterium periodonticum (p = 0,001) dan Fusobacterium nucleatum (p = 0,022) lebih tinggi pada COVID-19 ringan dibandingkan berat. Keberadaan bakteri Prevotella buccae (p = 0,005) dan Prevotella disiens (p = 0,043) lebih rendah pada COVID-19 berat. Rasio TNF-α/IL-10 lebih tinggi pada COVID-19 berat (p < 0.05). Selanjutnya, rasio IL-6/IL-10, IFN-γ/IL-10, dan IL-1β/IL-10 juga lebih tinggi pada COVID-19 berat, namun tidak berbeda bermakna jika dikaitkan dengan beratnya penyakit.
Penelitian ini mendukung adanya hubungan antara karakteristik mikrobiota di saluran napas atas dengan beratnya COVID-19 pada pasien dewasa. Studi lebih lanjut diperlukan untuk memeriksa mekanisme bagaimana mikrobiota mencegah beratnya COVID-19. Rasio TNF-α/IL-10 dari saluran napas dapat menjadi prediktor beratnya penyakit dan sebagai alternatif pemeriksaan kadar sitokin pada COVID-19 yang kurang invasif dibandingkan serum.
......COVID-19 is a disease that caused a pandemic at the end of 2019. Clinical manifestations difference in SARS-CoV-2 infection has raised many questions in research and medical provider. The clinical differences in COVID-19 can be triggered by host, pathogen and environmental factors. SARS-CoV-2 mainly enters through the upper airway, with colonization of commensal and pathogenic microbes. How the interaction between colonized microbes and SARS-CoV-2 in causing an inflammatory response in the upper airway is still not clearly known. Therefore, we examined the association between the diversity of microbiota, pro- and anti-inflammatory cytokines ratio of upper respiratory and COVID-19 severity.
This research is an observational cross-sectional study using 74 nasopharyngeal and oropharyngeal swabs in viral transport medium from COVID-19 patients aged 18-64 years. We examined microbiota profile in the upper airway using 16S ribosomal RNA sequencing method and levels of IL-6, IL-1β, IFN-γ, TNF-α and IL-10 were examined by Luminex assay. We also examined the association between COVID-19 severities with OTU analysis, alpha and beta diversity of upper respiratory microbiota.
The top five phyla in upper respiratory tract of Indonesian COVID-19 patients with aged of 18–64 years old were Firmicutes (32,3%), Bacteroidota (27,1%), Fusobacteriota (15,2%), Proteobacteria (15,1%) and Actinobacteria (7,1%). Shannon and ACE index analysis showed no decline of microbiota diversity in upper airway with the increase of disease severity. However, there were significant differences of beta diversity in the upper airway microbiota between mild and severe COVID-19. The abundance of the Firmicutes phylum (p = 0,012), Streptococcus (p = 0,033) and Enterococcus (p = 0,031) genera were significantly higher in severe COVID-19 than mild, while the abundance of the Fusobacteriota (p = 0,021), Proteobacteria (p=0,030), and Campilobacterota (p = 0,027) phyla, Neisseria (p = 0,008), and Fusobacterium (p = 0,064) genera, Porphyromonas gingivalis (p = 0,018), Fusobacterium periodonticum (p = 0,001) and Fusobacterium nucleatum (p = 0,022) species were significantly higher in mild. The presence of Prevotella buccae (p=0.005) and Prevotella disiens (p=0.043) bacteria was lower in severe COVID-19. The TNF-α/IL-10 ratio was significantly higher in severe COVID-19 (p < 0.05). Furthermore, IL-6/IL-10, IFN-γ/IL-10, and IL-1β/IL-10 ratio was also higher in severe, but those were not significantly related to the disease severity.
This research supports the relationship between the severity of COVID-19 and microbiota diversity in the upper airway in adults. Further studies are needed to examine the mechanism by which microbiota prevents the COVID-19 severities. The ratio of TNF-α/IL-10 from upper airway swab may be as a predictor of disease severity and alternative for examining cytokine levels in COVID-19 which is less invasive than serum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Oktaviyani
"Mikrobiota saluran pencernaan neonatus merupakan modulator respon imun yang berpengaruh terhadap kesehatan dan penyakit bagi neonatus. Perkembangan mikrobiota saluran pencernaan neonatus dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor maternal maupun faktor neonatal yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kolonisasi mikrobiota usus neonatus pada masa awal kehidupannya. Masa awal kehidupan neonatus (≤ 1 bulan setelah lahir) merupakan periode kritis dalam menentukan kesehatan neonatus jangka panjang maupun jangka pendek. Kolonisasi mikrobiota saluran pencernaan yang menyimpang atau disbiosis pada awal kehidupannya dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit yang berkaitan dengan perkembangan sistem imunitasnya seperti alergi, obesitas, diabetes, dan lain-lain. Dengan demikian, ulasan ini membahas tentang peranan mikrobiota saluran pencernaan neonatus pada masa awal kehidupan dalam mendukung kesehatan neonatus dengan mengetahui kolonisasi mikrobiota saluran pencernaan yang simbiosis. Sekuensing amplikon gen target 16S rRNA menggunakan metode NGS merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mengkarakterisasi keragaman mikroba. Sampel mekonium atau feses sebagai representatif lingkungan saluran pencernaan neonatus dikumpulkan dan dilakukan ekstraksi DNA kemudian gen target diamplifikasi dengan PCR. Amplikon yang diperoleh disekuensing dan dikarakterisasi secara bioinformatik untuk menentukan mikroba yang ada dalam sampel serta kelimpahan relatifnya. Selain itu, analisis berbasis teknologi molekuler seperti sekuensing gen target 16S rRNA menggunakan metode NGS dan analisis bioinformatik berperan penting dalam memperluas pengetahuan tentang ekosistem saluran cerna yang kompleks dari sampel mekonium dan feses neonatus. Dalam rangka menciptakan mikrobiota saluran pencernaan yang baik dan mendukung kesehatan neonatus pada masa awal kehidupannya dapat dilakukan dengan melakukan intervensi pada faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya. Intervensi seperti merencanakan kelahiran normal, menjaga asupan nutrisi yang seimbang selama masa kehamilan dan juga menyusui, menghindari paparan antibiotik selama kehamilan dan pada neonatus, dan memberikan ASI kepada neonatus terbukti dapat memodulasi perkembangan mikrobiota saluran pencernaan neonatus yang sehat.

Neonatal gut microbiota is a modulator of the immune response that influences health and disease for neonates. The development of the neonatal gut microbiota is influenced by several factors, both maternal and neonatal factors that directly or indirectly affect the colonization of neonatal gut microbiota in early life. The early-life period of neonatal life (≤ 1 month after birth) is a critical period in determining the long-term and short-term health of neonates. Aberrant colonization of gut microbiota or dysbiosis in early life can increase the risk of diseases related to the development of the immune system such as allergies, obesity, diabetes, and others. Thus, this review discusses the role of the neonatal gut microbiota in early life in supporting neonatal health by knowing the symbiosis colonization of the gut microbiota. The sequencing of 16S rRNA target gene amplicons using the NGS method is the most widely used method to characterize microbial diversity. Meconium or faecal samples as a representative environment of the neonatal digestive tract are collected and DNA extracted then the target gene is amplified by PCR. The obtained amplicons are sequenced and bioinformaticly characterized to determine the microbes present in the sample and their relative abundance. In addition, analysis based on molecular technologies such as 16S rRNA target gene sequencing using the NGS method and bioinformatic analysis play an important role in expanding our knowledge about complex gastrointestinal ecosystems from meconium and neonatal faecal samples. In sum, creating a good gut microbiota and supporting neonatal health in their early-life period can be done by intervening on factors that influence its development. Interventions such as planning a normal birth, maintaining a balanced nutritional intake during pregnancy and lactating, avoiding antibiotic exposure during pregnancy and in neonates, and breastfeeding for neonates are proven to modulate the development of healthy neonatal gut microbiota."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>