Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hazwar. A.R.
"Miopia merupakan salah satu kelainan refrakai yang sering ditemukan. Pada penelitian di beberapa rumah sakit di Indonesia (Surabaya, Yogyakarta dan Semarang) ditemukan insiden penderita miopia berkisar antara 50% sampai 80.3% dari semua kelainan refraksi. diantaranya terdapat penderita miopi tinggi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon mata miopia tinggi terhadap tes minum air dengan membandingkan perlakuan yang sama pada mata emetropia"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asnawi Taslim
"ABSTRAK
Miopia Simplek adalah gangguan penglihatan jauh atau terang dekat sehingga kemampuan belajar akan terganggu serta kualitas hidup akan menurun. Terapi akupunktur dapat dikembangkan sebagai terapi pendamping pada terapi miopia simplek. Penelitian ini merupakan penelitian pertama di Indonesia dengan subjek pasien miopia simplek. Tiga puluh pasien Miopia Simplek dibagi dalam dua kelompok secara acak, kelompok akupunktur n=15 mendapat terapi akupunktur pada titik ndash; titik He Ku II,4 , Cen Ci III,1 , Cing Ming VII,1 dan Fung Ce IX,20 , sedangkan kelompok kontrol n=15 dilakukan plasebopunktur dimana penusukan dilakukan 0,5 cm lateral / anterior / posterior dari titik terpilih dan bukan merupakan titik akupunktur. Terapi akupunktur dilakukan seminggu dua kali sebanyak 10 kali. Pemeriksaan ketajaman penglihatan visus dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan terapi akupunktur dengan Kartu Snellen serta pemeriksaan besarnya dioptri. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kasus dan kelompok kontrol setelah tindakan akupunktur p=0,032 . Terapi akupunktur efektif memperbaiki ketajaman penglihatan visus pada miopia simplek.
ABSTRACT
Myopia simplex is a distant vision impairment or light close so that the ability to learn or the quality of life will be impaired. Acupuncture therapy can be developed as companion therapy in the treatment of myopia simplex. This study is the first in Indonesia to the subject of myopia simplex. Thirty patients with myopia simplex divided into two random groups, acupuncture group n 15 received acupuncture therapy at the He Ku point II, 4 , Cen Ci III,1 , Cing Ming VII,1 and Fung Ce XI, 20 , whereas the control group n 15 conducted to placebopucture where pricking carried 0.5 cm lateral anterior posterior of the selected point and not an acupuncture point. Acupuncture therapy performed twice a week for 10 repetitions. Examination of visual acuity is done before and after acupuncture therapy with Snellen card and examination of the amount of diopters. There are significant differences between the cases and control groups after the action of acupuncture P 0.032 . Acupuncture therapy effectively improves visual acuity on myopia simplex."
2016
T55577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pritha Maya Savitri
"Latar belakang: Orientasi ruang (spatial orientation) merupakan masalah utama untuk penerbang yang ditentukan dengan menggunakan persepsi penglihatan, vestibuler, dan propioseptif. Miopia merupakan kelainan refraksi yang paling sering terjadi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya miopia ringan pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan pengambilan sampel secara purposif. Responden mengisi kuesioner sedangkan data tajam penglihatan dan kadar gula darah didapatkan dari rekam medis. Analisis data dengan regresi cox menggunakan Stata 10. Batasan miopia ringan pada penelitian ini adalah subyek yang mengalami penurunan tajam penglihatan dan menggunakan lensa koreksi -0,25 s/d -0,30.
Hasil : Subyek penelitian adalah penerbang pria dengan usia 21-45 tahun yang sedang melaksanakan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Kementerian Perhubungan. Persentase miopia ringan dalam penelitian ini sebesar 36,1%. Faktor risiko dominan terhadap miopia ringan jam terbang [risiko relatif (RRa) = 1,23; 95% interval kepercayaan (CI) = 0,96-1,58; P = 0,108], riwayat orang tua miopia (RRa = 5,29; P = 0,000), gejala kelelahan visual kesulitan fokus (RRa = 1,30; 95% CI = 1,01-1,65; P = 0,039), dan gejala kelelahan visual huruf berkabut (RRa = 1,16 ; 95% CI = 0,89-1,48; P = 0,259).
Kesimpulan: Jam terbang total, riwayat orang tua miopia, adanya gejala kelelahan visual kesulitan fokus dan huruf berkabut merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap miopia ringan pada penerbang sipil di Indonesia. Diperlukan koordinasi antara spesialis mata, spesialis kedokteran penerbangan dan balai kesehatan penerbangan dalam pencegahan miopia dan pengawasan kesehatan mata bagi penerbang sipil inisial dan reguler.

Background: Spatial orientation is the main problem to pilot that determined by visual, vestibuler and propioseptif. Myopia is more prevalent refraction error in civilian aviator and other populatian. This study aims to identify risk factors that affect the incidence of mild myopia in civilian pilot in Indonesia.
Method: This study using cross-sectional method with purposive sampling. Subjects answered the questionaire. The researcher using the medical record to get data about visual acuity and fasting blood glucose. Cox regression analyses using Stata 10. Mild myopia in this study is defect distant visual acuity with corrected lens power -0.25 s/d -0.30.
Result : Subject of this study are 21-45 years old male civilian aviators which performs scheduled medical check up at Civil Aviatian Medical Centre. Mild myopia percentage in this study is 36.1%. Dominant risk factor for mild myopia is total flight time (RRa 1.23; 95% CI 0.96-1.58; P 0.108), parental myopia (RRa 5.29; P 0,000), visual fatigue; difficulty in focusing (RRa 1.30; 95% CI 1.01-1.65; P 0.039), and visual fatigue foggy letters (RRa 1.16 ; CI 0.89-1.48 P 0,259).
Conclusion: Total flight time, parental myopia, visual fatigue; difficulty in focusing and foggy letters are influenced risk factors for mild myopia in civilian aviator in Indonesia. Suggested to have coordination among ophthalmologist, aviation medicine specialist, airline and Civil Aviation Medical Centre to preventing myopia and eye health surveillance for initial and reguler civilian pilot.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Prathama
"Latar belakang: Mata merupakan indera yang sangat penting dalam penerbangan. Salah satu fungsi untuk menentukan perkiraan jarak, sehingga diperlukan fungsi kedua mata yang baik. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya identifikasi pengaruh jam terbang total terhadap risiko miopia ringan pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan purposif sampel pada pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan dengan rentang waktu 27 April sampai dengan 13 Mei 2015. Definisi miopia ringan jika mata memerlukan koreksi penglihatan jauh dengan lensa < -3 dioptri. Data karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan diperoleh dari kuesioner. Data tajam penglihatan dan kadar gula darah puasa didapatkan dari rekam medis Balai Kesehatan Penerbangan. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: 690 pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan, 428 subjek bersedia menjadi responden. Subjek terpilih untuk dianalisis berjumlah 413 pilot dan 15 pilot lainnya menderita miopia berat. Dari 413 pilot, 141(34,1%) miopia ringan dan 272 (65,8%) normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi miopia ringan adalah ras, status perkawinan dan jam terbang total secara signifikan. Subjek dengan ras selain Asia dibandingkan dengan ras Asia berisiko 2,1 kali lipat lebih besar menderita miopia ringan [risiko relatif suaian (RRa)=2,19; p=0,030]. Dibandingkan dengan subjek tidak menikah, subjek yang menikah berisiko 3,8 kali lipat menderita miopia ringan (RRa=3,80; p=0,000). Selanjutnya, dibandingkan subjek dengan jam terbang total 16-194 jam, subjek dengan jam terbang total 195-30285 jam mempunyai risiko 4,5 kali lipat menderita miopia ringan (RRa=4,56; p=0,000).
Kesimpulan: Subjek yang menikah, ras non Asia dan yang memiliki 195 atau lebih jam terbang total mempunyai risiko lebih tinggi menderita miopia ringan di Indonesia.

Background: Eye is very important organ in aviation?s operation. One of the functions is to estimate distance where both healthy eyes are needed. The purpose of this study was to identify the influence of total flight hours on the risk of mild myopia among civilian pilots in Indonesia.
Methods: Study design was cross-sectional with purposive sampling among pilots those who got medical examinations at Civil Aviation Medical Center on April 27th - May13th, 2015. Mild myopia is condition the eyes need negatif lens corection for distance visual acuity less than -3 diopters. Demographic characteristic, occupational characteristic, ranking characteristics, and habits were obtained from questionnaire. Visual acuity and fasting blood sugar levels data were obtained from medical records in Aviation Medical Board. Data were analysed with Cox regression.
Resulted: 690 civilian Indonesia?s pilots who conducted medical examination, 428 subjects were willing to participate. Total subjects to be analyzed were 413 pilots and 15 pilots were not involved since severe myopia. Amongst of 413 pilots, 141 (34,1%) mild myopia and 272 (65,8%) normal. Factors influencing mild myopia were race, marital status and total flight hours. Non-Asian subject had 2.1-fold risk of mild myopia compared to Asian race subject [adjusted relative risk (RRa)=2.19; p=0.030]. Subjects who were married had 3.8-fold risk of mild myopia compared with subjects who were not married (RRa=3.80; p=0.000). Subjects who had total flight hours 195-30285 hours had 4.5-fold risk to be mild myopia compared with subjects 194 or less total flight hours (RRa=4.56; p=0.000).
Conclusion: Married subject, non-Asian race and those who have 195 or more total flight hours constitute a higher risk of suffering mild myopia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novie Nurbeti
"Latar Belakang: Pemeriksaan MRI orbita sebagai modalitas pencitraan diagnostik bukan merupakan pilihan utama dalam mengevaluasi miopia dengan komplikasi secara kualitatif maupun kuantitatif, namun sekarang ini peranan MRI Orbita mulai dimanfaatkan untuk diagnostik, evaluasi, penilaian morfologi dan kuantitatif pada miopia dengan komplikasi sehingga mendapatkan mendapatkan penanganan yang tepat. Perkembangan miopia di Indonesia secara prevalensi mengalami peningkatan sejak anak-anak dan usia muda sehingga komplikasi akibat miopia pada usia dewasa salah satunya adalah perubahan kedudukan bola mata (esotropia) juga diprediksi mengalami peningkatan. Selain itu volume orbita pada ras di Indonesia dengan struktur anatomi kepala dan wajah yang kecil kemungkinan meningkatkan prevalensi pergeseran sudut otot-otot rektus ekstraokular pada miopia sehingga menyebabkan perubahan kedudukan bola mata. Belum banyak data mengenai sudut otot-otot rektus ekstraokular superior-lateral dan panjang aksial bola mata pada pengukuran PACS INFINITT dengan metode Yokoyama serta data volume orbita menggunakan perangkat lunak pengukuran 3D Slicer dalam karakteristik populasi miopia di Indonesia terutama pasien RSCM. Tujuan:Mengetahui hubungan sudut otot-otot rektus ekstraokular superior-lateral, panjang aksial bola mata dan/ atau volume orbita pasien miopia berdasarkan MRI 1,5T di RSCM. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan uji korelasi menggunakan data sekunder dan ditambah data primer karena belum mencukupi. Dilakukan analisis menggunakan PACS INFINITT untuk sudut otot rektus superior-lateral dan panjang aksial bola mata, sedangkan analisis volume orbita mneggunakan 3D Slicer Data yang didapatkan dimasukkan dalam diagram baur (scatter plot) untuk melihat adanya hubungan probabilitas. Kemudian dianalisis ada tidaknya hubungan probabilitas menggunakan analisis multivariat dengan multiregresi. Hasil:. Hubungan besar Dioptri terhadap sudut otot rektus superior-lateral dengan nilai p=0,005,r=0,27 (nilai p<0,05). Hubungan panjang aksial bola mata terhadap sudut otot rektus superior-lateral dengan nilai p=0,379,r=0,09. Hubungan volume orbita terhadap sudut otot rektus superior-lateral dengan nilai p=0,057,r=-0,19. Simpulan: Terdapat hubungan antara besar Dioptri sferis negatif terhadap besar sudut otot rektus superior-lateral, peningkatan ukuran dioptri diikuti dengan peningkatan besar sudut otot rektus superior-lateral. Tidak ada hubungan antara panjang aksial bola mata dengan besar sudut otot rektus superior-lateral. Terdapat kecenderungan hubungan negatif antara volume orbita terhadap besar sudut otot rektus superior-lateral, di mana semakin kecil voume orbita, semakin besar sudut otot rektus superior-lateral. Meskipun belum terdapat hubungan yang kuat secara statistic.

Background: Orbital MRI examination as a diagnostic imaging modality is not the main choice in evaluating myopia with complications qualitatively or quantitatively, however, currently the role of orbital MRI has begun to be utilized for diagnostics, evaluation, morphological and quantitative assessment of myopia with complications so that it gets better treatment. right. The prevalence of myopia development in Indonesia has increased since childhood and young age so that complications due to myopia in adulthood, one of which is a change in the position of the eyeball (esotropia), is also predicted to increase. In addition, the orbital volume in Indonesian races with low head and face anatomical structures is likely to increase the prevalence of shifting the angle of the extraocular rectus muscles in myopia, causing changes in the position of the eyeball. There are not many data regarding the angle of the superior-lateral extraocular rectus muscles and the axial length of the eyeball on the PACS INFINITT measurement using the Yokoyama method and orbital volume data using 3D Slicer measurement software in the characteristics of the myopia population in Indonesia, especially RSCM patients. Purpose: To determine the relationship between the angle of the superior-lateral extraocular rectus muscles, the axial length of the eyeball and / or the orbital volume of myopia patients based on MRI 1.5T at RSCM. Methods: This study used a cross-sectional design with correlation test using secondary data and added with primary data because it was insufficient. Analysis was carried out using PACS INFINITT for the superior-lateral rectus muscle angle and the axial length of the eyeball, while the orbital volume analysis used 3D Slicer. The data obtained were included in a scatter plot to see a probability relationship. Then analyzed whether there is a probability relationship using multivariate analysis with multiregression. Results: Correlation the size of the diopters and the angle of the superior-lateral rectus muscle with a value of p=0.005,r=0.27 (p value <0.05). Correlation the axial length of the eyeball and the angle of the superior-lateral rectus muscle with a value of p=0.379,r=0.09. Correlation orbital volume and the angle of the superior-lateral rectus muscle with a value of p=0.057,r=-0.19. Conclusions: There is a relationship between the size of the negative spherical diopters with the angle of the superior-lateral rectus muscle, the increase in the size of the diopters is followed by an increase in the angle of the superior-lateral rectus muscle. There is no relationship between the axial length of the eyeball and the angle of the superior-lateral rectus muscle. There is a tendency for a negative relationship between the volume of the orbit and the angle of the superior-lateral rectus muscle, where the smaller the orbital volume, the greater the angle of the superior-lateral rectus muscle. Although there is no statistically strong correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Putri Samira
"[ABSTRAK
Tujuan: Untuk mengevaluasi perbandingan ketebalan kornea dan morfologi sel endotel penderita miopia sedang dengan pemakaian harian lensa kontak lunak hidrogel konvensional (nelfilcon A) terhadap silikon hidrogel (lotrafilcon B) selama 1 bulan.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis tersamar tunggal pada 17 pasien (34 mata) dengan miopia sedang yang dibagi secara acak untuk memakai lensa kontak lunak nelfilcon A atau Lotrafilcon B. Ketebalan kornea sentral (CCT), Coefficient of variation (CV), dan persentase sel heksagonal (6A) diukur menggunakan mikroskop spekuler non-con robo Konan sebelum penelitian (pre-fitting), 1 minggu serta 1 bulan setelah pemakaian lensa kontak lunak. Pasien juga dievaluasi mengenai adanya efek samping subyektif dan komplikasi selama memakai lensa kontak.
Hasil: Terdapat 64,7% subyek dengan riwayat pemakaian lensa kontak lunak sebelumnya, dimana 52,9% diantaranya adalah pemakai hidrogel konvensional yang tidak teratur. Setelah evaluasi 1 bulan, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara pemakai Nelfilcon A dengan Lotrafilcon B dalam hal: ketebalan kornea sentral (p=0,285; uji Mann Whitney), CV (p=0,587; uji t tidak berpasangan), dan 6A (p=0,353; uji t tidak berpasangan). Analisis general linear model terhadap waktu pengukuran mendapatkan perbedaan yang bermakna pada seluru subyek meliputi penurunan CCT (p=0,001) dan CV (p=0,001), serta peningkatan 6A (p=0,022) pada test within subject effect.
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan CCT, CV, dan 6A yang bermakna secara statistik antara pada pemakaian harian lensa kontak lunak Lotrafilcon B dan Nelficon A. Pasien dengan riwayat penggunaan lensa kontak sebelumnya mendapatkan manfaat dengan pemakaian nelfilcon A dan lotrafilcon B dalam hal perbaikan hipoksia jaringan berupa: penurunan ketebalan kornea dan perbaikan morfologi sel endotel.

ABSTRACT
Objective: To compare corneal thickness and endothelial cell morphology in myopic patients wearing 1 month hydrogel conventional and silicon hydrogel contact lenses in daily wear.
Methods: This is a prospective, single blind, randomized study. Seventeen (34 eyes) myopic patients were randomly assigned to wearing either nelfilcon A or lotrafilcon B. Central corneal thickness (CCT), Coefficient of variation (CV), and percentage of six-sided cell (6A) were examined using specular microscope non-con robo Konan. Changes in CCT, CV, and 6A were evaluated before contact lenses fitting as well as 1 week and 1 month after the treatment. Patients were also evaluated for any subjective side effects and complications during the treatment period.
Results: There were 64,7% subjects with history of contact lens weares and 52,9% of them was hydrogel wearers. After 1 month daily wear of nelfilcon A and lotrafilcon B, no statistically differences changes in CCT (p=0,285; Mann Whitney test), CV (p=0,587; unpaired t test) dan 6A (p=0,353; unpaired t test). General linear model analysis in follow up evaluation with test of within subject effect revealed decreased CCT(p=0,001) and CV (p=0,001), also increased 6A (p=0,022) in all subjects.
Conclusions: There were no statistically difference CCT, CV, and 6A between daily wear of nelfilcon A and lotrafilcon B. Subjects with history of contact lens weares gained advantages in oxygen availability, which is decrease in corneal thickness and improvement of endothelial cell morphology., Objective: To compare corneal thickness and endothelial cell morphology in myopic patients wearing 1 month hydrogel conventional and silicon hydrogel contact lenses in daily wear.
Methods: This is a prospective, single blind, randomized study. Seventeen (34 eyes) myopic patients were randomly assigned to wearing either nelfilcon A or lotrafilcon B. Central corneal thickness (CCT), Coefficient of variation (CV), and percentage of six-sided cell (6A) were examined using specular microscope non-con robo Konan. Changes in CCT, CV, and 6A were evaluated before contact lenses fitting as well as 1 week and 1 month after the treatment. Patients were also evaluated for any subjective side effects and complications during the treatment period.
Results: There were 64,7% subjects with history of contact lens weares and 52,9% of them was hydrogel wearers. After 1 month daily wear of nelfilcon A and lotrafilcon B, no statistically differences changes in CCT (p=0,285; Mann Whitney test), CV (p=0,587; unpaired t test) dan 6A (p=0,353; unpaired t test). General linear model analysis in follow up evaluation with test of within subject effect revealed decreased CCT(p=0,001) and CV (p=0,001), also increased 6A (p=0,022) in all subjects.
Conclusions: There were no statistically difference CCT, CV, and 6A between daily wear of nelfilcon A and lotrafilcon B. Subjects with history of contact lens weares gained advantages in oxygen availability, which is decrease in corneal thickness and improvement of endothelial cell morphology.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldi Ishwara
"ABSTRAK
Latar belakang : miopia merupakan salah satu gangguan refraksi yang bersifat progresif dimana salah satu komplikasi yang dapat ditemukan adalah esotropia yang pada akhirnya dapat menjadi strabismus fixus. Faktor-faktor yang diduga berpotensi menunjukkan progresifitas diantaranya adalah panjang aksial bola mata dan pergeseran otot ekstraokuli dapat dikenali dengan menggunakan modalitas pemeriksaan radiologi yaitu MRI. Dengan mengenali faktor-faktor tersebut secara dini, diharapkan penderita miopia tidak mengalami komplikasi akhir tersebut sehingga dapat ditatalaksana secara dini, sekaligus memperoleh protokol sekuens MRI yang terbaik. Tujuan : Mengetahui korelasi antara besaran nilai dioptri refraksi miopia sedang dan berat dengan peningkatan panjang aksial bola mata serta besar sudut otot rektus superior dan lateral pada pasien miopia di Indonesia. Metode : Pengukuran panjang aksial dan besar sudut antara otot rektus superior dan lateral dilakukan menggunakan modalitas MRI serta perangkat lunak Image-J. Pengukuran dilakukan terhadap penderita miopia derajat sedang (-3 s/d -6 D) dan berat (sferis minus lebih besar dari -6 D) dengan total subjek penelitian sebanyak 92 mata. Hasil : Pada miopia sedang terdapat korelasi yang bermakna antara besaran dioptri terhadap peningkatan panjang aksial bola mata (uji Spearman, dengan p < 0,01), tidak terdapat korelasi signifikan antara besaran dioptri terhadap sudut otot rektus superior dan lateral (p = 0,344), serta tidak terdapat korelasi signifikan antara besaran panjang aksial dan sudut antara otot rektus superior dan lateral (p = 0,063). Pada miopia berat terdapat korelasi yang bermakna antara besaran dioptri terhadap peningkatan panjang aksial bola mata, antara besaran dioptri terhadap sudut otot rektus superior dan lateral, dan antara besaran panjang aksial dan sudut antara otot rektus superior dan lateral (p<0,01). Simpulan : Derajat miopia yang semakin berat memiliki korelasi yang kuat terhadap peningkatan panjang aksial bola mata dan peningkatan besaran sudut antara otot rektus superior dan lateral. Pada kondisi miopia berat, peningkatan panjang aksial yang terjadi berkorelasi kuat terhadap peningkatan besaran sudut otot rektus superior dan lateral sehingga semakin rentan terhadap terjadinya komplikasi esotropia.

ABSTRACT
Background: myopia is a common visual disturbance which can be complicated in a severe state. One of its various complication is esotropia that can progress into strabismus fixus. MRI is one of modality of choice to evaluate myopia's progressivity so that early intervention could be done. Several factors are suspected to be the cause such as eyeball axial length elongation and supero-lateral extraocular muscle shifting. Those factors could be evaluated using MRI with sought optimal sequence protocol as early as possible during progression, so early intervention could be done. Purpose: to determine if there is correlation between moderate and severe myopia with eye's axial length and superior-lateral rectus muscle's angle. Methods : Prospective cross sectional study with analyzing correlation between axial length and superior-lateral rectus muscles's angle measured using MRI and Image-J software. Measurement was done to patients with moderate (-3 to -6 D) and severe myopia (less than -6 D). Results: In moderate myopia, there is significant correlation between myopic dioptri and axial length (Spearman correlation < 0,01), but there is no correlation between axial length and superior-lateral rectus muscle's angle, and myopic dioptri and superior-lateral rectus muscle's angle (p = 0,344 and 0,063). In severe myopia, there is significant correlation between myopic dioptri and axial length, supero-lateral rectus muscle's angle, and between axial length and supero-lateral rectus muscle's angle (p < 0,01). Conclusion: Significant correlation between myopic dioptry with eye's axial length and superior-lateral rectus muscle's angle only occurred in severe myopia. The severe the myopia, the eye become elongated and the angle between superior and lateral rectus muscle become widened and prone to become esotropia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abigael Jasmine Angelita
"Latar Belakang
Ablasio retina mempengaruhi fungsi pengelihatan yang dapat bersifat permanen. Angka prevalensinya juga meningkat setiap tahunnya, juga dengan miopia yang merupakan salah satu faktor risikonya. Walaupun hubungan antara derajat miopia dengan kejadian ablasio retina sudah banyak dicari, tetapi belum ada penelitian serupa dilakukan di RSCM, rumah sakit rujukan nasional di Indonesia. Maka dari itu, penelitian ini ingin mencari tahu hubungan antara keduanya dan karakteristik klinis yang ditimbulkannya.
Metode
Dengan desain analitik observasional menggunakan metode potong-lintang, data diambil dari rekam medis pasien miopia yang berkunjung pada tahun 2023 kemudian dicatat karakteristik demografis (usia, jenis kelamin, domisili, tingkat pendidikan) dan karakteristik klinisnya (derajat miopia, diagnosis ablasio retina). Pasien miopia yang didiagnosis ablasio retina akan dicatat juga karakteristik klinis ablasio retinanya. Hubungan antara derajat miopia dan kejadian ablasio retina dianalisis statistika uji Chi- Square. Pada mata miopia dengan ablasio retina, perbedaan usia antara kelompok derajat miopia dianalisis statistika uji Mann-Whitney.
Hasil
Dari 348 mata miopia tinggi dan 526 mata miopia ringan-sedang, didapatkan ablasio retina pada 38 mata dengan miopia tinggi dan 32 mata dengan miopia rendah-sedang. Hubungan antara derajat miopia dan diagnosis ablasio retina signifikan (P=0.022) dengan OR 1.795. Tidak terdapat perbedaan usia yang signifikan antara kelompok miopia ringan- sedang dan berat dengan ablasio retina (P=.245), tetapi kelompok miopia ringan-sedang memiliki median lebih tinggi (40.5) dibandingkan miopia tinggi (32).
Kesimpulan
Derajat miopia berat berpeluang lebih besar terhadap kejadian ablasio retina dibandingkan derajat miopia ringan-sedang. Usia pasien miopia derajat ringan-sedang juga lebih tua dibandingkan usia pasien miopia derajat berat, tetapi hasilnya tidak bermakna secara statistika.

Introduction
Retinal detachment might have permanent impact on visual function. The prevalence of retinal detachment is increasing year-by-year, as is myopia, one of its risk factor. Although the relationship between degreee of myopia and retinal detachment incidence has been researched, no similar studies have been conducted in RSCM. Therefore, this research aims to investigate the relationship and the outcome of clinical characteristics between different myopic degrees.
Method
Using observational analytic design and cross-sectional method, data on myopic patients who visited RSCM on 2023 are extracted from medical record. Demographic characteristic (age, gender, domicile, education level) and clinical characteristic (degree of myopia, retinal detachment diagnosis) were documented. The characteristics of myopic patients with retinal detachment were also recorded. Chi-Square test was used to analyze the relationship between myopia degree and retinal detachmen. For myopic eyes diagnosed with retinal detachment, the age difference between two groups based on myopia degree was analyzed using Mann-Whitney test.
Results
Out of 348 severely myopic eyes and 526 mild-moderate myopic eyes, retinal detachment was diagnosed in 38 severely myopic eyes and 32 mild-moderate myopic eyes. The relationship between myopia degree and retinal detachment incidence are significant (P=0.022) with an OR of 1.795. There is no significant difference between mild-moderate myopic group and severe myopic group in terms of retinal detachment (P=.245), however mild-moderate myopic group has a higher median age (40.5) than severely myopic group (32).
Conclusion
Severly myopic eyes have higher probaility of retinal detachment compared to mild- moderate myopic eye. The age of mild-moderate myopic group with retinal detachment is higher than that of the severely myopic group, although statistically not significance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Amerina
"Miopia adalah kelainan refraksi yang paling banyak ditemukan di dunia. Pandemi Covid- 19 berhubungan dengan peningkatan prevalensi miopia dan progresivitas miopia akibat pembelajaran jarak jauh pada anak usia sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan angka kejadian miopia pada pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jakarta di era pandemi Covid-19 dan mencari faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian miopia pada kelompok tersebut. Penelitian ini terdiri dari 2 tahapan, yaitu: (1) Adaptasi lintas kultur kuesioner Sydney Myopia Study; (2) Pemeriksaan refraksi subjektif pada pada pelajar SMP di Jakarta dan pengisian kuesioner yang sudah tervalidasi. Dari 415 subjek penelitian, didapatkan angka kejadian miopia pada pelajar SMP di Jakarta sebesar 67,5% dengan sebagian besar subjek termasuk dalam kategori miopia sedang (37,1%). Faktor yang berhubungan dengan kejadian miopia pada kelompok tersebut adalah jenis kelamin perempuan, riwayat miopia pada orang tua, dan skor aktivitas melihat dekat > 9,5 jam per hari.

Myopia is the most common refractive error in the world. The Covid-19 pandemic is associated with an increase in the prevalence of myopia and myopia progression due to online learning in school-age children. This study aims to obtain the prevalence of myopia in junior high school students in Jakarta during the Covid-19 pandemic era and its related factors. This study consisted of 2 stages; (1) Cross-cultural adaptation of the Sydney Myopia Study questionnaire; (2) Subjective refraction examination of junior high school students in Jakarta and completion of the validated questionnaire. Of the 415 research subjects, the prevalence of myopia in junior high school students in Jakarta was 67.5%, with most of the subjects falling into the category of moderate myopia (37.1%). Factors related to myopia in this group were female gender, parental myopia, and a near work activity score of > 9.5 hours per day."
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novie Nurbeti
"Latar Belakang: Pemeriksaan MRI orbita sebagai modalitas pencitraan diagnostik bukan merupakan pilihan utama dalam mengevaluasi miopia dengan komplikasi secara kualitatif maupun kuantitatif, namun sekarang ini peranan MRI Orbita mulai dimanfaatkan untuk diagnostik, evaluasi, penilaian morfologi dan kuantitatif pada miopia dengan komplikasi sehingga mendapatkan mendapatkan penanganan yang tepat. Perkembangan miopia di Indonesia secara prevalensi mengalami peningkatan sejak anak-anak dan usia muda sehingga komplikasi akibat miopia pada usia dewasa salah satunya adalah perubahan kedudukan bola mata (esotropia) juga diprediksi mengalami peningkatan. Selain itu volume orbita pada ras di Indonesia dengan struktur anatomi kepala dan wajah yang kecil kemungkinan meningkatkan prevalensi pergeseran sudut otot-otot rektus ekstraokular pada miopia sehingga menyebabkan perubahan kedudukan bola mata. Belum banyak data mengenai sudut otot-otot rektus ekstraokular superior-lateral dan panjang aksial bola mata pada pengukuran PACS INFINITT dengan metode Yokoyama serta data volume orbita menggunakan perangkat lunak pengukuran 3D Slicer dalam karakteristik populasi miopia di Indonesia terutama pasien RSCM. Tujuan: Mengetahui hubungan sudut otot-otot rektus ekstraokular superior-lateral, panjang aksial bola mata dan/ atau volume orbita pasien miopia berdasarkan MRI 1,5T di RSCM. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan uji korelasi menggunakan data sekunder dan ditambah data primer karena belum mencukupi. Dilakukan analisis menggunakan PACS INFINITT untuk sudut otot rektus superior-lateral dan panjang aksial bola mata, sedangkan analisis volume orbita mneggunakan 3D Slicer Data yang didapatkan dimasukkan dalam diagram baur (scatter plot) untuk melihat adanya hubungan probabilitas. Kemudian dianalisis ada tidaknya hubungan probabilitas menggunakan analisis multivariat dengan multiregresi. Hasil:. Hubungan besar Dioptri terhadap sudut otot rektus superior-lateral dengan nilai p=0,005,r=0,27 (nilai p<0,05). Hubungan panjang aksial bola mata terhadap sudut otot rektus superior-lateral dengan nilai p=0,379,r=0,09. Hubungan volume orbita terhadap sudut otot rektus superior-lateral dengan nilai p=0,057,r=-0,19. Simpulan: Terdapat hubungan antara besar Dioptri sferis negatif terhadap besar sudut otot rektus superior- lateral, peningkatan ukuran dioptri diikuti dengan peningkatan besar sudut otot rektus superior-lateral. Tidak ada hubungan antara panjang aksial bola mata dengan besar sudut otot rektus superior-lateral. Terdapat kecenderungan hubungan negatif antara volume orbita terhadap besar sudut otot rektus superior-lateral, di mana semakin kecil voume orbita, semakin besar sudut otot rektus superior-lateral. Meskipun belum terdapat hubungan yang kuat secara statistic.

Background: Orbital MRI examination as a diagnostic imaging modality is not the main choice in evaluating myopia with complications qualitatively or quantitatively, however, currently the role of orbital MRI has begun to be utilized for diagnostics, evaluation, morphological and quantitative assessment of myopia with complications so that it gets better treatment. right. The prevalence of myopia development in Indonesia has increased since childhood and young age so that complications due to myopia in adulthood, one of which is a change in the position of the eyeball (esotropia), is also predicted to increase. In addition, the orbital volume in Indonesian races with low head and face anatomical structures is likely to increase the prevalence of shifting the angle of the extraocular rectus muscles in myopia, causing changes in the position of the eyeball. There are not many data regarding the angle of the superior-lateral extraocular rectus muscles and the axial length of the eyeball on the PACS INFINITT measurement using the Yokoyama method and orbital volume data using 3D Slicer measurement software in the characteristics of the myopia population in Indonesia, especially RSCM patients. Purpose: To determine the relationship between the angle of the superior-lateral extraocular rectus muscles, the axial length of the eyeball and / or the orbital volume of myopia patients based on MRI 1.5T at RSCM. Methods: This study used a cross-sectional design with correlation test using secondary data and added with primary data because it was insufficient. Analysis was carried out using PACS INFINITT for the superior-lateral rectus muscle angle and the axial length of the eyeball, while the orbital volume analysis used 3D Slicer. The data obtained were included in a scatter plot to see a probability relationship. Then analyzed whether there is a probability relationship using multivariate analysis with multiregression. Results: Correlation the size of the diopters and the angle of the superior-lateral rectus muscle with a value of p=0.005,r=0.27 (p value <0.05). Correlation the axial length of the eyeball and the angle of the superior-lateral rectus muscle with a value of p=0.379,r=0.09. Correlation orbital volume and the angle of the superior-lateral rectus muscle with a value of p=0.057,r=-0.19. Conclusions: There is a relationship between the size of the negative spherical diopters with the angle of the superior-lateral rectus muscle, the increase in the size of the diopters is followed by an increase in the angle of the superior-lateral rectus muscle. There is no relationship between the axial length of the eyeball and the angle of the superior-lateral rectus muscle. There is a tendency for a negative relationship between the volume of the orbit and the angle of the superior-lateral rectus muscle, where the smaller the orbital volume, the greater the angle of the superior-lateral rectus muscle. Although there is no statistically strong correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>