Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arnaz Fahdika
"Latar Belakang: Post Aneshesia Shivering (PAS) adalah gerakan involunter satu otot rangka atau lebih yang biasanya terjadi pada masa awal pemulihan pascaanestesia. Kekerapannya mencapai 60% pada pasien yang mendapatkan anestesia umum. PAS dapat menyebabkan hipoksia arterial, meningkatnya curah jantung, risiko terjadinya infark miokard, dan mengganggu interpretasi alat-alat pemantauan tanda vital. Tatalaksana kejadian PAS diantaranya dengan menggunakan metode farmakologi diantaranya dengan pemberian ondansetron dan meperidin. Penelitian ini bertujuan membandingkan keefektifan pencegahan PAS dengan pemberian ondansetron 4 mg dengan meperidin 0.35 mg/kgBB intravena.
Metode:Uji klinis, acak, tersamar ganda pada 92 pasien yang menjalani operasi elektif sederhana di kamar operasi RSCM Kirana. Pasien dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok ondansetron dan kelompok meperidin. Pasien mendapatkan ondansetron atau meperidin sesaat sebelum anestesia, lalu seluruh pasien mendapatkan anestesia yang distandarisasi (premedikasi dengan midazolam 0.05 mg/kgBB dan fentanyl 2 mcg/kgBB, induksi dengan propofol 12.5 mg/kgbb, intubasi atau insersi LMA difasilitasi rokuronium 0.6 mg/kgBB, pemeliharaan dengan sevofluran 2 vol% dengan compressed air:O2 = 2:1). Kekerapan dan derajat menggigil dicatat tiap lima menit selama tiga puluh menit pascaanestesia. Efek samping pascapemberian juga dicatat.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p>0.05) dalam kekerapan PAS pada kedua kelompok. Kekerapan kelompok ondansetron sebesar 15.2%, sedangkan kekerapan kelompok meperidin sebesar 6.5%.
Kesimpulan: Ondansetron 4 mg intravena sama efektifnya dengan meperidin 0.35 mg/kgBB dalam mencegah kejadian PAS.

Background: Post Anesthesia Shivering (PAS) is the involuntary movements of one or more skeletal muscles that usually occur in the early time of postanesthesia recovery. The incidence reached 60% in patients receiving general anesthesia. PAS can cause arterial hypoxia, cardiac output increased, the risk of myocardial infarction, and interfere with interpretation tools vital sign monitoring. Management of the incidence of PAS such as by using pharmacological methods such as by administration of ondansetron and meperidine. This study aimed to compare the effectiveness of prevention PAS by administering ondansetron 4 mg with meperidine 0.35 mg / kg intravenously.
Methods: Clinical trials, randomized, double-blind on 92 patients undergoing elective surgery in the RSCM-Kirana operating room. Patients were divided into two groups: group ondansetron and meperidine. Patients received ondansetron or meperidine shortly before anesthesia and all patients receive standardized anesthesia (premedication with midazolam 0.05 mg / kg and fentanyl 2 mcg / kg, induced with propofol 1-2.5 mg / kg, intubation or LMA insertion is facilitated with rocuronium or 0.6 mg / kg, maintenance with sevoflurane 2 vol% to compressed air: O2 = 2: 1). The frequency and degree of shivering recorded every five minutes for thirty minutes post-anesthesia. The side effects were also recorded.
Result: There was no statistically significant difference (p> 0.05) in the frequency of PAS in both groups. Ondansetron group frequency of 15.2%, while the frequency of meperidine group was 6.5%.
Conclusion: Ondansetron 4 mg intravenously as effective as meperidine 0.35 mg/kgBW in preventing the incidence of PAS."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Kiasatina
"Tubuh yang atletis dan dan berotot menjadi komponen yang penting bagi laki-laki gay. Laki-laki gay yang maskulin, menarik, dan berotot lebih disukai daripada laki-laki yang memilikiberat badan berlebih, lemah, dan tidak menarik. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana menjadi muscular atau berotot memainkan peran penting dalam kehidupan gay. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menjadi berotot memainkan peran penting dalam gagasan picking up atau mencari pasangan untuk laki-laki gay dengan tubuh yang serupa. Gay lebih menyukai laki-laki maskulin, dengan menggunakan istilah seperti manly, macho, dan maskulin. Adanya hegemoni maskulinitas melanggengkan dominasi laki-laki terhadap laki-laki dan juga menentukan bagaimana seharusnya menjadi laki-laki, sehingga muncul pandangan pada akhirnyalaki-laki seharusnya menjadi maskulin terlepas dari statusnya sebagai gay. Pada akhirnya dalam hubungan gay seharusnya terjadi antar laki-laki dengan sesama laki-laki. Sehingga menjadi “laki- laki” merupakan suatu kebutuhan dalam dunia gay. Mereka harus mempertahankan tubuh yang berotot, keras, dan hipermaskulin untuk mempertahankan rasa maskulinitas dan tidak dikaitkan dengan femininitas. Pengaturan laki-laki gay yang ideal tidak hanya terjadi di antara laki-laki gay, tetapi juga dalam masyarakat heteroseksual yang lebih luas. Terdapat anggapan masyarakat dapatlebih menoleransi laki-laki gay asalkan mereka tidak menantang tatanan gender antara maskulin dan feminin. Penelitian ini melihat bagaimana laki-laki gay kelas menengah merawat tubuhnya dalam bentuk pembentukan otot, yang mana beperan untuk memunculkan maskulinitasnya. Laki- laki gay dapat bertahan di tengah lingkungan yang berpegang pada nilai-nilai heteronormatif dan memelihara keberadaannya di dalam dunia gaynya melalui identitas maskulin yang dimilikinya. Laki-laki gayseperti mengejar gambaran “maskulin” dengan mewujudkan citra tubuh yang ideal untuk dapat diterima baik oleh lingkungan gaynya maupun masyarakat pada umumnya. Namun kemudian gayakan dihadapkan dengan kekhawatiran akan citra tubuh sebagai konsekuensi dari gambaran tubuhyang berotot dan atletis yang ada pada budaya gay

Athletic and muscular body is an important component for gay men. Masculine, attractive, and muscular gay men are more preferred over overweight, weak, and unattractive men. This studyaims to explain how being muscular plays an important role in gay life. The results of this study indicate that being muscular plays an important role in the idea of picking up or finding a partner for gay men with similar bodies. Gay men prefer masculine men, using terms such as manly, “macho”, and masculine. The existence of hegemony masculinity perpetuates the dominance of men over men and also determines how men should be, Therefore, men should be masculine regardless of their status as gay. In the end, gay relationships should occur between men and fellowmen. So being a “man” is a necessity in the gay world. They must maintain a muscular, hard, andhypermasculine body to maintain a sense of masculinity and not be associated with femininity. The ideal gay male arrangement does not only occur among gay men, but also in the wider heterosexual society. There is an assumption that society can be more tolerant of gay men as longas they do not against the gender order between masculine and feminine. This study looks at how middle class gay men take care of their bodies in the form of muscle building, which plays a role in bringing out their masculinity. Gay men can survive in an environment that adheres to heteronormative valuesand maintain their existence in the gay world through their masculine identity. Gay men seem to pursue a "masculine" image by creating an ideal body image to be accepted both by their gay environment and by society in general. But then, gay men will be faced with body image concernsas a consequence of the muscular and athletic body image that exists in gay culture"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sjodin, Raymond A.
New York: John Wiley & Sons, 1982
591.185 2 SJO t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hutahaean, William Yehezkiel
"Soft robotics merupakan bidang penelitian robot yang bertujuan untuk mengembangkan robot dalam aplikasi di berbagai bidang baru karena kemampuannya beradaptasi dan berinteraksi yang aman dengan manusia. Berbeda dengan robot pada umumnya yang merupakan robot kaku digunakan dalam berbagai bidang terutama otomasi manufaktur. Pada penulisan skripsi ini fokus utama ditujukan untuk membahas pengembangan kontrol dari robot berupa sarung tangan untuk rehabilitasi dengan menggunakan mekanisme pendukung. Mekanisme pendukung tersebut adalah sebuah soft robotic yang dikembangkan oleh peneliti di Harvard yang dinamai Fluid Origami-skeleton Artificial Muscles (FOAMs). Berdasarkan fokus tersebut, tujuan utama dari penelitian ini merupakan merancang dan mengimplementasikan sistem kontrol sebagai pendukung pergerakan soft actuator FOAMs sehingga memungkinkan gerakan yang tepat dan terkoordinasi. Sistem kontrol dirancang berdasarkan integrasi komponen-komponen utama sistem kontrol, yaitu feedback sensor, aktuator, dan mikrokontroler.
Desain sistem kontrol mengandalkan algoritma kontrol yang berdasarkan dengan PID, dengan komponen pompa sebagai integral dari sistem, dan valve sebagai derivative atau oposisi dari kegunaan pompa dan merupakan sebuah tujuan utama dari penulisan skripsi ini. Setelah melakukan pengujian, hasil pengujian tersebut menunjukkan keefektifan sistem kontrol dan kemampuan sistem untuk memberikan kesesuaian gerakan yang diinginkan. Dapat ditunjukkan juga bahwa soft actuator yang didukung dengan sistem kontrol mampu mengangkat beban 100 gram atau lebih daripada berat jari tangan pada umumnya dengan membutuhkan waktu hanya 13 detik pada kekuatan maksimum pompa (-60 kPa). Pengembangan sistem kontrol untuk soft robotic berbasis FOAMs merupakan sebuah langkah awal untuk menggapai potensi penuh dari bidang yang semakin berkembang ini. Pengembangan selanjutnya dari FOAM ini juga tidak hanya terhenti pada sebuah aplikasi ini saja, melainkan masih banyak potensi selanjutnya.

Soft robotics is a field of robot research that aims to develop robots in applications in various new fields because of their ability to adapt and interact safely with humans. In contrast to robots in general, which are rigid robots used in various fields, especially manufacturing automation. In this thesis, the main focus is aimed at discussing the development of control of robots in the form of gloves for rehabilitation using a support mechanism. The supporting mechanism is a soft robotic developed by researchers at Harvard called Fluid Origami-skeleton Artificial Muscles (FOAMs). Based on this focus, the main objective of this research is to design and implement a control system to support the movement of the FOAMs soft actuator to enable precise and coordinated movements.
The control system is designed based on the integration of the main components of the control system, namely feedback sensors, actuators, and microcontrollers. The design of the control system relies on a PID-based control algorithm, with the pump component as the integral of the system, and the valve as the derivative or opposition of the pump's utility. After conducting the tests, the results showed the effectiveness of the control system and the ability of the system to provide the desired motion compliance. It can also be shown that the soft actuator supported with the control system is able to lift a load of 100 grams or more than the weight of a typical hand finger by taking only 13 seconds at the maximum power of the pump (-60 kPa). The development of a control system for soft robots based on FOAMs is a first step towards realizing the full potential of this growing field. Further development of FOAMs should not stop at this application, but there are many more potentials.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vitriana
"Latar Belakang : Inkontinensia urin menyebabkan dampak morbiditas yang cukup bermakna bagi penderitanya. Kondisi ini banyak terjadi pada wanita dan dipengaruhi oleh keadaan defisiensi estrogen. Stigma yang kurang tepat dan kurangnya pemahaman tentang pilihan intervensi menyebabkan kurang tepatnya terapi. Latihan otot dasar panggul dengan menggunakan alat bantu (biofeedback) diharapkan akan dapat mengatasi hal tersebut.
Tujuan: Mengetahui pengaruh biofeedback pada latihan otot dasar panggul untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul agar dapat memperbaiki kondisi stres inkontinensia urin pada wanita pascamenopause.
Desain : Kuasi eksperimental acak lengkap
Tempat : Poli Rehabilitasi Medik Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Perjan. RS. dr. Hasan Sadikin Bandung
Subyek : Tiga puluh lima orang wanita pascamenopause yang menderita inkontinensia urin di lingkungan Panti Wredha Pakutandang - Ciparay
Intervensi : Antara bulan Mei - Agustus 2004, 24 wanita dengan stres inkontinensia pascamenopause yang masuk dalam kriteria inklusi dibagi dalam dua kelompok (kontrol dan latih) melakukan latihan otot dasar panggul setiap hari dengan dan tanpa alat bantu biofeedback disertai pengawasan selama 8 minggu. Hasil peningkatan kekuatan kontraksi otot dasar panggul antara kedua kelompok dibandingkan pada akhir penelitian.
Hasil : Terjadi peningkatan kekuatan kontraksi maksimal otot dasar panggul yang sangat bermakna (<.001) pada kedua kelompok naracoba dengan perbedaan yang bermakna (<.05) antara kedua kelompok. Peningkatan kekuatan kontraksi otot dasar panggul berdampak pada berkurang atau hilangnya keluhan stres inkontinensia urin yang dibuktikan dengan stres test yang menjadi negatif (100%).
Kesimpulan : Latihan otot dasar panggul dengan biofeedback meningkatkan kekuatan otot dasar panggul lebih baik sehingga dapat mengurangi gejala stres inkontinensia urin pascamenopause

Background : Urinary incontinence can cause a significant morbidity. This condition occurs commonly in women with estrogens deficient. Inappropriate stigma and less comprehension to the intervention choices caused inaccurate therapy. Pelvic floor exercise with biofeedback will prevent that to be happened.
Objective : To evaluate the usefulness of biofeedback in pelvic floor exercise to increase the strength of the muscles to treat urinary stress incontinence on postmenopausal women.
Design : Quasi experimental complete randomized
Setting : At Department of Physical Medicine and Rehabilitation Perjan. dr. Masan Sadikin Hospital Bandung
Subject : Thirty five postmenopausal women with stress urinary incontinence from Panti Wredha Pakutandang-Ciparay
Intervention : From May -- August 2004. 24 postmenopausal women with stress urinary incontinence who were divided in two groups (exercise and control) did the pelvic floor muscle exercise daily supervised, with and without biofeedback for 8 weeks. The strength of the muscles was compared in the end of the study.
Result : There was a very significant increase of maximal pelvic floor muscles contraction (<.001) within all two groups with significant differences (<.05) between two groups. Increasing strength of pelvic floor muscles within both groups (control and exercise) relieve urinary stress incontinence (stress test negative forl00°%).
Conclusion : Pelvic floor muscles exercise with biofeedback increase the strength of the pelvic floor on postmenopausal women with stress urinary incontinence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21438
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryati
"Chemotherapy is one of the cancer treatment that could provide many side effects and decrease the functional status and quality of life cancer patients. Progressive muscle relaxation (PMR) training is one of the nursing intervention that leads to decreased physical and phsycological effect from chemotherapy. The purpose of this study was to identify 'the effect of progressive muscle relaxation training on functional status in the context of the nursing care for cancer patients with chemotherapy'. This study was a quasi experimental using a nonequivalent control group with pretest and posttest design. The sample was cancer patients who received chemotherapy and inpatient in RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. A concecutive sampling was used as the sample collection method and 48 subjects were obtained this study, divided into two groups, each group consisted of twenty four subjects as intervention group who were given PMR training twice a day for seven days, and twenty four subjects as control group who were not given PMR training. The instrument that used in this study were demography form and Functional Living Index-Cancer to measure functional status which consisted 22 questions with 7-point Likert-Type linear analog scale. A T test was used to examine the differences of the mean of functional status scores and each dimension. The finding showed that there was a significant increased of the mean of functional status after PMR training in intervention group (p=0,000). It means that PMR training has an effect in increasing level of functional status in cancer patients with chemotherapy. It is recommended to apply PMR training as a nursing intervention to cancer patients with chemotherapy and suggested to conduct futher research using more samples."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Sari Dinaryanti
"Gangguan yang paling sering dikeluhkan oleh pasien kanker paru adalah adanya kesulitan bernapas dan kecemasan yang menyebabkan pasien menjadi tidak relaks.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh program latihan pursed lip breathing (PLB) dan Progressive Muscle Relaxation (PMR) terhadap peningkatan saturasi oksigenasi dan tingkat relaksasi pada pasien kanker paru. Metode penelitian yang digunakan adalah Quasi eksperiment dengan desain pre dan post test without control group. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 19 orang. Alat ukur yang digunakan yaitu oksimetri nadi untuk menilai saturasi oksigen dan lembar monitoring subjektif dan objektif untuk menilai tingkat relaksasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara nilai saturasi oksigen sebelum dan sesudah latihan PLB dan PMR (p value < 0,05) dan ada perbedaan yang signifikan antara tingkat relaksasi sebelum dan sesudah latihan PLB dan PMR (p value < 0,05). Hasil analisis multivariate didapatkan bahwa usia menjadi prediktor terhadap peningkatan saturasi oksigen.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa latihan PLB dan PMR dapat meningkatkan saturasi oksigen dan tingkat relaksasi sebagai terapi komplementer pendamping terapi oksigen standar. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlunya terapi pengaturan napas dan teknik relaksasi untuk meningkatkan saturasi oksigen dan tingkat relaksasi pada pasien kanker paru stadium III dan IV.

The most common symptoms in lung cancer are dyspnea and anxiety that cause patients restlessness.
This study aimed to find out the influence of PLB and PMR training program on the increase oxygen saturation and relaxation level in patients with lung cancer. This study employed a Quasy Experiment with pre test and post test without control group. There were 19 participants in this study. The instruments used were pulse oxymetry to measure oxygen saturation and monitoring form to measure subjective and objective relaxation level.
The results show that there is a significant difference on oxygen saturation before and after PLB and PMR training program (p value < 0,05) and a significant difference on relaxation level before and after PLB and PMR training program (p value < 0,05). A Multivariate analysis shows that age becomes a strong predictor of oxygen saturation.
This study concludes that PLB and PMR training program apllied to patient with lung cancer increases oxygen saturation and relaxation level as a complementary therapyalong with oxygen standart therapy. This study sugests breathing and relaxation training program to increase oxygen saturation and relaxation level for patient with lung cancer at grade III and IV.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42666
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Retno Sulistyaningsih
"Pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis sering mengalami kelemahan otot yang disebabkan adanya pengurangan aktivitas, atrofi otot, miopati otot atau gabungan diantaranya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan otot sebelum dan sesudah dilakukan latihan fisik pada kelompok perlakuan dan juga untuk mengetahui perbedaan kekuatan otot pasien yang dilakukan latihan fisik pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Desain penelitian menggunakan quasi experiment dengan rancangan pretest-posttest with control group dan metode pengambilan sampel dengan purposive sampling. Perbedaan kekuatan otot kaki sesudah dilakukan latihan fisik pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol diuji dengan uji t independent, sedangkan perbedaan kekuatan otot tangan setelah dilakukan latihan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol diuji dengan Man-Withney.
Hasil uji t independent menunjukkan ada perbedaan kekuatan otot kaki setelah dilakukan latihan fisik pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (nilai p = 0,027). Hasil uji Man Withney menunjukkan ada perbedaan kekuatan tangan setelah dilakukan latihan fisik pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (nilai p = 0,030). Dengan demikian institusi pelayanan perlu mengembangkan latihan fisik ini sebagai bagian dari program terapi dan rehabilitasi pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis serta perawat menjadikannya sebagai bagian integral dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.

Chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis often experience muscle weakness which resulted from activity reduction, muscle atrophy, muscle myopathy or a combination of them. This study aims to determine muscle strength before and after physical exercise in the treatment group and also to know the differences of muscle strength of patients who performed physical exercise in the treatment group and control group. This study used a quasi experiment research design with pretestposttest design with control group and the sampling method with a purposive sampling. Differences leg muscle strength after physical exercise performed in the treatment group and control group were tested with independent t test, whereas differences in hand muscle strength after exercise in treatment group and control groups were tested with Man-Withney.
The results showed that there was differences on leg muscle strength after physical exercise in the treatment and control group (p = 0.027). There was differences on hand strength after physical exercise in the treatment and control group (p = 0.030). Therefore, healthcare institutions need to develop the physical exercise as part of treatment programs and rehabilitation for chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis and nurses should make it as an integral part in carrying out nursing care in such patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maimanati Aina Rusdi
"Pendahuluan : Sudut inklinasi femur penting untuk dinilai pada penyandang palsi serebral karena dipengaruhi oleh spastisitas dan meningkat pada penyandang palsi serebral yang mempunyai risiko terjadi subluksasi. Sudut inklinasi femur juga merupakan parameter yang digunakan untuk melihat progresivitas penyakit maupun respons terapi. Penelitian ini bertujuan Mengetahui korelasi sudut inklinasi femur dengan spastisitas otot adduktor panggul dan persentasi migrasi panggul pada penyandang palsi serebral.
Metode : Penelitian analitik potong lintang menggunakan data sekunder radiografi pelvis dari 30 orang penyandang palsi serebral yang berobat ke poliklinik Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi RS Ciptomangunkusumo. Dari data radiografi tersebut diukur nilai sudut inklinasi femur dan dihubungkan dengan nilai spastisitas otot adduktor serta persentasi migrasi panggul yang sudah tercatat sebelumnya. Dilakukan uji korelasi Spearman untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara sudut inklinasi femur dengan spastisitas otot adduktor panggul dan persentasi migrasi panggul.
Hasil : Tidak didapatkan korelasi bermakna antara sudut inklinasi femur dengan spastisitas otot adduktor panggul. Didapatkan kecenderungan peningkatan sudut inklinasi femur yang diikuti dengan peningkatan nilai persentasi migrasi panggul akan tetapi tidak didapatkan pula korelasi bermakna antara sudut inklinasi femur dengan persentasi migrasi panggul.
Kesimpulan : Tidak didapatkan korelasi secara statistik antara spastisitas otot adduktor panggul dengan sudut inklinasi femur. Hal ini dapat terjadi karena sudut inklinasi femur dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya spastisitas yang dapat terjadi pada kelompok otot yang lain seperti hamstring dan iliopsoas, tidak hanya terjadi pada otot aduktor Didapatkan kecenderungan peningkatan sudut inklinasi femur diikuti dengan peningkatan nilai persentasi migrasi panggul akan tetapi tidak didapatkan korelasi yang bermakna secara statistik. Hal ini dapat terjadi karena persentasi migrasi panggul juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti mobilisasi pasien.

Introduction: Femoral inclination angle is important to assess in people with cerebral palsy as affected by spasticity and increased in people with cerebral palsy who have a risk of subluxation. The femoral inclination angle is also a parameter that is used to see the progression of the disease and therapeutic response. This study aims to investigate the correlation of femoral inclination angle with hip adductor muscle spasticity and pelvic migration percentage of people with cerebral palsy.
Methods: A cross-sectional analytic study used secondary data pelvic radiographs of 30 people with cerebral palsy who went to the clinic of Physical Medicine and Rehabilitation Hospital Ciptomangunkusumo. From the measured value of the data radiographic pelvic inclination angle and the value associated with the adductor muscle spasticity as well as the percentage of migration of the pelvis that has been recorded previously. Spearman correlation test was done to determine whether there is a relationship between the angle of inclination of the femur to the pelvis and the adductor muscle spasticity migration percentage pelvis.
Results: There were no significant correlation between the inclination angle of the femur to the pelvis adductor muscle spasticity. Obtained trend of increasing the angle of inclination of the femur, followed by the percentage increase in the value of pelvic migration but not found also significant correlation between the inclination angle of the femur to the pelvis migration percentage.
Conclusion: There were no statistically significant correlation between the adductor muscle spasticity pelvis at an inclination angle of the femur. This can happen because of the angle of inclination of the femur is affected by several factors, one of which spasticity that may occur in other muscle groups such as the hamstring and iliopsoas, not only in the adductor muscle Obtained trend of increasing inclination angle of the femur followed by the percentage increase in the value of pelvic migration but not correlations were statistically significant. This can happen because the percentage of pelvic migration is also influenced by other factors such as the mobilization of the patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Melda Lamtiur
"Latar belakang: Kanker rektum merupakan keganasan pada bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus. Terapi bedah merupakan modalitas utama untuk kanker stadium dini. Metode anterior resection saat ini merupakan standar baku terapi pembedahan pada kanker rektum. Metode ini merupakan sphincter-preserving surgery yang dapat mengurangi risiko dilakukannya kolostomi permanen. Sebesar 60-80% pasien mengalami gejala disfungsi usus besar setelah prosedur pembedahan tersebut. Biofeedback dideskripsikan sebagai penggunaan sebuah instrumen untuk mengubah proses fisiologis menjadi lebih jelas kepada pengguna dengan memberikan respon visual dan atau auditori yang spesifik sebagai representasi dari proses tersebut, yang bertujuan untuk meningkatkan respon tertentu. Diharapkan pemberian latihan penguatan otot dasar panggul dengan biofeedback memberikan hasil signifikan terhadap perbaikan kekuatan otot dasar panggul. Metode: Penelitian ini merupakan studi acak terkontrol pada 24 subjek dengan kanker rektum pasca-pembedahan angkat tumor berusia 40-70 tahun, sebagian masih terpasang stoma. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol yang melakukan latihan penguatan otot dasar panggul 3 kali 20 repetisi per hari untuk masing- masing fast twitch dan slow twitch. Kelompok intervensi mendapat latihan yang sama ditambah penguatan otot dasar panggul menggunakan pressure biofeedback Myomed 932 setiap minggu. Penelitian berlangsung 4 minggu. Penilaian kekuatan otot dasar panggul dilakukan secara subjektif dengan skala Oxford dan secara objektif dengan manometer biofeedback. Hasil: Terdapat peningkatan kekuatan otot dasar panggul yang signifikan pada kelompok kontrol (p=0,000) dan intervensi (p=0,000) setelah 4 minggu. Dan kelompok intervensi memiliki kekuatan akhir otot dasar panggul yang lebih baik (p=0,01). Kesimpulan: Latihan pressure biofeedback otot dasar panggul selama 4 minggu pada pasien kanker rektum pasca-pembedahan, kemoterapi, radioterapi memberikan efek peningkatan kekuatan otot dasar panggul yang secara statistik lebih signifikan dibandingkan dengan terapi standar.

Background: Rectal cancer is a cancer in last part of the colon before the anus. Surgery is the main treatment in early stage. Anterior resection method is the gold standard for surgery in rectal cancer. This method is a sphincter-preserving surgery that can reduced risk of permanent colostomy. 60-80% patient had colon disfunction after this surgery method. Biofeedback is an instrumental use to change physiologic process becomes clearer for the user by giving visual and or auditory response as a representative of the process. Using biofeedback in pelvic floor muscle exercise is expected to give a better result in increasing pelvic floor muscle contraction. Method: This is a randomized controlled trial study including 24 subjects with post-surgery, chemotherapy, radiotherapy age 40-70 years old, some still in stoma use. Subjects were divided into 2 groups, control group with pelvic floor muscles exercise three times per day, every day, with 20 repetitions of fast and slow twitch exercise. The intervention group got the same exercise and pelvic floor muscles exercise using pressure biofeedback Myomed 932 every week. This study is done for 4 weeks. The pelvic floor muscles contraction was measured using manometer biofeedback and Oxford scale. Result: There is significant increase in pelvic floor muscle contraction in control (p=0,000) and intervention (p=0,000) group after four weeks. The intervention group had a better pelvic floor muscle contraction (p=0,01). Conclusion: Pelvic floor muscles exercise using pressure biofeedback for 4 weeks in rectal cancer patients post-surgery, chemotherapy, and radiotherapy gave better effect in muscles contraction regarding the standar therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library