Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devi Dian Sari
"ABSTRAK Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, salah satu diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak dalam bentuk obstruction of justice yang dilakukan oleh advokat. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya mempunyai hak imunitas, yakni hak untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Namun dalam praktiknya hak imunitas tersebut seperti tidak ada gunanya selama perbuatan advokat memenuhi unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana seperti obstruction of justice, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pengaturan dan penerapan hak imunitas advokat sebagai pelaku obstruction of justice, serta praktik penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah segala perbuatan yang dimaksudkan dengan mencegah, mengganggu, menghalangi, atau menggagalkan proses peradilan. Hak imunitas advokat diatur dalam Pasal 14 hingga Pasal 16 Undang-Undang Advokat, akan tetapi dalam praktiknya advokat sebagai pelaku obstruction of justice tetap dapat dimintai pertanggungjawabannya terlepas dari hak imunitas yang dimilikinya. Serta penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat dari kasus Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof dan Fredrich Yunadi. 

ABSTRACT
Eradication of corruption in Indonesia still faces many obstacles, one of them is resistance from various parties in the form of obstruction of justice carried out by advocates. Advocates in carrying out their professional duties have the right to immunity, namely the right not to be prosecuted both in civil or criminal terms. However, in practice the right of immunity is useless as long as an advocate's actions fulfill the elements of the article in a criminal provision such as obstruction of justice, so that it creates legal uncertainty for advocates in carrying out their professional duties. This research is aimed at knowing and understanding forms of obstruction of justice in Indonesian laws and regulations, especially in eradicating criminal acts of corruption, regulation and the application of the rights of immunity of advocates as subject of obstruction of justice, as well as law enforcement practices against lawyers as subject of criminal acts of obstruction of justice in cases of corruption. In this study, the type of research used was normative juridical using a historical, legal and conceptual approach. The results of the study concluded that the form of obstruction of justice in the laws and regulations in Indonesia is all actions intended to prevent, interfere, obstruct, or frustrate the judicial process. The rights of the advocate's immunity are regulated in Article 14 to Article 16 of the Law on Advocates, but in practice advocates as subject of obstruction of justice can still be held accountable regardless of the right of immunity they have. And law enforcement for lawyers as obstruction of justice subject in cases of corruption has been committed in Indonesia, can be seen from the case of Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof and Fredrich Yunadi.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Sigit Sukadi
"Undang-Undang Migas yang baru merupakan sarana atau instrumen untuk antisipasi liberalisasi pengusahaan minyak dan gas telah mendorong Pertamina melakukan pembenahan organisasi melalui serangkaian kegiatan restrukturisasi guna merumuskan dan memutuskan bentuk ideal organisasi bisnis. Dengan menggunakan suatu strategic planning yang dinamakan scenario planning, Pertamina berusaha untuk mengantisipasi faktor yang menghambat pelaksanaan restrukturisasi dengan cara melihat dinamika berdasarkan scenario/kemungkinan dari seluruh aspek usaha dimasa depan dalam kondisi liberalisasi dan persaingan usaha.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti tantangan utama yang dihadapi dalam proses restrukturisasi Pertamina, khususnya dalam memposisikan elemen-elemen bisnisnya dan menganalisis sejauh mana prospek daya saing bisnis tersebut dalam mewujudkan cita-cita menjadi satu perusahaan minyak kelas dunia.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif eksploratif Partisipan yang dilibatkan dalam penelitian ini mencakup beberapa pejabat yang berkompeten dalam bidangnya, termasuk didalamnya anggota tim yang ditunjuk sebagai tim restrukturisasi serta beberapa sampel pekerja yang dapat mewakili seluruh pekerja.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis matriks pertumbuhan pangsa pasar (BCG growth- share matrix) dan analisis komparatif terhadap faktor kompetensi yang dimiliki. Dari hasil analisa terlihat bahwa tantangan yang dihadapi Pertamina cukup berat seperti tergambar dari posisi masing-masing portofolio usaha, yakni di posisi kuadran kanan bawah untuk portofolio usaha minyak dan gas, di kuadran kiri bawah untuk usaha LNG dan di kuadran kanan atas untuk portofolio usaha bidang hilir. Sedangkan dari hasil analisis komparatif terlihat pula bahwa kompetensi Pertamina masih jauh dibandingkan perusahaan minyak kelas dunia. Hambatan eksternal yang dihadapi utamanya berasal dari kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah sedangkan hambatan internal berupa keterbatasan sumber daya yang dimiliki dan budaya yang cenderung lamban dan birokratis.
Guna mendukung percepatan terwujudnya visi Pertamina, disarankan untuk mendefinisikan kembali peran Pemerintah dalam pengaturan pengusahaan minyak dan gas, memfokuskan usaha pada produk gas khususnya LNG, melakukan sinergi dalam mata rantai nilai energi serta meminimalkan risiko dalam perdagangan energi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12176
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulkan Azhary
"Pendahuluan: Asma merupakan suatu penyakit yang bersifat heterogen dan ditandai oleh inflamasi jalan napas kronik dengan gejala mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bersifat bervariasi dalam intensitas dan waktu serta disertai dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi. Obstructive sleep apnea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang jalan napas atas saat tidur yang menyebabkan berkurang atau berhentinya aliran udara walaupun sedang dalam keadaan bernapas yang dapat mengakibatkan gangguan pertukaran gas secara intermiten dan tidur yang terganggu. Berbagai studi sebelumnya telah mendapatkan hubungan antara asma dan OSA akibat keparahan asma yang diderita.
Tujuan: Mengetahui perbedaan keadaan inflamasi dengan penilaian kadar fractional- exhaled nitric oxide (FeNO) di antara kelompok derajat obstructive sleep apnea (OSA) pada penderita asma persisten rawat jalan.
Metode: Penelitian ini telah melibatkan sebanyak 13 orang penderita asma persisten sedang yang berobat di poli asma yang menjalani skrining kuesioner STOP-BANG dan spirometri, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan polysomnography dan pengukuran FeNO.
Hasil: Pasien asma persisten sedang didominasi oleh pasien perempuan dengan rerata usia 48,38+12,494 tahun. Sebanyak 53,85% pasien memiliki berat badan obese dengan rerata 28,67+7,385 kg/m2. Median skor ACT 17 (7-23) dengan 61,46% pasien memiliki skor ACT yang tidak terkontrol. Rerata nilai VEP1 prediksi 70,38+20,230% dengan 61,54% pasien menunjukkan obstruksi sedang. Rerata rasio VEP1/KVP 72,85+12,681% dengan 53,85% pasien menunjukkan rasio VEP1/KVP obstruksi. Median skor STOP-BANG 4 (3-
6) dengan 53,85% pasien menunjukkan risiko sedang. Rerata kadar FeNO 29,62+9,152 ppb dengan 76,92% pasien memiliki kadar FeNO 25-50 ppb. Rerata AHI 11,39+18,222 kejadian/jam dengan 76,92% pasien menunjukkan AHI derajat ringan. Pasien asma persisten sedang dominan menunjukkan kadar FeNO 25-50 ppb dengan skor ACT tidak terkontrol berdasarkan derajat AHI dan risiko STOP-BANG. Pasien asma persisten sedang dominan menunjukkan nilai VEP1 prediksi obstruksi sedang dan rasio VEP1/KVP obstruksi berdasarkan risiko STOP-BANG. Pasien asma persisten sedang dominan menunjukkan nilai VEP1 prediksi obstruksi sedang dan rasio VEP1/KVP obstruksi berdasarkan derajat AHI.
Kesimpulan: Pasien asma persisten sedang memiliki skor STOP-BANG risiko sedang dan OSA derajat ringan dengan kadar FeNO 25-50 ppb, skor ACT tidak terkontrol, nilai VEP1 prediksi obstruksi sedang dan rasio VEP1/KVP obstruksi.

Introductions: Asthma is a heterogeneous disease manifested by airway inflammation and wheezing, dyspnea, breathlessness and cough which are varied in intensity and time accompanied with variably restricted expiratory airflow. Obstructive sleep apnea (OSA) is manifested by repeated airway collapse or deceased airflow despite breathing causing the impaired gas exchange intermittently and sleep disorder. Some previous studies have correlated between asthma and OSA led by the severity of asthma.
Aims: To reveal the difference of inflammation condition by assessing fractional-exhaled nitric oxide (FeNO) level among graded obstructive sleep apnea (OSA) of persistent asthmatic outpatients.
Methods: This study involved 13 persistent asthmatic patients from asthma policlinic who had been screened using asthma control test (ACT) as well as STOP-BANG questionnaire and spirometry assessment of forced expiratory volume in 1 second (FEV1) and forced vital capacity (FVC), then the elective polysomnography and fractional- exhaled nitric oxide (FeNO) measurement.
Results: The moderate persistent asthmatic patients were dominated by female aged 48.38+12.494 years old. There were 53.85% patients presented with obesity whose mean body mass index was 28.67+7.385 kg/m2. The median ACT score was 17 (7-23) of whom 61.46% patients had uncontrolled ACT score. The mean of predicted FEV1 was 70.38+20.230% of whom 61.54% patients showed moderate obstruction. The mean of FEV1/FVC ratio was 72.85+12.681% of whom 53.85% patients showed obstruction of FEV1/FVC ratio. The median STOP-BANG score was 4 (3-6) of whom 53.85% patients showed moderate risk. The mean of FeNO level was 29.62+9.152 ppb of whom 76.92% patients had FeNO level ranging 25-50 ppb. The mean of apnea hypopnea index (AHI) was 11.39+18.222 events/hour of whom 76.92% patients showed the mild grade of AHI. The moderate persistent asthmatic patients mostly showed FeNO level ranging 25-50 ppb whose uncontrolled ACT score based on both grade of AHI and risk of STOP- BANG. The moderate persistent asthmatic patients showed moderate obstruction of predicted FEV based on risk of STOP-BANG. The moderate persistent asthmatic patients mostly showed moderate obstruction of predicted FEV1 and obstruction of FEV1/FVC ratio based on grade of AHI.
Conclusions: The moderate persistent asthmatic patients showed the moderate risk of STOP-BANG score and mild grade of AHI as well with FeNO 25-50 ppb, uncontrolled ACT, moderate obstruction of predicted FEV1 and obstructive FEV1/FVC ratio.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Paramaswara
"Persoalan korupsi di Indonesia ini juga menjadi salah satu jenis kejahatan yang sangat sulit dideteksi karena melibatkan kerjasama dengan pihak lain dan sudah mengakar yang tertuang dalam praktik obstruction of justice. Oleh karena itu, diperlukan analisis mendalam mengenai hal tersebut. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis delik obstruction of justice menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan peran penyidik Polri dalam melakukan penegakan hukum terhadap obstruction of justice sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Teori yang dipergunakan adalah teori kriminalisasi, teori kesengajaan, teori penegakan hukum, dan teori peran. Metode penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan kulitatif. Data yang dipergunakan adalah data primer yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara, dan data sekunder yang diproleh melalui studi dokumen. Teknik analisis data mempergunakan metode triangulasi data yang
ditindaklanjuti dengan reduksi data, sajian data dan verifikasi data.
Hasil penelitian menunjukkan alasan delik obstruction of justice menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena adanya pertentangan terhadap asas yang fundamental dalam hukum pidana, yang mana berbagai bentuk pertentangan ini berupa segala upaya yang dilakukan dalam bentuk pembangkangan terhadap fungsi instrumentasi asas legalitas karena dianggap menunda, menghalangi, atau mengintervensi aparat penegak hukum yang sedang memproses saksi, tersangka, atau terdakwa dalam suatu perkara dalam proses peradilan yang sering terjadi dalam peradilan tindak pidana korupsi, sehingga keberadaan peraturan obstruction of justice secara jelas tertuang di dalam penjelasan lebih lanjut di dalam pengarutan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Peran penyidik Polri dalam penanganan obstruction of justice pada tindak pidana korupsi selama ini kurang maksimal karena selama ini penyidik cenderung mengesampingkan adanya tindak pidana lain (obstruction of justice) yang menyertai penyidikan kasus korupsi tersebut, penyebabnya adalah karena mereka merasa cukup kelelahan di dalam penyidikan tindak pidana korupsi sehingga mereka dengan tidak sengaja mengesampingkan adanya tindaka obsruction of justice yang ada disekelilingnya.

The problem of corruption in Indonesia has also become a type of crime that is very difficult to detect because it involves cooperation with other parties and is deeply rooted in the practice of obstruction of justice. Therefore, an in-depth analysis is needed on this matter. The purpose of this study is to analyze the offense of obstruction of justice as a crime regulated in the Corruption Act and the role of Polri investigators in enforcing the law against obstruction of justice as referred to in Article 21 of the Corruption Crime Eradication Act.
The theories used are criminalization theory, intentional theory, law enforcement theory, and role theory. This research method was carried out through a qualitative approach. The data used are primary data obtained through observation and interviews, and secondary data obtained through document studies. The data analysis technique used the data triangulation method which was followed up with data reduction, data presentation and data verification.
The results of the study show that the reason for the offense of obstruction of justice to become a crime regulated in the Corruption Crime Act is due to the conflict with the fundamental principles of criminal law, in which various forms of conflict are in the form of all efforts made in the form of defiance of the function of the instrumentation principle. legality because it is considered to delay, obstruct, or intervene in law enforcement officials who are processing witnesses, suspects, or defendants in a case in the judicial process which often occurs in corruption trials, so that the existence of obstruction of justice regulations is clearly contained in a further explanation in drafting the Corruption Crime Act. The role of Polri investigators in handling obstruction of justice in corruption crimes has so far not been optimal because investigators have tended to rule out the existence of other crimes (obstruction of justice) accompanying the investigation of these corruption cases, the reason is because they feel quite exhausted in investigating criminal acts. corruption so that they unintentionally rule out the obstruction of justice that surrounds them.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, David R. S.
"Based on its relation to the liver sinusoid, increased pressure of portal vein can occur at three levels: presinusoid, sinusoid ,and postsinusoid. Obstruction of the presinusoid veins can be caused by extra-hepatic condition such as venous thrombosis.
We reported a case of portal hypertension with esophageal varices bleeding was a result of obstruction due to thrombosis of the splenic vein and portal vein under hypercoagulant conditions due to thrombocyto-sis. The management of esophageal varices was sclerotherapy while for overcome the thrombosis the patient was given hydroxy urea.
"
The Indonesia Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy, 2002
IJGH-3-1-April2002-24
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Woro Paramyta
"ABSTRAK
Sumbatan hidung merupakan keluhan tersering yang ditemukan pada praktek THT sehari-hari. Penyebab sumbatan hidung multifaktorial dan dapat disebabkan faktor struktural ataupun mukosa. Pemeriksaan sumbatan hidung dapat dilakukan secara subjektif dan objektif. Hidung tersumbat juga dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup seseorang. Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan antara pemeriksaan subjektif menggunakan kuisioner Nasal Obstruction and Symptom Evaluation NOSE , dan secara objektif menggunakan Peak Nasal Inspiratory Flowmeter PNIF dan Rinomanometri Aktif Anterior untuk mendiagnosis sumbatan hidung pada subjek dengan deformitas hidung. Deformitas hidung yang masuk dalam penelitian ini adalah, crooked nose, saddle nose, gangguan katup hidung dan septum deviasi. Penelitian ini juga akan mencari hubungan sumbatan hidung terhadap kualitas hidup berupa sleep disordered breathing. Penelitian ini adalah penelitian studi potong lintang dengan desain analitik pada 52 percontoh deformitas hidung dan 10 percontoh normal yang diambil secara berurutan. Analisis data dilakukan dengan pendekatan Bootstrap. Tahanan hidung populasi normal pada penelitian ini didapatkan sebesar 0,172 Pa/cm3/detik, dan pada populasi deformitas hidung sebesar 0,173 Pa/cm3/detik. Hasil dari penelitian ini didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara NOSE dan PNIF serta NOSE dengan rinomanometri. Didapatkan adanya hubungan bermakna antara pemeriksaan PNIF dan rinomanometri aktif anterior.
ABSTRACT Nasal obstruction is the most common symptom in daily practice. Etiology of nasal obstruction is multi factorial and can be caused by mucosal or structural factors. Nasal obstruction also correlate with quality of life. There was subjective and objective evaluation to diagnose nasal obstruction. This study aim to evaluate the correlation between Nasal Obstruction and Symptom Evaluation NOSE questionnaire, Peak Nasal Inspiratory Flowmeter PNIF and Active Anterior Rhinomanometry to diagnose nasal obstruction in nasal deformity. Nasal deformity that include in this study were crooked nose, saddle nose, nasal valve incompetence, and deviated septum. This study also will examined correlation between nasal obstruction and sleep disordered breathing. This study is cross sectional study with analitic design on 52 subject with nasal deformity, and 10 normal subject taken consecutively with data analyzed with bootstraps method. The result of this study was nasal resistance in normal subject 0,172 Pa cm3 sec and in nasal deformity subject 0,173 Pa cm3 sec on 75 Pa pressure. There is no significant correlation between NOSE score and PNIF value also between NOSE score and rhinomanometry value. There is significant correlation between PNIF and active anterior rhinomanometry."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ramlan Halimi
"Obstruksi ureteropelvico junction (UPJ) didefinisikan sebagai hambatan aliran urin dari pelvis ginjal ke ureter proksimal. Pieloplasti terbuka meurpakan salah satu teknik yang paling sering digunakan untuk mengatasi hidronefrosis yang disebabkan obstruksi UPJ. Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi tingkat kesuksesan dan komplikasi pasca pieloplasti di departemen urologi RSAB Harapan Kita antara tahun 2014 sampai 2017.Ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Data dikumpulkan dari rekam medis pasien anak yang didiagnosa dengan unilateral atau bilateral obstruksi UPJ yang dilakukan pieloplasti terbuka antara 2014-2017 di RSAB Harapan Kita. Dari 16 pasien, 10 pasien anak laki laki dan 6 pasien anak perempuan, dengan 56,25% berusia kurang dari 1 tahun. Semua pasien didiagnosa dengan USG, 81,25% menunjukkan unilateral obstruksi UPJ. Preoperative diameter pyelum >30mm pada 81,25% pasien, dan 87,50% pasien di operasi karena hidronefrosis yang progresif. Preoperatif nephrostomy dilakukan pada 62,5% pasien, dan semua pasien yang dilakukan teknik Anderson-Hynes pyeloplasty, dilakukan insersi DJ stent. Komplikasi setelah operasi berupa demam (15,7%), dan urosepsis (10,5%). Diameter pyelum postoperative setelah pelepasan DJ stent sebesar >30 mm pada bulan ke 1 dan ke 3, dan < 20 mm pada bulan ke 6 (77.78%).Anderson-Hynes Pyeloplasty (Dismembered pyeloplasty) merupakan teknik yang sering dipilih dalam mengeatasi obstruksi UPJ dengan 94% tingkat kesuksesannya. Komplikasi yang paling sering muncul adalah demam. Penelitian lebih lanjut dengan sampel penelitian yang lebih banyak dan periode evaluasi yang lebih panjang diperlukan untuk konfirmasi kesimpulan dari penelitian ini.

UPJ obstruction defined as narrowing of uretero-pelvic junction that obstructs urine flow from renal pelvis to proximal ureter. Open pyeloplasty is one of the most common techniques used to treat hydronephrosis caused by UPJ obstruction. The aim of this study is to evaluate success rate and complications post pyeloplasty in Urology Department of Harapan Kita Mother and Children Hospital between 2014 to 2017. This is a descriptive study with retrospective approach. Data were collected from medical records of pediatric patients diagnosed with either unilateral or bilateral UPJ-Obstruction underwent open pyeloplasty between 2014 to 2017 in Harapan Kita Mother and Children Hospital. From 16 patients, 10 were boys and 6 were girls, with 56.25% aged <1 years old. All patients were diagnosed with USG, 81.25% of which showed unilateral UPJ obstruction. Pre-operative pyelum diameter was >30 mm in 81.25% patients, and 87.50% patients were operated due to progressive hydronephrosis. Pre-operative nephrostomy were done in 62.5% patients, and all patients undergone the same Anderson-Hynes pyeloplasty technique with insersion of double J stents. Complications after surgery were fever (15.7%) and urosepsis (10.5%). Post-operative pyelum diameter after double J stent removal were > 30 mm in 1 & 3 month, and < 20 mm in 6 months(77.78%). Anderson-Hynes Pyeloplasty (Dismembered pyeloplasty) is the preferred technique used to treat UPJ obstruction with 94.8% success rate, with fever as the most common complication. Research with more samples and evaluation time is needed to confirm conclusion of this study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58595
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elyas Aditya Pradana
"

Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesesuaian antara dacryoscintigraphy dibandingkan dacryocystography sebagai pemeriksaan penunjang pada pasien obstruksi duktus nasolakrimal primer didapat (PANDO). Penelitian ini merupakan suatu studi diagnostik pada pasien tersangka PANDO dengan epiphora yang datang ke poliklinik Plastik dan Rekonstruksi RSCM Kirana. Pasien tersebut selanjutnya dikirim ke Departemen Radiologi untuk pemeriksaan dacryoscintigraphy dan dacryocystography. Selanjutnya dengan observasi dan kuesioner dinilai efek samping dan kenyamanan terhadap kedua pemeriksaan.

 

Penelitian ini merekrut 31 subjek (62 mata). Melalui tes irigasi dan sondase didapatkan 47 mata tersangka PANDO. Sebanyak 87.1% subjek berjenis kelamin perempuan, dengan kelompok umur terbanyak (74.2%) yaitu >40 tahun. Pada pemeriksaan dacryoscintigraphy, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai sakus yaitu 0 menit, duktus (5 menit), dan kavum nasi (12.5 menit). Nilai kesesuaian antara kedua pemeriksaan dalam menentukan ada atau tidaknya obstruksi sebesar 83.8% (strong agreement), sedangkan dalam menentukan letak obstruksi sebesar 70.9% (agreement).

 

Pada pemeriksaan dacryoscintigraphy tidak ditemukan adanya efek samping, sedangkan pada dacryocystography, terdapat 2 pasien yang menunjukan hiperemis konjungtiva. Terdapat 22 subjek mengeluhkan nyeri saat pemeriksaan dacryocystography, sedangkan tidak ada subjek yang mengeluhkan nyeri saat pemeriksaan dacryoscintigraphy (p<0.005). Sebanyak 16 subjek menyatakan dacryoscintigraphy lebih nyaman, 11 subjek menyatakan dacryocystography lebih nyaman, sedangkan 4 subjek menyatakan kedua pemeriksaan sama nyamannya. Dacryoscintigraphy memiliki nilai kesesuaian yang baik dengan dacryocystography dalam menentukan ada atau tidak obstruksi dan menentukan letak obstruksi pada pasien PANDO. Kedua pemeriksaan tersebut mempunyai tingkat kenyamanan yang sama, namun pemeriksaan dacryocystography dirasakan lebih nyeri sewaktu atau durante tindakan dibandingkan dengan dacryoscintigraphy.


This study aims to assess conformity of dacryoscintigraphy compared to dacryocystography as supporting assessment in patient with primary acquired nasolacrimal duct obstruction (PANDO). This diagnostic study performed in PANDO with epiphora complaint whose visiting RSCM Kirana Plastic and Reconstruction Division. Subsequently, subjects were sent to Radiology Department for dacryoscintigraphy and dacryocystography examinations. After the examination, observation and questionnaire assessed the side effects and comfort of both examinations.

This study recruited 31 subjects (62 eyes). Through irrigation and probing, there were 47 eyes found with PANDO. As much as 87.1% subjects were female, with mostly (74.2%) aged >40 years old. With dacryoscintigraph, time needed to reach sac was 0 minutes, duct was 5 minutes, and nasal cavum was 12.5 minutes. Conformity value between the two examinations in detecting obstruction was 83.8%, meanwhile in detecting the location of obstruction was 70.9%.

With dacryoscintigraph, there were no side effects found. Meanwhile with dacryocystograph, there were 2 patients found with conjunctival hyperemia. There were 22 subjects complaining with pain at dacryocystograph examination, while there were none at dacryoscintigraph examination (p<0.005). Sixteen subjects feel dacryoscintigraph examination was more convenient, eleven subjects feel dacryocystohraph examination was more convenient, while 4 subjects feel the two examinations just as convenient.

Dacryoscintigraph has good conformity value with dacryocystograph examination in detecting obstruction and defining the location in PANDO patients. Both examinations have high convenience level, even though dacryocystograph was more painful at the examination than dacryoscintigraph.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnil Mubarak
"Pendahuluan dan tujuan: Obstruksi pada persimpangan ureteropelvic dapat ditangani dengan pembedahan atau laparoskopi. Laparoskopi pieloplasti (LP) menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada pembedahan. Penelitian ini bertujuan untuk melaporkan pengalaman pertama dari laparoskopi pieloplasti sebagai penanganan pada UPJO. Bahan dan metode: Pengumpulan data retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Adam Malik, Medan dari tahun 2017 hingga 2019. Pasien didiagnosa dengan UPJO melalui renogram atau CT Scan dan gejala yang muncul ditawarkan untuk dilakukan LP sebagai pilihan terapi. Surat persetujuan didapatkan setelah adanya penjelasan terkait resiko, alternative dan ilmu baru dari Teknik laparoskopi. Status selama operasi, yakni lama operasi, kehilangan darah, serta segala luaran yang negative, dilakukan pencatatan. Hasil: didapatkan total 10 pasien yang dilakukan LP dengan usia rerata adalah 6.10 (+ 3.64) tahun; pria dan wanita didapatkan sebanyak delapan (80%) dan dua (20%). Rata-rata waktu operasi adalah 291,00(+22,828) menit, sedangkan jumlah kehilangan darah selama operasi adalah 56.00 (+18,97)ml, dan lama perawatan adalah 5,7(+0,95) hari. Rerata waktu yang dibutuhkan untuk melakuakn aktifitas kembali adalah 7,30(+0,95) hari. Tiak ditemuan komplikasi setelah operasi pada seluruh pasien. Kami melakukan evalausi dengan USG dan menemukan adanya hidronefrosis ringan pada enam pasien (60%) dan sedang pada empat pasien (40%). Kesimpulan: Dari pengalaman pertama melakukan LP, Teknik ini ditemukan berpotensi sebagai terapi pilihan untuk pieloplasti pada kasus UPJO. Kami menemukan hasil yang sebanding dengan penelitian lain dalam hal waktu operasi dan jumlah kehilangan darah selama operasi yang lebih baik. LP dapat digunakan sebagai opsi lini pertama pada penanganan UPJO.

Introduction and objectives: Ureteropelvic junction obstruction (UPJO) can be treated with surgery or laparoscopy. Laparoscopic pyeloplasty (LP) has been shown to provide better results than surgery. This study aims to report our first experience of laparoscopy pyeloplasty as the management of UPJO. Materials and methods: Retrospective data collection were done in Adam Malik General Hospital, Medan from 2017 to 2019. Patients with UPJO diagnosed by renogram or CT scan and symptoms were offered LP as the treatment option. Informed consent was obtained after explanation about risks, alternatives, and novelty of the laparoscopic technique. Intraoperative status, including duration of operation, blood loss, and all negative outcome, was documented.

Results: A total of 10 patients underwent LP with the average of age was 6.10 (± 3.64) years old; male and female patients were eight (80%) and two (20%). The mean of operation time was 291.00 (±22.828) minutes, while intraoperative blood loss was 56.00 (±18.97) mL, and the length of stay was 5.70 (±0.95) days. The average time to perform daily activities was 7.30 (±0.95) days. No postoperative complication was found in all of our patients. We performed an USG evaluation and revealed mild hydronephrosis in six patients (60%) and moderate hydronephrosis in four patients (40%). Conclusion: From our first experience in performing LP, this technique was found to be a potential treatment option in pyeloplasty for UPJO. We found the comparable result to other studies in term of operative times and a better intraoperative blood loss. LP could be used as the first line option for management of UPJO."

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gloria Lola Frederika
"Tugas karya akhir ini membahas kasus rekayasa rekam medis yang dilakukan oleh dokter X guna menghambat berjalannya proses penyidikan KPK dalam tindak pidana korupsi e-KTP pada tahun 2018. Pembahasan dilakukan dengan menganalisis elemen obstruction of justice yang dikemukakan oleh Isra et al. dan kriteria dari professional occupational crime milik Green dalam kasus tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa rekayasa rekam medis yang dilakukan oleh dokter X merupakan obstruction of justice dan memenuhi kriteria sebagai salah satu bentuk kejahatan yang termasuk dalam kategori professional occupational crime.

The focus of this paper is the falsification of medical records by doctor X in order to obstruct the KPK's investigation on the e-KTP corruption in 2018. The study was carried out by analyzing the elements of obstruction of justice proposed by Isra et al. and the criteria of Green's professional occupational crime found in the case. The results show that the falsification of medical record by doctor X is an act of obstructing justice and meets the criteria as a form of professional occupational crime."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>