Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meristiana Christiane
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan kelainan tidur yang terjadi secara periodik dan disertai henti napas. OSA pada anak dapat menyebabkan gangguan perilaku, prestasi sekolah yang buruk, komplikasi kardiovaskular atau disfungsi metabolik endokrin. Tatalaksana kasus OSA anak dapat berupa pembedahan ataupun medikamentosa. Perbaikan kualitas hidup OSA pada anak secara subjektif dapat diukur dengan kuesioner OSA 18 dan secara objektif dengan pemeriksaan polisomnografi. Tujuan: Mengetahui efektivitas terapi tonsiloadenoidektomi pada OSA anak dibandingkan dengan terapi Mometasone Furoate. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis dengan alokasi acak dua kelompok melibatkan 20 subjek, dengan 10 subjek terapi tonsiloadenoidektomi dan 10 subjek menggunakan Mometasone furoate. Analisis dilakukan berdasarkan perubahan skor OSA 18 dan polisomnografi sebelum dan sesudah terapi 6 minggu. Hasil: karateristik jenis kelamin lebih banyak perempuan, dengan rentang usia terbanyak pada kelompok usia 5 hingga 7 tahun, mayoritas tingkat pendidikan sekolah dasar, dengan status gizi subjek berat badan normal (P5%-P85%), rerata lingkar leher adalah 25,28 cm (SB 2,28). Karakteristik pemeriksaan fisik terbanyak adalah hipertrofi tonsil (T3), posisi palatum derajat 2 dan hipertrofi adenoid derajat III berdasarkan pemeriksaan nasoendoskopi serat lentur. Faktor predisposisi alergi pada subjek penelitian didapatkan hasil uji tusuk kulit positif. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan perubahan skor OSA 18, Skala Analog Visual (SAV) dan Apnea Hypopnea Index (AHI) sebelum terapi dan 6 minggu setelah terapi, baik pada kelompok intervensi bedah maupun kelompok Mometasone furoate. Tidak ditemukan perbedaan bermakna nilai saturasi oksigen terendah (Sat O2) sebelum terapi dan 6 minggu setelah terapi pada kedua kelompok. Kesimpulan: Pada OSA anak, kuesioner OSA 18, SAV dan parameter AHI dari polisomnografi dapat digunakan sebagai penilaian efektifitas terapi OSA. Tonsiloadenodektomi dapat menjadi pilihan tatalaksana pembedahan, disamping pemberian Mometasone furoate pada pasien OSA anak yang disertai alergi.
ABSTRACT Background: Obstructive Sleep Apnea is a sleep disorder that occurs periodically and accompanied by respiratory rest. OSA in children can cause behavioral disorders, poor academic perfomance, cardiovascullar, endocrine metabolic complications. Management of OSA in children were operatif and non operatif. Subjectively improvement quality of life can be measured with a questionnaire OSA 18 and objectively by polysomnography examination. Objectives: To determine the effectiveness of the adenotonsilectomy in children with OSA compared with Mometasone furoate therapy. Methods: This study was a clinical trial with random allocation involves two groups of 20 subjects, i.e. 10 subject in adenotonsilectomy group and 10 subjects with Mometasone furoate. The analysis was perfomed based on the changes of OSA 18 scoring and polysomnography before and after 6 weeks therapy. Result: The subject characteristic in this research was more girls, with average age of 5 to 7 years old, education level at primary school, normal body weight, mean neck circumference was 25.28 (2.28). Physical examination characteristic were tonsilar hypertrophy (T3), 2nd stage palatum position, 3rd stage adenoid hypertrophy based on the flexible nasoendoscopy. Allergy predisposing factor in this research showed positive result from skin prick test. There was statistical significant in OSA 18, Visual Analog Scale (VAS), and AHI at before and 6 weeks after treatment, either in surgical group or intranasal corticosteroid group. But there was no significant difference of the lowest oxygen saturation at before treatment and 6 week after treatment in both groups. Conclusions: In children, OSA 18 Questionare, VAS, and AHI from polysomnography parameters can be used as evaluation effectiveness of treatment of OSA. Adenotonsilectomy can be treatment of choice as a surgical option along with intranasal corticosteroid as a treatment consideration for patient OSA with allergic. Keywords: Children OSA, OSA 18 Questionare, AHI, adenotonsilectomy, intranasal corticosteroid.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Kartika Suryani
Abstrak :
Latar belakang: Sindrom Down merupakan kelainan kromosom tersering. Anak dengan SD memiliki beberapa faktor risiko terhadap OSA dengan prevalens di berbagai negara yaitu antara 30-60 , dibandingkan 0,7-2 pada populasi umum. Hingga saat ini belum ada data mengenai OSA pada anak sindrom Down di Indonesia. Tujuan: Mengidentifikasi prevalens OSA pada anak sindrom Down dan menganalisis hubungan antara habitual snoring, obesitas, penyakit alergi di saluran napas, hipertrofi tonsil, dan hipertrofi adenoid sebagai faktor risiko OSA pada anak sindrom Down. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada anak sindrom Down berusia 3-18 tahun yang tergabung dalam Yayasan POTADS. Penelitian dilakukan di Poliklinik Respirologi IKA FKUI RSCM dari bulan Juli 2016 hingga Juli 2017. Penegakkan diagnosis OSA menggunakan nilai batas AHI 3 pada pemeriksaan poligrafi. Faktor-faktor risiko yang dianggap berpengaruh dianalisis secara multivariat. Hasil: Penelitian dilakukan terhadap 42 subjek dengan hasil prevalens OSA pada anak dengan SD sebesar 61,9 . Sebesar 42,9 merupakan OSA derajat ringan, 14,3 OSA sedang, dan 4,8 OSA berat. Pada analisis multivariat didapatkan faktor risiko yang bermakna yaitu habitual snoring p=0,022 dan PR 8,85; IK 1,37-57 dan hipertrofi adenoid p=0,006 dan PR 12,93; IK 2,09-79 . Simpulan: Prevalens OSA pada anak sindrom Down sebesar 61,9 . Faktor risiko yang bermakna yaitu habitual snoring dan hipertrofi adenoid. ......Background Down syndrome DS is the most common chromosomal disorder. Children with DS have predisposing factors to OSA with prevalence 30 60 , compared with 0.7 2 in the general child population. Until now there is no data about OSA in DS children in Indonesia. Objective To identify the prevalence of OSA in DS and to analyze the effect of habitual snoring, obesity, airways allergic diseases, tonsillar hypertrophy, and adenoid hypertrophy as risk factor for OSA. Method This is a cross sectional study, held in Respirology Clinic of IKA FKUI RSCM Jakarta from July 2016 to July 2017. Subjects in this study were DS children aged 3 18 years who are members of the Foundation POTADS Parents Association of Children with Down Syndrome . OSA was diagnosed by polygraphy examination with cutoff AHI ge 3. The risk factors that are considered important are then analyzed multivariately. Results OSA prevalance among 42 subject are 61,9 . Degree of OSA are 42.9 mild, 14.3 moderate, and 4.8 severe. In the multivariate analysis, the significant risk factor are habitual snoring p 0,022 and PR 8,85 CI 1,37 57 and adenoid hypertrophy p 0,006 and PR 12,93 CI 2,09 79 . Conclusion Prevalence of OSA in DS children is 61,9 . The significant risk factor are habitual snoring and adenoid hypertrophy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mulkan Azhary
Abstrak :
Pendahuluan: Asma merupakan suatu penyakit yang bersifat heterogen dan ditandai oleh inflamasi jalan napas kronik dengan gejala mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bersifat bervariasi dalam intensitas dan waktu serta disertai dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi. Obstructive sleep apnea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang jalan napas atas saat tidur yang menyebabkan berkurang atau berhentinya aliran udara walaupun sedang dalam keadaan bernapas yang dapat mengakibatkan gangguan pertukaran gas secara intermiten dan tidur yang terganggu. Berbagai studi sebelumnya telah mendapatkan hubungan antara asma dan OSA akibat keparahan asma yang diderita. Tujuan: Mengetahui perbedaan keadaan inflamasi dengan penilaian kadar fractional- exhaled nitric oxide (FeNO) di antara kelompok derajat obstructive sleep apnea (OSA) pada penderita asma persisten rawat jalan. Metode: Penelitian ini telah melibatkan sebanyak 13 orang penderita asma persisten sedang yang berobat di poli asma yang menjalani skrining kuesioner STOP-BANG dan spirometri, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan polysomnography dan pengukuran FeNO. Hasil: Pasien asma persisten sedang didominasi oleh pasien perempuan dengan rerata usia 48,38+12,494 tahun. Sebanyak 53,85% pasien memiliki berat badan obese dengan rerata 28,67+7,385 kg/m2. Median skor ACT 17 (7-23) dengan 61,46% pasien memiliki skor ACT yang tidak terkontrol. Rerata nilai VEP1 prediksi 70,38+20,230% dengan 61,54% pasien menunjukkan obstruksi sedang. Rerata rasio VEP1/KVP 72,85+12,681% dengan 53,85% pasien menunjukkan rasio VEP1/KVP obstruksi. Median skor STOP-BANG 4 (3- 6) dengan 53,85% pasien menunjukkan risiko sedang. Rerata kadar FeNO 29,62+9,152 ppb dengan 76,92% pasien memiliki kadar FeNO 25-50 ppb. Rerata AHI 11,39+18,222 kejadian/jam dengan 76,92% pasien menunjukkan AHI derajat ringan. Pasien asma persisten sedang dominan menunjukkan kadar FeNO 25-50 ppb dengan skor ACT tidak terkontrol berdasarkan derajat AHI dan risiko STOP-BANG. Pasien asma persisten sedang dominan menunjukkan nilai VEP1 prediksi obstruksi sedang dan rasio VEP1/KVP obstruksi berdasarkan risiko STOP-BANG. Pasien asma persisten sedang dominan menunjukkan nilai VEP1 prediksi obstruksi sedang dan rasio VEP1/KVP obstruksi berdasarkan derajat AHI. Kesimpulan: Pasien asma persisten sedang memiliki skor STOP-BANG risiko sedang dan OSA derajat ringan dengan kadar FeNO 25-50 ppb, skor ACT tidak terkontrol, nilai VEP1 prediksi obstruksi sedang dan rasio VEP1/KVP obstruksi. ......Introductions: Asthma is a heterogeneous disease manifested by airway inflammation and wheezing, dyspnea, breathlessness and cough which are varied in intensity and time accompanied with variably restricted expiratory airflow. Obstructive sleep apnea (OSA) is manifested by repeated airway collapse or deceased airflow despite breathing causing the impaired gas exchange intermittently and sleep disorder. Some previous studies have correlated between asthma and OSA led by the severity of asthma. Aims: To reveal the difference of inflammation condition by assessing fractional-exhaled nitric oxide (FeNO) level among graded obstructive sleep apnea (OSA) of persistent asthmatic outpatients. Methods: This study involved 13 persistent asthmatic patients from asthma policlinic who had been screened using asthma control test (ACT) as well as STOP-BANG questionnaire and spirometry assessment of forced expiratory volume in 1 second (FEV1) and forced vital capacity (FVC), then the elective polysomnography and fractional- exhaled nitric oxide (FeNO) measurement. Results: The moderate persistent asthmatic patients were dominated by female aged 48.38+12.494 years old. There were 53.85% patients presented with obesity whose mean body mass index was 28.67+7.385 kg/m2. The median ACT score was 17 (7-23) of whom 61.46% patients had uncontrolled ACT score. The mean of predicted FEV1 was 70.38+20.230% of whom 61.54% patients showed moderate obstruction. The mean of FEV1/FVC ratio was 72.85+12.681% of whom 53.85% patients showed obstruction of FEV1/FVC ratio. The median STOP-BANG score was 4 (3-6) of whom 53.85% patients showed moderate risk. The mean of FeNO level was 29.62+9.152 ppb of whom 76.92% patients had FeNO level ranging 25-50 ppb. The mean of apnea hypopnea index (AHI) was 11.39+18.222 events/hour of whom 76.92% patients showed the mild grade of AHI. The moderate persistent asthmatic patients mostly showed FeNO level ranging 25-50 ppb whose uncontrolled ACT score based on both grade of AHI and risk of STOP- BANG. The moderate persistent asthmatic patients showed moderate obstruction of predicted FEV based on risk of STOP-BANG. The moderate persistent asthmatic patients mostly showed moderate obstruction of predicted FEV1 and obstruction of FEV1/FVC ratio based on grade of AHI. Conclusions: The moderate persistent asthmatic patients showed the moderate risk of STOP-BANG score and mild grade of AHI as well with FeNO 25-50 ppb, uncontrolled ACT, moderate obstruction of predicted FEV1 and obstructive FEV1/FVC ratio.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kade Yudi Saspriyana
Abstrak :
Tesis ini membahas manfaat pelatihan navigasi kamera laparoskopi di kotak pelvik dalam meningkatkan keterampilan navigasi kamera laparoskopi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) 1 Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Juga untuk mengetahui hubungan faktor umur, jenis kelamin, minat, pendidikan, pengalaman, dan pengetahuan laparoskopi sebelum pelatihan terhadap perubahan keterampilan navigasi kamera laparoskopi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental (pre-post interventional study). Jumlah subyek 23 orang, intervensi berupa pelatihan navigasi kamera laparoskopi menggunakan kotak pelvik. Penilaian dikerjakan sebelum pelatihan, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu setelah pelatihan dengan menggunakan Objective Structured Assessment Of Camera Navigation Skills (OSA CNS) oleh dua orang Konsultan. Analisis data menggunakan perbandingan rerata 2 kelompok berpasangan, yaitu: paired-T test. Hasil penelitian: terdapat perubahan skor OSA CNS sebelum dan setelah penelitian yang bermakna secara statistik, di mana penilaian 3 minggu setelah pelatihan menunjukkan perubahan terbesar. Analisis lebih lanjut didapatkan bahwa jenis kelamin perempuan dan pengalaman merupakan faktor yang berhubungan dengan perubahan keterampilan navigasi kamera laparoskopi setelah pelatihan. Kata kunci: kamera laparoskopi; keterampilan navigasi; OSA CNS; pelatihan
This research objective were to know benefits of laparoscopic camera navigation training in the pelvic box in improving laparoscopic camera navigation skills of participants in the Obstetric and Gynaecology recidency program Faculty of Medicine Universitas Indonesia. Other objective was to find out the relationship between age, sex, interests, education, experience, and laparoscopic knowledge before training on changes in laparoscopic camera navigation skills. This research was experimental study (pre-post interventional study). The number of subjects was 23 samples, the intervention was camera navigation training in the pelvic box. Assesment was carried out before training, 1 week, 2 week, 3 week after traing used Objective structured assessment of camera navigation skills (OSA CNS) by two consultants. Data analysis used mean comparison of 2 pair groups: paired-T test. Results: there was statistically significant different OSA CNS score before and after training, where asessment 3 weeks after training showed the greatest change. Further analysis revealed female gender and low experience were related to changes in laparoscopic camera navigation skills after training. Keywords: laparoscopy camera; navigation skill; OSA CNS; training
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58690
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Rahadian
Abstrak :
Latar belakang: Tanda klinis Pierre Robin Sequence (PRS) meliputi mikrognati, glossoptosis, obstruksi jalan napas atas, dan celah palatal. Adanya sindrom/kelainan penyerta turut berperan terhadap keterlambatan pertumbuhan dan keparahan obstruksi jalan napas. OSA akibat obstruksi jalan napas merupakan kondisi yang umum ditemui pada bayi dengan PRS. Tujuan: Untuk mengetahui gambaran morfologi mandibula dan risiko OSA pada pasien PRS di RSAB Harapan Kita Metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan desain potong lintang. Sebanyak 11 pasien PRS memenuhi kriteria seleksi penelitian ini. Data usia, sindrom/kelainan penyerta, riwayat sesak napas saat lahir diperoleh dari rekam medik. Sefalometri yang diperoleh diukur panjang mandibula, tinggi ramus, panjang body mandibula, dan sudut gonial. Pasien juga dievaluasi risiko OSA dengan menggunakan kuesioner Brouillette. Hasil: Panjang mandibula, panjang body mandibula, dan sudut gonial berbeda bermakna antara grup usia pengambilan sefalometri 5 tahun dan 10 tahun. Panjang mandibula berbeda bermakna antara grup pasien PRS non sindromik dan sindromik. Tidak ada perbedaan bermakna risiko OSA berdasarkan usia pasien maupun status sindrom. Riwayat sesak napas saat lahir berkorelasi dengan morfologi mandibula, namun tidak berkorelasi dengan risiko OSA. Kesimpulan: Kondisi mikrognati yang persisten menunjukkan tidak ada catch up growth pada pasien penelitian ini. Sindrom/kelainan penyerta turut mempengaruhi pertumbuhan mandibula. Sesak napas saat lahir sebagai gejala klinis dari obstruksi jalan napas atas tidak berperan terhadap risiko OSA. ......Background: Clinical signs of Pierre Robin Sequence (PRS) including micrognathy, glossoptosis, upper airway obstruction, and palatal cleft. The presence of sydrome contributes to the growth and severity of airway obstruction. Obstructive Sleep Apnea (OSA) related to airway obstruction is common condition in infants with PRS. Objective: To know mandibular morphology and risk of OSA in patients at RSAB Harapan Kita. Methods: This research is a retrospective study. A total of 11 patients met the selection criteria of this study. Data on age, associated syndrom, history of breath difficulties at birth were obtained from medical records. The cephalometry were measured mandibular length, ramus height, mandibular body length, and sudut gonial. Patients were also evaluated for risk of OSA using brouillette questionnaire. Results: Mandibular length, mandibular body length, and sudut gonial differed significantly between the 5 years and 10 years cephalometric collection age groups. Mandibular length differed significantly betweenn the nonsyndromuc and syndromic PRS. There was no significant difference in OSA risk based on the patient’s age or syndrome status. History of breath difficulties at birth was correlated with mandibular morpholgy, but it was not correlated to risk of OSA. Conclusion: Persistent micrognathic showed no catch up growth in the patients of PRS in this study. Associated syndrome or disorder affected the growth of the mandible. History of breath difficulties at birth as a clinical symptom of upper airway obstruction did not contribute to risk of OSA.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Gede Panca Wiadnyana
Abstrak :
Latar belakang: Profesi pengemudi taksi merupakan profesi yang unik, lingkungan kerja luas, jam kerja panjang, sistem pcnggajian yang fluktuatif, dan risiko kecelakaan di jalan raya. Pada PT X 60% kccelakaan dikarenakan mengantuk. Salah satu penyebab kondisi mengantuk adalah adanya kemungkinan obstructive sleep apnea (OSA). Bcbcrapa faktor risiko kemungkinan OSA seperti kegemukan dan hipertensi dijumpai pada pengemudi PT X. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional pada pengemudi taksi X Mampang Jakana Selatan, pada bulan November»Desember 2008. Pengumpulan dilakukan dengan pengisian Kuesioner Berlin, dan pemeriksaan fisik (tekanan darah, bcrat, badan, tinggi badan, dan lingkar leher) pada 280 orang pengemudi. Hasil: Jumlah responden sebanyak 280 orang, didapatkan 70 orang (25%) kemungkinan OSA. Kemungkinan OSA pada pengemudi dipcngaruhi olch bcbcrapa faktor yaitu: IMT 325 (acyusred OR 4.29, p <0.001, 95% Cl 2.04 - 9.05) riwayat keluarga mendengkur (aafiusled OR 2,34, p <0.00l, 95% Cl 1.45 - 3.78), lingkar leher 3 40 cm (afyusred OR 3.37, p 0.002, 95% Cl 1.58 - 7.19), umur 3 36 tahun (argusted OR 2.47, p 0.027, 95% CI I.ll - 5.48) dan jadwal keija tinggi (ac§usted OR 3.07, p 0.0l6, 95% Cl L23 - 7.66). Kesimpulan: Didapat prevalensi kemungkinan OSA pada pengemudi Taksi X sebesar 25%. Kemungkinan OSA pada pcngcmudi Taksi X dipengaruhi oleh faktor indeks massa tubuh 325, riwayat keluarga mendengkur, Iingkar leher 540 cm, umur 336 tahun serta jadwal kerjatinggi. ......Background: Taxi Driver is an unique profession because of the wide environment, the long hours working duration, the fluctuation wages, and the accidental risks. About 60% taxi's accidents in Company X were caused by sleepy conditions. Sleepy conditions may be caused by obstructive sleep apnea (OSA). Some factors that increase the prevalence of suspected OSA, like obesity and hypertension were founded among the taxi drivers in this company. Method: This study was conducted with cross sectional design. The data was collected from November until December 2008 in Mampang, Jakarta Selatan. Data collection used Berlin's Questionnaire and Physical examinations (blood pressure, weight, height, neck circumference) to 280 drivers. Result: This research showed that there are 25%, it?s mean 70 respondents from 280 respondents have OSA prevalence. Prevalence of OSA among taxi?s drivers is caused by several factors. The factors are Body Mass index (BMI) 3 25 (adjusted OR 4.29, p < 0.00l, 95% Cl 2.04 - 9.05), snoring historical in family (adjusted OR 2.34, p < 0.001 , 95% CI 1.45 - 3.78), neck circumference 3 40 cm (adjusted OR 3.37, p 0.002, 95% CI 1.58 - 7.l9), age 2 36 years old (adjusted OR 2.47, p 0.027, 95% Cl 1.ll - 5.48) and high work schedule (adjusted OR 3.07, p 0.0l6, 95% Cl 1.23 - 7.66). Conclusion: This research has founded that there are 25%, it?s mean 70 respondents from 280 respondents have suspected OSA. Prevalence of suspected OSA among taxi?s drivers is caused by BMI 2 25, snoring historical in family, neck circumference 5 40 cm, age 3 36 years old and high work schedule.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32302
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chairunnisa
Abstrak :
Latar Belakang. Multipel sklerosis merupakan penyakit kronik progresif dimana selain dari berbagai gejala neurologis yang ada, gangguan tidur merupakan masalah yang juga memiliki dampak terhadap penyandang penyakit multipel skeloris. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa prevalensi gangguan tidur ditemukan lebih tinggi pada penyandang penyakit multipel skeloris dibandingkan populasi normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi serta pola gangguan tidur pada penyandang penyakit multipel sklerosis di Indonesia. Metode. Penelitian ini merupakan studi deskritptif potong lintang. Populasi penelitian merupakan pasien dengan penyakit multiple sklerosis yang berobat di RSCM Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data klinis dan pengambilan sampel dengan mengisi kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Assessment (PSQI) dan STOP-BANG Sleep Apnea Questionnaire, serta The Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (MINI ICD-10). Data yang didapat kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data. Hasil. Dari empat puluh dua subjek MS yang diikutsertakan pada penelitian ini, 32 (76,2%) subjek berusia kurang dari 35 tahun, 34 (81,0%) berjenis kelamin perempuan, 23 (54,8%) subjek tidak bekerja, 9 (21,4%) mengalami depresi, dan 9 (21,4%) memiliki EDSS 6 ke atas. Insomnia ditemukan pada 32 (76,2%) subjek, dengan proporsi yang lebih besar ditemukan pada subjek berusia 35 tahun ke atas (80% vs 75%, p=0,556), berjenis kelamin laki-laki (87,5% vs 73,5%, p=0,374), kelompok yang tidak bekerja (78,3% vs 73,7%, p=0,504), kelompok dengan depresi (77,8% vs 75,8%, p=0,638), dan kelompok dengan EDSS lebih dari sama dengan 6 (77,8% vs 75,8%, p=0,638). Seluruh subjek memiliki risiko OSA dengan 39 (92,9%) subjek memiliki risiko ringan-sedang dan 3 (7,1%) subjek memiliki risiko berat. Hanya laki-laki yang memiliki risiko terhadap kejadian OSA (37,5% vs 0%, p=0,005), tetapi tidak berkaitan terhadap kejadian insomnia. Kesimpulan. Prevalensi gangguan tidur pada penyandang penyakit multipel skeloris di Indonesia sangat tingi. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi dan pemeriksaan lebih lanjut guna menunjang diagnosis.
Background. Multiple sclerosis (MS) is a chronic progressive disease in which sleep disorder, besides various neurologic manifestations, highly impacts the patients but is often neglected in clinical settings. Several studies had discovered that sleep disorder was more prevalent in MS than general population. This study aimed to investigate the prevalence and characteristics of sleep disorder in MS patients in Indonesia. Methods. A descriptive cross-sectional study involving MS patients was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital Jakarta. In addition to clinicodemographic data collection, data regarding sleep quality, obstructive sleep apnea (OSA), and depression state were assessed using Indonesian previously-validated Pittsburgh Sleep Quality Index, STOP-BANG Sleep Apnea Questionnaire, and The Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10, respectively. Results. Of forty MS participants included in this study, 29 (72.5%) aged less than 35 years, 32 (80.0%) were women, 20 (50.0%) were unemployed, 10 (25.0%) had depression, and 10 (25.0%) had Expanded Disability Scoring Scale (EDSS) of ≥6. Insomnia was found in 33 (82.5%) participants, of which larger proportion were male (100.0% vs 78.1%, p=0.309. Three (7,1%) participants had moderate risk of OSA. Only male had significant risk of OSA (moderate risk 25.0% vs 0%, p=0.036), but it did not associate with insomnia. Conclusion. Sleep disorder in MS patients in Indonesia is prevalent. There was potencies of the risk of OSA in MS, especially in male. Detection of insomnia and risk OSA is important in MS comprehensive care.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Nur Vitasari
Abstrak :
ABSTRAK
Obstructive Sleep Apnea OSA merupakan penyakit gangguan napas saat tidur ditandai oleh penyumbatan sebagian atau seluruh saluran pernafasan yang menyebabkan henti napas minimal 10 detik saat tidur. Periode henti napas saat tidur menyebabkan tidak masuknya oksigen ke dalam tubuh yang memicu saraf simpatis lebih dominan dibandingkan saraf parasimpatis. Ketidakseimbangan antara persyarafan simpatis dan parasimpatis berpengaruh pada ketidakteraturan irama jantung yang dapat memicu terjadinya gangguan jantung yaitu Atrial Fibrillation AF. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang memengaruhi AF pada pasien risiko OSA. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer pasien risiko OSA di RSCM berdasarkan wawancara dengan kuesioner Berlin. Sampel dipilih menggunakan teknik non-probability sampling dengan metode purposive sampling. Ukuran sampel dalam penelitian ini sebanyak 145 pasien risiko OSA berdasarkan kuesioner Berlin. Jumlah pasien yang terdiagnosis AF sebanyak 45 pasien 31.04. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Chi-Square Automatic Interaction Detection CHAID untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap AF. Metode CHAID merupakan teknik analisis data kategorik dengan jumlah kategori di tiap variabel independen sebanyak dua atau lebih. Variabel dalam penelitian ini berbentuk kategorik dan jumlah kategori dalam variabel independen lebih dari dua buah kategori. Variabel dependen pada penelitian ini adalah AF, sedangkan variabel independen yaitu usia, jenis kelamin, Indeks Massa Tubuh IMT, lingkar pinggang, lingkar leher, tekanan darah, riwayat merokok, riwayat mengonsumsi minuman beralkohol, riwayat gagal jantung, riwayat penyakit jantung koroner, riwayat stroke. Hasil analisis menggunakan metode CHAID diperoleh bahwa faktor usia, tekanan darah, lingkar pinggang, dan lingkar leher dapat memengaruhi AF pada pasien risiko OSA. Tingkat ketepatan hasil klasifikasi secara keseluruhan dengan menggunakan metode CHAID sebesar 71.7.
ABSTRACT
Obstructive Sleep Apnea OSA is sleep breathing disorder disease characterized by blockage partial or complete the respiratory tract that causes stop breathing during sleep at least 10 seconds. A period of stopping breathing while sleeping causes lack of oxygen into the body that triggers the sympathetic nerves more dominant than the parasympathetic nerves. The imbalance between sympathetic nerve and parasympathetic nerve affecting irregularity of heart rhythm that can trigger an onset of heart disorders, namely Atrial Fibrillation AF. This study aims to determine the factors affecting AF in patients with risk of OSA. The data used in this study is primary data of patients with risk of OSA at RSCM based on interviews with the Berlin questionnaire. The sample is chosen by using a technique of non probability sampling with purposive sampling method. The sample size are 145 patients with risk of OSA based on the Berlin questionnaire. The number of patients diagnosed AF is 45 patients 31.03. The method used in this study is Chi Square Automatic Interaction Detection CHAID to determine which factors significantly affect AF. The CHAID method is a categorical data analysis technique which the number of categories in each independent variable is two or more. In this study, variables used are categorical and the number of categories in independent variables is more than two categories. Dependent variables in this study are AF, while independent variables are age, sex, body mass index BMI , waist circumference, neck circumference, blood pressure, smoking history, history of consuming alcoholic, history of heart failure, history of coronary heart disease, and history of stroke. The results of this study is age, blood pressure, waist circumference, and neck circumference significantly affect AF in patients with risk of OSA. In addition, the accuracy rate of the classification results using CHAID method is 71.7.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghea Dwi Apriliana
Abstrak :
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah di Indonesia. PPOK ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang disebabkan oleh kelainan saluran napas atau kelainan anatomis paru atau kombinasi dari keduanya. Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada penderita PPOK yaitu kurangnya asupan oksigen pada waktu malam hari. Keadaan tersebut akan semakin diperberat apabila penderita PPOK juga menderita gangguan tidur Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA adalah gangguan tidur yang disebabkan penyumbatan saluran napas dan menyebabkan jeda sementara saat napas minimal 10 detik. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan seleksi fitur Information Gain untuk mencari fitur-fitur yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya OSA pada pasien PPOK. Setelah proses seleksi fitur selesai, peneliti menggunakan metode Random Forest untuk mengklasifikasi pasien PPOK yang beresiko tinggi terkena OSA dan yang berisiko rendah terkena OSA. Sampel pada penelitian ini merupakan 111 pasien PPOK yang berada di RS Cipto Mangunkusumo. Dari hasil penelitian ini, nilai akurasi terbaik didapat saat penggunaan 4 fitur terbaik dari keseluruhan fitur (10% fitur dari keseluruhan fitur) sebesar 85.71% dengan sensitifitas dan spesifisitas berturut-turut sebesar 71.43% dan 92.86%. Fitur yang memiliki rangking terbaik adalah lingkar pinggang.
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is one of the epidemic diseases in Indonesia. The characters of COPD can be seen from airway abnormalities, anatomical abnormalities of the lungs, or the combination of both. One complication that can occur in patients with COPD is lack of oxygen intake at night. This situation will be further aggravated if COPD patients also suffer from Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA is a sleep disorder caused by airway obstruction, and causes a temporary pause when breathing for at least 10 seconds. In this study, we used Information Gain feature selection to determine which features that affect the risk of OSA in COPD patients. After the feature selection process was completed, we used the Random Forest Classifier method to classify who has the high risk and who has the low risk of developing OSA in COPD patients. The sample in this study consist of 111 COPD patients with 34 features who hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital. From experimental result, the best accuracy are obtained by 4 features (10% of total features) i.e 85.71% with sensitivity and specificity are 71.43% and 92.86% respectively. The feature with highest ranking is waist size.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imadudin Zanky
Abstrak :
Sikap terhadap aktivitas seksual online dan perceived peer norms memiliki beberapa dampak dalam kehidupan seksual, seperti keterlibatan seseorang dalam perilaku seksual berisiko. Sikap seseorang terhadap aktivitas seksual online ditemukan memiliki hubungan dengan aktivitas seksual online. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh perceived peer norms sebagai moderator terhadap hubungan sikap terhadap OSA dengan aktivitas seksual online pada emerging adulthood di Indonesia. Partisipan penelitian ini berjumlah 462 dengan karakteristik berusia 18-25 tahun dan aktif menggunakan internet dari berbagai wilayah di Indonesia. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah The Attitude Towards Online Sexual Activity Scale untuk mengukur sikap terhadap OSA, Online Sexual Activities Questions untuk mengukur Online Sexual Activity (OSA) dan perceived peer norms scale untuk mengukur perceived peer norms. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan Hayes Macro Process. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap terhadap OSA memiliki hubungan positif yang signifikan dengan OSA (β=.1884, t(462)=4.5161, p<.05). Selain itu, variabel lain yang memiliki hubungan yang signifikan dengan OSA adalah jenis kelamin dan orientasi seksual. Meskipun demikian, perceived peer norms tidak memoderatori hubungan sikap terhadap OSA dengan OSA (β=-.0023, t(462)=-1.5836, p>.05). Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan penelitian ini gagal menolak hipotesis null, seperti keterlibatan OSA partisipan yang kurang merata serta persentase jenis kelamin dan orientasi seksual yang cukup berbeda, serta terdapat kemungkinan perceived peer norms sebagai independen variabel. ......Attitudes towards online sexual activity and perceived peer norms has several impacts on sexual life, such as involvement in OSA and risky sexual behavior. A person's attitude towards online sexual activity was found to have a correlation with online sexual activity.This study aims to examine the effect of perceived peer norms as a moderator on the relationship between Attitude Towards OSA and online sexual activity in Indonesian emerging adults. This study was conducted on 462 participants with individual characteristics in the period 18-25 years and actively using the internet from various regions in Indonesia. The measurement tools used for this study were The Attitude Towards Online Sexual Activity Scale to measure the variable of Attitude Towards OSA, Online Sexual Activities Questions to measure the variable Online Sexual Activity and perceived peer norms scale to measure the variable of perceived peer norms. Data is analyzed using Hayes Macro Process. Results showed there was a significant positive correlation between Attitude Towards OSA and OSA (β=.1884, t(462)=4.5161, p<.05). In addition, other variables that have a significant relationship with OSA are gender and sexual orientation. Perceived peer norms did not significantly moderate the relationship between Attitude Towards OSA and OSA (β=-.0023, t(462)=-1.5836, p>.05). There were several reasons which could cause this study failed to reject the null hypothesis, such as the uneven involvement of the participant OSA and the quite different percentages of the participants' gender and sexual orientation, as well as there is a possibility of perceived peer norms as independent variables.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>