Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Rafsanjani Assya'bani
"Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah (UU HKPD) menciptakan tatanan baru bagi reformasi perpajakan di Indonesia. Implementasinya bertujuan untuk memperkuat kemandirian fiskal daerah (lokal taxing power). Salah satu kebijakannya yang menimbulkan polemik adalah dengan diimplementasikan tarif batas bawah 40% dan batas atas 75% untuk Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Jasa Hiburan Tertentu meliputi, karaoke, diskotek, bar, dan lainnya. Kota Depok sebagai salah satu kota yang mandiri di Indonesia menyambut kebijakan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 Kota Depok dengan mengoptimalkan potensi penerimaan daerah yang ada. Penelitian menggunakan pendekatan post-positivist dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam serta teknik analisis data kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peluang yang muncul, seperti percepatan adaptasi teknologi digital yang menyebabkan metode baru, baik inovasi dari pengusaha hiburan maupun inovasi pengurangan tarif dari Badan Keuangan Daerah Kota Depok. Sedangkan dari sisi tantangan, untuk jenis hiburan tertentu tetap tidak mendapatkan insentif karena faktor kondisi daerah kota depok dan amanat UU serta PERDA. Sehingga memungkinkan persaingan yang kurang sehat antar pengusaha terlebih dikhawatirkan menimbulkan penghindaran pajak dengan mengalihkan jenis objek pajak yang memiliki tarif pajak rendah, seperti yang terjadi di daerah lain. Selain itu, dalam menghadapi potensi maupun tantangan yang muncul, Pemerintah Daerah Kota Depok menerapkan berbagai strategi optimalisasi seperti perluasan basis penerimaan, memperkuat pemungutan, peiningkatan pengawasan, meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan, serta meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik.

The Law on Financial Relations between the Central and Regions (HKPD Law) creates a new order for tax reform in Indonesia. Its implementation aims to strengthen local fiscal independence (local taxing power). One of its policies that has caused polemics is the implementation of a lower limit rate of 40% and an upper limit of 75% for Certain Goods and Services Tax on Certain Entertainment Services including, karaoke, discotheques, bars, and others. Depok City as one of the independent cities in Indonesia welcomed the policy by issuing Regional Regulation Number 1 Year 2024 of Depok City by optimizing the potential of existing regional revenue. The research uses a post-positivist approach with data collection techniques through in-depth interviews and qualitative data analysis techniques. The results of this study show that there are opportunities that arise, such as the acceleration of digital technology adaptation that causes new methods, both innovations from entertainment entrepreneurs and tariff reduction innovations from the Depok City Regional Finance Agency. Meanwhile, in terms of challenges, for certain types of entertainment still do not get incentives due to the condition of the City Depok and the mandate of laws and local regulations. Thus, allowing less healthy competition between entrepreneurs, especially feared to cause tax evasion by shifting the type of tax object that has a low tax rate, as happens in other regions. In addition, in facing the potential and challenges that arise, the Depok City Local Government implements various optimization strategies such as expanding the revenue base, strengthening collection, improving supervision, increasing administrative efficiency and reducing collection costs, and increasing revenue capacity through better planning."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Difa Meylia Zahra
"Pajak daerah merupakan salah satu kontribusi terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dari berbagai jenis pajak, pajak berbasis konsumsi memiliki potensi besar dalam meningkatkan penerimaan. Namun, administrasi pajak tersebut masih kurang efektif sehingga mendorong pemerintah untuk melakukan restrukturisasi melalui kebijakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Kebijakan tersebut mengintegrasikan lima pajak berbasis konsumsi, yaitu pajak makanan dan/atau minuman, pajak hotel, pajak listrik, pajak parkir, serta pajak kesenian dan hiburan dengan tujuan untuk menciptakan kemudahan administrasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan tersebut telah mendapatkan kritik dari beberapa aktor sejak awal pengesahannya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemudahan administrasi perpajakan yang diciptakan oleh implementasi kebijakan PBJT serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. DKI Jakarta dipilih sebagai lokus karena telah menjadi contoh praktik baik dalam pengelolaan pajak daerah. Teori yang digunakan adalah teori Ease of Administration oleh Rosdianto & Irianto (2012) dan teori implementasi kebijakan publik oleh Grindle (1980). Pendekatan yang digunakan adalah post-positivist dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa kemudahan administrasi perpajakan yang diciptakan oleh implementasi kebijakan PBJT di DKI Jakarta belum optimal. Hambatan tersebut dikarenakan sejumlah faktor implementasi yang belum terpenuhi sebagaimana dijelaskan dalam teori Grindle (1980) sehingga kebijakan ini memerlukan perbaikan.

Local taxes significantly contribute to local revenue (PAD) with consumption-based taxes holding high potential for increasing revenue. However, their administration is still ineffective, prompting the government to restructure through the Specific Goods and Services Tax (PBJT) policy. The policy integrates five consumption-based taxes, namely food and/or beverage tax, hotel tax, electricity tax, parking tax, and entertainment tax with the purpose to create ease of tax administration. However, the policy has been criticized by several actors since its enactment. Therefore, this study focuses on analyzing the ease of tax administration caused by the implementation of PBJT policy and the factors that influence it. DKI Jakarta serves as the locus, given its reputation for effective local tax management. The theories used are the ease of administration by Rosdianto & Irianto (2012) and the public policy implementation by Grindle (1980). This research uses a post-positivist approach with qualitative methods through in-depth interviews and literature studies. The results of this study indicate that the ease of tax administration caused by the implementation of the PBJT policy in DKI Jakarta is currently insufficient. The challenges are mainly due to incomplete fulfillment of implementation factors by Grindle (1980), indicating that improvements in policy are needed."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nur Iwan Alghosyaqi
"Pertumbuhan hotel yang terjadi di Kota Kediri pada tahun 2021–2024 mengalami pertumbuhan yang positif namun, peningkatan tersebut tidak diimbangi dengan realisasi pendapatan dari sektor hotel yang sinergis. Berdasarkan data Badan Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD) Kota Kediri terjadi defisit target capaian penerimaan pada 2023 tercatat pada angka 4,51 % dan pada tahun 2024 yang hanya mengalami surplus 0,68 %; walaupun terjadi peningkatan realisasi pendapatan sektor pajak perhotelan, persentase selisih antara target dan realisasi dalam tiga tahun terakhir masih fluktuatif. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap upaya optimalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kediri pada Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas jasa perhotelan dalam rangka meningkatkan kontribusi pada sektor pariwisata serta kendala yang dialami dalam implementasinya. Penelitian ini menggunakan paradigma post-positivis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BPPKAD Kota Kediri telah menerbitkan aplikasi E-STPD sejak tahun 2020 sebagai bentuk digitalisasi laporan pajak merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kegiatan intensifikasi mencakup memperkuat proses pemungutan pajak, meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan, serta meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum. Sementara itu, ekstensifikasi dilakukan melalui perluasan basis penerimaan PBJT atas jasa perhotelan. Penerapan sistem self-assessment pada praktik pemungutan PBJT rentan terhadap penyalahgunaan karena wajib pajak dapat melaporkan omzet di bawah realisasi sebenarnya, dan masih terdapat banyak hotel yang belum memasang tapping box. Oleh sebab itu, dalam rangka peningkatan efektivitas optimalisasi perlu dilakukan perluasan penggunaan integrasi tapping box terhadap pengusaha hotel, penguatan identifikasi wajib pajak dan verifikasi data, peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan pemeriksaan dan penegakan hukum, serta penyempurnaan proses administrasi.

The growth of hotels in Kediri City during 2021–2024 has been positive; however, this expansion has not been matched by synergistic revenue performance in the hotel sector. According to data from the Regional Revenue, Finance, and Asset Management Agency (BPPKAD) of Kediri City, the hotel tax revenue target in 2023 fell short by 4.51%, while in 2024 it achieved only a modest surplus of 0.68% against its target. Although nominal tax receipts increased, the percentage gap between targets and realizations remained volatile over the past three years. This study aims to analyze the optimization efforts undertaken by the Kediri City government in levying Certain Goods and Services Tax (PBJT) for hotel services in order to enhance its contribution to the tourism sector, as well as to identify implementation challenges. Employing a post-positivist paradigm with a qualitative approach, the research finds that BPPKAD Kediri has, since 2020, implemented the E-STPD application, referencing Law No. 1 of 2022 on Financial Relations between Central and Regional Governments, to digitalize tax reporting. Intensification measures include strengthening tax collection processes, enhancing revenue capacity through improved planning, increasing administrative efficiency, and bolstering oversight and law enforcement. Extensification has been pursued by expanding the PBJT tax base for hotel services. The self-assessment system remains vulnerable to abuse, as taxpayers may underreport actual turnover, and many hotels have yet to install transaction-recording tapping boxes. Therefore, to increase optimization effectiveness, it is recommended to extend tapping-box integration to all hotel operators, strengthen taxpayer identification and data verification, improve human resource quality, reinforce audit and enforcement functions, and streamline administrative procedures."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Rania Syawalia
"UU HKPD yang disahkan tanggal 5 Januari 2022 telah memberikan perubahan terhadap beberapa tarif pajak daerah, salah satunya tarif PBJT atas jasa hiburan tertentu, seperti diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan mandi uap/spa. Perubahan tersebut adalah adanya kebijakan batas tarif minimum sebesar 40% dari sebelumnya pada undang-undang yang lama, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 hanya diatur batas tarif maksimum sebesar 75%. Kebijakan tersebut kemudian menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses formulasi kebijakan batas tarif minimum PBJT atas jasa hiburan tertentu pada UU HKPD dan menganalisis strategi yang diberikan oleh pemerintah untuk merespon gejolak yang ditimbulkan dari perubahan kebijakan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi lapangan melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses formulasi kebijakan batas tarif minimum PBJT atas jasa hiburan tertentu pada UU HKPD telah melalui seluruh tahapan formulasi kebijakan, yaitu identifikasi masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan, dan penetapan kebijakan. Namun, walau sudah melalui seluruh tahapan, terdapat proses yang tidak maksimal pada tahap agenda kebijakan karena kurang mendalamnya kajian akademik yang membahas terkait PBJT atas jasa hiburan tertentu dan tidak dilibatkannya para pelaku usaha di dalam proses public hearing. Selain itu, di dalam penentuan tarifnya terdapat perbedaan usulan antara Pemerintah dan DPR RI, sehingga menghasilkan keputusan akhir bahwa tarifnya ditetapkan menjadi 40%-75%. Adapun, kebijakan batas tarif minimum ini bertujuan untuk meningkatkan local taxing power, dalam rangka mewujudkan asas keadilan, dan mengendalikan dampak eksternal negatif yang timbul dari pemanfaatan jasa hiburan tertentu tersebut. Dalam rangka merespon gejolak yang timbul atas adanya perubahan kebijakan tarif ini, pemerintah kemudian memberikan dua solusi yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah, yaitu dengan memberikan insentif fiskal sesuai Pasal 101 UU HKPD dan pemilahan jenis pajak dalam satu tempat hiburan yang sama.

The HKPD Law which came into effect on January 5, 2022 has changed several regional tax rates, one of which is the Certain Goods and Services Tax (PBJT) rate for certain entertainment services, such as discos, karaoke, nightclubs, bars, and steam baths/spas. The change is the policy of a minimum rate limit of 40% compared to the previous law, namely Law of The Republic Indonesia Number 28 Year 2009 which only regulated a maximum rate limit of 75%. This policy then raises pros and cons from various parties. This research aims to analyze the process of formulating the PBJT minimum rate limit for certain entertainment services in the HKPD Law and analyze the solutions provided by the government to respond to the turmoil caused by this policy. This research uses a qualitative approach with data collection techniques in the form of field studies through in-depth interviews and literature studies. The results of this research show that the policy formulation process for PBJT minimum rate limit for certain entertainment services in the HKPD Law has gone through all stages of policy formulation, namely problem identification, agenda setting, selection of policy alternatives, and policy determination. However, even though all the stages have gone through, there is a process that is not optimal at the agenda setting stage due to the lack of in-depth academic studies discussing PBJT for certain entertainment services and the non-involvement of business actors in the public hearing process. Apart from that, in determining the rate there are differences in proposals between the Government and the DPR RI, resulting in the final decision that the rate is set at 40%-75%. Meanwhile, this minimum rate limit policy aims to increase local taxing power, in order to realize the principle of justice, and control negative external impacts arising from the use of certain entertainment services. In order to respond to the turmoil arising from this change in rate policy, the government then provided two solutions that could be utilized by regional governments, namely by providing fiscal incentives under Article 101 of the HKPD Law and sorting the types of taxes within the same entertainment venue. "
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library