Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Primayvira Ribka
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22600
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Herlina
Abstrak :
Dalam skripsi ini penulis bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai pemahaman, pengalaman, serta bentuk-bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan pengguna jasa kereta api. Gambaran tersebut dapat diperoleh terlebih dahulu dengan melihat bagaimana pemahaman perempuan terhadap pelecehan seksual yang diketahuinya yang kemudian berlanjut terhadap pengalaman sebagai korban pelecehan seksual di kereta api dan bentuk-bentuk pelecehan seksual yang teijadi. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif terhadap lima orang informan yang merupakan pengguna jasa kereta api ekonomi Bogor-Jakarta-Bogor. Penulis melakukan wawancara mendalam kepada informan untuk memperoleh data dengan di dukung oleh pengamatan langsung di lokasi penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori yang digolonggkan oleh Liz Kelly. Yaitu bentuk-bentuk perilaku pelecehan seksual, terbagi atas tiga bentuk, bentuk pertama yaitu bentuk visual: tatapan yang mengancam, gerak-gerak yang bersifat seksual. Bentuk yang kedua bentuk verbal: siulan-siulan, gossip, gurauan seksual, pernyataan yang bersifat mengancam, dan yang ketiga bentuk fisik : menyentuh , mencubit, menepuk-nepuk, menyenggol dengan sengaja, mendekatkan did tanpa diinginkan. Dari penelitian yang dilakukan, beberapa informan menyatakan bahwa bentuk pelecehan seksual yang terjadi di dalam kereta api adalah bentuk pelecehan fisik, dikarenakan informan merasa mereka tidak dihargai dan dipermalukan di depan umum. Begitu juga dengan pemahaman yang di bagi dua yaitu pemahaman umum yang tidak mengacu pada satu jenis perilaku atau tindakan yang spesifik, sedangkan pemahaman khusus ditempatkan pada konteks yang berbasis gender. Para informan memahami dengan melihat dari perilaku pelecehan seksual yang dialami oleh mereka di dalam kereta api. Sedangkan pengalaman informan terhadap pelecehan seksual, banyak ragamnya tetapi yang sering mereka alami adalah dalam bentuk fisik dan tidak hanya satu jenis tindakan pelecehan saja yang dialami oleh informan , ada juga yang mengalaminya lebih dari satu kali, dan dengan pengalamannya ini para informan tidak menjadi trauma atau takut untuk naik kereta, tetapi informan hanya memilih tempat yang lebih aman.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S5484
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzik Lendriyono
Abstrak :
Keterlibatan anak-anak dalam dunia pekerjaan selain merampas dan mengingkari hak-haknya, juga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun psikisnya. Data dan SAKERNAS (Survey Angkatan Kerja Nasioflal) 1996-1997 yang juga didukung beberapa peneliti dari IPEC (International Programe on the Elimination of Child Labour) melalui BPS (Biro Pusat Statistik) menunjukkan bahwa, di Indonesia terdapat 2,5 juta anak yang aktif di bidang ekonomi. Diperkirakan jumlah tersebut semakin bertambah seiiring dengan krisis ekonomi yang semakin tidak jelas berakhirnya. Masuknya pekerja anak perempuan dalam pasar kerja, telah melahirkan beberapa persoalan baru yang diantaranya adalah kecenderungan untuk dilecehkan secara seksual. Perlakuan tersebut dalam perkembangannya berpeluang untuk terjadinya pelacuran. Berdasarkan berbagai data yang ada, sedikitnya 30% dari pekerja seks di Indonesia adalah anak anak di bawah usia 18 tahun. Di Taman Piaduk Prumpung-Jatinegara, juga terdapat pekerja anak perempuan yang jumlahnya antara 100 - 200 anak. Mereka bekerja sebagai pelayan minuman. Sebagian di antara mereka teryata berprofesi sebagai pelacur yang berkedok sebagai pelayan minuman pula. Diperkirakan profesi tersebut muncul sebagai akibat dari pelecehan seksual dan tuntutan dalam lingkungan pekerjaannya selama ini. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan melakukan observasi secara langsung serta wawancara mendalam terhadap para informan, dapat diketahui bahwa sebagian besar dari mereka pernah mengalami pelecehan seksual. Pelecehan yang seringkali dialami dapat diketahui mulai dari bentuk pelecehannya, pelaku dan tempat serta kisah beberapa pelayan minuman, berkaitan dengan profesi yang dijalaninya selama ini. Selain itu terdapat pula faktor-faktor yang berpengaruh kuat sebagai penyebab mereka memasuki dunia prostitusi. Analisa Teori Pertukaran Sosial yang digunakan untuk membahas permasalahan di atas menyatakan bahwa, keberadaan para pelayan minuman hingga mereka mengalami pelecehan seksual, berkaitan dengan posisi Subordinasi yang terjadi dalam interaksinya. Meskipun reward yang didapatkan dan perlakuan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhannya, namun keberadaan mereka tidak mengalami perbaikan yang berarti. Kondisi ini kemudian memunculkan Perilaku Alternatif yang diharapkan dapat membantu menambah penghasilan dan yang diperolehnya selama ini. Namun dalam perkembangannya, perilaku tersebut justru menempatkan mereka dalam posisi yang lebih memprihatinkan. Mereka menjadi semakin sulit keluar dari dunianya Bermacam perlakuan dan penghasilan yang diperoleh dalam pekerjaan tersebut telah menjadi kehidupannya. Padahal risiko dan pekerjaan lebih besar dari penghasilan yang diperolehnya selama inì.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Nurulqolbi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1994
S2565
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurcahyo Budi Waskito
Abstrak :
ABSTRAK
Pelecehan seksual sebenarnya bukanlah fenomena sosial yang baru muncul dalam masyarakat. Karena sejak jaman prasejarah hingga jaman Majapahit hal tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan. Pada masa modem ini tepatnya sejak dekade 70-an mulai muncul kesadaran mengenai pentingnya fenomena pelecehan seksual untuk diperhatikan. Banyak penelitian yang meraaparkan fakta mengenai peristiwa pelecehan ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual lebih banyak menimpa kaum wanita dan interaksinya bersifet heteroseksual. Namun hanya sedikit peneliti yang tertarik untuk menelaah sisi pelakunya. Ketika teijadi suatu pelecehan maka terdapat dua pihak yang terlibat secara langsung yaitu si korban dan sang pelaku. Penelitian yang ada selama ini jarang sekali meneliti fenomena pelecehan seksual melalui sudut pandang pelakunya. Terdapat beberapa pendekatan yang dipergunakan untuk menjelaskan teijadinya peristiwa pelecehan seksual, dan salah satu yang dapat dipergunakan adalah pendekatan psikologi sosial melalui proses atribusi. Atribusi merupakan proses penyimpulan yang dilakukan seseorang untuk mengetahui penyebab yang berperan bagi kemunculan suatu tingkah laku. Salah satu teori atribusi yang dapat menjelaskan perilaku pelecehan secara komprehensif adalah teori Atribusi Kelley (1973). Dalam teori ini dijelaskan mengenai skema dan model yang dapat dipergunakan individu untuk menyimpulkan suatu peristiwa yang tergantung pada kepemilikan 3 informasi yang lengkap yaitu informasi Distinksi, Konsistensi dan Konsensus. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses atribusi pelaku terhadap perilaku pelecehan seksual yang dilakukannya. Selain itu dapat diketahui faktor apa yang menjadi penyebab teijadinya pelecehan seksual berdasarkan sudut pandang pelakunya. Melalui penelitian ini diharapkan penelitian dapat memberikan Pemahaman yang berarti pada masyarakat mengenai pelecehan seksual terhadap wanita sebagai suatu fenomena penlaku seksual antara pria dan wanita Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian "Bagaimana proses atribusi pelaku tindakan pelecehan seksual terhadap tingkah laku pelecehan seksual yang dilakukannya ?" Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif melalui desain penelitian survey dan studi kasus. Dengan pendekatan dan desain penelitian yang ada ditentukan 2 metode pengumpulan data, yaitu metode survey kuesioner dan wawancara mendalam. Instrumen yang dipergunakan adalah kuesioner pelecehan seksual, pedoman wawancara dan catatan lapangan. Karakteristik sampel dari penelitian ini adalah pelaku pelecehan seksual yang begenis kelamin pria, memenuhi kriteria pelaku yang ditetapkan dan menjadi ma^iswa di perguruan tinggi di Jakarta dan sekitamya. Pengambilan sampel dilakukan secara aksidental {accidental sampling karena tema yang diteliti cukup sensitif bagi sebagian orang, metode ini lebih mudah, cepat dan ekonomis digunakan dengan keterbatasan yang dimiliki. Jumlah sampel penelitian kuantitatif sebanyak 298 pelaku mahasiswa dengan jumlah minimal N=30 sedangkan jumlah sampel pada penelitian kualitatif sebanyak 4 orang responden dengan minimal N=l. Data yang berasal dari hasil kuesioner diolah dengan menggunakan metode statistik deskriptif dalam bentuk persentase dan kemudian dianalisis untuk didapatkan gambaran mengenai proses atribusi yang dilakukan pelaku terhadap tingkah laku pelecehan yang dilakukannya. Sedangkan hasil kualitatif diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode perbandingan antar kasus {analytic comparison), dan penggambaran intra kasus {illustrative method). Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden melakukan bentuk pelecehan "mengomentari wanita dengan panggilan, julukan atau siulan tertentu" dan "Memandangi bagian tubuh wanita dari atas hingga bawah". Hanya sebagian kecil responden yang melakukan pelecehan dalam bentuk menjanjikan kesenangan atau memberikan ancaman yang dikaitkan dengan keinginan melakukan aktifitas seksual. Perilaku pelecehan tersebut seringkali dilakukan oleh mahasiswa terhadap teman wanitanya.. Berdasarkan teori Atribusi Kelley para pelaku cenderung mempergunakan Skema Kausal dalam melakukan penyimpulan penyebab. Hal ini dikarenakan sebagian besar dari mereka tidak memiliki informasi Distinksi, Konsistensi dan Konsensus yang lengkap. Ketiga informasi tersebut sangat diperlukan untuk melakukan proses atribusi jika menggunakan model Kovarian. Dengan menggunakan skema tersebut para pelaku tidak mempergunakan informasi yang berkenaan dengan dirinya, korban dan lingkungan tempat kejadian karena skema ini lebih memanfaatkan konsep hubungan sebab-akibat yang sudah dimiliki sebelumnya dalam repertoar ingatan pelaku. Berdasarkan proses atribusi yang dilakukannya sebagian besar pelaku memberikan atribusi pada faldor korban sebagai penyebab tindakan pelecehan seksual tersebut Hasil studi kasus yang dilakukan p^ empat responden menunjukkan bahwa para pelaku mengidentikkan cara berpakaian, daya tarik fisik dan bahasa tubuh dari wanitalah yang berperan besar bagi teijadinya peristiwa tersebut. Pelaku pelecehan seksual cenderung memandang wanita seba^ makhluk yang lemah. Mei^ka juga cenderung memiliki memiliki pandangan tradisional mengenai peran gender wanita Hasil yang diperoleh tersebut perlu ditelaah lebih lanjut lagi. Untuk itu perlu dilakukan beberapa penelitian mengenai batasan dan bentuk tingkah laku pelecehan seksual. Selain itu penelitian yang sama dengan menggunakan pendekatan atribusi perlu juga dilakukan terhadap sampel pelaku yang lain seperti pelaku pelecehan di lingkungan keija, di tempat umum dan sebagainya.
2002
S2904
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Puti Hilma Noviandri
Abstrak :
Perempuan usia dewasa muda rentan mengalami pelecehan seksual dibuktikan dengan meningkatnya kasus pelecehan seksual di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara antara pola asuh orang tua dan sifat kepribadian dengan pengalaman pelecehan seksual pada perempuan dewasa muda. Penelitian ini adalah penelitian korelasi dengan melibatkan 107 responden yang dipilih menggunakan teknik quota sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner data demografi, kuesioner Pola Asuh Orang Tua, kuesioner IPIP-BFM-25, dan Sexual Experiences Questionnaire. Hasil penelitian menunjukkan 90,7% dari responden pernah mengalami pelecehan seksual dan tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara antara pola asuh orang tua dan sifat kepribadian dengan pengalaman pelecehan seksual pada perempuan dewasa muda. Penelitian ini merekomendasikan meneliti lebih lanjut terkait kesadaran korban menyadari situasi yang telah dialami merupakan bentuk pelecehan. ......Young women were vulnerable to sexual harassment, as evidenced by the rising number of sexual harassment cases in Indonesia. This study aimed to identify the relationship between parenting style and personality traits with sexual harassment experiences in young women. This research was a correlational study involving 107 respondents selected using quota sampling based on inclusion and exclusion criteria. The instruments were a demographic data questionnaire, a Parenting Style questionnaire, an IPIP-BFM-25 questionnaire, and a Sexual Experiences Questionnaire. The results showed that 90.7% of the respondents had experienced sexual harassment, and no significant relationship was found between parenting style and personality traits with sexual harassment experiences in young women. This study recommends further research on victims' awareness of the situation they have experienced as a form of sexual harassment.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nicky Stephani
Abstrak :
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembungkaman yang terjadi pada perempuan penghibur yang menjadi korban kekerasan seksual di media sosial. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya pembungkaman tersebut. Kerangka pemikiran penelitian ini bersumber dari teori kelompok terbungkam (muted group theory), konsep dan studi-studi terdahulu tentang perempuan penghibur, konsep kekerasan seksual beserta definisi dan ragam jenis tindakannya, perempuan dalam budaya patriarki, kekerasan seksual dan budaya patriarki, Instagram, serta perempuan dan media sosial. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruksionisme kritis dan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Unit analisis dalam penelitian ini adalah dua unggahan Instagram Stories penyanyi dangdut Via Vallen tentang peristiwa pelecehan seksual yang ia alami. Metode analisis yang digunakan adalah semiotika Roland Barthes yang menjabarkan makna denotatif dan konotatif serta mengungkap mitos di balik simbol-simbol yang ditampilkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun perempuan penghibur memiliki akses ke media sosial, di mana ia dapat dengan bebas menyatakan perlawanannya terhadap pelecehan seksual di hadapan jutaan pengikutnya (followers), pada akhirnya ia tetap terbungkam. Pembungkaman terjadi ketika perempuan penghibur tidak dapat mengartikulasikan pengalaman pelecehan seksual di hadapan anggota kelompok dominan. Hal ini disebabkan oleh ideologi patriarki yang mengakar di masyarakat dan beroperasi secara sistematis untuk membungkam ekspresi perempuan penghibur yang menjadi korban pelecehan seksual di media sosial. Operasi patriarki yang tersistem dilakukan dengan mengkonstruksi posisi perempuan penghibur dalam masyarakat, menyuburkan stigma dan stereotip tentang perempuan penghibur di lingkungan sosial, mewajarkan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang menimpa perempuan penghibur, dan mengabaikan aspirasi perempuan penghibur tentang pelecehan seksual.


ABSTRACT This study aimed to describe the muting of female entertainer who was a victim of sexual violence in social media. In addition, this study also aimed to identify the cause of her muteness. The conceptual framework of this research is derived from muted group theory, previous studies about female entertainer, definitions and types of sexual violence, women in patriarchal culture, sexual violence and patriarchal culture, Instagram, women and social media. This study used critical constructionism paradigm and descriptive qualitative research type. The analytical unit in this study was two Instagram Stories which were posted by a famous dangdut singer Via Vallen and exposed her sexual harassment experience to the public. Roland Barthes semiotics analysis was used in this study to explain denotative and connotative meanings also revealed the myths behind the displayed symbols. The results of this study indicated that although female entertainer had access to social media, where she could express their resistance towards sexual harassment in front of millions of her followers, at the end she remined muted. Muting occured when female entertainer could not articulate her experience of sexual violence in front of the dominant group. This was caused by patriarchal ideology which rooted in our society and operated systematically to mute the expression of female entertainer who was a victim of sexual violence on social media. Systematic patriarchal operations are carried out by constructing the position of female entertainer in society, fostering stigma and stereotypes about female entertainer in our daily life, naturalizing many forms of sexual violence that afflicted female entertainer, and ignoring female entertainers expression about sexual violence.

Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T52329
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triana Budi Utami
Abstrak :
ABSTRAK
Tuduhan pelecehan yang dilayangkan oleh Christine Blasey Ford, seorang dosen Universitas Palo Alto, California, terhadap calon Hakim Agung Brett Kavanaugh merupakan salah satu kasus tuduhan pelecehan seksual yang menjadi sorotan nasional di Amerika Serikat pada tahun 2018. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi efektivitas politisasi isu gender yang dilakukan baik oleh Ford maupun Kavanaugh pada masyarakat dan media massa di Amerika Serikat. Politisasi isu gender Ford dan Kavanaugh dalam hearing dianalisis dan dievaluasi dengan menggunakan teori Sexual Politics Kate Millet dan metode Analisis Wacana Kritis Sara Mills. Selain itu, pengaruh politisasi isu gender yang dilakukan Ford dan Kavanaugh dalam hearing juga dapat dilihat melalui representasi dan keberpihakan dua media Amerika Serikat dengan bias politik yang berbeda (Fox News dan The New York Times terhadap kasus tersebut. Dengan menggunakan teori Sexual Politics Kate Millet, penelitian ini menemukan bahwa konsep gender seperti ideologi feminitas dan maskulinitas seringkali digunakan Ford dan Kavanaugh dalam berargumen, bersikap, dan membela diri dalam hearing. Feminitas yang diperlihatkan Ford dalam hearing berhasil menarik simpati dan membangun hubungan emosional dengan mayoritas masyarakat Amerika Serikat terutama kelompok perempuan dan progressif. Sementara itu maskulinitas yang diperlihatkan Kavanaugh kurang efektif untuk menarik simpati masyarakat namun berhasil untuk mempertahankan posisinya sebagai Hakim Agung Amerika Serikat. Representasi media juga memperlihatkan bahwa politisasi gender yang dilakukan Ford dan Kavanaugh memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pergerakan kelompok perempuan dan kelompok penyintas pelecehan seksual. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan memperlihatkan sikap yang sesuai dengan ideologi feminitas, perempuan memiliki kekuatan yang lebih besar dalam menarik simpati masyarakat. Namun, simpati dan dukungan besar terhadap perempuan tetap tidak dapat mengalahkan laki-laki yang memiliki kekuatan dan dominasi politik dalam pemerintahan sebuah negara.
ABSTRACT
In 2018, sexual assault allegation filed by Christine Blasey Ford, a lecturer at the University of Palo Alto, California, against Supreme Court nominee Brett Kavanaugh became the national spotlight in the United States. This study aims to analyze and evaluate the effectiveness of gender politics carried out by both Ford and Kavanaugh to the public and mass media in the United States. Ford and Kavanaugh's gender politics in the hearing were analyzed and evaluated using Kate Millet's Sexual Political Theory and Sara Mills's Critical Discourse Analysis method. Also, the influence of gender politics conducted by Ford and Kavanaugh in the hearing can also be seen through the representation and alignments of two US media with different political biases on the case (Fox News and The New York Times). By using Sexual Political Theory from Kate Millet, this research found that Ford and Kavanaugh often use gender concepts such as ideology of femininity and masculinity in arguing, acting, and defending themselves in the hearing. The femininity shown by Ford in the hearing succeeded in attracting sympathy and building emotional relations with the majority of the United States, especially women and progressive groups. Meanwhile, the masculinity shown by Kavanaugh was less effective in attracting the sympathy of the people but succeeded in maintaining his position as the Supreme Court of the United States. Media representations also show that the gender politicization carried out by Ford and Kavanaugh has a considerable influence on the movement of women and the group of sexual harassment survivors. This research concludes that by displaying attitudes that are in line with the ideology of femininity, women have a higher power in attracting public sympathy. However, great sympathy and support for women still cannot defeat men who have political power and dominance in the government of a country.
2020
T54825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldila Puspa Kemala
Abstrak :
Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pelecehan seksual membuka peluang dipidananya pelaku-pelaku pelecehan seksual, sehingga timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual, apa saja perbedaan pengaturannya bagaimana pengertian pelecehan seksual sebagai suatu tindak pidana, bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pelecehan seksual dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana penerapan hukum kasus pelecehan seksual berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatf menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan analisa putusan (decision analysis). Diketahui bahwa pengertian pelecehan seksual menurut instrumen Hukum Internasional dan di Berbagai Negara di Asia Tenggara secara garis besar memiliki persamaan, kemudian Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual belum terdapat peraturan Perundang-Undangan yang spesifik mengatur tentang pelecehan seksual dan setelah Undang-Undang tersebut disahkan merupakan solusi dari permasalahan tersebut untuk mengakomodir kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia. ......The passing of Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence in which there are arrangements regarding sexual harassment opens opportunities for perpetrators of sexual harassment to be prosecuted, so the question arises what is meant by sexual harassment, what are the differences in regulations, what is the meaning of sexual harassment as a criminal acts, how to regulate criminal acts of sexual harassment in Indonesian laws and regulations and how to enforce the law on sexual harassment cases based on court decisions in Indonesia that have permanent legal force before and after Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence was passed . In this study using normative research methods using a statute approach and decision analysis. It is known that the definition of sexual harassment according to international legal instruments and in various countries in Southeast Asia is broadly similar, then before the enactment of Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence there were no statutory regulations that specifically regulate sexual harassment and after the Law was passed, it was a solution to this problem to accommodate cases of sexual harassment that occurred in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>