Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Danang Risdiarto
Abstrak :
ABSTRAK
Indonesia memiliki kedaulatan yang utuh dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayah daratan dan di atas wilayah perairan. Hal ini didasarkan pada Konvensi Chicago tahun 1944 dan diperkuat dengan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional. Namun hingga saat ini masih kerap terjadi pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh pesawat udara asing tidak berizin. Hal ini memaksa TNI AU untuk melakukan pemaksaan mendarat terhadap para pelanggar kedaulatan Indonesia. Namun sanksi yang dikenakan kepada para pelaku pelanggaran selama ini dianggap kurang maksimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ancaman yang timbul akibat pelanggaran wilayah udara Indonesia, kendala yang terjadi saat proses penindakan terhadap pelaku dan bagaimana pendelegasian FIR diatas Kepri, Batam dan Natuna kepada Singapura memberikan peluang terhadap pelanggaran wilayah udara Indonesia. Penelitian ini dilakukan melalui metode kualitatif dengan teknik pengambilan data melalui wawancara dan studi pustaka yang kemudian di analisa melalui cara deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa ancaman dapat terjadi dalam bentuk berupa ldquo;hostile intent/niat jahat rdquo; dan kedua adalah ldquo;hostile act/tindakan permusuhan rdquo; yang dilakukan oleh pihak asing/musuh. Kendala yang terjadi antara lain meliputi: keterbatasan alutsista TNI AU khususnya radar militer dan pesawat tempur, belum adanya kewenangan TNI AU sebagai penyidik dalam kasus pelanggaran wilayah udara yang beraspek pertahanan negara dan tidak ada sanksi dalam UU No.1/2009 tentang Penerbangan terkait pelanggaran wilayah udara. Pendelegasian FIR diatas Kepri, Batam dan Natuna memberikan peluang terhadap pelanggaran wilayah udara Indonesia dengan kerap kali terjadi pelanggaran wilayah udara akibat pesawat udara sipil asing yang melintasi wilayah tersebut hanya meminta izin dari Singapura dan mengabaikan pihak Indonesia sebagai negara yang dilintasi.
ABSTRACT
Indonesia has complete and exclusive sovereignty over airspace over land area and above water territory. It is based on the Chicago Convention of 1944 and reinforced by national legislation. However, there are still frequent violations of Indonesian airspace by unlicensed foreign aircraft. This forced the Indonesian Air Force to forcedown of the sovereigns of Indonesian sovereignty. The purpose of this study is to determine what threats arise due to violations of Indonesian airspace, constrains that occur during the prosecution of perpetrators of violations and how the FIR delegation above Kepri, Batam and Natuna to Singapore provides opportunities for violations of Indonesian airspace. This research is done through qualitative method with data retrieval technique through interview and literature study which then analyzed by qualitative descriptive method. From the results of the study it was concluded that threats could occur in the form of hostile intent and secondly hostile act perpetrated by foreign parties enemies. Constraints that occur include the limitations of defense equipment, especially radar and fighter aircraft, the lack of authority of the Air Force as investigators in case of violations of airspace that has defense aspect of the state and there are no sanctions in Law No.1 2009 concerning Aviation related airspace violations aerial instrusion . The delegation of FIR over Kepri, Batam and Natuna provides opportunities for violations of Indonesian airspace with frequent airspace violations resulting from foreign civilian aircraft crossing the area soliciting permission from Singapore and ignoring the Indonesian side as a crossed country
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daffa Muhammad Hilmi
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut bagaimana penerapan ketentuan intersepsi dan pemaksaan mendarat dalam Pasal 3 bis Konvensi Chicago oleh Indonesia, Belarusia, dan Inggris, baik dalam ketentuan hukum nasional masing-masing negara maupun dalam penanganan kasus intersepsi oleh ketiga negara tersebut. Penelitian ini juga bertujuan untuk membandingkan penerapan ketentuan intersepsi pada ketiga negara tersebut, khususnya dari segi alasan intersepsi dan penanganan pesawat setelah pemaksaan mendarat. Pasal 3 bis Konvensi Chicago memperbolehkan setiap negara untuk mengintersepsi dan memaksa mendarat pesawat udara sipil yang melintas wilayahnya tanpa membahayakan keselamatan penerbangan ataupun menggunakan senjata. Selain itu, kedua tindakan tersebut hanya boleh dilakukan atas dua alasan: pelanggaran kedaulatan wilayah udara dan penyalahgunaan penerbangan sipil. Walaupun ICAO melengkapi ketentuan tersebut dengan standar dan rekomendasi tata cara teknis intersepsi dalam Annex 2 dan Manual Intersepsi ICAO, ketentuan hukum internasional belum mengatur penanganan pesawat udara sipil pasca pemaksaan mendarat secara merinci. Selain itu, ketentuan hukum internasional juga belum mendefinisikan maksud penyalahgunaan penerbangan sipil sebagai alasan intersepsi dan pemaksaan mendarat. Indonesia, Belarusia, dan Inggris memiliki ketentuan hukum nasional tersendiri untuk mengatur tindakan intersepsi dan pemaksaan mendarat, mulai dari alasan dan tata cara intersepsi hingga penanganan pesawat udara yang dipaksa mendarat. Mengingat ketentuan hukum internasional belum mendefinisikan maksud penyalahgunaan penerbangan sipil serta belum mengatur penanganan pesawat udara pasca pemaksaan mendarat, setiap negara menetapkan kedua hal tersebut dengan ketentuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, perbedaan lainnya juga terlihat dari seberapa merinci peraturan tersebut dan seberapa selaras ketentuan tersebut dengan ketentuan Konvensi Chicago. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia, Belarusia, dan Inggris melaksanakan intersepsi dan pemaksaan mendarat menurut ketentuan hukum nasionalnya masing-masing. Pada akhirnya pula, keselarasan negara dalam menangani tindakan intersepsi dengan ketentuan Pasal 3 bis Konvensi Chicago dipengaruhi keselarasan ketentuan hukum nasional mengenai intersepsi dengan ketentuan Pasal 3 bis itu sendiri. ......The following research was established to further investigate on how Indonesia, Belarus, and the United Kingdom apply Article 3 bis of the Chicago Convention regarding civil aircraft interception and forced landing on their national laws and on how each state handle interception cases in their respective countries. The following research was also aimed to compare the application of civil aircraft interception provisions on the following three countries, especially regarding the reason of interception and handling of aircraft post-forced landing. Article 3 bis of the Chicago Convention allows every state to intercept a civil aircraft flying through the concerned state’s territory and force its landing without endangering aviation safety and by refraining from using weapons. Both of those actions are only permitted under two reasons: violation of airspace sovereignty and misuse of civil aviation. Although ICAO supplement the following provision with their standards and recommendation regarding the technical procedures of aircraft interception on Annex 2 and ICAO’s Interception Manual, international law provisions have yet to regulate the handling of forced landed aircraft in detail. Furthermore, international law provisions have also yet to further define misuse of civil aviation as grounds for aircraft interception and forced landing. Indonesia, Belarus, and the United Kingdom each have their own perspective national regulations regarding civil aircraft interception and its forced landing, ranging from grounds of interception and its procedures to handling of forced landed aircraft. Considering international law provisions have yet to further define misuse of civil aviation and regulate the handling of forced landed aircraft, each state has different regulations regarding both matters. Other differences of each national regulations are from how detailed its regulations are and how consistent its national regulations with the Chicago Convention. To conclude, Indonesia, Belarus, and the United Kingdom handles civil aircraft interception and its forced landing in accordance with their respective national regulations. This further shows that how consistent a state’s handling of interception cases with Article 3 bis of the Chicago Convention are influenced by how consistent its national regulations on interception with the provisions of Article 3 bis itself.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library