Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nataya Fariza
Abstrak :
Membina sebuah rumah tangga memang tidak semudah membalikkan tangan, pasti selalu ada konflik yang timbul terutama masalah harta kekayaan dalam perkawinan. Apabila sebelum melangsungkan perkawinan suami isteri tidak membuat perjanjian kawin, maka harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta persatuan bulat. Kemudian selama perkawinan berlangsung, terjadi sesuatu hal misal suami boros dan berkelakukan tidak baik yang mengakibatkan harta bersama akan habis, maka isteri dapat mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan ke Pengadilan Negeri, karena perjanjian kawin sudah tidak dapat lagi dibuat setelah perkawinan berlangsung. Dari keadaan tersebut di atas, maka yang jadi permasalahan penelitian ini yaitu bagaimanakah akibat hukum dari pemisahan harta kekayaan yang dilakukan berdasarkan perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan dan bagaimana secara yuridis pertimbangan Hakim mengenai pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan sebagaimana ternyata dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2901 K/Pdt/2012 tanggal 9 Desember 2013. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dimana penulis dalam meneliti mengacu pada aturanaturan hukum yang ada. Maka ditemukan jawabannya bahwa akibat hukum yang timbul sebagaimana ternyata dalam kasus yang diteliti yaitu tidak dapat diadakan pemisahan karena isteri tidak memenuhi Pasal 186 BW, sehingga objek sengketa tetap menjadi harta bersama suami dan isteri. Untuk perjanjian pisah harta yang telah dibuat dihadapan Notaris menjadi batal demi hukum karena mengandung cacat yuridis dan bertentangan dengan undang-undang. Dan Putusan Mahkamah Agung sudah tepat dan telah sesuai dengan Pasal 119 BW, karena antara suami dan isteri tersebut tetap terjadi persatuan harta bulat. Sedangkan penerapan Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Perkawinan dalam pertimbangan Hakim dianggap kurang tepat karena tidak terjadi perubahan perjanjian kawin.
Fostering a household is not as easy as turning the hand, there is always a conflict triggered by wealth in marriage. If spouse did not make a prenuptial agreement, separation asset and any asset they acquire during the course of their marriage would be community asset. Furthermore, during the marriage takes place, if there is something happen e.g. the husband is extravagant and does not have good manner which is caused community asset would be lost, the wife could propose a claim for asset separation to District Court, because prenuptial agreement could no longer be made after marriage took place. According to that circumstances, the consent of this research is how the legal consequences of the assets separation that is performed by prenuptial agreement made after marriage and how the juridical considerations of the Judge regarding separation assets in marriage, as it turns out in the Supreme Court Verdict No. 2901 K / Pdt / 2012 dated December 9, 2013. By using a normative juridical research method, the author in researching refers to rules of existing law. Then found the answer that the legal consequences arising in this case study that the separation cannot be held because the wife does not comply with Article 186 BW, then the object of dispute remain the property of the husband and wife. And the prenuptial agreement that has been made before a Notary cancelled and void because of flawed juridical and contrary to law. And Supreme Court decisions were appropriate and in accordance with Article 119 of the BW, as between husband and wife are still having community assets. While the application of Article 29 paragraph (4) of the Law of Marriage in consideration of Judges considered less appropriate because there is no change in prenuptial agreement.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Maya Audina
Abstrak :
Perkawinan merupakan hubungan pria dan wanita untuk hidup bersama yang mana hubungan itu bersifat kekal dan diakui negara. Selama masa perkawinan terkumpul harta yang menjadi milik bersama. Namun, ada dorongan untuk dapat mengelola sendiri harta yang diperoleh selama masa perkawinan, adapun upaya yang dapat ditempuh untuk pemisahan harta benda dalam perkawinan yaitu dengan membuat perjanjian perkawinan. Dengan ini penulis ingin membuat penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimana mekanisme dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang berlaku surut dengan adanya Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 818/Pdt.P/2018/PN.Jkt.Sel 2) Bagaimana ketentuan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan yang berlaku surut? 3) Bagaimana peran Notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015?; Penelitian ini dibuat dengan metode penelitian Yuridis Normatif. UU Perkawinan mengatur perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung. Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang mengubah perjanjian perkawinan dapat dibuat selama dalam masa perkawinan. Di sisi lain. Adanya perubahan berdasarkan putusan tersebut membuat potensi bagi pasangan suami istri ingin mengatur harta bersama yang telah diperoleh selama perkawinannya. Perjanjian perkawinan tersebut dapat dibuat dengan cara pasangan suami istri terlebih dahulu meminta penetapan pengadilan untuk harta benda apa saja yang akan diatur pemisahannya, dengan begitu Notaris dapat membuat akta perjanjian perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan tersebut. ......Marriage is a relationship between a man and a woman to live together in which such a relationship is eternal and recognized by the state. Throughout the marriage period, the jointly owned assets are collected. However, there is an urge to be able to manage the assets acquired during the marriage period personally, as for the efforts that can be taken for the separation of property in marriage, namely by making a marriage agreement. Based on the description above, the writer desires to make a research with the formulation of the problem as follows: 1) What are the provisions for making a marriage agreement in Indonesia? 2) What is the mechanism for making a retroactive marriage agreement? 3) What are the roles of the Notary in making a marriage agreement after the Judgment of the Constitutional Court No. 69/PUU-XIII/2015?. This research was made by applying a normative juridical research method. Marriage Law stipulates that a marriage agreement shall be made before or at the time of the marriage. In line with the development of society and legal needs, the Constitutional Court issued Judgment Number 69/PUU-XIII/2015 which amends that the marriage agreement can be made during the marriage period. Besides, the changes based on such judgment create the potential for married couples wanting to regulate joint assets that have been obtained during their marriage. The marriage agreement can be made by the marriage couple first requesting a court order for any property to be separated, so that the notary can make a marriage agreement deed based on the court's judgment.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Erdinal Rasjidin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rininta Riyandini
Abstrak :
ABSTRAK
Nama : Rininta RiyandiniNPM : 1406536291Program Studi : Ilmu HukumJudul : Studi Perbandingan Permisahan Harta yang Dilakukan Setelah Perkawinan antara Indonesia dan Filipina Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 menyebabkan adanya perubahan pada Pasal 29 ayat 1 , 3 , dan 4 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Akibatnya adalah dimungkinkannya untuk membuat perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris dimana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut, mulai berlakunya perjanjian perkawinan juga dapat ditentukan dalam perjanjian perkawinan, dan perjanjian perkawinan dapat juga mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya. Masalah timbul ketika dibolehkannya membuat perjanjian perkawinan setelah atau selama dalam ikatan perkawinan, akan belum diaturnya mekanisme yang dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut diketahui oleh pihak ketiga dan pihak ketiga dapat mempertahankan kepentingannya. Untuk mencari solusi dari masalah ini penulis melakukan penelitian dengan pendekatan perundang-undangan, perbandingan, dan analitis. Karya ilmiah ini menggunakan kajian ilmu hukum normatif dan tipologi penelitian berdasarkan sifatnya merupakan penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suatu perjanjian perkawinan dapat dikatakan merugikan pihak ketiga jika dilihat dari isinya yang tidak mengatur secara rinci hak dan kewajiban pasangan suami istri khususnya terhadap pihak ketiga. Penulis mendapatkan bahwa pengaturan mengenai pemisahan harta di Filipina lebih jelas tahapannya dan lebih melindungi pihak ketiga dengan melibatkannya pihak pengadilan dalam proses judicial separation of property. Penulis dapat menyarankan untuk mengatasi masalah yang ada dengan mengedepankan peran aktif notaris dalam membantu para pihak membuat perjanjian perkawinan, mengatur kewajiban publikasi akan dibuatnya, dicabut, ataupun dirubahnya suatu perjanjian perkawinan dan diberikan jangka waktu, melibatkan pengadilan dalam prosesnya, membuat daftar kreditur dan melakukan notifikasi, serta membuat pengaturan mengenai tahapan pemisahan harta yang lebih rinci. Kata kunci: hukum keluarga, pemisahan harta, perjanjian perkawinan, Indonesia,Filipina.
ABSTRACT
Name Rininta RiyandiniStudent Number 1406536291Program LawTitle Comparative Study of Separation of Property After Marriage between Indonesia and Philippines The Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015 has resulted in changes to Article 29 paragraphs 1 , 3 and 4 of Law No. 1 of 1974 regarding Marriage. Consequently, it is possible to enact marriage settlement during marriage which can be authorized by a marriage registry employee or a notary which content also applies to third parties, the entry into force of the marriage settlement may also be prescribed in the settlement, and the marriage settlement may also concern the marriage property or other settlements. Problems arise when marriage settlement can be made after or during the marriage, but still there is no mechanism to make an easily noticeable marriage settlement by a third party. To find the solution of this problem, the author has done research with legislative, comparative, and analytical approaches. This research uses the study of normative law science with a descriptive research typology. The results show that a marriage settlement harms the third party when the contents do not regulate in detail the rights and obligations of the spouse, especially against a third party. The author finds that the regulations for property separation in the Philippines are clearer and more protective towards the third party by involving the courts in the judicial separation of property process. The author suggests addressing the existing problem by prioritizing the active role of the notary in assisting the spouses to make the marriage settlement, to regulate the obligation in publishing a marriage settlement within a particular time frame, to involve the courts in the process, to compel the spouses to make a list of creditors and notify them, and also regulate a clearer regulations about the procedure. Keywords family law, separation of property, marriage settlement, Indonesia,Philippines.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Zaky Madany
Abstrak :
Dalam perkembangan zaman seperti sekarang ini, globalisasi tidak hanya merubuhkan "batasan" suatu negara dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan, namun juga pergaulan manusia yang dapat dilihat dari semakin banyaknya kasus perkawinan yang terjadi antara dua orang yang tunduk pada dua hukum yang berbeda karena perbedaan status kewarganegaraan. Perkawinan campuran pada perkembangannya menimbulkan berbagai permasalahan hukum, salah satunya yaitu dalam ruang lingkup status harta kekayaan bersama. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penulis berkesimpulan bahwa Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan campuran (dengan Warga Negara Asing) dapat tetap memiliki properti dengan status hak milik dengan cara membuat perjanjian pemisahan harta. Karena seperti yang kita ketahui bersama, hak milik atas tanah hanya melekat pada Warga Negara Indonesia. Sedangkan pada prinsipnya, apabila tidak ada perjanjian pemisahan harta, maka harta yang timbul setelah terjadinya perkawinan akan menjadi harta bersama. Sehingga, untuk tetap mendapatkan status hak milik dari properti tersebut, Warga Negara Indonesia yang bersangkutan harus membuat perjanjian pemisahan harta untuk memastikan bahwa secara sah properti yang dimiliki adalah milik Warga Negara Indonesia dengan status hak milik.
In today`s development, globalization does not only knock down the "boundaries" of a country in the fields of economy, politics and culture, but also human relations which can be seen from the increasing number of marriages that occur between two people who are subject to two different laws because of differences citizenship status. Mixed marriage in its development raises various legal problems, one of which is in the scope of the status of shared assets. By using a normative juridical research method, the authors conclude that Indonesian citizens who carry out mixed marriages (with foreign nationals) can continue to own property with the status of property rights by making a prenuptial agreement concerning about separation of property. Because as we all know, property rights to land are only inherent in Indonesian citizens. Whereas in principle, if there is no agreement on the separation of property, the assets arising after the marriage will become a joint asset. So, in order to continue to obtain the property status of the property, the Indonesian citizen concerned must make a property separation agreement to ensure that legally owned property belongs to Indonesian citizens with ownership status.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Mulyo Yanuar
Abstrak :
Perkawinan campuran adalah suatu perkawinan antara dua warganegara yang berbeda, dimana satu pihak warga negara Indonesia dan pihak lain warga negara asing. Calon suami istri sebelum atau pada waktu perkawinan atau suami istri setelah perkawinan, dapat membuat perjanjian kawin mengenai harta benda dalam perkawinan. Perjanjian kawin dalam perkawinan campuran, yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan mengenai harta kawin berupa hak atas tanah, tidak dapat berlaku surut terhadap hak atas tanah yang diperoleh sebelum adanya perjanjian kawin. Status hak atas tanah berupa hak milik, hak guna bangunan dan hak guna, usaha, tidak dapat dipunyai atau dimiliki oleh warga negara asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagaimana jika hak atas tanah berupa hak guna bangunan yang diperoleh selama perkawinan campuran, dilakukan pemisahan harta berdasarkan penetapan pengadilan. Dalam menjawab masalah tersebut, dipergunakan metode penelitian normatif, dengan mengkaji keabsahan perkawinan campuran,  subjek dan objek hak atas tanah dan waktu  hak atas tanah diperoleh, yaitu sejak atau sebelum  perkawinan campuran sah secara hukum. Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh sebelum perkawinan campuran sah, tetap merupakan milik pribadi masing masing suami istri, yang tidak dapat dijadikan objek pemisahan harta  Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh setelah perkawinan campuran sah, yang oleh undang-undang pokok agraria, dilarang dipunyai oleh warga negara asing melalui perkawinan campuran, tidak dapat dilakukan melalui pemisahan harta.
Mixed marriage is a marriage between two different citizens, where one party is an Indonesian citizen and the other is a foreign citizen. Prospective husband and wife before or at the time of marriage or husband and wife after marriage, can make a marriage agreement regarding property in marriage. Agreements for marriage in mixed marriages, which are made after the marriage takes place regarding the property of marriage in the form of land rights, cannot apply retroactively to the rights to land acquired prior to the marriage agreement. The status of land rights in the form of property rights, building use rights and usufructuary rights, business, cannot be owned or owned by foreign citizens either directly or indirectly. What if the land rights in the form of building usufructuary rights obtained during mixed marriages are carried out by the separation of assets based on court decisions. In answering the problem, normative research methods are used, by examining the validity of mixed marriages, the subject and object of land rights and when land rights are obtained, ie from or before a mixed marriage is legally legal. Marital assets in the form of land rights acquired before a mixed marriage are legal, still private property of each husband and wife, which cannot be the object of the separation of assets of married property in the form of land rights obtained after a legal mixed marriage, which is based on agrarian law, prohibited from being owned by foreign nationals through mixed marriages, cannot be done through the separation of property.
2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Fabiola
Abstrak :
Pembuatan Perjanjian Perkawinan Sepanjang Perkawinan (Postnuptial Agreement) yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan atas harta campur bulat yang telah ada, selain harus dibuat dengan diikuti pencatatan pada Instansi yang berwenang, Postnuptial Agreement tersebut pun harus mendapatkan pengesahan melalui Penetapan Pengadilan. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan batalnya Postnuptial Agreement tersebut serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pihak ketiga. Perubahan isi Pasal 29 UU Perkawinan, menyebabkan banyak dibuatnya Postnuptial Agreement. Pada praktiknya, ditemukan adanya Postnuptial Agreement bermasalah, dikarenakan isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada, dan Postnuptial Agreement tersebut hanya dilakukan pencatatan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan. Salah satu Postnuptial Agreement yang bermasalah yaitu, akta Perjanjian Perkawinan Nomor 00 yang dibuat di hadapan IM Notaris di KB. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah mengenai (1) keabsahan Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat dan (2) keabsahan transaksi jual beli tanpa persetujuan pasangan pihak penjual dan perlindungan terhadap kepentingan pihak ketiga selaku kreditur yang menerima jaminan harta campur bulat dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat pada Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, pada penelitian ini telah digunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian preskriptif. Data yang digunakan ialah data sekunder serta wawancara sebagai data pendukung, dengan metode analisis data kualitatif. Hasil analisis, (1) keabsahan Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat adalah tidak sah atau batal demi hukum jika yang dilakukan yaitu, pembagian dan pemisahan terhadap harta yang telah ada. Agar Postnuptial Agreement ini dapat sah dan mengikat, maka harus dilakukan permohonan pengesahan pada Pengadilan Negeri. (2) Keabsahan transaksi jual beli yang dilakukan tanpa adanya persetujuan pasangan pihak penjual dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada pada Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan penetapan pengadilan adalah tidak sah atau batal demi hukum, akan tetapi pembeli beriktikad baik dilindungi. Adapun kepentingan pihak ketiga selaku kreditur yang menerima jaminan harta campur bulat dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada pada Postnuptial Agreement telah dilindungi oleh hukum baik dalam bentuk perlindungan hukum preventif maupun represif. ...... The drawing up of a Postnuptial Agreement setting out terms regarding the distribution and separation of existing community property, other than having to be registered to the regulatory authorities, such Postnuptial Agreement must acquire validation through a Court Order. This is done so as not to cause the voiding of the Postnuptial Agreement and to provide legal certainty to third parties. The existence of Article 29 of Marriage Law, has caused the creation of many Postnuptial Agreements. In practice, the existence of Postnuptial Agreements is problematic, as the contents set out terms regarding the distribution and separation of existing community property, and towards such Postnuptial Agreement a simple registration is done to the Department of Population and Civil Registration without being followed by a Court Order. An example of a problematic Postnuptial Agreement is Deed of Marriage Agreement Number 00 made before IM, Notary in KB. The problem raised within this research is on (1) the validity of a Postnuptial Agreement containing terms on the distribution and separation of existing community property that is registered without being followed by a Court Order and (2) the validity of a sale purchase transaction without the spousal consent of the seller and the protection towards third party interests as a creditor receiving collateral in the form of community property due to the distribution and separation of community property within the Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a Court Order. To address such problem, this research uses a judicial-normative method through prescriptive research typology. The data used is secondary data with interviews as supporting data, with a qualitative data analysis method. The result of such analysis is that, (1) the validity of the Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a Court Order that sets out terms related to the distribution and separation of joint marital property is that it is not valid or should be null and void if what is set out is the distribution and separation of existing community property. In order for the Postnuptial Agreement to be valid and binding, an application for the validation by a District Court. (2) the Validity of the sale purchase transaction conducted without the spousal consent of the seller due to the existence of distribution and separation of existing community property within a Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a court order is invalid or null and void, however a buyer in good faith is protected. Third party interests as a creditor receiving collateral in the form of community property due to the existence of separation and division of existing joint marital property within a Postnuptial Agreement is also protected by law, whether through preventive or repressive legal protection.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library